Pages

Rabu, 30 November 2011

nikah mutah


Pengantar Penterjemah

Salah satu ciri khas keberagamaan masyarakat Muslim adalah adanya ragam  pendapat baik dalam hal ushuluddin maupun syari’at. Selama ini, banyak kelompok pemikiran Islam (mazhab) yang mengklaim otoritas kebenaran hanya berada dalam lingkaran mereka saja. Mereka menafikan kemestian sejarah bahwa sejak pada zaman Rasulullah Saww sekalipun, keragaman pendapat itu menjadi bagian dari kekayaan aktivitas keberagamaan di kalangan sahabat. Ada banyak riwayat yang menyebutkan, ketika dua (kelompok) sahabat berselisih pendapat dalam suatu hal, maka Rasulullah akan memberikan penjelasan kepada mereka tanpa menggunakan sudut pandang benar salah, tetapi Rasulullah saww menggunakan  pola pendekatan kebenaran gradatif, yaitu pendekatan yang mempercayai bahwa kebenaran itu bukanlah logika Aristotelian yang benar salah, tapi merupakan gradasi kualitas yang sangat tergantung kepada niat dan ketulusan mencari keridhaan Allah Swt. Kebenaran secara kontekstual adalah upaya aproksimasi maksimal yang dilakukan, baik secara individual maupun secara kolektif, untuk membumikan ajaran-ajaran Allah Swt dan Rasulullah Saww. Karenanya, adalah sebuah ketidakarifan jika penafsiran “manusiawi” terhadap ajaran-ajaran Allah Swt dan sunnah Rasulullah Saww dianggap sebagai kebenaran mutlak dengan menafikan pendapat yang lain. Semestinya, perbedaan penafsiran tetap harus terbuka untuk dikritisi, agar dapat menjadi pengayaan untuk memperluas sudut pandang dalam kerangka maksimalisasi pendekatan kebenaran kepada Sang Kebenaran Mutlak.
Perbedaan penafsiran teks-teks keagamaan dalam Alqur’an dan sunnah Rasulullah Saww melahirkan beberapa mazhab dalam Islam dengan berbagai latar belakang sudut pandang. Dari persfektif yurisprudensi, kita mengenal lima mazhab besar sebagai rujukan hukum yaitu Mazhab Imamiyyah dari golongan Syi’ah duabelas Imam serta Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali dari golongan Sunni (sebuah buku kompilasi fiqh yang terbaru menyebutkan ada tujuh mazhab yang salah satunya adalah “mazhab Salafi”). Pada hakikatnya, perbedaan di antara mazhab-mazhab tersebut hanyalah sebagian kecil dari seluruh ajaran kelima mazhab. Akan tetapi, kita menemukan beberapa hal tertentu yang perbedaannya sangat mendasar, bukan hanya di kalangan Sunni sendiri secara internal, tetapi juga terlebih antara Sunni dan Syi’ah.
Barangkali, perbedaan yang sangat signifikan antara mazhab Syi’ah dan Sunni dalam bidang fiqh adalah persoalan nikah mut’ah.  Semua ulama Sunni sepakat bahwa nikah mut’ah memang pernah diperbolehkan oleh Rasulullah Saww dalam kurun waktu tertentu, tetapi kemudian dilarang untuk selama-lamanya. Sementara itu, mazhab Syi’ah percaya bahwa Rasulullah Saww tidak pernah melarang nikah mut’ah sampai Rasulullah Saww wafat. Menurut mazhab ini, dengan mengutip sumber-sumber Sunni sendiri, Rasulullah Saww tidak pernah mengajarkan nikah mut’ah kecuali setelah Allah Swt menjelaskan masalah ini di dalam surah An-Nisa ayat 24. Akan tetapi, sepeninggal Rasulullah Saww, Umar bin Khattab kemudian melarang pelaksanaan nikah mut’ah di pertengahan masa pemerintahannya sebagai khalifah.
Buku ini menjelaskan nikah mut’ah dalam format yang relatif singkat tetapi padat. Penulis mencoba melakukan pendekatan dialogis ketika menjelaskan argumen setiap mazhab. Dengan pendekatan inilah, setiap pembaca dapat melakukan cross-check sendiri jika memungkinkan, tetapi ini harus diupayakan. Semoga buku ini bisa memberikan keterbukaan baru bagi siapa saja yang ingin membangun dialog akademis yang bermartabat, khususnya dalam menyikapi perbedaan fiqiyyah antar mazhab.

Wassalam,
Mustamin Al-Mandary

5 Oktober 2000.


Daftar Isi


Pendahuluan (1)

Bagian Pertama (3)
Bukti-bukti Dari Alqur’an dan Kitab Tafsir Sunni

Bagian Kedua (13)
Bukti-bukti Dari Kitab Hadits Sunni

Bagian Ketiga (21)
Bukti-bukti Dari Kitab Tarikh Sunni

Bagian Keempat (29)
Beberapa Riwayat Yang Bertentangan

Bagian Kelima (36)
Tujuan Pernikahan
                Kasus Nikah Mut’ah dan Khamr (38)
                Pelarangan Hubungan Seksual Yang Tidak Sah (39)
                Beberapa Komentar Lain Tentang Nikah Mut’ah (43)

Bagian Keenam (46)
Persamaan Dan Perbedaan Nikah Mut’ah dan Nikah Da’im

Bagian Ketujuh (59)
Urgensi dan Manfaat Nikah Mut’ah

Bagian Kedelapan (68)
Beberapa Pertanyaan Seputar Nikah Mut’ah







PENDAHULUAN

Pernikahan berjangka, pernikahan sementara atau pernikahan untuk mencari kenikmatan adalah beberapa padanan dari kata nikah mut’ah dalam bahasa Arab yang berarti sebuah perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (untuk saling menghalalkan satu sama lain dan hidup sebagai suami istri),  yang hampir sama dengan pernikahan tanpa batas waktu, pernikahan permanen, pernikahan konvensional atau pernikahan da’im. Perbedaan yang paling mendasar dari keduanya hanyalah bahwa pernikahan sementara hanya berlangsung dalam interval waktu tertentu, dimana setelah waktu tersebut berakhir, maka kedua suami istri itu akan berpisah tanpa perceraian (thalaq). Salah satu kesalahpahaman sehubungan dengan pernikahan sementara ini adalah sebagian orang menganggap perempuan yang terikat dengan nikah mut’ah dapat melakukan pernikahan ini setiap jam. Anggapan ini benar-benar sebuah kesalahpahaman. Karena sebenarnya, setelah masa nikah mut’ah itu selesai, maka perempuan tersebut harus melewati masa iddah-nya selama dua bulan sebelum dia dapat melakukan nikah mut’ah dengan laki-laki yang lain. Masalah ini akan didiskusikan pada bagian selanjutnya secara terperinci.
Orang yang pertama sekali memperbolehkan nikah mut’ah dengan segala peraturan yang berhubungan dengan pelaksanaannya adalah Rasulullah Muhammad Saww setelah masalah ini dijelaskan oleh ayat yang telah diturunkan oleh Allah di dalam Alqur’an (4:24). Semua orang Islam percaya bahwa Rasulullah telah memperbolehkan nikah mut’ah setelah hijrahnya ke Medinah, dan setelah itu kaum muslimin melakukannya selama Rasulullah masih hidup (lihat Al Mughni, oleh Qudamah, V.6, p644, edisi ketiga). Namun kemudian muncul perbedaan pendapat antara mazhab Syi’ah dan sebagian orang Sunni apakah kemudian Rasulullah Saww melarangnya atau tidak. Sebagian orang Sunni percaya bahwa meskipun Rasulullah Saww pada awalnya memperbolehkan nikah mut’ah, tapi beliau kemudian melarangnya; sementara  orang Syi’ah percaya bahwa, Rasulullah tidak pernah melarang nikah mut’ah sampai beliau meninggal. Bahkan, nikah mut’ah ini dilakukan oleh banyak sahabat semasa Rasulullah masih hidup, zaman kekhalifahan Abu Bakar, sampai masa awal pemerintahan Umar bin Khattab yang kemudian Umar sendirilah yang melarangnya.
Pada bagian pertama sampai bagian empat, kita akan mengupas tentang ayat Alquran yang berhubungan dengan nikah mut’ah dan membandingkannya dengan tafsir-tafsir di kalangan Sunni, juga akan membuka kembali hadits-hadits yang dimuat di dalam enam kitab hadits Sunni (Kutubus Sittah) yang berhubungan dengan topik ini. Pada bagian lima, kita akan mendiskusikan tentang manfaat pernikahan dengan merunut pelarangan praktek perzinaan dan diperbolehkannya nikah mut’ah di dalam sejarah Islam. Pada bagian enam, akan dibicarakan persamaan dan perbedaan antara nikah mut’ah dan nikah da’im secara rinci. Kemudian pada bagian tujuh, kita akan mendiskusikan urgensi serta manfaat nikah mut’ah itu sendiri. Dan akhirnya, pada bagian delapan, kita akan menjawab beberapa pertanyaan yang sering diajukan banyak orang sehubungan dengan nikah mut’ah ini.




Bagian Pertama

BUKTI BUKTI DARI ALQUR’AN DAN KITAB TAFSIR SUNNI


Allah yang Maha Besar Lagi Maha Agung berfirman dalam Surah 4 : 24
“….Dan dihalalkan bagi kamu (selain perempuan yang diharamkan untukmu) untuk mencari istri-istri  dengan hartamu untuk dikawini demi melindungi dirimu (dari dosa), bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang yang telah kamu nikmati (istamta’tum) setelah suatu perjanjian, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban. Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telah kalian saling merelakannya (untuk memperpanjang perjanjian itu) setelah memenuhi kewajibanmu (yang pertama). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha Bijaksana.”

Pada ayat tersebut, istilah bahasa Arab yang sama dengan kata “nikah” ataupun istilah turunannya belum pernah digunakan sebelumnya. Tetapi, kata “mut’ah” yang berarti kenikmatan, kesenangan atau nikah sementara telah digunakan di ayat ini yaitu pada kata “Istamta’tum.” Kata “istamta’tum” adalah kata kerja ke sepuluh dari akar kata m-t-a. Seperti yang akan kita lihat, kata istamta’ juga telah banyak digunakan di dalam kumpulan tafsir Sunni tentang nikah mut’ah. Tentunya, mut’ah juga merupakan salah satu bentuk pernikahan, tetapi peraturan-peraturannya berbeda dengan nikah da’im, termasuk kebolehan pasangan dalam nikah mut’ah itu untuk memperpanjang pernikahan mereka dengan perjanjian yang menguntungkan keduanya seperti yang dinyatakan pada akhir ayat tersebut.
Lebih jauh lagi, jika kita melihat beberapa komentar Sunni terhadap masalah mut’ah, banyak mufassir seperti halnya Fakhr Ar Razi menyatakan bahwa Surah 4 : 24 itu diturunkan sehubungan dengan nikah mut’ah. Mereka mengatakan dengan terang-terangan bahwa nikah mut’ah menjadi halal berdasarkan ayat tersebut, tetapi kemudian menegaskan bahwa nikah mut’ah dilarang setelah itu. Suatu hal yang mengherankan adalah banyaknya mufassir Sunni yang mengomentari ayat tersebut dengan menyebutkan sebuah hadits bahwa Imam ‘Ali bin Abi Thalib ra mengatakan: “Mut’ah adalah suatu karunia dari Allah. Sekiranya tidak ada Umar yang melarangnya, maka tidak akan orang yang berzina kecuali yang benar-benar bejat (shaqi).” Silahkan merujuk pada beberapa kitab tafsir Sunni berikut:
1.        Tafsir Al-Kabir, oleh al-Tha’labi, komentar tentang ayat  2:24
2.        Tafsir Al-Kabir, oleh Fakhr al-Razi, V3, p200, komentar tentang ayat 2:24
3.        Tafsir Al-Kabir, oleh Ibn Jarir al-Tabari, komentar tentang ayat 2:24 dengan silsilah perawi yang otentik, V8, p178, Tradisi #9042
4.        Tafsir al-Durr al-Mansyur, oleh al-Suyuti, V2, p140, dari beberapa perawi
5.        Tafsir al-Qurtubi, V5, p130, komentar tentang ayat 2:24
6.        Tafsir Ibn Hayyan, V3, p218, komentar tentang ayat 2:24
7.        Tafsir Nisaburi, oleh Al-Nisaburi (abad kedelapan)
8.        Ahkam al-Quran, oleh Jassas, V2, p179, komentar tentang ayat 2:24
9.        Beberapa sumber yang diceritakan oleh Ibn Abbas yang telah disebutkan oleh Tabari dan Tha’labi dalam tafsir mereka.

Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa Umar tidak menisbatkan pelarangan Mut’ah kepada Rasulullah Saww, tetapi justru menisbatkan pelarangan itu kepada dirinya sendiri. Banyak sahabat yang menyaksikan bahwa Umar yang telah melakukan pelarangan tersebut. Umar dengan jelas mengatakan: “Mut’ah telah diperbolehkan oleh Rasulullah  (Saww) dan kemudian saya melarangnya.” Seorang tokoh Sunni yang besar, Fakhr al-Razi yang digelari Imam al Musyaqqiqin (pemimpin orang-orang ragu)  di dalam sebuah tafsirnya yang tebal ketika mengomentari ayat tentang nikah mut’ah menjelaskan: Umar berkata : “Ada dua mut’ah yang diperbolehkan pada zaman Rasulullah Saww dan saya melarang keduanya. Kedua mut’ah itu adalah haji tamattu’ dan nikah mut’ah dengan perempuan.” Silahkan merujuk pada referensi Sunni di dalam:
1.        Tafsir al-Kabir oleh Fakhr –al-razi, V3, p201, pada ayat 4:24
2.        Musnad Ahmad bin hambal, V1, p52

Perhatikan bahwa mut’ah terdiri dari dua jenis yaitu nikah mut’ah dan haji tamattu’. Jenis yang kedua ini adalah salah satu cara pelaksanaan ibadah haji yang tidak ada hubungannya dengan tata cara suatu pernikahan. Kedua jenis mut’ah ini dilakukan pada zaman Rasulullah Saww, zaman pemerintahan Abu Bakar, dan kemudian keduanya dilarang oleh Umar. Di dalam Alquran, ada ayat yang menjelaskan bahwa haji tamattu’ dapat dilakukan. Namun, penjelasan haji tamattu’ atau haji mut’ah ini bukanlah bidang kajian kita dalam tulisan ini.
Seperti yang terlihat pada kutipan di atas, Umar tidak mengatakan bahwa nikah mut’ah dilarang sendiri oleh Rasulullah Saww. Jika sekiranya Rasulullah sendiri yang melarang nikah mut’ah tersebut, maka semestinya Umar mengatakan: “Kedua mut’ah itu diperbolehkan dan kemudian dilarang pada zaman Rasulullah, karnanya saya memberitahukan kalian bahwa Rasulullah telah menetapkan hukum kedua (tentang pelarangannya) yang menghapus hukum yang pertama (tentang pembolehannya)”. Tetapi kita dapat melihat dengan jelas bahwa Umar dengan terang-terangan menisbatkan pelarangan itu pada dirinya sendiri dan menetapkan bahwa mut’ah itu haram.
Al-Zamakhsyari, seorang mufassir Sunni yang lain pada komentarnya tentang ayat 4:24 mengatakan bahwa ayat ini adalah ayat muhkamat dari Alquran. Beliau merujukkan pendapatnya pada pendapat Ibn Abbas. (Tafsir al-Kasysyaf oleh Zamakhsyari, V1, p519).
Baik Ibn Jarir al-Tabari maupun Zamakhsyari menyebutkan bahwa: “al-Hakam Ibn Ayniyah pernah ditanyai apakah ayat tentang nikah mut’ah telah dimansukh. Saat itu beliau menjawab ‘Tidak’”. Silahkan lihat di dalam sumber Sunni :
1.        Tafsir Tabari, komentar tentang ayat 2:24, V8, p178
2.        Tafsir al-Kasysyaf, komentar tentang ayat 2:24, V1, p519

Ibn Katsir juga menjelaskan dalam tafsirnya: “Bukhari mengatakan bahwa Umar telah melarang setiap orang untuk melakukan nikah mut’ah”. Lihat referensi Sunni dalam Tafsir Ibn Katsir, V1, p233.
Di dalam tafsir Sunni yang lain disebutkan bahwa: Umar suatu waktu berpidato di atas mimbar sambil mengatakan: “Wahai sekalian manusia, ada tiga hal yang diperbolehkan di zaman Rasulullah dan saya melarang dan mengharamkan semuanya. Ketiga hal itu adalah nikah mut’ah, haji tamattu’ dan mengucapkan ‘Hayya ‘Al-khair al-amal’.”
Referensi Sunni:
1.        Syarh al-Tajrid oleh al-Fadhil al-Qosyaji (bagian Imamah)
2.        Al-Mustaniran oleh Tabari
3.        Al-Mustabin oleh Tabari

Sekedar catatan, hal ketiga yang dilarang oleh Umar seperti yang disebut dalam kutipan di atas adalah ucapan di dalam adzan dan qamat setelah kalimat Hayya ala al-falah. Meskipun ucapan ini telah dilarang oleh Umar di masa pemerintahannya, tetapi mazhab Syi’ah masih mempraktekkannya sampai saat ini. Kalimat itu berarti “mari berlomba-lomba menuju amal yang baik.” Kalimat ini telah dihilangkan oleh Umar dan kemudian digantikannya dengan kalimat: Ash-Shalatu Khairun min an-naum yang berarti “shalat lebih baik daripada tidur” (khusus pada azan shalat subuh, pent.).
Menarik untuk diketahui, ada beberapa tokoh Sunni yang menerima bahwa nikah mut’ah diperbolehkan dan dihalalkan selama-lamanya berdasarkan ayat Alquran. Salah satu diantaranya adalah seorang tokoh Tunisia, Syaikh al-Tahir Ibn Asyar pada tafsirnya tentang ayat 4:24. (Lihat al-Tahrir wa al-Tanwir oleh Syaikh al-Tahir Ibn Asyar, V3, p5). Di samping itu, banyak tokoh-tokoh yang berpikiran terbuka yang lain yang tidak memperbolehkan kehormatan pemimpin-pemimpin mereka tidak mempengaruhi keputusan mereka.
Beberapa orang ada yang mencoba  membuat keraguan arti kata “mut’ah” dengan mengatakan bahwa secara literal, mut’ah berarti kesenangan dan tidak secara spesifik menunjukkan suatu jenis pernikahan. Orang-orang ini, bukannya mencari defenisi praktis tentang mut’ah di dalam sejarah, hadits, ataupun hukum; justru mereka mencari kamus bahasa Arab. Padahal, di dalam kamus bahasa Arab itu sendiri juga menuliskan bahwa pengertian praktis mut’ah adalah pernikahan sementara atau nikah mut’ah. Semua mazhab Syi’ah dan Sunni setuju dengan pengertian ini. Al-Qurtubi, salah seorang mufassir terkenal dari mazhab Sunni menulis : “ Tidak ada perselisihan seluruh mazhab, apakah dari golongan Salaf ataupun Khalaf, bahwa mut’ah adalah suatu pernikahan dalam interval waktu tertentu yang tidak mencakup pemberian warisan.”
Mengganti  defenisi praktis dengan pengertian linguistik adalah suatu hal yang sangat berbahaya dan dilarang oleh hukum agama karena mempunyai implikasi yang luas. Misalnya, ketika seseorang mengatakan shalat berarti pujian atau permohonan, maka itu berarti bahwa orang tidak perlu melakukan pujian itu setiap hari (padahal shalat itu wajib dilakukan lima kali sehari semalam); atau zakat yang berarti ‘mensucikan’,  maka orang tidak perlu mengeluarkan zakat dengan uang atau lainnya (karna pengsucian tidak berarti memberikan sesuatu dengan uang atau sejenisnya). Ini benar-benar pengertian yang rancu.
Kemungkinan, orang-orang tersebut tidak pernah membaca riwayat yang berhubungan dengan “mut’ah” dengan pengertian yang sangat praktis pada zaman Rasulullah dan zaman kekhalifahan awal, serta bagaimana sebagian sahabat Rasulullah melakukan nikah   mut’ah dengan hanya segenggam kurma sebagai maharnya. Bahkan di dalam Shahih Bukhari yang berbahasa Inggris, ”mut’ah al-nisa’” diterjemahkan dengan arti ‘pernikahan sementara’ dan “istimta’a” diartikan dengan ‘menikah sementara.’ Di dalam dua kitab Shahih inilah dimuat riwayat-riwayat yang menjelaskan pengertian  ini secara terperinci. (Silahkan merujuk pada Bagian Kedua untuk melihat secara lengkap riwayat masalah ini dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Apakah orang-orang tersebut memang belum pernah mendengar tentang nikah mut’ah di dalam sejarah Islam ??
Beberapa orang yang lain juga memberikan kerancuan tentang arti ayat  nikah mut’ah (4:24) dengan mengatakan bahwa, kata “istamta’a” dalam ayat itu merujuk pada penyempurnaan pernikahan da’im setelah pemberian mahar.
Pernyataan tersebut tidak benar. Cara yang terbaik untuk mengerti tentang ayat tersebut adalah; pertama, mengerti bahasa Arab dengan benar (karena kadang padanan yang benar-benar tepat dalam bahasa yang lain tidak ditemukan); kedua, membandingkan komentar-komentar yang ada sehubungan dengan masalah tersebut (tanpa terlebih dahulu membuat pemihakan); dan yang ketiga, melihat kembali semua riwayat yang berhubungan dengan nikah mut’ah untuk mengetahui apakah  istilah “istamta’a” itu sudah pernah digunakan. Jika kita telah melalui ketiga tahapan ini dan telah memperhatikan semua pendapat yang berbeda-beda, maka kita semakin dekat dengan sasaran klarifikasi pengertian kita dalam masalah ini.
Dalam bagian ini, kita telah melihat beberapa rujukan dari tafsir-tafsir Sunni di mana para mufassir sepakat bahwa ayat 4:24 diturunkan untuk menjelaskan tentang nikah mut’ah bahkan mereka juga telah menyebutkan beberapa riwayat ketika mengomentari ayat tersebut. Lantas. Bagaimana mungkin ayat ini dimaksudkan untuk menjelaskan nikah da’im ? Apakah mungkin beberapa tokoh-tokoh Sunni itu sudah tidak bisa berfikir secara logis lagi dalam melihat permasalahan ini?. Pada pembahasan selanjutnya akan ditunjukkan riwayat-riwayat yang lebih banyak lagi dari mazhab Sunni dalam komentar mereka tentang ayat 4:24 ini.
Di dalam Shahih Muslim disebutkan, seorang sahabat Rasulullah Saww, Jabir Ibn Abdillah al-Ansari mengatakan : ”Istamta’a berarti menikah sementara” (Lihat Shahih Muslim, versi Bahasa Inggris, V2, Bab DXLI dengan judul: Temporary Marriage (Nikah Mut’ah), hadits 3246. Juga silahkan merujuk pada bagian kedua untuk teks bahasa Arabnya secara lengkap). Jabir ternyata tidak menghubungkan kata “istamta’a” dengan penyempurnaan pernikahan secara umum.
Di dalam ayat 4:24 Allah berfirman :
“……Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telah kalian saling merelakannya (untuk memperpanjang perjanjian itu) setelah memenuhi kewajibanmu (yaitu mahar pada perjanjian yang pertama)”.

Kesepakatan kedua belah pihak setelah kewajiban dipenuhi yangdimaksud dalam ayat di atas merujuk pada perpanjangan masa pernikahan sementara setelah mahar yang pertama telah diberikan kepada perempuan. Dengan demikian, perempuan tersebut dapat memilih dengan bebas apakah dia akan memperpanjang masa pernikahan mereka atau tidak tanpa ada paksaan. Dengan cara ini, Allah ingin mempertegas bahwa nikah mut’ah akan memberikan manfaat yang lebih baik lagi jika pasangan nikah mut’ah memperpanjang masanya (atau bahkan melanjutkannya ke pernikahan da’im) dengan memberikan mahar yang baru setelah mahar yang pertama telah ditunaikan.
Ibn Jarir al-Tabari dalam tafsirnya menuliskan :
“Beberapa riwayat menyebutkan bahwa arti dari ‘….Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telah kalian saling merelakannya setelah memenuhi kewajibanmu…’ adalah: ‘Wahai sekalian manusia, bukanlah dosa bagi kalian untuk saling menyetujui antara kamu dan perempuan yang telah kalian merasakan kesenangan bersama-sama dalam suatu pernikahan sementara, untuk memperpanjang masa pernikahan kalian jika perjanjian yang pertama telah berakhir,  dengan memberikan mahar yang lebih banyak lagi sebagai kewajiban sebelum kalian meninggalkan mereka.’ Al-Suddi RA menceritakan : ‘Dan bukanlah dosa bagi kalian terhadap apa yang kalian sepakati setelah memenuhi persyaratan perjanjian di antara kalian. Jika suami menginginkan untuk memperpanjang perjanjiannya, maka dia dapat meminta  istrinya untuk membuat perjanjian yang baru setelah memberikan mahar yang pertama sebelum masa nikah mut’ah itu berakhir. Dia dapat mengatakan kepada istrinya: ‘Saya akan menikah mut’ah dengan kamu dengan syarat ini dan syarat yang itu.’ Lalu dia memperpanjang masa nikah mut’a mereka sebelum dia meninggalkan istrinya karena perjanjian yang pertama berakhir. Inilah yang dimaksud dalam ayat ini.” (Riwayat 9046). Rujukan dari mazhab Sunni: Tafsir al-Tabari oleh Ibn Jarir al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, p180.
Alasan yang lain untuk menunjukkan bahwa mahar yang disebutkan dalam ayat ini bukanlah untuk pernikahan da’im adalah karna Alqur’an telah membicarakan tentang mahar untuk pernikahan da’im pada bagian awal di surat yang sama dengan menyebutkan firman Allah: “Nikahilah olehmu perempuan yang kamu senangi dua, tiga atau empat, tetapi jika kamu merasa bahwa kamu tidak mampu berbuat adil (terhadap mereka), maka pilihlah satu saja…..” (4:3)
Demikian juga, Allah telah menjelaskan ketika berfirman:
“Dan berikanlah perempuan itu maharnya (pada pernikahan da’im) sebagai hadiah buat mereka” (4:4)
Ayat-ayat ini menjelaskan tentang pernikahan da’im dan mahar yang berhubungan dengannya. Sehingga, adalah suatu hal yang tidak perlu jika Allah harus mengulangi masalah mahar ini di surat yang sama. Tetapi, jika memang Allah ingin menjelaskan tentang nikah mut’ah pada ayat 4:24, maka tentunya penjelasan mahar ini adalah untuk masalah yang baru. Hal ini dapat dilihat dari kata yang digunakan oleh Allah Swt pada ayat tentang nikah mut’ah (4:24) yang diambil dari turunan akar kata “mut’ah  yang jelas berbeda dengan kata-kata yang digunakan pada ayat yang lain di dalam surat An-Nisa.
Allah berfirman:
“ …(Kecuali perempuan-perempuan yang diharamkan bagimu untuk menikahinya) Dan dihalalkan bagi kamu untuk mencari istri-istri  dengan hartamu untuk dikawini demi melindungi dirimu (dari dosa), bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang yang telah kamu nikmati (istamta’tum) setelah suatu perjanjian, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban. Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telah kalian saling merelakannya (untuk memperpanjang perjanjian itu) setelah memenuhi kewajibanmu (yang pertama). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha Bijaksana.”  (4:24)

Dengan demikian, Allah menjelaskan jenis-jenis pernikahan yang berbeda-beda itu dengan membagi penjelasan dalam tiga bagian di dalam surat An-Nisa’. Bagian pertama menjelaskan tentang nikah da’im pada ayat sebelum 4:24, bagian kedua tentang pernikahan mut’ah pada ayat 4:24, serta bagian ketiga tentang pernikahan dengan budak perempuan pada ayat 4:25.
Allah berfirman:
“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini perempuan merdeka dan beriman, maka ia boleh perempuan mengawini beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu, sebagian kamu dari sebagian yang lainnya; karena itu kawinilah  mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah mahar kepada mereka dengan cara yang pantas sedang merekapun adalah perempuan-perempuan yang memelihara dirinya, bukan pezina dan bukan pula perempuan yang mengambil laki-laki  sebagai peliharaannya. Dan apabila mereka telah menjaga dirinya melalui pernikahan, tetapi kemudian megerjakan perbuatan keji  (zina), maka hukumannya adalah setengan dari hukuman perempuan merdeka yang bersuami. (Kebolehan menikahi budak-budak perempuan) itu adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (4:25)
Pada ayat ini Allah menyebutkan mahar yang berhubungan dengan budak perempuan. Dengan demikian, Allah menyebutkan masalah mahar ini sebanyak tiga kali dalam tiga bagian ayat-ayat di atas; pertama untuk pernikahan da’im, kedua untuk pernikahan mut’ah dan terakhir untuk pernikahan dengan budak perempuan.
Sekali lagi, untuk mempertegas bahwa ayat 4:24 diturunkan sehubungan dengan nikah mut’ah, maka kami menunjukkan beberapa hadits lagi dari mufassir Sunni. Tabari meyebutkan bahwa Mujahid RA mengatakan : “Yang dimaksud dengan ‘maka istri-istri yang yang telah kamu nikmati (istamta’tum) setelah suatu perjanjian’ dalam ayat (4:24) adalah nikah mut’ah.” Referensi Sunni: Tafsir  At-Tabari oleh Ibn Jarir al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, p176, Hadits 9034.
Bahkan, di dalam banyak tafsir Sunni yang lain, disebutkan hadits yang sama dengan yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari (lihat Bagian Kedua) dengan penjelasan yang lebih terinci ketika menjelaskan tentang ayat 4:24. Imran Ibn Husain menceritakan: “Ayat 4:24 tentang nikah mut’ah telah diturunkan oleh Allah di dalam Alqur’an, dan tidak ada satupun ayat yang diturunkan untuk me-mansukh-kannya; bahkan, Rasulullah Saww menyuruh kami melakukan nikah mut’ah sehingga kamipun  melakukannya pada zaman Rasulullah masih hidup dan tidak pernah sekalipun Rasulullah melarangnya sampai Beliau meninggal. Tetapi, seseorang (yang telah melarang nikah mut’ah) menunjukkan keinginannya sendiri.” Silahkan lihat dalam beberapa referensi Sunni:
1.        Tafsir al-Kabir, oleh al-Tha’labi, komentar tentang ayat 4:24.
2.        Tafsir al-Kabir, oleh Fakhr al-Razi, komentar tentang ayat 4:24, V3, p200 dan 202
3.        Tafsir Ibn Hayyan, V3, p218, komentar tentang ayat 4:24
4.        Tafsir al-Nisaburi, oleh ak-Nisaburi (abad kedelapan)

Karena itu sangat jelas bahwa, Imran Ibn Husain membicarakan masalah nikah mut’ah dalam kutipan ini. Jika tidak, tidak mungkin para mufassir Sunni tersebut menempatkan riwayat ini pada penjelasan mereka tentang ayat 4:24. Beberapa hadits yang lain dapat pula dijadikan bukti-bukti bahwa ayat 4:24 menjelaskan tentang nikah mut’ah.
Di dalam banyak tafsir Sunni, kalimat “untuk waktu yang tertentu” telah ditambahkan pada ayat 4:24 setelah kata “istamta’tum” sehingga ayat itu terbaca ‘maka istri-istri yang yang telah kamu nikmati (istamta’tum) setelah suatu perjanjian untuk waktu yang tertentu.”
Kalimat ini haruslah diartikan sebagai tafsiran terhadap ayat Alqur’an, bukan bagian dari ayat tersebut. Seperti yang kita ketahui, banyak ayat-ayat Allah yang diturunkan tetapi tidak dimasukkan ke dalam Alqur’an karena ayat-ayat tersebut hanyalah penjelasan dan bukan merupakan bagian dari Alquran itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa hadits Qudsi juga merupakan firman Allah tetapi bukan bagian dari Alquran. Bahkan Alqur’an sendiri mengatakan bahwa semua perkataan Rasulullah Saww adalah wahyu. Allah berfirman: “Dan tiadalah yang diucapkan (Muhammad) itu menuruti kemauan hawa nafsunya sendiri. Ucapannya itu tiada lain kecuali apa yang telah diwahyukan (Allah) kepadanya” (53:3-4)
Oleh karena itu, semua perkataan Rasulullah Saww adalah wahyu dan pasti tidak bertentangan dengan Alqur’an. Hal itu juga mencakup penjelasan Beliau tentang Alqur’an dan sunnah Beliau. Sekarang kita lihat kembali hadits yang ingin penulis tunjukkan.
Diceritakan bahwa Abu Nadhra berkata : “Ibn Abbas (RA) membaca ayat 4:24 dengan tambahan kalimat ‘untuk waktu yang tertentu.’ Saya kemudian bertanya padanya: ’Saya tidak membaca ayat itu seperti kamu membacanya.’ Ibn Abbas menjawab: ‘Saya bersumpah dengan nama Allah, seperti inilah Allah menurunkannya’ dan Ibn Abbas mengulangi pernyataannya tiga kali.” Lihat dalam referensi Sunni:
1.        Tafsir al-Kabir, oleh Ibn Jarir al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, p177, Hadits 9038
2.        Tafsir al-Kabir, oleh al-Tha’labi, komentar tentang ayat 4:24 yang  sama dengan hadits yang diriwayatkan oleh Jubair.
Dan juga Abu Nadhra mengatakan : “Saya menanyakan kepada Ibn Abbas tentang nikah mut’ah kemudian Ibn Abbas menjelaskan: ‘Pernahkah kamu membaca ayat : “….Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (istamta’tum) dengan perjanjian dalam suatu waktu tertentu?…..” ‘. Maka saya berkata: ‘Jika sekiranya saya membaca seperti caramu, maka pasti saya tidak menanyakannya lagi kepadamu.’ Kemudian Ibn Abbas berkata : ‘Memang ayat itu untuk menjelaskan tentang nikah mut’ah’ “. Lihat referensi Sunni dalam al-Kabir oleh Ibn Jarir al-Tabari pada komentar tentang ayat 4:24, V8, p177, Hadits 9036 – 9037.
Dan juga diceritakan bahwa al-Suddy RA mengatakan : “Ayat yang berbunyi ‘Dan mereka yang telah kamu nikmati melalui perjanjian dalam suatu waktu tertentu’ adalah menjelaskan tentang nikah mut’ah, yaitu seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan jumlah mahar tertentu untuk suatu waktu yang tertentu pula dan disaksikan oleh dua orang saksi. Dan jika perempuan itu masih gadis (perawan), maka laki-laki tesebut harus meminta izin kepada wali perempuan. Ketika periode pernikahan mereka sudah berakhir, maka mereka secara langsung akan berpisah tanpa saling mewarisi satu sama lain.” Referensi Sunni adalah Tafsir al-Kabir oleh Ibn al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, p176, Hadits 9033.
Abu Karib menceritakan bahwa Yahya berkata : “Saya melihat sebuah buku bersama Nasir yang menuliskan :’Dan mereka yang telah kamu nikmati melalui perjanjian dalam suatu waktu tertentu.’” Lihat dalam referensi Sunni:
1.        Tafsir al-Kabir Ibn Jarir al-Tabari pada ayat 4:24, pp 176-177, Hadits 9035
2.        Tafsir al-Kabir al-Tha’labi pada ayat 4:24 yang menceritakan riwayat yang sama dari Abi Thabit.
Salah seorang sahabat Rasulullah yang lain yakni Ubay Ibn Ka’ab (yang dalam sumber-sumber Sunni dikatakan bahwa Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk mempercayainya karna pemahamannya yang dalam tentang Alqur’an, dimana beliau juga adalah  sebagai salah seorang dari tiga orang yang terpercaya dalam bidang ini, lihat Shahih Bukhari, edisi Bahasa Inggris, V6, Hadits 521) juga menambahkan kalimat pada ayat 4:24 seperti penambahan yang dilakukan oleh Ibn Abbas. Qatadah ra mengatakan : “Ubay ibn Ka’ab membaca ayat 4:24 adalah ‘.. dan mereka yang telah kamu nikmati melalui perjanjian dalam suatu waktu tertentu.’’’ Referensi Sunni adalah Tafsir al-Kabir Ib Jarir al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, p178, Hadits 9041.
Di samping beberapa perawi yang telah disebutkan di atas, masih ada beberapa perawi lain yang dapat disebutkan seperti Sa’id Ibn Jubair, Abi Ishaq dan Umay yang juga menyebutkan penambahan kalimat seperti di atas ketika mereka membaca ayat 4:24 ini. Sekali lagi kami ingin sampaikan bahwa, penambahan ini hanyalah komentar saja dan bukan bagian dari ayat Alqur’an. Jika seseorang ingin menuliskannya, maka dia harus meletakkan kalimat tersebut dalam sebuah tanda kurung untuk menunjukkan bahwa kalimat dalam kurung itu bukanlah bagian dari ayat tersebut. Dalam beberapa kasus, penambahan ini dapat ditemukan diberbagai sumber baik dari Syi’ah maupun Sunni. Tetapi harus diingat bahwa, penambahan itu hanyalah komentar (syarah) saja agar ayat tersebut lebih mudah dipahami.
Demikianlah kesimpulan tentang ayat yang menjelaskan tentang nikah mut’ah (4:24) dari berbagai sumber-sumber Sunni. Pada bagian selanjutnya, Insya Allah akan dijelaskan kumpulan sumber-sumber hadits Sunni yang lain yang berhubungan dengan nikah mut’ah ini.



Bagian kedua
Bukti-bukti Dari kitab Hadits Sunni

Setelah melihat sekilas pada beberapa kitab Tafsir di bagian pertama, sekarang marilah kita memperhatikan sumber lain dari kumpulan kitab hadits Sunni. Di dalam Sahih Muslim diceritakan, Jabir Ibn Abdullah dan Salama Ibn al-Akwa’ mengatakan: “Telah datang kepada kami pesan Rasulullah” lalu mereka melanjutkan: “Rasulullah Saww telah membolehkan sesuatu untuk menyenangkan kalian (istamta’u) dengan melakukan nikah mut’ah.” Lihat dalam sumber Sunni:
1.        Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2, Bagian DXLI ( Judul : Temporary Marriage), Hadits 3246
2.        Sahih Muslim, edisi Bahasa Arab, 1980, Terbitan Saudi Arabia, V2, p1022, Hadits 13, “Kitab al-Nikah, Bab Nikah al-Mut’ah”

Pada hadits tersebut, kata istamta’tum (menikmati, bersenang-senang) digunakan sesuai dengan bentuk katanya yang digunakan di dalam ayat 4:24 dan bahkan Jabir sendiri  mengatakan dalam hadits tersebut bahwa kata istamta’a berarti menikah mut’ah dengan perempuan. Dengan jalur yang sama juga diceritakan bahwa Salama Ibn al-Akwa dan Jabir Ibn Abdullah mengatakan: “Rasulullah Saww datang kepada kami dan mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah.” Lihat dalam sumber Sunni:
1.        Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2, Bagian DXLI ( Judul: Temporary Marriage), Hadits 3247
2.        Sahih Muslim, edisi Bahasa Arab, 1980, Terbitan Saudi Arabia, V2, p1022, Hadits 14, “Kitab al-Nikah, Bab Nikah al-Mut’ah”

Dengan jalur dari sahabat Rasulullah yang lain, Bukhari menceritakan hadits berikut. Disampaikan oleh Imran Ibn Husain bahwa : “Ayat tentang mut’ah telah diturunkan oleh Allah di dalam Alqur’an sehingga kami melakukannya di zaman Rasulullah; dan setelahnya, tak ada satu ayatpun yang melarangnya bahkan Rasulullah sendiri tidak pernah melarangnya hingga akhir hayatnya. Tetapi seseorang  (yang melarangnya) telah menunjukkan keinginannya sendiri.”  (Catatan: Untuk hadits ini, penerjemah Sahih Bukhari dari Saudi (Muhammad Muhsin Khan) telah  mengganti kata “mut’ah” menjadi “hajj-at-tamattu’”. Padahal, teks bahasa Arab yang terletak di samping terjemahan bahasa Inggrisnya, kata “mut’ah” tetap digunakan.) Lihat dalam sumber Sunni:

1.        Sahih Bukhari, Terjemahan Arab-Inggris, V6, Hadits 43
2.        Sahih Bukhari, versi bahasa Arab, V2, p375; V6, p34
3.        Musnad Ahmad Ibn Hambal, V4, p436 berdasarkan otoritas ‘Imran Ibn al-Qasir.
                Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya bahwa “Mut’ah” terdiri dari dua jenis yaitu nikah mut’ah dan mut’ah al-hajj (haji tamattu’). Kedua jenis “mut’ah” ini dipraktekkan pada zaman Rasulullah, zaman Abu Bakar, dan sebagian masa awal pemerintahan Umar ibn Khattab. Tetapi kemudian kedua jenis “mut’ah” ini dilarang oleh Umar. Sehingga secara sederhana dapat disimpulkan bahwa hadits Bukhari di atas merujuk pada “mut’ah” yang dilarang oleh Umar.  Dalam bagian pertama telah ditunjukkan, banyak mufassir Sunni yang mengutip hadits dari ‘Imran ibn Husain ini ketika mengomentari ayat 4:24 untuk menunjukkan bahwa ayat ini adalah ayat yang menjelaskan tentang nikah mut’ah.
Menarik untuk diketahui bahwa di dalam Sahih Muslim, seperti halnya komentar di dalam Sahih Bukhari, dikatakan  bahwa yang dimaksud “seseorang” dalam hadits di atas (“tetapi seseorang telah menunjukkan keinginannya sendiri”) adalah Umar. Di Sahih Muslim dikatakan : “Seseorang yang dikatakan ingin menunjukkan keinginannya sendiri itu adalah Umar.”  Lihat dalam sumber Sunni:
1.        Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2, Bagian CDXLII, Hadits 2825
2.        Sahih Muslim, edisi bahasa Arab, 1980, Terbitan Arab Saudi, V2, p898, Hadits 166

Sumber lain juga  menyebutkan : “Dan seseorang yang dimaksud dalam hadits ini adalah Khalifah Umar Ibn al-Khattab.” Lihat dalam sumber Sunni:
1.        Fath al-Bari fi Syarh Sahih Bukhari oleh Ibn Hajar Asqalani, V4, p177
2.        Syarh al-Nawawi untuk Sahih Muslim, V3, p364, Terbitan Dar al-Shahab.

Alasan yang dapat disebutkan bahwa pada hadits di atas Imran Ibn Husain tidak  berani menyebutkan nama Umar adalah karena beliau tahu benar karakter Umar yang kurang baik, apalagi Umar sendiri pernah berjanji akan merajam siapapun yang melakukan nikah mut’ah.
Di dalam Sahih Muslim juga diceritakan bahwa Abu Nadhra mengatakan:
“Ibn Abbas memperbolehkan nikah mut’ah meskipun Ibn Zubair melarangnya. Saya kemudian melaporkan hal ini kepada Ibn Zubair dan dia mengatakan: ‘Saya adalah salah satu dari saksi dari hadits berikut. Kami telah melakukan nikah mut’ah dan haji tamattu pada zaman Rasulullah. Dan ketika Umar menjadi khalifah, dia telah mengatakan: “Sesungguhnya Allah memperbolehkan kepada RasulNya apa yang Allah inginkan dengan cara yang diridhaiNya. Seluruh perintah Allah telah diturunkan di dalam Alqur’an. Karena itu, lakukanlah haji dan umrah atas nama Allah dengan cara yang telah diajarkan Allah padamu, dan sempurnakanlah pernikahan kalian (menjadi nikah da’im ) dengan perempuan yang kalian telah menikah mut’ah dengannya. Dan siapapun yang datang kepadaku dengan melakukan nikah mut’ah, maka saya akan menghukumnya dengan rajam.” Lihat dalam sumber Sunni:
1.        Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2, Bagian CDXLII, Hadits 2801
2.        Sahih Muslim, edisi bahasa Arab, 1980, Terbitan Arab Saudi, V2, p885, Hadits 145

Sekali lagi, hadits di atas telah menyebutkan dua jenis mut’ah, dan kita lihat bahwa Umar mengatakan Allah telah memperbolehkan apa yang diinginkanNya kepada Rasulullah dan perintah tersebut diturunkan oleh Allah di dalam Alqur’an, tetapi kemudian dia (Umar) akan menghukum sendiri siapapun  yang melakukan nikah mut’ah.
Melalui jalur yang lain, Muslim dan Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah Ibn Mas’ud. Diceritakan oleh Ibn Mas’ud: “Kami telah mengikuti Rasulullah dalam beberapa perang suci sedangkan kami tidak memiliki apa-apa (tidak membawa istri). Lalu kepada Rasulullah kami bertanya: ‘Haruskah kami mengebiri diri sendiri?’. Rasulullah kemudian melarang kami (untuk mengebiri diri sendiri) dan memperbolehkan kami untuk melakukan nikah mut’ah sambil mengutip sebuah ayat: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang telah dihalalkan Allah kepadaMu dan janganlah  kamu melakukan hal-hal yang melampaui batas. (5:87)’.“ Lihat dalam referensi Sunni:
1.     Sahih Bukhari, Terjemahan Arab-Inggris, V7, Hadits 13a
2.     Sahih Bukhari, versi bahasa Arab, V6, p11, tafsir tentang ayat 5:87
3.     Sahih Muslim, edisi bahasa Arab, 1980, Terbitan Arab Saudi, V2, p1022, Hadits 11, “Kitab al-Nikah, Bab Nikah al-Mut’ah”
4.     Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2, bagian DXLI (Judul : Temporary Marriage), Hadits 3243
Setelah hadits tersebut di atas, di dalam Sahih Muslim dilanjutkan dengan penjelasan : “Hadits ini telah diceritakan oleh Isma’il dengan jalur yang sama dengan perawi yang lain (tetapi dengan kalimat): “Kami merasa masih muda sehingga kami mengadu kepada Rasulullah: ‘Ya Rasulullah, apakah kami harus mengebiri diri kami sendiri?’”, tetapi perawi ini tidak menyebutkan apakah mereka sedang dalam perjalanan (peperangan) atau tidak.” Silahkan merujuk pada sumber Sunni:
1.        Sahih Muslim, edisi bahasa Arab, 1980, Terbitan Arab Saudi, V2, p1022, Hadits 12, “Kitab al-Nikah, Bab Nikah al-Mut’ah”
2.        Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2, bagian DXLI (Judul: Temporary Marriage), Hadits 3245

Satu hal yang harus digaris bawahi di sini adalah, berdasarkan hadits yang sahih di atas, masturbasi itu diharamkan. Jika tidak, Rasulullah pasti menganjurkan para sahabat untuk melakukan masturbasi dan bukan melakukan nikah mut’ah. Tetapi ternyata, saran Rasulullah di atas menunjukkan bahwa jika seseorang sangat rentan terhadap perzinahan, maka sebaiknya dia melakukan nikah mut’ah, bukan masturbasi. Karena, pelarangan masturbasipun juga telah dinyatakan pada salah satu ayat di dalam Alqur’an yang akan didiskusikan pada bagian kelima nanti.
Beberapa  orang berpendapat bahwa Rasulullah memang pernah memperbolehkan nikah mut’ah pada beberapa perjalanan dan masa perang, tetapi beliau telah melarangnya pada hari penaklukan Makkah. Pernyataan ini justru bertentangan dengan apa yang telah kita lihat dari riwayat beberapa sahabat yang mengatakan bahwa mereka tetap melakukan nikah mut’ah dari zaman Rasulullah sampai masa awal pemerintahan Umar, bahkan ada di antara sahabat yang tetap melakukannya sepeninggal Umar. Jika memang nikah mut’ah hanya diperbolehkan dalam perang dan perjalanan, maka pastilah Rasulullah menjelaskan persyaratan itu pada saat Rasulullah memperbolehkannya. Para sahabat, seperti dalam riwayat-riwayat yang telah dikutip sebelumnya, bukan hanya melakukan nikah mut’ah dalam perjalanan dan perang saja. Di samping itu, tidak ada satupun ayat di dalam Alqur’an yang  yang membatasi nikah mut’ah hanya ketika kita dalam perjalanan ataupun perang. Hal ini memberikan suatu keyakinan bahwa pernyataan yang membatasi nikah mut’ah hanya untuk kondisi seperti yang disebutkan di atas hanyalah untuk  membenarkan keadaan sekarang yang telah berlangsung lama (dimana nikah mut’ah dilarang menurut mazhab Sunni, pent.). Seperti yang akan kita lihat pada bagian selanjutnya, para sahabat mendukung pelaksanaan nikah mut’ah tanpa menyebutkan syarat keharusan dalam perang. Mereka tidak menyebutkan bahwa mereka melakukan nikah mut’ah hanya ketika mereka dalam perjalanan dan perang.
Di samping itu, seperti yang telah dikutip sebelumnya, Sahih Muslim memuat banyak riwayat yang disampaikan melalui jalur sahabat yang terpercaya seperti Jabir Ibn Abdillah al-Ansari. Salah satu contohnya adalah riwayat berikut.
Diriwayatkan oleh Abu Nadhra: “Ketika saya sedang bersama-sama dengan Jabir Ibn Abdullah, seseorang datang kepada kami dan menyampaikan bahwa Ibn Abbas dan Ibn Zubair berbeda pendapat tentang nikah mut’a dan haji tamattu. Kemudian Ibn Jabir berkata: ‘Kami melakukan nikah mut’ah dan haji tamattu pada zaman Rasulullah Saww. Ketika Umar melarang kami, maka kamipun tidak pernah melakukannya lagi’.” Lihat dalam sumber Sunni:
1.        Sahih Muslim, edisi bahasa Arab, 1980, Terbitan Arab Saudi, V2, p1023, Hadits 17; juga pada V2, p914, Hadits 1249
2.        Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2, bagian DXLI (Judul: Temporary Marriage), Hadits 3250

Sekali lagi riwayat di atas menegaskan bahwa Umar lah yang telah melarang nikah mut’ah dan haji tamattu’ sehingga banyak orang yang tidak melakukannya lagi, setidaknya secara terang-terangan karena Umar telah mengancam akan merajam siapapun yang melakukan nikah mut’ah. Berikut ini ada sebuah hadits lagi. Diriwayatkan bahwa Jabir Ibn Abdullah mengatakan: “Kami telah melakukan nikah mut’ah dengan mahar segenggam kurma atau gandum pada zaman Rasulullah dan Abu Bakar, sampai akhirnya Umar melarang kami melakukannya karena kasus Amr Ibn Huraits.” Lihat dalam sumber Sunni:
1.        Sahih Muslim, edisi bahasa Arab, 1980, Terbitan Arab Saudi, V2, p1023, Hadits 16, “Kitab al-Nikah, Bab al-Nikah al-Mut’ah”
2.        Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2, bagian DXLI (Judul: Temporary Marriage), Hadits 3249

Sekali lagi, dalam teks bahasa Arab hadits tersebut, kata “istamta’a” digunakan persis dalam ayat 4:24. Seperti yang telah kita lihat, tidak ada pembatasan apapun bahwa nikah mut’ah hanya diperbolehkan dalam peperangan saja. Nikah mut’ah ini telah banyak dipraktekkan di zaman Rasulullah dan khalifah setelahnya. Seperti juga yang diriwayatkan oleh Ibn Juraih bahwa Ata’ mengatakan : “Jabir Ibn Abdullah sedang melakukan umrah lalu kami mendatanginya. Orang-orangpun menanyainya berbagai persoalan sampai ke persoalan nikah mut’ah. Ibn Abdullah berkata : ‘Ya, kami telah melindungi diri dengan melakukan nikah mut’ah pada zaman Rasulullah, zaman Abu Bakar dan Umar.’“ Silahkan merujuk pada sumber Sunni:



1.        Sahih Muslim, edisi bahasa Arab, 1980, Terbitan Arab Saudi, V2, p1023, Hadits 15, “Kitab al-Nikah, Bab al-Nikah al-Mut’ah”
2.        Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2, bagian DXLI (Judul: Temporary Marriage), Hadits 3248

Pada hadits ini kita lihat  kembali bahwa kata “istamta’a” juga digunakan kembali seperti pada ayat 4:24.
Salah seorang sahabat yang juga menentang pelarangan nikah mut’ah oleh Umar adalah Abdullah Ibn Abbas. Di dalam Sahihnya, Bukhari menuliskan riwayat Abu Jamra bahwa  beliau berkata: “Saya telah mendengar Ibn Abbas (mengeluarkan sebuah fatwa) ketika ditanyai tentang nikah mut’ah dan dia sendiri membolehkannya. Pada saat itu salah seorang budaknya yang telah dimerdekakan menimpali : ‘Hal itu dapat dilakukan dalam kondisi yang sangat mendesak dan kita susah mendapatkan perempuan yang cukup baik untuk dinikahi secara da’im, ataupun jika kita mengalami  kondisi yang serupa.’ Ibn Abbas berkata : ‘Ya !!’ “ Lihat dalam sumber Sunni: Sahih Bukhari, Terjemahan Arab-Inggris, V7, Hadits 51.
Apakah kita melihat pembatasan nikah mut’ah hanya dalam keadaan perang saja dalam hadits ini? Jika sekiranya Ibn Abbas berpendapat sama dengan sahabat yang lain bahwa Rasulullah melarang nikah mut’ah di akhir hayatnya, pastilah Ibn Abbas tidak akan memberikan pendapatnya sendiri. Ibn Abbas melakukan keberanian ini karena yakin bahwa pelarangan itu adalah salah dan hanya untuk membernarkan pendapat Umar sendiri. Muslim sendiri dalam Sahihnya menuliskan sebuah riwayat Urwa Ibn Zubair yang melaporkan bahwa Abdullah Ibn Zubair suatu waktu berdiri di depan orang banyak di Makkah, dengan menyinggung seseorang (Ibn Abbas) dia berkhotbah: “Allah telah membutakan hati sebagian hambaNya sebagaimana Allah telah membutakan matanya disebabkan mereka memberikan fatwa untuk membolehkan nikah mut’ah. ” Ibn Abbas lalu menemuinya dan berkata: “Kamu sungguh kasar dan tidak punya perasaan. Demi hidupku, sesungguhnya nikah mut’ah telah dilakukan di zaman pemimpin yang adil (Rasulullah Saww).” Ibn Zubair berkata kepada Ibn Abbas : “Lakukanlah sendiri. Demi Allah, jika kamu melakukannya, maka saya akan merajammu dengan batumu sendiri.” Lihat dalam sumber Sunni:
1.        Sahih Muslim, edisi bahasa Arab, 1980, Terbitan Arab Saudi, V2, p1026, Hadits 27, “Kitab al-Nikah, Bab al-Nikah al-Mut’ah”
2.        Sahih Muslim, edisi Bahasa Inggris, V2, bagian DXLI (Judul: Temporary Marriage), Hadits 3261
Apakah Ibn Abbas mengatakan bahwa pembolehan mut’ah hanya dalam peperangan saja? Tentu tidak. Hal inilah yang menjadi alasan mazhab Sunni untuk membenarkan pendapat Umar. Pada riwayat di atas, Ibn Zubair menghina Ibn Abbas dengan mengatakan bahwa hatinya telah dibutakan oleh Allah, hanya karena Ibn Abbas percaya bahwa nikah mut’ah seharusnya dianjurkan karena merupakan bagian dari sunnah Rasulullah Saww. Ibn Zubair sendiri lupa bahwa dia lahir dari pernikahan mut’ah (Lihat Sahih Muslim, V1, p354; al-Iqd al-Fariid, V2, p139). Bahkan kemudian Ibn Zubair mengancam akan merajam Ibn Abbas meskipun dia tahu bahwa Ibn Abbas adalah seorang sahabat Rasulullah yang terkemuka. Ibn Zubair ingin mengajari Ibn Abbas tentang ilmu agama padahal Ibn Zubair telah memerangi Imam ‘Ali dan Ibn Abbas pada perang Jamal, bahkan dalam perang itu dia telah menumpahkan darah kaum muslimin yang tidak berdosa.
Di dalam Sahih Muslim juga diceritakan bahwa Muslim al-Qurri berkata: “Saya bertanya kepada Ibn Abbas tentang mut’ah dan dia membolehkannya meskipun Ibn Zubair melarangnya. Ibn Abbas berkata: ‘Ibu Ibn Zubair sendiri yang mengatakan bahwa Rasulullah membolehkan mut’ah, mungkin lebih baik kamu langsung bertanya kepadanya masalah ini.’“ Al-Qurri selanjutnya berkata: “Lalu kami pergi menemui ibu Ibn Zubair dan saat itu beliau sudah buta. Beliau berkata: ‘Memang Rasulullah membolehkannya.’ “ Sumber Sunni adalah Sahih Muslim, edisi bahasa Arab, 1980, Terbitan Arab Saudi, V2, p909, Hadits 194-195. Pada hadits ke 195 di edisi ini dijelaskan: “Perawi menggunakan kata mut’ah dan bukan kata yang lain, saya tidak tahu apakah kata itu merujuk pada haji tamattu’ atau nikah mut’ah.” Namun, kita telah mengetahui dengan jelas bahwa mut’ah yang dilarang oleh Ibn Zubair adalah nikah mut’ah seperti yang tercantum dalam hadits tersebut.
Meskipun Umar telah meninggal, bahkan setelah kematian khalifah Usman, masih banyak sahabat yang tidak menerima perintah Umar dalam pelarangan nikah mut’ah dan menganggap nikah mut’ah dihalalkan. Pendapat ini juga tidak pernah menyebutkan pembatasan nikah mut’ah hanya dalam perang saja. Bahkan beberapa  sahabat percaya bahwa ada seorang sahabat yang melakukan nikah mut’ah dengan salah seorang putri Umar sendiri, sehingga karena hal inilah, Umar kemudian melarang nikah mut’ah seperti yang dikatakannya sendiri.
Sebelumnya kami ingin menjelaskan bahwa kami bukanlah membenci Umar. Kamipun mempercayai bahwa dia adalah salah seorang sahabat Rasulullah, tetapi kami tidak menilainya berlebihan terutama ketika dia banyak melakukan perubahan-perubahan berdasarkan ijtihadnya sendiri seperti yang kita saksikan dalam banyak riwayat sebelumnya. Kami sendiri mempercayai bahwa fatwa tidak akan berguna jika fatwa tersebut bertentangan secara eksplisit dengan ayat Alqur’an dan hadits Rasulullah. Pelarangan nikah mut’ah (oleh Umar, pent.) adalah salah satu contohnya. Bahkan menurut Sahih Bukhari, Umar juga terang-terangan  mengakui bahwa dia telah membuat perubahan di dalam shalat dan dengan bangga berkata: “Sungguh sebuah perubahan yang baik (bid’atul hasanah).” (Lihat Sahih Bukhari, Terjemahan Arab-Inggris, V3, p227). Umar juga melakukan beberapa perubahan dalam tata cara tayammum dan aturan-aturan lainnya.


Bagian Ketiga
Bukti-bukti Dari Kitab Tarikh Sunni

Setelah melihat beberapa tafsir dan hadits tentang nikah mut’ah, sekarang marilah kita merujuk kepada beberapa sumber mazhab Sunni yang lain.
Sebuah riwayat dari Imam ‘Ali yang telah disebutkan sebelumnya, juga banyak dimuat di dalam kitab-kitab Sunni yang lain dengan sedikit perbedaan kalimat. Salah satu perbedaan itu adalah penggunaan kata  shafa” yang berarti “hanya sedikit” dan kata “shaqi” yang berarti “laki-laki yang senang main perempuan.”
‘Ali RA berkata: “Mut’ah adalah salah satu berkah dari Allah kepada hambaNya. Jika sekiranya Umar tidak melarangnya, maka tak akan ada seorangpun yang melakukan perzinahan kecuali shaqi (atau shafa).” Silahkan merujuk pada beberapa kitab dari sumber-sumber Sunni sebagai berikut:
1.        Bidayat al-Mujtahid oleh Ibn Rusyd, V2, p58
2.        Al-Nihayah oleh Ibn al-Athir, V2, p249
3.        Al-Faiq oleh al-Zamakhsyari, V1, p331
4.        Lisan al-Arab oleh Ibn Mandhur, V19, p166
5.        Taj al-Arus, V10, p200
6.        Fath al-Bari, V9, p141
7.        Kanz al-Ummah oleh al-Muttaqi al-Hindi, V8,  p293
8.        Al-Iqd al-Farid, V2, p139
9.        Umadat al-Qari, oleh al-‘Ayni, V8, p130, (yang melaporkan bahwa mut’ah dihalalkan pada zaman Rasulullah, Abu Bakar dan awal pemerintahan Umar)

Hafidh al-Jalaluddin al-Suyuti juga menuliskan tentang Umar sebagai berikut: “Dia (Umar) adalah orang pertama yang mengharamkan mut’ah.” Hal ini dikatakan dalam kitab Tarikh al-Khulafa, p136.
Demikian juga al-Qastalani. Di dalam kitabnya, al-Irsyad, V4, p169, al-Qastalani menuliskan: “Kalimat yang menyebutkan ‘tetapi seseorang  menyatakan pendapatnya sesuai dengan keinginannya sendiri’ (seperti yang disebutkan dalam  sumber Sunni misalnya Shahih Bukhari) menunjuk kepada Umar bin Khattab dan bukan Usman bin Affan, karena Umarlah yang pertama kali melarang nikah mut’ah. Sehingga, orang yang menggantikannya (Usman) hanya mengikuti pendapat Umar saja.”
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Ibn Abbas tetap memperbolehkan nikah mut’ah sampai terjadinya perang Jamal (perang yang terjadi di zaman kepemimpinan Imam ‘Ali) bahkan sampai kedua matanya menjadi buta. Marilah kita lihat sebuah hadits yang menarik yang diriwayatkan oleh Ibn Abi al-Hadid. Hadits ini telah dimuat secara ringkas dalam Sahih Muslim (seperti yang dikutip pada bagian kedua), tapi pada kutipan ini akan dituliskan secara detail termasuk peristiwa yang berhubungan dengan perang antara Aisyah dan Imam ‘Ali as. Dalam riwayat ini, Ibn Abbas dikenal dengan jawabannya yang sangat memuaskan. Adapun riwayat itu secara lengkapnya adalah sebagai berikut.
“Ibn Zubair memberikan sebuah ceramah di atas sebuah mimbar di Makkah. Dia mengatakan: ‘Di antara kalian, terdapat seseorang yang telah dibutakan mata hatinya oleh Allah sebagaimana Allah telah membutakan kedua matanya (yang dimaksud adalah Ibn Abbas yang saat itu telah buta kedua matanya). Dia mengira bahwa Allah dan RasulNya telah memperbolehkan nikah mut’ah, dia mengeluarkan fatwa untuk setiap permasalahan, dan mencuri perbendaharaan Basrah beberapa waktu yang lalu dan menyebabkan masyarakat Basrah mengalami krisis perekonomian. Bagaimana saya harus menyalahkannya ketika dia melawan Ummul mukminin ‘Aisyah dan para sahabat Rasulullah dalam peperangan (perang Jamal, pent.)?’ Mendengar hal itu, Ibn Abbas meminta kepada Sa’ad Ibn Khuthaimah untuk mengantarkannya ke depan Ibn Zubair (karena kedua matanya buta). Setelah berada di depan Ibn Zubair, Ibn Abbas berkata: ‘Wahai Ibn Zubair, untuk kebutaan saya, sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam Alqur’an: ‘…Karna sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada (22:46)’. Untuk ayat-ayat Allah yang saya sampaikan, hal itu karena banyaknya alasan tentangnya yang kamu dan teman-temanmu tidak mengetahuinya. Dan untuk perbendaharaan masyarakat Basrah, uang itu adalah milik orang-orang yang berhak yang telah dikumpulkan tetapi diambil oleh penguasa, maka kami mengambilnya dan kemudian membagikannya kepada orang-orang yang berhak tersebut secara adil. Tentang nikah mut’ah, lebih baik kamu menanyakannya sendiri kepada ibumu Asma’ (Ibn Zubair lahir dari hasil pernikahan mut'ah antara Asma’ Binti Abu Bakar dengan Zubair). Dan menyangkut perlawanan kami kepada ummul mukminin ‘Aisyah, kata mukminin itu sendiri merujuk  kepada kami dan bukan kepada kamu dan bapakmu (yaitu kamilah yang disebut mukminin). Bapakmu (Zubair) dan pamanmu (Thalhah) telah menghancurkan perlindungan Allah yang telah diberikan kepada Ummu ‘Aisyah dengan fitnah yang melibatkannya dalam peperangan, sementara mereka meninggalkan istri mereka sendiri di rumah. Mereka sungguh telah menzalimi Allah dan RasulNya dengan hanya menjaga istri mereka sendiri tetapi menelantarkan istri Rasulullah. Dan tentang perlawanan kami kepada kalian (pada perang Jamal), kamilah yang datang pada kalian. Jika kami adalah kaum kafir, maka kalian akan menjadi kafir pula karena melarikan diri (setelah kalah dimedan perang) dari peperangan melawan kaum kafir; tetapi jika kami adalah orang beriman, maka kalian adalah kaum kafir karena telah menghembuskan peperangan kepada kami. Seandainya jika seorang perempuan tidak bersama kalian saat itu, maka saya tidak akan pernah membiarkan tulangku tertinggal di tengah orang-orangmu kecuali saya sendiri telah hancur (saya tidak akan pernah menyerah kecuali syahid, pent.)
Ketika Ibn Zubair pergi menemui ibunya dan menanyakan tentang nikah mut’ah, ibunya berkata: ‘Bukankah saya telah melarangmu untuk menentang Ibn Abbas dan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah) karena mereka dapat menjawab semua pertanyaan? Oh anakku, hindarilah orang buta itu karena tak ada manusia maupun jin yang dapat mengalahkannya.’“ Lihat dalam sumber Sunni Syarah Ibn Abi al-Hadid, V4, pp489-490.
Juga dilaporkan bahwa Yahya Ibn Aktham pernah menanyai seorang syaikh dari Basrah: “Mengapa anda membolehkan nikah mut’ah?.” Syaikh itu menjawab: “Karena Umar.” Yahya menjadi heran dan bertanya lagi: “Bagaimana mungkin ? Bukankah Umar paling dikenal menentangnya ?.” Syaikh itu kemudian menjelaskan: “Ya, sebuah riwayat telah menceritakan bahwa Umar pernah berpidato di atas mimbar dan berkata: ‘Allah dan RasulNya telah membolehkan dua mut’ah, tetapi saya telah melarang keduanya dan akan menghukum siapapun yang melakukannya’. Kami menerima kesaksian Umar tetapi menolak pelarangannya.” Sumber Sunni: al-Muhadhirat oleh al-Raghib al-Isbahani, V2, p94.
Dua pendiri mazhab Sunni yang terkenal yaitu Malik Ibn Anas dan al-Syafi’ii, seperti halnya tokoh-tokoh tradisional lainnya, telah melaporkan riwayat berikut dengan jalur perawi yang dapat dipercaya. Dikatakan bahwa Urwah Ibn Zubair menceritakan, suatu waktu Khulah Binti Hakim datang menemui Umar dan melaporkan bahwa Rabi’ah Ibn Umayyah telah melakukan nikah mut’ah dengan seorang perempuan dan perempuan itupun hamil. Mendengar itu Umar jadi marah dan berkata: “Tentang nikah mut’ah ini, seandainya saya telah melarangnya lebih cepat, pasti saya telah menghukumnya.” Lihat dalam sumber Sunni :
1.        Al-Muwaththa’ oleh Imam Malik pada topik tentang nikah mut’ah, V2, p30
2.        Kitab al-Am oleh Imam Syafi’ii, V7, p219
3.        Sunan al-Kubra oleh al-Bayhaqi, V7, p206

Seperti yang juga dilaporkan,  putri Abu Khuthaimah  yaitu Ummu Abdillah mengatakan bahwa seorang laki-laki bujangan dari Syiria datang kepadanya dan meminta: “Saya merasa tertekan dalam keadaan membujang, karena itu tolong carikan saya seorang perempuan yang ingin menikah mut’ah dengan saya.” Ummu Abdillah akhirnya menemukan seorang perempuan dan laki-laki itu menikah mut’ah dengan perempuan tersebut dihadapan beberapa orang saksi. Mereka tetap bersama sampai periode pernikahan mereka berakhir. Ketika mengetahui kejadian itu, Umar kemudian memanggil laki-laki Syiria tersebut dan menanyainya: “Mengapa kalian melakukan nikah mut’ah itu?” Laki-laki itu menjawab: “Kami melakukan nikah mut’ah pada zaman Rasulullah dan beliau tidak pernah melarangnya sampai Allah memanggil ruhnya, kami juga melakukannya di zaman Abu Bakar dan beliau juga tidak pernah melarangnya sampai beliau meninggal, bahkan kami juga telah melakukannya selama pemerintahanmu dan kami belum pernah mengetahui pelaranganmu sebelumnya.” Mendengar itu Umar langsung berkata: “Demi Zat yang jiwaku ada ditanganNya, jika seandainya saya telah melarangnya secepat mungkin, maka saya akan merajammu agar kamu bisa membedakan antara pernikahan dan perzinahan.” Kejadian ini dicatat di dalam kitab Kanz al-Ummah oleh al-Muttaqi al-Hindi, V8, p294 yang melalui al-Tabari.
Bagaimana Umar melarang apa yang Allah dan RasulNya memperbolehkannya? Bagaimana Umar akan merajam seorang bujangan yang melakukan nikah mut’ah sementara hukuman orang bujangan (yang melakukan zina, (kalau mut’ah dianggap perzinahan, pent.)) bukan perajaman? Semua mazhab Sunni sekalipun tidak melakukan hukuman seperti itu. Keempat mazhab Sunni hanya mengganjar pelaku nikah mut’ah dengan “ta’zir”, yaitu hukuman yang lebih ringan dari hukuman orang yang belum kawin dan melakukan perzinahan.
Apa yang ingin kami sampaikan dalam masalah ini adalah, berdasarkan pada riwayat-riwayat dari berbagai sumber dalam mazhab Sunni sendiri, bahwa yang telah melarang nikah mut’ah adalah Umar sendiri. Jika dia melakukan hal ini sementara Rasulullah Saww tidak melakukannya, maka dia tidak sepantasnya melakukannya. Riwayat yang menunjukkan bahwa nikah mut’ah dilarang oleh Umar bertentangan dengan beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa pelarangan nikah mut’ah itu dilakukan oleh Rasulullah. pada waktu yang berbeda-beda. Masalah-masalah kontradiksi ini akan ditunjukkan pada bagian keempat nanti.
Sekarang pertanyaannya adalah, apakah yang harus menjadi standar bagi kita? Pendapat siapakah berdasarkan riwayat-riwayat yang berbeda-beda itu yang harus kita ikuti? Seperti yang kita ketahui, betapa banyak persoalan di mana para sahabat berbeda pendapat satu sama lain dalam menafsirkan Alqur’an dan hadits Rasulullah, sementara perbedaan itupun telah sampai kepada kita dengan cara yang sama, dengan sejumlah perbedaan tersebut. Dalam kasus ini, (sebagaimana dalam setiap permasalahan) kita pasti  memilih Imam ‘Ali sebagai rujukan  karena beliau adalah yang paling berilmu di antara semua sahabat Rasulullah Saww. Tidak ada kesalahan sama sekali dalam perujukan ini, sebagaimana yang lainpun telah merujuk kepada sahabat yang lain. Kenyataannya adalah, seseorang tidak mungkin  mengikuti semua sahabat pada saat yang bersamaan mereka berbeda satu sama lain.
Saudara-saudara Sunni kita menganggap bahwa sebagian besar sahabat mempercayai pelarangan nikah mut’ah dilakukan setelah penyempurnaan ajaran Islam. Tetapi pernyataan ini tentunya tidak benar. Kenyataannya, tak seorangpun sahabat yang menyebutkan bahwa nikah mut’ah itu haram kecuali setelah pelarangan Umar. Sejak saat itulah, baru sebagian sahabat mengatakan bahwa nikah mut’ah diharamkan.
Tetapi, meskipun sekiranya sebagian besar sahabat mengatakan suatu hal, bukan berarti bahwa kita wajib mengikuti mereka dalam masalah itu. Yang harus kita kedepankan tentunya adalah apa yang dikatakan oleh Allah di dalam Alqur’an dan apa yang telah disunnahkan oleh Rasulullah. Mazhab Syi’ah sendiri mempercayai keabsahan ijma’ (kesepakatan mayoritas ulama),  tapi kesepakatan itu tidak bisa digunakan sebagai sumber agama. Ijma’ hanyalah kesepakatan yang dipegang oleh umat Islam. Dasar tentang ijma’ ini didasarkan pada sunnah Rasulullah sebagaimana yang disabdakannya: “Ummatku tidak akan bersepakat dalam kemungkaran.”
Sejarah telah mebuktikan, meskipun sebagian besar kaum muslimin memilih jalan yang salah dalam beberapa masalah, niscaya akan tetap ada seorang ataupun beberapa orang yang akan memilih jalan yang benar. Mereka yang sedikit ini mempunyai bukti-bukti lain yang berdasarkan Alqur’an dan Sunnah Rasulullah menyangkut masalah yang diperselisihkan tersebut. Hal ini menjelaskan, ijma’ tidak memberikan bobot apa-apa terhadap pendapat mayoritas, bahkan ijma’ sebenarnya berpihak kepada pendapat minoritas, karena meskipun hanya ada satu mazhab yang tidak setuju, maka validitas sebuah ijma’ dianggap batal.
Tidak ada ijma’ menyangkut nikah mut’ah. Kebanyakan sahabat dan tabi’in tidak setuju dengan pelarangan yang dilakukan oleh Umar, tetapi hanya sedikit yang berani menyatakannya dengan terang-terangan. Bahkan, di dalam mazhab Sunni sendiri, ijma’ masalah nikah mut’ah pun tidak ada. Kami telah menuliskan beberapa nama sahabat dari mazhab Sunni pada bagian pertama yang mempercayai bahwa mut’ah diperbolehkan. Selain itu, mazhab Syi’ah sendiri masih mempunyai alasan yang lain untuk mengatakan bahwa ijma’ mengenai masalah nikah mut’ah (dalam mazhab Sunni) ini tidak dapat diterima.
Ibn Hazm (w. 456) yang merupakan salah satu tokoh mazhab Sunni dalam bukunya, Muhalla, telah menuliskan beberapa nama sahabat Rasulullah Saww dan tabi’in yang mempercayai bahwa nikah mut’ah adalah halal. Pada bagian kesembilan di bab al-Nikah, Ibn Hazm menjelaskan nikah mut’ah secara terperinci berikut peraturan-peraturannya. Di antara para sahabat dan tabi’in yang dipercayai masih melakukan nikah mut’ah sepeninggal Rasulullah Saww adalah: Imam ‘Ali as, Abu Dzar, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn Mas’ud, Zubair Ibn al-Awwam, Imran Ibn Husain, Abdullah Ibn Umar, Ubay Ibn Ka’ab, Abu Sa’id al-Khudri, Salamah Ibn Umayyah, Awka’ Ibn Abdillah, Salamah Ibn al-Akwa’, Khalid Ibn Muhajir, ‘Amr Ibn Huraith, Rabi’a Ibn Umayyah, Suhair, S’id Ibn Jubair Tawus, Qutadah, Mujahid, Ataa al-Madani al-Suddy, dan Imam al-Hasan as. Riwayat tentang mereka banyak dituliskan di dalam sumber-sumber Sunni seperti halnya volume pertama Musnad Ahmad Ibn Hambal.
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang perbedaan sahabat dalam hal nikah mut’ah ini, marilah kita lihat Tarikh al-Tabari yang melaporkan bahwa sahabat Rasulullah merasa tidak senang dengan empat perubahan (bid’ah, pent.) yang telah dilakukan oleh Umar. Salah seorang sahabat yang berani untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya kepada Umar adalah Imran Ibn Sawadah. Di dalam kitab ini dilaporkan bahwa meskipun Umar tidak senang dengan perbuatan Ibn Sawadah (yang melawan Umar, pent.), tetapi yang mengejutkan adalah Umar sendiri mengakui bahwa nikah mut’ah itu dibolehkan (halal). Riwayat selengkapnya adalah sebagai berikut.
“Imran Ibn Sawadah melaporkan: ‘Saya datang menemui Umar di rumahnya untuk memberinya beberapa nasehat. Mendengar maksud saya Umar berkata: ‘Saya selalu menerima dengan ikhlas orang-orang yang ingin memberikan nasehat yang baik.’ Saya berkata: ‘Wahai Umar, masyarakat menilai bahwa anda telah melakukan kesalahan dalam kebijakan yang telah anda putuskan.’ Umar lalu meletakkan ujung cambuknya  pada jenggotnya sementara ujung yang lain pada pahanya, kemudian dia berkata: ‘Lanjutkan !’ Saya kemudian meneruskan: ‘Kami mendengar bahwa anda telah melarang haji kecil (haji tamattu’) pada bulan haji….’, Umar menjawab: ‘Itu dibolehkan ! (Tetapi alasan pelarangan saya adalah) jika mereka melakukan haji kecil pada bulan haji, mereka akan menganggap bahwa haji mereka adalah haji sempurna sehingga mereka tidak akan melakukan haji sempurna lagi (ke Makkah) padahal hal itu adalah tanda kebesaran Allah. Kamu benar !’. Saya melanjutkan lagi: ‘Kami juga telah mendengar bahwa anda telah melarang nikah mut’ah meskipun Allah memperbolehkannya. Kami  menikmati nikah mut’ah ini dengan segenggam kurma (sebagai mahar) dan kami dapat berpisah setelah tiga malam.’ Umar menjawab: ‘Rasulullah memperbolehkannya pada saat darurat saja. Saat ini, masyarakat telah hidup dalam kemakmuran. Saya tidak tahu apakah masih ada orang yang melakukannya (setelah saya melarangnya). Tapi sekarang, siapapun yang menginginkannya, dapat melakukan nikah mut’ah dengan segenggam kurma dan dapat berpisah setelah tiga malam. Kamu benar !’. Saya melanjutkan: ‘Anda memerdekakan seorang budak perempuan jika dia melahirkan tanpa meminta izin dari majikannya……..(dan yang keempat adalah) masyarakat juga mengeluhkan karena banyaknya kata-kata anda yang bertentangan dengan sikap anda sendiri dan anda memaksakannya dengan kasar.” Riwayat ini dimuat dalam Tarikh al-Tabari, versi Bahasa English (History of Tabari), V14, p139-140.
Kami benar-benar terperanjat dengan tulisan ini. Ternyata, Umar sendiri mengatakan bahwa seseorang dapat melakukan nikah mut’ah kembali. Suatu hal yang menarik adalah, orang yang berani menyampaikan keluhannya kepada Umar mengatakan “anda melarang nikah mut’ah padahal kami ‘masih menikmatinya’”. Perhatikan, Ibn Sawadah menggunakan kata ‘masih menikmatinya’ (enjoy, bentuk sekarang, pent.), bukan ‘sudah menikmatinya’ (enjoyed, bentuk lampau, pent.) yang berarti bahwa ‘yang terpenting bagi kami adalah perintah Allah dan bukan perintah Umar, oleh karena itu kami masih tetap melakukannya.’ Ibn Sawadah juga mengatakan bahwa Allah memperbolehkan nikah mut’ah dan banyak masyarakat yang tidak senang dengan perubahan yang dilakukan oleh Umar.
Salah satu yang harus digarisbawahi (dalam berbagai riwayat yang telah dikutip sebelumnya) adalah Umar tidak pernah menisbatkan pelarangan nikah mut’ah kepada Rasulullah Saww. Masalahnya, ada beberapa sahabat yang lain, yang setelah kematian Umar berusaha untuk tetap membenarkan tindakan Umar, bahkan berusaha menerapkan tindakan Umar ini di zaman pemerintahan Usman. Kami telah mengutipkan dua hadits yang berbeda pada bagian pertama bahwa Umar dengan terang-terangan mengatakan: “mut’ah diperbolehkan pada zaman Rasululullah dan saya melarangnya.” Jika sekiranya Rasulullah Saww sendiri yang melarang nikah mut’ah, semestinya Umar mengatakan: “Dua mut’ah dihalalkan pada zaman Rasulullah tetapi kemudian diharamkan, dan saya menyampaikan kepada kalian bahwa Rasulullah telah menetapkan hukum yang kedua (pengharaman, pent.) untuk membatalkan hukum yang pertama (penghalalan, pent.).”
Sampai saat ini, mazhab Sunni mempercayai bahwa haji mu’tah (haji tamattu’) tetap diperbolehkan dan Umar telah melakukan kesalahan dengan pelarangan yang dilakukannya. Sekarang pertanyaan kita adalah, mengapa mazhab Sunni membedakan antara kedua jenis mut’ah yang keduanya dilarang oleh Umar berdasarkan hadits-hadits dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim itu? Jika mazhab Sunni menilai bahwa Umar telah melakukan kesalahan dalam melarang haji mut’ah, maka semestinya mereka mempunyai pendapat yang sama dalam pelarangan nikah mut’ah.
Kami hanya ingin menyampaikan, mazhab Syi’ah (dalam pendapatnya)  mengikuti para Imam Ahlul Bait as dari keturunan Rasulullah Saww. Jika Rasulullah Saww telah mengatakan sesuatu (misalnya pelarangan nikah mut’ah), maka pasti ahlul bait Rasulullah Saww tidak akan menyembunyikan masalah tersebut kepada para pengikutnya. Kenyataan ini memberikan keyakinan kepada kita untuk mempercayai bahwa Umarlah yang telah melarang nikah mut’ah dan bukan Rasulullah. Umar telah melakukan suatu ‘ijtihad’, perubahan yang berdasarkan keinginannya sendiri.
Pada bagian selanjutnya, Insya Allah kami akan menganalisa beberapa riwayat Sunni yang menganggap bahwa pelarangan nikah mut’ah dilakukan oleh Rasulullah Saww.


Bagian Empat
Beberapa Riwayat Yang Bertentangan


Dalam beberapa riwayat, dikatakan bahwa Rasulullah Saww telah melarang nikah mut’ah. Akan tetapi, banyak kontadiksi yang ditemukan dalam riwayat-riwayat tersebut. Berikut ini ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah telah melarang nikah mut’ah pada waktu perang Kaibar (1/7 H). Kita akan membicarakan beberapa keanehan dalam riwayat ini secara ringkas.
Muhammad Ibn Ali menceritakan dari  bapaknya, Ali,  bahwa Rasulullah Saww telah melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai piaraan untuk selama-lamanya pada perang Kaibar. Riwayat ini dimuat dalam Sahih Muslim, edisi bahasa Inggris, V2, Bagian DXLI (di bawah judul Temporary Marriage), Hadits 3265
Dalam riwayat yang lain, diceritakan bahwa Imam Ali as mendengar Ibn Abbas memberikan penjelasan beberapa keringanan dalam melakukan nikah mut’ah dan Imam Ali mengatakan kepadanya: “Janganlah terlalu gampang mengeluarkan sebuah fatwa wahai Ibn Abbas, karna sesungguhnya Rasulullah Saww telah melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai piaraan pada perang Kaibar.” Lihat Sahih Muslim, edisi bahasa Inggris, V2, Bagian DXLI (di bawah judul Temporary Marriage), Hadits 3266.
Berikut ini ada riwayat lain  yang mengejutkan karena di dalamnya dikatakan bahwa Rasulullah menganjurkan nikah mut’ah pada penaklukan Makkah (9/8 H), tetapi kemudian melarangnya setelah Rasulullah dan kaum muslimin meninggalkan Makkah.
Sabra al-Juhani menceritakan: “Rasulullah menyuruh kami untuk melakukan nikah mut’ah pada Tahun Kemenangan ketika kami menaklukan Makkah, dan kami tetap melakukannya sampai beliau melarangnya.” (Catatan: Penterjemah Saudi menggunakan kata ‘mengizinkan’ dan bukan ‘menyuruh’ padahal dalam hadits ini digunakan kata ‘menyuruh’. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah bukan hanya membolehkan nikah mut’ah tetapi juga menganjurkannya pada waktu Penaklukan Makkah). Silahkan merujuk pada sumber-sumber Sunni:
1.        Sahih Muslim, edisi bahasa Inggris, V2, Bagian DXLI (di bawah judul Temporary Marriage), Hadits 3257
2.        Sahih Muslim, versi bahasa Arab, 1980, diterbitkan di Arab Saudi, V2, p1025, Hadits 22, “Kitab al-Nikah, Bab Nikah al-Mut’ah”


Sabra juga menceritakan: “Rasulullah Saww menyuruh para sahabatnya untuk melakukan nikah mut’ah pada Tahun Kemenangan……(maka sayapun melakukan nikah mut’ah). Saya tetap bersama istri saya selama tiga (malam), kemudian akhirnya Rasulullah Saww menyuruh kami untuk meninggalkan istri-istri kami.” (Sekali lagi, penterjemah Saudi menggunakan kata “mengizinkan” dan bukan “menyuruh” meskipun dalam teks aslinya digunakan kata “menyuruh”). Silahkan melihat sumber Sunni:
1.        Sahih Muslim, edisi bahasa Inggris, V2, Bagian DXLI (di bawah judul Temporary Marriage), Hadits 3257
2.        Sahih Muslim, versi bahasa Arab, 1980, diterbitkan di Arab Saudi, V2, p1025, Hadits 22, “Kitab al-Nikah, Bab Nikah al-Mut’ah”

Sekarang, marilah kita lihat hadits yang lain yang mengatakan bahwa Rasulullah Saww melarang nikah mut’ah selama-lamanya ketika beliau menyampaikan pidatonya di samping Ka’bah. Kita akan melihat secara ringkas mengapa hadits ini tidak benar.
Sabra al-Juhani melaporkan dari bapaknya bahwa ketika bapaknya bersama Rasulullah Saww, beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia, saya telah memperbolehkan kalian melakukan nikah mut’ah tetapi Allah telah melarangnya sampai Hari Kebangkitan. Oleh karena itu, siapapun yang mempunyai istri sekarang (dari pernikahan mut’ah ini), maka hendaklah dia meninggalkannya dan jangan mengambil apa-apa yang telah dia berikan kepadanya (sebagai mahar).”  Lihat dalam sumber Sunni:
1.        Sahih Muslim, edisi bahasa Inggris, V2, Bagian DXLI (di bawah judul Temporary Marriage), Hadits 3255
2.        Sahih Muslim, versi bahasa Arab, 1980, diterbitkan di Arab Saudi, V2, p1025, Hadits 21, “Kitab al-Nikah, Bab Nikah al-Mut’ah”

Komentar yang kami berikan pada riwayat ini adalah, sekali lagi, kata “istamta’a” digunakan untuk menyebut nikah mut’ah seperti halnya kata yang digunakan didalam ayat Alqur’an (4:24). Pada hadits selanjutnya dalam Sahih Muslim di atas, perawi yang sama meriwayatkan hadits yang lain dengan menambahkan: “Saya melihat Rasulullah berdiri di antara tiang dan pintu Ka’bah ketika menyampaikan hadits ini.” Lihat sumber Sunni berikut:
1.        Sahih Muslim, edisi bahasa Inggris, V2, Bagian DXLI (di bawah judul Temporary Marriage), Hadits 3256
2.        Sahih Muslim, versi bahasa Arab, 1980, diterbitkan di Arab Saudi, V2, p1025, Hadits 21, “Kitab al-Nikah, Bab Nikah al-Mut’ah”
Pada hadits berikut dikatakan bahwa Rasulullah Saww membolehkan nikah mut’ah setelah Perang Hunanin (setelah 10/8 H) yang terjadi setelah penaklukan Makkah. Diceritakan oleh Iyas Ibn Salama dari bapaknya, bahwa Rasulullah Saww menyetujui nikah mut’ah yang dilakukan selama tiga malam pada Tahun Autas (setelah perang Hunain tahun 8H) tetapi  kemudian melarangnya. (Catatan: kalimat dalam kurung adalah catatan dari penterjemah Saudi dan bukan dari kami (Abul Qasim Gourji, Pent.)). Silahkan merujuk pada sumber Sunni:
1.        Sahih Muslim, edisi bahasa Inggris, V2, Bagian DXLI (di bawah judul Temporary Marriage), Hadits 3251
2.        Sahih Muslim, versi bahasa Arab, 1980, diterbitkan di Arab Saudi, V2, p1023, Hadits 18, “Kitab al-Nikah, Bab Nikah al-Mut’ah”

Sekarang marilah kita lihat beberapa masalah dalam riwayat-riwayat tersebut di atas.
Beberapa tokoh Sunni meriwayatkan hadits-hadits di atas dengan sanad mufrad (yaitu melalui satu perawi saja). Ibn Asakir telah melaporkan hadits di atas dengan menisbatkannya kepada Imam Ali yang di dalam rantai perawihannya terdapat Ibn Sa’id. Selanjutnya dia menulis sendiri bahwa: “Ibn Sa’id adalah seorang pembohong.” Bahkan tokoh Sunni yang lain seperti Darqunti juga menyebutkan bahwa hadits-hadits di atas adalah mufrad. (Lihat Ifrad, oleh Darqunti)
Jika Rasulullah saww memang telah melarang nikah mut’ah pada perang Kaibar (1/7H), mengapa nikah mut’ah masih dilakukan oleh para sahabat bahkan setelah perang Hunain (10/8 H) dengan perintah langsung dari Rasulullah sendiri? (Lihat referensi di atas). Dengan kata lain, bagaimana mungkin sesuatu dapat dilarang selama-lamanya dalam dua waktu yang berbeda yaitu pada perang Kaibar (1/7 H) dan penaklukan Makkah (9/8H)? Mengapa para sahabat masih melakukannya di antara dua waktu tersebut dan bahkan setelah dua waktu ini dengan perintah Rasulullah sendiri? Pada hadits tentang perang Hunain yang telah disebutkan di atas, dikatakan bahwa Rasulullah Saww mengizinkan nikah mut’ah setelah perang Hunain. Bukankah perang Hunain terjadi setelah perang Kaibar dan Penaklukan Makkah?. Kita tidak bisa mengatakan bahwa para sahabat melakukan nikah mut’ah hanya karena mereka tidak tahu bahwa nikah mut’ah telah dilarang untuk selamanya. Bahkan dalam hadits di atas disebutkan, nikah mut’ah dilakukan atas perintah Rasulullah  Saww secara langsung. Lalu bagaimana kita dapat membenarkan kutipan hadits-hadits di atas bahwa Rasulullah Saww melarang nikah mut’ah selama-lamanya sebelum perang Hunain? Pertentangan ini sekali lagi membuktikan bahwa riwayat-riwayat di atas digunakan hanya untuk membenarkan tindakan yang dipaksakan oleh Umar (dengan menganggap bahwa tindakannya, pent.) didasarkan pada riwayat-riwayat tersebut.  Betapa indah yang telah dikatakan oleh Allah dalam Alqur’an pada ayat 4:82, bahwa kita akan menemukan banyak pertentangan dalam apa saja yang tidak datang dari Allah Swt.
Dua tokoh mazhab Sunni yaitu al-Qurtubi (dalam kitab tafsirnya) dan al-Nawawi (dalam kitab komentarnya terhadap Sahih Muslim) sama-sama sependapat bahwa di dalam hadits-hadits tentang pelarangan nikah mut’ah terdapat tujuh waktu pelarangan yang berbeda-beda. Mengapa sampai demikian? Bukankah pada setiap pelarangan dikatakan bahwa nikah mut’ah telah dilarang selama-lamanya?
Lantas bagaimana mungkin masyarakat muslim sepeninggal Rasulullah masih melakukan nikah mut’ah? Untuk menjawab pertanyaan ini, beberapa orang mengatakan bahwa meskipun Rasulullah Saww telah melarangnya, tetapi sebagian besar sahabat belum mengetahui pelarangan ini. Oleh karena itu, sahabat Rasulullah Saww masih banyak yang melakukannya sampai Umar melarang mereka setelah Umar memegang tampuk kekhalifahan.
Jika anggapan ini benar, hal itu menunjukkan bahwa semua sahabat, kecuali Umar, dianggap kurang memperhatikan sunnah Rasulullah sehingga tidak tahu bahwa nikah mut’ah telah dilarang. Mereka justru masih melakukannya sepeninggal Rasulullah, bahkan bertengkar satu sama lain dalam masalah ini. Mereka telah melakukan perzinahan dan mendukung satu sama lain untuk melakukannya, dan tak ada seorangpun yang melarang mereka kecuali  Umar. Dan secara tiba-tiba, setelah Umar melarang mereka, akhirnya merekapun ramai-ramai membicarakannya.
Lalu bagaimana kita bisa menyimpulkan bahwa semua sahabat telah menjaga Sunnah Rasulullah? Bagaimana dengan keyakinan orang Sunni bahwa jika kita mengikuti siapapun di antara mereka maka kita akan masuk surga sebab mereka semuanya adalah bintang petunjuk (meskipun bintang itu berasal dari Muawiyah).? Apakah kita salah jika mengikuti Jabir yang mengatakan bahwa Umarlah yang melarang nikah mut'ah? Bagaimana tentang Imran Ibn Husain yang mempercayai bahwa Umar telah mengatakan apa yang diinginkannya sendiri dan bukan Allah dan RasulNya yang melarang nikah mut’ah? Apakah salah jika kita merujuk kepada Imam ‘Ali yang dikenal sebagai sahabat yang paling berilmu dan telah mengatakan bahwa: “Mut’ah adalah rahmat dari Allah. Jika sekiranya Umar tidak melarangnya, maka tak akan ada seorangpun yang berzina kecuali orang yang benar-benar rusak (shaqi)”? (Lihat dua sumber yang telah disebutkan sebelumnya, satu dari beberapa kitab tafsir yang disebut pada bagian pertama dan satunya lagi dimuat di dalam beberapa kitab tarikh pada bagian ketiga).
                Imam ‘Ali as, Abu Dzar al-Ghiffari, Jabir Ibn Abdillah, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn Mas’ud, Zubair Ibn al-Awwam, Imran Ibn Husain, Abdullah Ibn ‘Umar, Ubay Ibn Ka’ab, Abu Sa’id al-Khudri,  Salamah Ibn Umayyah, Awka’ Ibn Abdillah, Salama Ibn al-Awka’, Khalid Ibn Muhajir, ‘Amr Ibn Huraits, Rabi’ah Ibn  Umayyah, Suhair, Sa’id Ibn Jubair Tawus, Qatadah, Mujahid, Ataa al-Madani al-Suddy, dan Imam Hasan as adalah sahabat-sahabat Rasulullah Saww yang juga menjadi bintang petunjuk dalam keyakinan orang Sunni. Lalu, jika kita mengikuti mereka dalam hal pembolehan nikah mut’ah, apakah lantas kita tidak termasuk orang-orang yang diberi petunjuk?
                Lagipula, jika mereka mengklaim bahwa Rasulullah Saww pernah membolehkan nikah mut’ah pada paruh waktu tertentu, semestinya Rasulullah Saww juga menyampaikan bahwa para sahabat hanya bisa melakukannya pada saat itu saja yang selanjutnya akan dilarang selama-lamanya. Dengan kata lain, Rasulullah Saww harus menyampaikan pelarangannya pada saat beliau membolehkannya. Dengan cara ini, maka tidak akan ada lagi kebingungan di kalangan sahabat setelah itu. Sekarang pertanyaannya adalah: Apakah Rasulullah Saww menyebutkan pelarangan nikah mut’ah pada saat beliau membolehkannya?
Jika jawabannya adalah ya, lalu mengapa masih banyak sahabat terkemuka Rasulullah Saww seperti Jabir Ibn Abdillah al-Ansari, Ibn Abbas, Abdullah Ibn Mas'ud, Imran Ibn Husain, dan Abdullah Ibn Umar yang masih melakukan nikah mut’ah sepeninggal Rasulullah Saww??
Jika jawabannya adalah tidak, (yaitu Rasulullah Saww tidak menyebutkan pelarangan nikah mut’ah pada saat beliau membolehkannya untuk paruh waktu tertentu), maka ini berarti Rasulullah Saww dengan sengaja membiarkan para sahabatnya kebingungan dengan alasan yang telah kami sebutkan sebelumnya. Karena ternyata, disebabkan ketidaktahuan dan kebingungan sahabat, akhirnya mereka tetap melakukan dan menganjurkan nikah mut’ah sepeninggal Rasulullah Saww sampai Umar melarangnya.
Di samping itu, jika Rasulullah saww tidak menyampaikan pelarangan nikah mut’ah ke seluruh lapisan masyarakat pada waktu, ini berarti Rasulullah bertentangan dengan firman Allah: “Sesungguhnya Allah telah menjelaskan apa-apa yang diharamkan bagimu dengan sejelas-jelasnya” (6:119)
                Apakah mungkin Rasulullah Saww tidak menyampaikan sesuatu yang dilarang oleh Allah Swt yang menyebabkan banyak sahabat melakukan perzinahan? Mengapa justru Umar (dan bukan Rasulullah Saww) yang mengingatkan  dan memutuskan bahwa waktu itulah saat yang tepat untuk menyampaikan pelarangan nikah mut’ah agar para sahabat tidak melakukan perzinahan lagi?? Bagaimana kita harus memandang ayat (6:110) tersebut di atas jika ternyata Rasulullah tidak menyampaikan pelarangan nikah mut’ah sehingga karena ketidaktahuan para sahabat akhirnya mereka saling berselisih tentang suatu masalah yang sangat penting itu?
                Lagipula, apakah orang-orang Sunni berpikir bahwa sahabat-sahabat yang kami sebutkan di atas (yang mempercayai bahwa nikah mut’ah dibolehkan) tidak takut kepada Allah? Jika mereka takut kepada Allah dan mereka tidak punya cukup bukti bahwa nikah mut’ah dibolehkan, mereka pasti meninggalkan dan tidak menganjurkan nikah mut’ah tersebut meskipun setelah Umar melarangnya. Ibn Abbas adalah salah seorang sahabat yang tidak menerima apa yang dikatakan oleh Umar dan masih tetap menganjurkan nikah mut’ah bahkan setelah perang Jamal dimana beliau berdebat dengan Ibn Zubair dalam masalah ini. Apakah Ibn Abbas mencurigai  Umar? Mengapa beliau tidak mempercayai Umar? Alasannya sangat sederhana, yaitu karena Umar tidak menisbatkan pelarangan nikah mut’ah itu kepada Rasulullah Saww. Umar mengatakan: “Rasulullah membolehkan nikah mut’ah dan saya melarangnya.” Oleh karena itu, andaikan saya (Abul Qasim Gourji, pent.) adalah Ibn Abbas, sayapun akan melakukan hal yang sama. Kita harus mempertahankan sunnah Rasulullah Saww jika diganggu oleh orang lain siapapun mereka; apalagi, selain kewajiban, tugas ini merupakan tindakan yang sangat terpuji. Inilah yang menjadi pertimbangan Ibn Abbas. Hal ini pula yang menjadi alasan bagi sahabat yang lain untuk mempercayai pembolehan nikah mut’ah bahkan sepeninggal Umar. Para sahabat tersebut percaya bahwa pelarangan yang dilakukan oleh Umar adalah hasil tangan manusia, bukan pelarangan yang datang dari Allah dan RasulNya. Sebaliknya, jika memang para sahabat Rasulullah Saww tersebut tidak yakin dengan tindakannya, setidaknya mereka pasti akan memilih diam karna rasa takutnya kepada Allah Swt. Tetapi kenyataannya, mereka benar-benar yakin bahwa yang mereka lakukan adalah benar.
                Pidato yang disampaikan oleh Rasulullah Saww di Makkah memang telah diriwayatkan oleh beberapa perawi. Tapi mengapa pidato itu hanya bersumber dari satu orang saja yang bernama Sabra al-Juhani? Mengapa hanya satu orang yang mendengar bagian pidato Rasulullah Saww yang memuat pelarangan nikah mut’ah? Mengapa sahabat yang lain tidak mendengarnya? Adalah suatu hal yang tidak mungkin jika Rasulullah Saww berdiri didepan banyak orang di Makkah untuk menyampaikan sesuatu yang dilarang sampai hari kiamat, tetapi  hanya satu orang yang mendengar pelarangan tersebut.
                Lagi pula, ada banyak kejanggalan pada berbagai versi hadits dari Sabra al-Juhani pada kitab-kitab Hadits Sunni. Pada beberapa versi disebutkan bahwa pelarangan itu terjadi pada penaklukan Makkah (8 H) sementara pada versi yang disebutkan terjadi pada Haji Wada’ (10H). Kejanggalan ini semakin memperkuat bahwa hadits ini maudhu.  Bahkan, versi hadits dari Sabra yang menyebutkan Rasulullah Saww membolehkan nikah mut’ah terjadi pada Haji Wada’ jauh lebih janggal lagi. Seperti pada hadits-hadits sebelumnya, kebanyakan riwayat mengatakan bahwa nikah mut’ah dibolehkan ketika para sahabat jauh dari istri-istri mereka. Lantas bagiamana mungkin sahabat mengeluhkan perpisahan dengan istri-istri mereka pada haji wada’ dan karenanya boleh melakukan nikah mut’ah? Bukankah pada waktu haji wada’ tersebut istri-istri sahabat ikut dalam perjalanan Rasulullah Saww? Apatah lagi, bukankah para sahabat waktu itu dapat melakukan nikah da’im di Makkah (yang merupakan tanah air sebagian besar sahabat Rasulullah sendiri, pent.)? Pertanyaan-pertanyaan logis ini yang juga memberikan bukti lain dari absurditas hadits Sabra. Kebanyakan riwayat (dalam sumber-sumber Sunni) menyebutkan bahwa nikah mut’ah hanya dibolehkan saat peperangan saja; tapi ternyata, masih banyak sahabat yang melakukan dan menganjurkannya sampai Umar yang melarangnya.
                Kontradiksi yang lain dalam riwayat tentang pelarangan nikah mut’ah di Makkah adalah, dalam hadits itu dikatakan, Rasulullah Saww bersabda: “Saya telah membolehkan nikah mut’ah, tetapi Allah kemudian melarangnya.”
                Masalahnya adalah, kalimat ini bertentangan riwayat lain yang dinisbatkan kepada Imam ‘Ali as yang menyebutkan bahwa Rasulullah yang melarang nikah mut’ah. Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, Rasulullah tidak pernah mengajarkan konsep nikah mut'ah sebelum Allah Swt menerangkan masalah ini. Selanjutnya setelah Allah Swt menurunkan ayat yang menjelaskan tentang nikah mut’ah (4:24), Rasulullah Saww kemudian membolehkannya. Lalu bagaimana kita menanggapi hadits dari Imam ‘Ali (dalam Sahih Muslim) yang mengatakan bahwa Rasulullah yang melarang nikah mut’ah? Apakah mungkin keinginan Rasulullah Saww adalah berdasarkan pikirannya sendiri? Bukankah seluruh tindakan dan ucapan Rasulullah Saww adalah wahyu (53:3-4) ? Oleh karena itu, tidak mungkin perintah Allah bertentangan dengan prilaku dan ucapan Rasulullah.

Bagian Kelima

Tujuan Pernikahan


Beberapa tokoh Sunni menilai, berdasarkan firman Allah:
“Allah telah menjadikan untukmu istri-istri kamu dari golongan kamu sendiri,  dan menjadikan dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu kamu…..” (16:72)
maka tujuan pernikahan adalah untuk tujuan melanjutkan keturunan. Akan tetapi, tujuan pernikahan (dalam ayat ini) tidak didapatkan dalam nikah mut’ah. Oleh karena itu, dalam pernikahan mut’ah ini, hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak bisa disebut sebagai hubungan suami istri.
Untuk menjawab pernyataan ini, kami ingin menjelaskan bahwa nikah mut’ah secara umum memang tidak dimaksudkan untuk menghasilkan keturunan (meskipun pasangan suami istri dapat melakukannya jika mereka menginginkan). Tetapi kenyataan membuktikan, banyak nikah mut’ah dilakukan sebagai awal dari pernikahan da’im untuk menghasilkan keluarga yang sakinah. Dalam banyak kasus, suami istri akhirnya akan melanjutkan hubungan mereka ke pernikahan da’im, setelah mereka merasakan  hubungan yang baik di dalam masa pernikahan mu’tah sebelumnya.
Meskipun kelanjutan kehidupan manusia hanya dapat dipertahankan lewat pernikahan, tetapi Alqur’an tidak menyatakan bahwa tujuan itu adalah satu-satunya yang diharapkan dari sebuah pernikahan. Bahkan, Alqur’an juga tetap melegalkan pernikahan yang tidak memungkinkan adanya kelahiran. Jika tujuan pernikahan satu-satunya hanyalah untuk menghasilkan keturunan, maka pernikahan dengan perempuan yang mandul atau yang tidak dapat melahirkan, serta perempuan yang sudah tua (menopause, pent.) pasti akan dilarang.
Dengan alasan yang sama, maka alat-alat dan metode kontrasepsi tidak akan diperbolehkan. Tetapi seperti yang kita ketahui, pernikahan dengan kondisi-kondisi yang telah disebutkan di atas tetap diperbolehkan di dalam Islam. Kenyataan ini menjelaskan bahwa fungsi reproduksi bukanlah satu-satunya tujuan sebuah pernikahan.
Di samping itu, ketika mendiskusikan tujuan pernikahan, kita harus terbuka untuk melihat tujuan-tujuan pernikahan yang lain yang juga disebutkan di dalam Alqur’an.  Tujuan reproduksi yang disebutkan di atas hanyalah salah satu tujuan pernikahan yang permanen. Ayat  di atas tidak menyebutkan sama sekali bahwa tujuan reproduksi adalah satu-satunya alasan untuk menikah. Berikut ini adalah tujuan pernikahan yang lain yang disebutkan di dalam Alqur’an.

1.        Untuk kesenangan dan kenikmatan pasangan suami istri.

Allah Swt berfirman:
“….Maka istri-istri yang yang telah kamu nikmati (istamta’tum) setelah suatu perjanjian, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban. Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telah kalian saling merelakannya setelah perjanjian itu….” (4:24)
Kesenangan dan kenikmatan yang disebutkan dalam ayat ini bukan hanya kenikmatan pisik saja, tetapi juga mencakup kesenangan dan kenikmatan spiritual.

2.        Ketenangan.

Di dalam Alqur’an Allah berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya adalah diciptakannya istri-istri kamu dari golongan kamu sendiri sehingga kamu dapat merasakan ketenangan bersamanya, dan kemudian Allah menciptakan rasa cinta dan kasih sayang di antara kalian. Sesungguhnya  pada  yang  demikian  itu  terletak  tanda-tanda bagi orang yang berpikir.” (30:21)
Tujuan pernikahan yang disebutkan pada ayat di atas adalah pencapaian kestabilan  spiritual, ketenangan sosial, ketenangan psikologis, dan untuk menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Tujuan ini tentu saja dapat diperoleh baik melalui nikah da’im maupun dengan nikah mut’ah.

3.        Untuk menghindarkan manusia dari perzinahan.

Allah  Swt berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyu’  dalam shalatnya………dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka, atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka jauh dari sifat tercela. Tetapi barangsiapa yang berbuat lebih dari itu, maka dia termasuk orang-orang yang melewati batas.” (23:1-7)
Demikianlah beberapa tujuan pernikahan yang disebutkan di dalam Alqur’an. Di samping itu, hadits-hadits Rasulullah juga menyebutkan tujuan yang lain yaitu:

4.        Melindungi agama dan keyakinan

Rasulullah Saww bersabda:
“Seseorang yang telah menikah berati telah  menyempurnakan setengah (sepertiga) agamanya, maka hendaklah dia takut kepada Allah untuk setengah (duapertiga) yang lain”
Nikah mut’ah telah menyelamatkan orang-orang beriman baik  laki-laki dan perempuan, melindungi mereka dari perbuatan dosa, dan tetap mempertahankan mereka dalam keyakinan dan agama Islam.
                Di samping itu, pernikahan juga bertujuan untuk pengembangan dakwah. Dalam kasus ini, nikah mut’ah lebih ringan resikonya dibandingkan dengan nikah da’im.

Kasus Nikah Mut’ah dan Khamr


Untuk menjelaskan praktik nikah mut’ah pada zaman Rasulullah yang (dibolehkan kemudian dilarang (menurut Sunni), pent.), sebagian orang mengidentikannya dengan pelarangan minuman yang beralkohol (khamr) secara bertahap oleh Allah Swt. Mereka menganggap bahwa pada awalnya nikah mut’ah diperbolehkan, tetapi kemudian Allah melarangnya secara bertahap sebelum Rasulullah Saww  wafat.
Menurut kami, pernyataan ini bertentangan dengan berbagai riwayat yang menyampaikan bahwa para sahabat Rasulullah dan tabi'in (lihat kembali daftar namanya di bagian ketiga) masih menganjurkan nikah mut’ah bahkan setelah Rasulullah wafat.  Di samping itu, kami menilai bahwa tidak ada persamaan sama sekali antara khamr dan nikah mut’ah. Khamr telah dikenal berabad-abad sebelum Islam datang dan Islam tidak pernah melegalkan dan menerimanya. Sementara, nikah mut’ah belum pernah dikenal sebelumnya sampai Islam melegalkannya dengan sejumlah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perlaksanaan nikah mut’ah tersebut.
Rasulullah Saww tidak pernah menganjurkan para sahabatnya untuk meminum khamr mulai dari awal kenabiannya sampai beliau wafat, tetapi justru menganjurkan nikah mut’ah. (Lihat kembali hadits yang dikutip dari Sahih Muslim di bagian keempat yang menganjurkan sahabatnya untuk melakukan nikah mut’ah). Demikian pula, Allah tidak pernah melegalkan khamr di dalam Alqur’an, tetapi Allah telah melegalkan dua jenis mut’ah (nikah mut’ah dan haji tamattu) pada dua ayat yang berbeda. Seperti yang telah kami kutip sebelumnya,  banyak tafsir Sunni yang menjelaskan bahwa ayat 4:24 diturunkan sehubungan dengan nikah mut’ah. (Untuk haji tamattu’, Allah menurunkan penjelasan di ayat yang lain).
Tujuan utama pelarangan khamr di dalam Islam dijelaskan dari awal yaitu “janganlah kalian mabuk ketika sedang shalat”. Hal ini tidak menunjukkan bahwa Islam membolehkan seseorang minum khamr (mabuk) pada waktu yang lain, tetapi masalah ini belum dianggap prioritas pada saat itu, sementara Rasulullah sendiri pada saat yang sama sedang berusaha untuk mengajak para sahabat agar tidak meminum khamr (mabuk) pada waktu yang lain (selain dalam shalat, pent.). Allah tidak pernah menurunkan ayat yang mengatakan: “Kalian dapat meminum alkohol (mabuk) ketika tidak sedang shalat.”
Ayat-ayat Alqur’an yang diturunkan untuk memansukh ayat sebelumnya tidaklah bertentangan satu sama lain, tetapi justru ayat tersebut  memberikan batasan hukum yang lebih detail dibanding batasan pada ayat sebelumnya. Di dalam Alqur’an, kita tidak menemukan satu ayatpun yang memansukh ayat nikah mut’ah, dan kitapun tidak menemukan penjelasan dari Rasulullah Saww sehubungan dengan pe-mansukh-an ayat nikah mut’ah tersebut.
Untuk kasus khamr, kita dapat melihat pengaturan yang sangat jelas. Alqur’an mulai membicarakan khamr dengan melarang orang yang beriman melakukan shalat ketika sedang mabuk, dan kemudian selanjutnya diberikan klarifikasi yang jelas bahwa keterlibatan apapun dalam hubungannya dengan khamr (menyediakan, memperjualbelikan, meminum, pent.) adalah tindakan yang sangat dilarang. Sementara, pengaturan yang berhubungan nikah mut’ah tidak kita temukan dengan cara seperti ini.

Pelarangan Hubungan Seksual yang Tidak Sah.

Sebagian orang mengakui bahwa pelacuran adalah hal yang lumrah di kalangan sahabat sampai Rasulullah Saww melarangnya.  Orang-orang ini, tanpa rasa malu sedikitpun, telah menyebut sahabat Rasulullah Saww yang mereka kagumi sebagai pelacur. Sikap seperti ini mirip yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap Nabi-Nabi mereka hanya untuk membenarkan tindakannya sendiri. Mereka berkata, “jika nabi-nabi kita juga telah melakukan dosa, itu berarti kitapun dapat melakukannya dan Tuhan pasti memaafkan kita.”
Tak ada seorangpun nabi yang telah diutus oleh Allah yang membolehkan pelacuran, lalu apakah orang-orang ini menganggap bahwa penghulu semua nabi (Rasulullah Muhammad Saww) telah memperbolehkannya ?? Apakah sahabat Rasulullah jauh lebih buruk dari ummat Nabi Luth as sehingga perlu melakukan perzinahan untuk interval waktu tertentu (dalam hal ini nikah mut’ah menurut keyakinan mereka, pent.) ?? Bahkan nabi Luth sekalipun tidak pernah membolehkan ummatnya untuk melakukan tindakan yang sangat keji seperti itu.
Rasulullah Saww tidak pernah membolehkan tindakan yang salah untuk mencapai tujuannya (misalnya menyebarkan Islam dengan perang). Secara analogis, Rasulullah tidak mungkin membolehkan perzinahan hanya untuk memberikan kesenangan kepada  para sahabatnya agar tetap kuat dalam berperang.  Tujuan tidak pernah menghalalkan segala cara, dan inilah nilai yang sangat fundamental dalam ajaran Islam. Adalah suatu hal yang sangat tidak mungkin, bahwa Rasulullah Saww telah menyuruh sahabatnya untuk mabuk-mabukan, saling membunuh, melakukan perkosaan, melakukan perjudian, ataupun melakukan pelacuran dan perzinahan untuk waktu tertentu hanya karena hal itu dianggap perlu.
Orang-orang yang beranggapan demikian mungkin tidak tahu, Rasulullah Saww telah melarang pelacuran dan perzinahan sejak di Makkah, sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah.
Sebagai contoh, mari kita lihat firman Allah Swt dalam ayat 23:1-7:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyu’  dalam shalatnya………dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka, atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka jauh dari sifat tercela. Tetapi barangsiapa yang berbuat lebih dari itu, maka dia termasuk orang-orang yang melewati batas.” (23:1-7)

Dan juga Allah Swt berfirman:
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budakyang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Dan siapapun yang berbuat lebih dari itu, maka sesungguhnya dia telah melampaui batas.” (70:29-31)

Ayat-ayat di atas dengan jelas memberikan klarifikasi bahwa hubungan seksual hanya diperbolehkan melalui hubungan pernikahan atau dengan budak yang dimiliki secara sah. Jika ayat-ayat di dalam Surah Al-Mukminun (23:1-7) dan Surah Al-Ma’arij (70:29-31) di atas diturunkan setelah ayat nikah mut’ah dalam Surah An-Nisa’ (4:24), mungkin orang dapat menganggap bahwa ayat-ayat di atas yang pertama bertujuan untuk memansukh ayat tentang nikah mut’ah tersebut.
Semua kaum muslimin sepakat, ayat-ayat pada surah al-Mukmimun dan surah al-Ma’arij di atas diturunkan di Makkah, jauh sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Oleh karena itu, perzinahan dan pelacuran telah dilarang di Makkah pada awal Islam disampaikan oleh Rasulullah Saww. Sementara itu, semua mazhab juga  sepakat bahwa ayat tentang nikah mut’ah dalam surah an-Nisa (4:24) di atas diturunkan di Madinah. Demikian juga, baik mazhab Syi’ah maupun mazhab Sunni, keduanya percaya bahwa Rasulullah membolehkan nikah mut’ah di Madinah, oleh karena itu para sahabatpun mulai mempraktekkannya.
Kenyataan ini kemudian membuktikan bahwa mut’ah adalah salah salah satu jenis pernikahan yang diperbolehkan, hubungan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan ini adalah hubungan suami istri yang sebenarnya; jika tidak, maka tindakan Rasulullah Saww sudah bertentangan dengan ayat-ayat surah al-Mukminun di atas yang membatasi hubungan seksual hanya melalui pernikahan atau kepemilikan budak yang sah saja. Rasulullah Saww dalam hal ini tidaklah bertentangan dengan ayat-ayat tersebut karena ayat-ayat itu tidaklah di mansukh (dengan diturunkannnya ayat tentang nikah mut’ah itu, pent.).  Dengan demikian, jika Rasulullah membolehkan nikah mut’ah di Madinah, hal itu berarti bahwa tindakannya tidaklah bertentangan  dengan ayat-ayat dalam surat al-Mukminun dan al-Ma’arij yang telah diturunkan di Makkah sebelumnya, yaitu kutipan ayat-ayat di atas. Kesimpulannya adalah, nikah mut’ah adalah jenis pernikahan yang diperbolehkan, yang telah dilegalkan jauh setelah pelarangan perzinahan dan pelacuran.
 Sekali lagi, untuk memaafkan para sahabat yang telah melakukan nikah mut’ah, mashab Sunni mengatakan bahwa sebagian sahabat mempunyai keimanan dan keyakinan yang masih lemah terhadap Islam. Orang-orang yang memiliki keimanan yang relatif lemah itu, dikhawatirkan untuk kembali melakukan perzinahan dan pelacuran yang merupakan dosa yang sangat besar. Oleh karena itu, akhirnya Rasulullah Saww memperbolehkan mereka melakukan nikah mut’ah.
Tanpa sengaja, orang-orang yang beranggapan seperti ini menilai bahwa tidak semua sahabat Rasulullah mempunyai keyakinan yang kuat. Ini menjadi pernyataan yang harus digarisbawahi.  Kadang-kadang, untuk membenarkan sesuatu, orang-orang harus mengkompromikan keyakinan mereka. Yang mengherankan adalah, orang Syi’ah juga mempunyai keyakinan yang sama (bahwa tidak semua sahabat mempunyai keyakinan yang cukup kuat, pent.). Jika mazhab Syi’ah mengikuti Imam ‘Ali as dan bukan sahabat yang lain, hal itu bukan berarti bahwa yang lain itu bukanlah sahabat yang beriman, tetapi Imam ‘Ali adalah sahabat yang paling tinggi dalam ilmu dan keyakinannya dibanding sahabat yang lain. Seperti yang kita ketahui, perzinahan dan pelacuran  telah dilarang jauh sebelum penetapan peraturan tentang nikah mut’ah, dan Allah menetapkan semua peraturan tanpa memperdulikan apapun tanggapan para sahabat terhadap peraturan tersebut.
Sisi lain komentar dalam masalah ini adalah, dalam yurisprudensi mazhab Syi’ah, masturbasi adalah tindakan yang dilarang sesuai dengan ayat yang telah disebutkan di atas, karena Allah membatasi pemenuhan kepuasan seksual hanya melalui pernikahan ataupun kepemilikan budak perempuan yang sah. Sebenarnya mazhab Sunni juga berpendapat bahwa masturbasi adalah tindakan yang dilarang, tetapi sebagian berpendapat bahwa jika seseorang takut jatuh ke dalam dosa karena perzinahan, maka dia dapat melakukan masturbasi dengan anggapan masturbasi dosanya lebih kecil daripada hubungan seksual yang dilarang. Jelas sekali, anggapan ini tidak mempunyai justifikasi di dalam Alqur’an maupun dari Rasulullah Saww. Sekali lagi, pendapat (sebagian, pent.) mazhab Sunni yang menganggap dosa masturbasi lebih kecil daripada dosa perzinahan memberikan bukti lain yang absurd tentang dibolehkannya para sahabat untuk melakukan nikah mut’ah. Jika dosa masturbasi itu lebih kecil, mengapa Rasulullah Saww tidak menyuruh para sahabatnya untuk bermasturbasi saja dan melarang melakukan nikah mut’ah. Tindakan Rasulullah Saww ini memberikan penegasan bahwa sekiranya seseorang takut terjerumus ke dalam dosa karena perzinahan,  maka sebaiknya dia melakukan nikah mut’ah dan bukan masturbasi.
Nikah mut’ah adalah salah satu  solusi baru yang disumbangkan oleh Islam terhadap permasalahan manusia yang diajarkan oleh Sang Nabi Terakhir untuk generasi setelahnya. Solusi itu dimaksudkan untuk mensucikan masyarakat dan bangsa demi menciptakan tatanan sosial yang terbaik, membersihkan masyarakat tersebut dari kejahatan, kekotoran dan kebiasaan-kebiasaan buruk agar tercipta struktur sosial yang mapan dan kuat. Sayangnya, masyarakat (yang telah dibentuk oleh Rasulullah Saww, pent.) ini tidak mampu melindungi syari’at jenis pernikahan mut’ah dengan baik, tidak menghargai peraturan-peraturannya bahkan tidak menghidupkan legalitasnya. Sebaliknya, justru nikah mut’ah disebutnya sebagai tradisi yang buruk dan penyakit kebodohan. Tetapi tanpa mereka sadari, konsekuensi dari tindakan mereka justru melahirkan penyakit sosial, korupsi, pelacuran dan perzinahan yang dapat kita saksikan di lingkungan masyarakat Muslim sekarang ini.




Beberapa Komentar Lain Tentang Nikah Mut’ah


Mazhab Sunni mengatakan bahwa Ibn Abbas membolehkan nikah mut’ah hanya dalam kondisi darurat. Pernyataan ini benar. Seperti yang telah kita kutip sebelumnya, Bukhari meriwayatkan bahwa Abu Jamra berkata: “Saya mendengar Ibn Abbas (memberikan sebuah fatwa) ketika beliau ditanyai masalah nikah mut’ah dan dia membolehkannya. Pada saat itu seorang budaknya yang telah dimerdekakan berkata kepada Ibn Abbas: ‘Hal itu dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat dan perempuan yang baik untuk dinikahi secara da’im sulit ditemukan, atau ketika kita mengalami kondisi yang serupa.’ Mendengar hal itu Ibn Abbas berkata: ‘Ya’ “ (Lihat Sahih Bukhari, versi bahasa Arab-Inggris, V7, hadits 51.
Dalam hadits ini, ada kalimat yang janggal. Kejanggalan itu adalah, bagaimana mungkin perempuan (yang baik) sulit didapatkan tetapi pada saat yang sama seorang perempuan dapat dinikahi dengan mut’ah? Jika perempuan memang jumlahnya sedikit, maka itu berarti jumlah perempuan tetap sedikit baik untuk nikah permanen maupun untuk nikah mut’ah. Sebaliknya, jika ada perempuan yang dapat dinikahi dengan mut’ah itu berarti ada juga perempuan yang dapat dinikahi secara permanen, sehingga alasan sedikitnya perempuan yang dapat dinikahi secara  da’im untuk membolehkan nikah mut’ah ini akan gugur dengan sendirinya.
Anggaplah bahwa kalimat terakhir pada hadits di atas benar adanya, maka maksud perkataan budak Ibn Abbas adalah, jika perempuan yang baik sulit ditemukan untuk dinikahi secara da’im, maka seseorang dibolehkan mencari perempuan yang bisa dinikahi secara mut’ah sampai dia menemukan perempuan yang baik untuk dinikahi secara da’im. Kenyataannya, di dalam mazhab Syi’ah sekalipun, nikah mut’ah tidak dianjurkan jika kita dapat menikahi perempuan (yang baik) secara da’im. Tetapi pada kasus-kasus seperti di negara Barat misalnya, dimana orang Muslim sulit untuk mendapatkan pasangan yang baik secara da’im, sementara mereka mengalami tekanan, maka salah satu jalan keluar yang dapat ditempuhnya adalah dengan melakukan nikah mut’ah. Bahkan di negri-negri Muslim sekalipun, jika seseorang tidak terlalu yakin dengan kualitas calon pasangannya, maka mereka dapat melakukan nikah mut’ah untuk sementara waktu sebelum melanjutkannya dengan nikah da’im (setelah mereka sudah benar-benar yakin dalam pilihannya). Di dalam masa pernikahan mut’ah inilah, mereka dapat saling menjajaki satu sama lain, apakah hubungan mereka cukup baik atau tidak untuk dilanjutkan ke pernikahan da’im. Pada kasus yang lain, misalnya seorang laki-laki yang belum mampu memberikan nafkah kepada istrinya, maka dia dapat melakukan nikah mut’ah.
Komentar mazhab Sunni yang lain terhadap hadits dari Ibn Abbas di atas adalah, jika seseorang kesulitan menemukan perempuan (muslim) untuk dinikahi, maka dia dapat menikah mut’ah dengan perempuan dari ahlul kitab.  Meskipun hadits tersebut tidak membatasi agama perempuan yang bisa dinikahi, tetapi mazhab ini mempercayai bahwa perempuan ahlul kitab dapat dinikahi jika sulit untuk menemukan perempuan muslim. Pernyataan ini memerlukan komentar yang lebih luas.
Jika anggapan ini dapat diterima, kita masih menemukan kejanggalan lain. Semua kaum muslimin mempercayai bahwa menikah dengan  perempuan ahlul kitab diperbolehkan dalam agama Islam. Jika memang diperbolehkan, berarti perempuan yang dapat dinikahi semakin banyak, selain dari perempuan muslim sendiri, juga dari golongan perempuan ahlul kitab. Seterusnya, jika kita mudah untuk menemukan perempuan ahlul kitab yang dapat dinikahi, berarti hal ini berlaku baik untuk nikah da’im maupun nikah mut’ah. Sekali lagi ini membuktikan, alasan diperbolehkannya nikah mut’ah saat perempuan (yang baik) untuk dinikahi sulit ditemukan akan gugur dengan sendirinya. Apakah hadits di atas mengatakan bahwa seseorang dapat melakukan perzinahan dengan ahlul kitab saat jumlah perempuan  Muslim sangat sedikit? Akhirnya kita harus sepakat bahwa nikah mut’ah bukanlah bentuk perzinahan. Kalau memang nikah mut’ah merupakan bentuk perzinahan, Ibn Abbas tidak mungkin berani untuk membolehkannya walaupun dengan perempuan ahlul kitab sekalipun.
Di samping itu, menurut hadits di atas, Ibn Abbas sendiri membolehkan nikah mut’ah pada beberapa kondisi. Pernyataan ini dapat dimengerti tanpa  interpretasi. Sekarang, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kita sepakat dengan mazhab Sunni bahwa Ibn Abbas adalah seorang sahabat Rasulullah yang terhormat dan seorang penafsir Alqur’an dari kalangan sahabat? Jika jawabannya ya maka semestinya kita harus mengikutinya. Atau setidaknya, seseorang tidak boleh menyalahkan seorang Muslim yang mengikuti pendapat Ibn Abbas dan sahabat yang lain yang sependapat dengan beliau dalam masalah nikah mut’ah ini.
Pengikut Wahabi mengatakan, jika orang-orang Syi’ah benar-benar mengikuti Imam ‘Ali as, maka semestinya mereka mengikuti Imam ‘Ali dalam hal pelarangan nikah mut’ah seperti yang telah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.
Kita telah mendiskusikan masalah hadits ini dengan beberapa kontradiksi di dalamnya yang salah satunya adalah, seperti yang juga dipercayai oleh mazhab Sunni, hadits ini adalah mufrad. Di samping itu, kami tidak mempercayai bahwa semua hadits yang diriwayatkan dalam sahih Bukhari benar semuanya. Kitab itu adalah hasil pekerjaan manusia, bukan sebuah kitab yang diturunkan oleh Allah kepada Bukhari.  Bukhari sendiri, demikian juga semua perawi yang dikutip dalam kitabnya, bukanlah orang-orang yang tidak mungkin salah. (Kecuali Wahabi mempercayai bahwa Bukhari, para sahabat dan para perawi adalah orang-orang maksum). Tanpa bermaksud untuk mengatakan bahwa terlalu banyak kejanggalan dalam kitab Sahih Bukhari, kami juga mempercayai bahwa tidak semua hadits itu adalah benar.
Saya (penulis) mengajak kepada semua saudara Sunni untuk tetap bersikap kritis terhadap hadits-hadits di dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Jika mereka mempercayai semua hadits dalam kitab-kitab tersebut, mereka akan menemukan banyaknya kontroversi di kalangan sahabat Rasulullah dalam masalah nikah mut’ah.  Sebagian hadits dalam kedua kitab tersebut mengatakan bahwa masih banyak sahabat Rasulullah Saww yang tetap mempercayai bahwa nikah mut’ah dihalalkan bahkan setelah Rasulullah wafat dengan menyebutkan ayat penjelas masalah ini. Lalu bagaimana mungkin mereka mempercayai semua hadits dalam kedua kitab tersebut sementara mereka tidak mempercayai hadits-hadits yang kami sebutkan sebelumnya.
Kita terlalu gegabah untuk menerima hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (tentang pelarangan nikah mut’ah) yang dinisbatkan kepada Imam ‘Ali as sebagai hadits yang sahih, sementara riwayat yang lain yang juga dinisbatkan kepada Imam ‘Ali as mengatakan hal yang sama sekali bertentangan.  Kami hanya akan menerima hadits dalam Sahih Bukhari yang tidak bertentangan dengan hadits mutawatir lainnya dalam kitab tersebut dan juga dalam kitab lainnya. (Hadits-hadits Syi’ah maupun Sunni sebagian besar adalah mutawatir kecuali hadits-hadits yang diriwayatkan oleh lawan masing-masing). Hal ini juga yang kami lakukan dalam menerima hadits-hadits dari sumber Syi’ah sendiri. Jika kami menemukan hadits dari sumber Syi’ah yang bertentangan dengan Alqur’an maupun Sunnah Rasulullah yang sahih, maka kamipun akan menolaknya.
Pada bagian keenam sampai bagian kedelapan nanti, kita akan mendiskusikan peraturan-peraturan dan syarat-syarat dalam nikah mut’ah secara rinci.


Bagian Keenam

Persamaan dan Perbedaan

Nikah Mut’ah dan Nikah Da’im

Sebagian  orang menilai bahwa orang-orang Syi’ah yang melakukan nikah mut’ah bukanlah orang Islam karena mereka belum pernah mendengar masalah ini, atau mungkin karna orang-orang Syi’ah  tidak tahu latar belakang dan pelarangannya. Untuk menjawab tuduhan ini, saya ingin jelaskan dengan merangkum penjelasan-penjelasan awal sebagai berikut.
1.        Nikah mut’ah bukanlah dibuat-buat oleh orang Syi’ah.
2.        Allah telah memperbolehkan nikah mut’ah di dalam Alqur’an (Surah 4:24)
3.        Berdasarkan sumber-sumber Sunni yang otentik, banyak sahabat Rasulullah yang tidak sependapat tentang pelarangan nikah mut’ah. Ini berarti Syi’ah sependapat dengan mereka.
4.        Meskipun telah disebutkan banyak riwayat tentang pelarangan nikah mut’ah, tetapi riwayat-riwayat itu mengandung kontradiksi satu sama lain. Kontadiksi ini mengindikasikan bahwa riwayat-riwayat tersebut hanyalah pandangan pribadi, hanya untuk membenarkan keadaan yang terjadi sekarang seperti yang diyakini oleh orang Sunni. Di samping itu, riwayat yang banyak tersebut bertentangan dengan tiga item di atas. Semestinya hadits-hadits tersebut harus dikompromikan dengan Alqur’an, bukan dengan yang lain. Dan Alqur’an haruslah menempati urutan teratas dalam perujukan.
Oleh karena itu, kami ingin meyakinkan mazhab Sunni bahwa nikah mut’ah juga diperbolehkan bagi mereka sebagai salah satu sunnah Rasulullah Saww. Kami juga ingin menunjukkan bahwa pendapat mazhab Syi’ah dalam masalah ini mempunyai justifikasi yang kuat di dalam Alqur’an dan hadits, mempunyai latar belakang historis, serta sesuai dengan ajaran Islam. Setidaknya kami ingin menerangkan bahwa nikah mut’ah dihalalkan, tergantung kepada sahabat Rasulullah Saww yang mana yang kita ingin ikuti.
Pada bagian ini dan dua bagian terakhir, kami ingin membicarakan lebih luas tentang nikah mut’ah, batasan-batasannya, peraturan-peraturannya, manfaatnya, dan untuk menjawab beberapa pertanyaan tentang nikah mut’ah yang sering diajukan yang kami terima dari orang-orang Sunni.
Sebelumnya kami ingin memberikan catatan bahwa, apapun yang kami jelaskan dalam bagian ini dan bagian selanjutnya hanyalah sebuah penjelasan teoritis, dan janganlah dianggap sebagai fatwa dalam hukum agama. Bagi yang berminat, silahkan menghubungi marja’ Syi’ah atau membaca buku yurisprudensi Syi’ah dalam masalah ini untuk  mendapatkan penjelasan yang lebih tuntas menyangkut batasan-batasan dan peraturan-peraturannya.
Nikah mut’ah adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan yang hampir sama dengan perjanjian dalam nikah da’im. Ucapan-ucapan yang sama (sebagai bagian dari rukun dan syaratnya, pent.) yang harus diucapkan oleh kedua orang tersebut, atau bisa juga diwakilkan kepada orang-orang tertentu sebagai walinya, harus dilakukan dalam dua jenis pernikahan ini, termasuk penetapan (jenis dan jumlah) mahar. Di dalam nikah mut’ah, batasan waktu pernikahannya (misalnya satu tahun, satu bulan) harus dinyatakan dengan jelas. Setelah waktu yang disepakati itu berakhir, pasangan suami istri itu harus memperpanjangnya lagi; kalau tidak, maka mereka berpisah secara otomatis berdasarkan syari’at, dan selanjutnya perempuan tersebut memasuki masa iddah sebelum dia dapat menikah lagi.
Mahar (sidaq) dalam pernikahan itu harus ditetapkan pada saat perjanjian (dan ‘aqd). Mahar itu dapat berupa sejumlah uang, pekerjaan tertentu yang harus dilakukan misalnya harus mengajar ilmu tertentu, atau berupa cincin dan gelang yang harus diperlihatkan dan dijelaskan jumlahnya (kepada perempuan). Untuk mahar yang tidak dapat diperlihatkan pada saat ‘aqd, maka mahar tersebut harus disebutkan sejelas mungkin sehingga perempuan tidak salah pengertian tentang mahar yang akan diberikan kepadanya.
Umumnya dalam nikah mut’ah, kebanyakan pasangan tidak menginginkan anak.  Tapi jika dalam keadaan itu tanpa sengaja sang istri kemudian hamil dan melahirkan anak, maka anak tersebut dinisbatkan kepada bapak dan ibu mereka secara sah. Dengan demikian, seluruh hukum yang berlaku dalam pernikahan da’im (menyangkut hubungan orang tua dan anak, pent.) juga akan berlaku terhadap anak tersebut.
Hubungan antara suami dan istri dalam pernikahan mut’ah sampai masa perjanjian mereka berakhir, sama dengan hubungan suami istri dalam pernikahan da’im. Di dalam kitab al-Jawahir (ensiklopedi Syi’ah yang paling besar), penulisnya mengatakan : “Pada dasarnya, hukum yang berlaku dalam nikah mut’ah sama dengan nikah da’im, kecuali batasan dan syarat-syarat yang telah ditentukan sebelumnya.”
Sebagai contoh, seperti halnya dalam nikah da’im, di dalam nikah mut’ah seorang gadis harus meminta persetujuan walinya yang biasanya adalah bapak gadis tersebut sebelum melakukan ‘aqd. Imam ‘Ali Ridha as berkata: “Seorang gadis tidak boleh dinikahi  secara mut’ah tanpa persetujuan bapaknya.” (Wasa’il al-Syi’ah, V14, p458). Dan bagi perempuan yang sudah pernah bersuami sebelumnya, maka dia dapat menikah mut’ah tanpa persetujuan walinya, meskipun izin dari walinya tetap sangat dianjurkan.
Nikah mut’ah dapat dilakukan baik dengan perempuan muslim maupun dengan perempuan ahlul kitab yaitu Kristen dan Yahudi. Jika perempuan ahlul kitab itu masih gadis, maka tetap diperlukan persetujuan walinya meskipun walinya bukan seorang muslim. Pada kondisi tertentu dimana seorang wali tidak memperdulikan kepentingan anak walinya, seorang marja’ (atau hakim pada sebuah pemerintahan yang menggunakan syari’at Islam) dapat menikahkan gadis tersebut. Dalam kasus ini, persyaratan perwalian bapaknya digantikan oleh marja’ atau hakim. Hal ini juga berlaku dalam pernikahan da’im.
Perempuan yang tidak mempercayai Tuhan (atheis) atau perempuan yang terang-terangan mengutuk, mengingkari atau membenci ahlul bait, atau perempuan yang mempunyai keyakinan ekstrim (misalnya menganggap Imam ‘Ali sebagai Tuhan), maka pernikahan dengan mereka  tidak diperbolehkan. Demikian juga, seorang perempuan muslim tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki non muslim.
Menikah mut’ah dengan seorang pelacur meskipun perbuatannya tidak diketahui oleh orang banyak hukumnya makruh. Bahkan, pendapat konservatif mengharamkan menikahi seorang pelacur apapun keadaannya. Demikian juga, menikah mut’ah dengan seorang perempuan pezina yang dikenal orang banyak sebagai pelacur hukumnya haram, kecuali perempuan tersebut benar-benar sudah menyesali perbuatannya dan telah bertobat. Pertobatannya dapat diketahui dari penolakannya jika dia diajak untuk berbuat dosa kembali. Hal ini menunjukkan i’tikad baiknya untuk benar-benar bertobat dan menyadarkan jiwanya. Dan diharapkan, dengan melakukan nikah mut’ah, maka dia menemukan seseorang yang dapat membimbingnya ke jalan yang benar. Namun, menikahi perempuan yang rendah hati, sopan, sederhana, sabar, tidak  serampangan dan bukan perempuan rendahan tetap sangat dianjurkan.  Anjuran ini berlaku baik untuk nikah da’im maupun nikah mut’ah.
Seorang laki-laki muslim sangat dianjurkan untuk menikah mut’ah dengan perempuan muslim yang suci (‘afifah). Suci dalam pengertian ini adalah perempuan yang tidak pernah melakukan perzinahan,  menjalankan syari’at Islam dengan baik dalam kehidupannya sehari-hari, dan secara umum dia adalah perempuan yang jujur dan bersikap lurus. Dua syarat perempuan yang boleh dinikahi yaitu muslim dan suci ini disebutkan dalam hadits berikut.
Imam ‘Ali Ridha pernah ditanyai: ”Apakah seorang laki-laki dibolehkan menikah mut’ah dengan perempuan Kristen atau Yahudi?” Menjawab pertanyaan ini Imam ‘Ali Ridha as berkata: “Saya lebih menyukai laki-laki tersebut menikah mut’ah dengan seorang perempuan muslim yang merdeka.” (Wasa’il al-Syi’ah, V14, p452).
Untuk masalah yang sama, Imam Ja’far menjawab: “Hal itu dibolehkan. Maka, janganlah kamu menikah kecuali dengan perempuan yang suci seperti yang telah difirmankan oleh Allah: ‘Dan mereka yang menjaga kemaluannya……’ (23:5).  Oleh karena itu janganlah kamu menempatkan kemaluanmu pada tempat yang kamu anggap tidak aman untuk menyimpan uangmu.” (Wasa’il al-Syi’ah, V14, p452)
Lantas bagaimana caranya untuk mencari perempuan yang rendah hati dan sabar? Dalam kasus ini, jika ada seorang laki-laki yang ragu dengan seorang perempuan yang ingin dinikahi secara mut’ah, dia dapat mengujinya (dengan cara yang baik). Banyak cerita yang kita dengar bahwa seorang perempuan merasa heran ketika diajak berbuat zina oleh laki-laki beriman. Perempuan tersebut berpikir bahwa yang dimaksud laki-laki itu adalah melakukan dosa hanya dengan mengucapkan sesuatu (yang dilarang). Dia tidak mengerti bahwa sebenarnya dia sedang diuji (oleh laki-laki yang ingin menikahinya) yang tidak bermaksud untuk berbohong sama sekali. Pertanyaan itu hanyalah sebuah pertanyaan biasa, bukan keinginan untuk melakukan dosa. Masalah ini pernah ditanyakan oleh Abdullah Ibn Ya’fur  kepada Imam Ja’far as apakah dia dapat menikah mut’ah  dengan perempuan yang tidak dikenalnya, Imam menjawab: “Seseorang dapat mengajak perempuan tersebut untuk melakukan dosa, jika perempuan tersebut menerimanya, maka janganlah dia menikahinya.”
Jika seorang laki-laki mencurigai (status) seorang perempuan, maka sebaiknya sebelum dia menikah mut’ah dengan perempuan tersebut, dia harus menanyakan kondisinya, misalnya apakah dia sudah bersuami atau tidak, atau apakah dia masih suci. Tetapi secara umum, menanyakan masalah ini kepada calon istri bukanlah keharusan dari sebuah perjanjian (Jawahir, V5, p165). Namun, aturan hukum tentang “prinsip tindakan seorang muslim yang harus benar” mensyaratkan seseorang untuk mempertimbangkan pilihan menikah mut’ah dengan seorang perempuan yang sudah siap melakukannya, apakah benar atau tidak. Berdasarkan prinsip ini, ketika kita meragukan tindakan seorang muslim, maka kita harus menganggapnya benar baik secara hukum maupun secara sosial, kecuali tindakannya jelas-jelas sudah  terbukti salah. Beberapa hadits menunjukkan bahwa makruh hukumnya menanyakan status perempuan setelah pernikahan.
Nikah mut’ah tidak dianjurkan jika nikah da’im memungkinkan. Ali Ibn Yaqtin ra yang telah menikah suatu waktu pernah bertanya kepada Imam ‘Ali Ridha tentang nikah mut’ah. Imam memberi saran kepadanya: “Mengapa kamu ingin mengganggu (pernikahan da’immu dengan pernikahan mut’ah, pent.) jika Allah sudah memberikan yang lebih baik bagimu (yaitu istri yang telah kamu nikahi secara da’im) ?”
Suatu kali Imam ‘Ali Ridha juga ditanya masalah nikah mu’tah dan Imam berkata: “Nikah mut’ah itu jelas dihalalkan bagi orang yang belum menikah (da’im), (dalam keadaan sendiri itu) dia dapat  mengambil jalan (pintas) yang layak dengan melakukan nikah mut’ah. Jika dia sudah menikah secara da’im, maka dia diperbolehkan menikah mut’ah hanya jika dia jauh dari istrinya (misalnya dalam sebuah perjalanan).”
Imam ‘Ali Ridha as juga pernah menulis pesan kepada pengikutnya: “Kalian harus mempertahankan hukum Islam, dan janganlah kalian melakukan nikah mut’ah jika hal itu akan menjauhkanmu dari istri da’immu sehingga dia mungkin meninggalkan keyakinan (kepada ahlul bait, pent.) dan menyalahkan kita semua.”
Beberapa marja’ menganjurkan bahwa pilihan di atas (yakni menikah mut’ah jika  sudah mempunyai istri da’im, pent.) sebaiknya tidak dilakukan meskipun tidak dilarang. Hal ini berdasarkan pada beberapa hadits yang (tetap) memperbolehkannya walaupun tetap tidak dianjurkan jika seseorang telah mempunyai istri da’im.
Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, ada beberapa perbedaan antara nikah da’im dan nikah mut’ah. Berikut ini akan kami berikan beberapa perbedaan tersebut.

1.        Nikah mut’ah tidak mensyaratkan hubungan badan (jima’)

Pasangan yang hendak melakukan nikah mut’ah dapat menentukan suatu syarat pada saat perjanjian bahwa pernikahan mereka tidak akan mensyaratkan percampuran atau hubungan badan (jima’). Syarat seperti ini tidak dapat dilakukan dalam pernikahan da’im. Menurut hukum agama, dalam pernikahan da’im, istri wajib memenuhi kebutuhan seksual suaminya sementara suami harus tidur bersama istrinya tidak boleh lebih dari empat hari sekali dan harus mencampuri istrinya minimal sekali dalam empat bulan.
Kewajiban seksual seperti itu tidak disyaratkan di dalam pernikahan mut’ah karena fungsinya memang telah ditentukan untuk hal-hal yang lain seperti yang akan didiskusikan nanti. Jika pasangan mut’ah telah menetapkan bahwa mereka tidak akan melakukan hubungan seksual, maka mereka hanya dapat menikmati hubungan suami istri yang lain. Jika pada akhirnya istri menyetujui hubungan seksual, maka perjanjian (untuk tidak melakukan hubungan seksual, pent.) ini dapat dibatalkan dan akhirnya mereka bisa bercampur dan melakukan hubungan seksual. Ketidakbolehan melakukan hubungan seksual ini didasarkan pada pelarangan yang diinginkan oleh istri untuk tidak melakukan hubungan suami istri yang tidak sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Tetapi, pernikahan mut’ah sendiri tetap membolehkan hubungan seksual suami istri jika hal seperti itu telah disepakati pada waktu perjanjian sebelumnya.  Jika kesepakatan untuk tidak melakukan hal-hal tertentu dalam nikah mut’ah ditiadakan, maka hubungan suami istri tersebut sama dengan di dalam nikah da’im. Akan tetapi, ada beberapa hal yang tidak dapat dibatalkan oleh keinginan perempuan sendiri (misalnya izin untuk menikah jika perempuan tersebut masih gadis). (Lihat Matajir, V2, p300, Riyadh, V2, p116).
Dengan kata lain, jika sudah ditetapkan tidak akan ada hubungan seksual, maka perjanjian itu adalah hak istri. Jika istri ingin dan bersedia membatalkannya, maka perjanjian itu dapat dibatalkan dan hubungan seksual dapat dilakukan dalam nikah mut’ah tersebut.

2.        Nikah mut’ah dengan seorang gadis

Meskipun seorang gadis dapat melakukan hubungan seksual jika dia menikah mut’ah dengan persetujuan walinya, hubungan nikah mut’ah seperti ini hukumnya makruh mu’akkad. Imam Ja’far as pernah menjelaskan masalah ini dalam sebuah hadist dengan memberikan sebuah alasan bahwa “hal itu dapat merusak nama keluarga.”  Dalam praktiknya, kebanyakan orang tua Muslim tidak mengizinkan anak gadisnya melakukan nikah mut’ah seperti itu. Secara umum, jika seorang gadis hendak menikah mut’ah, maka baginya diperbolehkan untuk menetapkan syarat bahwa selama dalam perkawinannya,  mereka hanya diperbolehkan bertemu  satu sama lain jika ditemani oleh oleh orang tua mereka.
Namun, pada kondisi tertentu, nikah mut’ah dengan seorang gadis tanpa batasan hubungan suami istri tertentu dapat dibolehkan jika walinya mengkhawatirkan anak gadisnya untuk melakukan perzinahan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan watak anak gadisnya serta pengaruh lingkungan, sementara laki-laki yang baik yang mau menikahinya secara da’im  belum ada.

3.        Warisan

Di dalam nikah mut’ah, suami istri tidak mewarisi satu sama lain meskipun anak-anak yang lahir dari pernikahan mereka tetap memperoleh  warisan dari orang tuanya. Imam Ja’far as berkata: “Di antara aturan nikah mut’ah adalah kamu tidak mewarisi istrimu dan istrimu tidak mewarisi kamu.” (Wasa’il al-Syi’ah, V4, p486)
Akan tetapi, meskipun peraturannya demikian, suami istri dalam nikah mut’ah tetap dapat mewarisi satu sama lain jika hal itu sudah ditetapkan pada waktu ‘aqd. Demikian juga dibolehkan pewarisan satu sisi saja, yaitu hanya suami yang bisa mewarisi istri atau sebaliknya.
Ada dua alasan pengaturan warisan yang dapat dimasukkan sebagai syarat nikah mut’ah pada waktu perjanjian. Pertama, pernyataan umum yang disampaikan oleh Rasulullah Saww yaitu: “Orang beriman akan memegang teguh janji yang telah diucapkannya.” (Sahih Bukhari, V3, p120), dan yang kedua seperti yang telah dipesankan oleh Imam Ja’far as: “Jika mereka mensyaratkan warisan di dalam perjanjian nikah mut’ah, maka mereka harus melaksanakannya.” (Wasa’il al-Syi’ah, v4, p486).

4.        Nafkah

Di dalam nikah mut’ah, seorang suami tidak berkewajiban memberikan nafkah kepada istrinya (sebagaimana di dalam nikah da’im) tetapi wajib menafkahi anak-anaknya. Namun jika pemberian nafkah itu dipersyaratkan pada waktu perjanjian, maka pemberian nafkah menjadi kewajiban suami kepada istrinya.

5.        Masa Iddah

Setelah masa nikah mut’ah berakhir, maka seorang perempuan memasuki masa tunggu (iddah) yang harus dilaluinya untuk bisa menikah lagi seperti halnya aturan iddah pada pernikahan da’im setelah thalaq. Masa iddah ini berlaku hanya jika dalam nikah mut’ah itu dilakukan hubungan seksual. Adapun rentang masa iddah itu sedikit berbeda satu sama lain sesuai dengan kasus dalam pernikahan tersebut. Masa iddah nikah mut’ah sama dengan masa iddah pernikahan dengan seorang budak yang berbeda dengan masa iddah pada pernikahan da’im. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa nikah mut’ah, seperti halnya nikah dengan seorang budak, lebih ringan daripada nikah da’im.
Rentang masa iddah nikah mut’ah adalah dua siklus haid (sekitar dua bulan) jika perempuan tersebut mengalami haid. Jika perempuan tersebut masih dalam usia haid tetapi tidak mengalami haid karena alasan tertentu, maka masa iddahnya adalah 45 hari. (Harus ditekankan bahwa melakukan hubungan seksual dengan gadis yang belum mengalami masa puber (atau haid) sangat dilarang dalam Islam).
Imam Al’Baqir as berkata: “ Masa iddah perempuan (merdeka) yang dijatuhi thalaq adalah tiga bulan,…..dan masa iddah istri dalam nikah mut’ah sama dengan masa iddah seorang budak.” (Wasa’il al-Syi’ah, V14, p484).
Diriwayatkan dari Imam Al-Baqir as dan Imam Musa as bahwa: “Untuk menceraikan seorang istri yang bukan perempuan merdeka (budak), seseorang harus mengucapkan (kalimat) thalaq dua kali, demikian pula masa iddahnya dua kali periode haid.” (Wasa’il al-Syi’ah, V15,  p469). Jika perempuan tersebut hamil, maka masa iddahnya adalah sampai dia melahirkan anaknya dimana waktu tersebut tidak lebih pendek dari masa iddah yang normal (jika perempuan tersebut tidak hamil, pent) (Lihat al-Fiqh ala al-Madzahib al-Khamzah, oleh Muhammad Jawad Mughniyah).
Pada kasus normal dimana seorang perempuan (merdeka) dijatuhi thalaq, di dalam Alqur’an jelas dikatakan bahwa masa iddahnya adalah tiga periode haid. Berdasarkan pendapat semua mazhab, di dalam nikah mut’ah tidak ada thalaq. Setelah masa nikah mut’ah tersebut berakhir, maka suami istri akan secara langsung berpisah satu sama lain tanpa thalaq. Di dalam pernikahan  da’im sendiri, masa iddah perempuan tidak selamanya tiga bulan untuk perceraian yang bukan karena thalaq. Sebagai contoh, lihat Qur’an surah 2:234 yang menjelaskan masa iddah seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya.
Secara umum, Alqur’an hanya menjelaskan peraturan-peraturan secara garis besar saja, sementara untuk perinciannya dijelaskan oleh Rasulullah Saww. Sebagai contoh, Alqur’an tidak menjelaskan bahwa kita harus melakukan shalat di saat fajar dan bagaimana cara melakukannya. Tetapi Rasulullah Saww menjelaskan masalah itu secara rinci berdasarkan wahyu dari Allah Swt namun bukan merupakan ayat-ayat di dalam Alqur’an. Inilah sunnah Rasulullah Saww  yang dijaga dan diteruskan oleh ahlul baitnya alaihimus salam.
Kita diwajibkan untuk mengikuti semua peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt dan Rasulullah Saww tanpa perlu bertanya latar belakang penetapan peraturan tersebut. Peraturan-peraturan ini telah ditetapkan berdasarkan prinsip keadilan dan kebijaksanaan Allah Swt. Meskipun  kita dapat membuktikan beberapa alasan penetapan suatu hukum oleh Allah Swt dengan menggunakan prinsip-prinsip logika, tetapi pembuktian itu tidak dapat diklaim sebagai satu-satunya alasan penetapan hukum tersebut. Allah Swt telah berfirman: “Sesungguhnya tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit.”
Adapun tujuan masa iddah yang dapat dimengerti berdasarkan logika manusia yang sederhana adalah:
1.        Jika perempuan yang diceraikan sedang hamil, maka kehamilannya sudah dapat diketahui  paling lambat dalam dua bulan pertama kehamilannya.
2.        Jika tidak, maka masa iddah itu dapat digunakan sebagai masa istirahat dan persiapan psikis seorang perempuan untuk memasuki paruh hidup yang baru. Masa iddah merupakan waktu yang cukup sebagai masa peralihan dari suatu kondisi ke kondisi lain yang berbeda.
3.        Pada banyak kasus dalam  pernikahan da’im, thalaq umumnya didahului dengan perselisihan antara suami dan istri. Perceraian mereka akhirnya membawa kekecewaan.  Kadang-kadang, setelah berpisah dalam waktu yang cukup lama, mereka sadar kembali bahwa ternyata mereka masih saling mencintai dan saling membutuhkan serta apa yang telah mereka lakukan sebelumnya bukanlah pilihan yang tepat. Masa iddah dapat digunakan sebagai waktu untuk berpikir kembali tentang apa-apa yang telah mereka lakukan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Dan jika memungkinkan, mereka dapat rujuk kembali sebelum perempuan yang telah dijatuhi thalaq tersebut menikah dengan  laki-laki yang lain.
Khusus untuk nikah mut’ah, kasus nomor tiga di atas tidak terjadi. Pasangan suami istri dalam nikah mut’ah dari awal sudah mengetahui satu sama lain bahwa mereka akan berpisah setelah waktu tertentu. Oleh karena itu, mereka tidak akan merasakan kekecewaan setelah perpisahan mereka. Mereka tidak memerlukan waktu khusus untuk memikirkan kemungkinan rujuk, ataupun tidak harus kecewa karena perpisahan itu seperti halnya yang sangat  sering terjadi dalam perceraian nikah da’im. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan, mengapa masa iddah dalam nikah mut’ah lebih pendek daripada masa iddah setelah thalaq dalam nikah da’im. Dan seperti yang telah kita ketahui, masa iddah dalam nikah mut’ah sama dengan nikah dengan budak perempuan.
Menurut salah satu riwayat dari sumber Sunni: “Ibn Abbas suatu waktu ditanya, ‘apakah mut’ah termasuk zina atau pernikahan?’ Beliau menjawab, ‘Bukan termasuk keduanya.’ Penanya kemudian melanjutkan, ‘Lalu termasuk apakah nikah mut’ah itu?’ Ibn Abbas berkata: ‘mut’ah adalah mu’tah, seperti yang dikatakan oleh Allah.’ Penanya bertanya lagi: ‘apakah ada masa iddah dalam nikah mut’ah?’, Ibn Abbas menjawab: ‘Ya, satu kali periode haid.’ Kemudian Ibn Abbas juga ditanya, ‘apakah suami istri saling mewarisi?’ Ibn Abbas menjawab: ‘tidak.’ Lihat Tafsir al-Kabir oleh Fakhr al-Razi, V3, p286
Pada hadits di atas, dengan menisbatkan kepada Ibn Abbas, masa iddah setelah nikah mut’ah berakhir hanya satu bulan. Namun, riwayat ini tidak diterima karena banyaknya riwayat lain dari Imam Ahlul Bait yang menyebutkan bahwa masa iddah setelah nikah mut’ah berakhir adalah dua bulan.



6.        Periode Nikah Mut’ah.

Periode nikah mut’ah harus dinyatakan dengan jelas pada saat ‘aqd tanpa kemungkinan perpanjangan maupun pengurangan waktu tersebut.  Imam ‘Ali Ridha as berkata: “…nikah mut’ah harus ditetapkan untuk waktu yang tertentu.” (Wasa’il al-Syi’ah, V14, p479). Imam juga pernah ditanya tentang kemungkinan melakukan nikah mut’ah hanya dalam waktu satu atau dua jam, Imam menjawab: ‘Tidak ada batasan waktu yang jelas dari (hanya) satu atau dua jam (saja).’ (Wasa’il al-Syi’ah, V14,p479)
Berdasarkan pendapat beberapa mazhab, jika periode nikah mut’ah tidak dinyatakan dalam perjanjian, maka nikah mut’ah tersebut tidak dapat dilakukan dan perjanjian dianggap tidak sah. (Lihat Matajir, V2, p299; Syarh al-Lum’a, V5, p287; Jawahir, V5, p169). Sementara itu, beberapa mazhab yang lain berpendapat,  jika periode nikah mut’ah tidak dinyatakan dalam perjanjian, maka nikah tersebut dianggap nikah da’im sehingga perceraian hanya dapat terjadi karena kematian atau karena thalaq. Dalam kasus ini, seluruh hukum nikah da’im berlaku di dalamnya. Pendapat ini didasarkan pada hadits yang berasal dari Imam Ja’far: “Jika periode nikah ditetapkan, maka nikah itu adalah nikah mut’ah. Sebaliknya, jika periode tidak ditetapkan, maka nikah itu adalah nikah da’im.” (Wasa’il al-Syi’ah, V14, p469). Al-Syahid al-Thani mengomentari hadits ini dengan menjelaskan bahwa, tidak mungkin dua orang bermaksud  melakukan nikah mut’ah tetapi lupa menetapkan periodenya. Sebaliknya, hadits ini menjelaskan bahwa nikah mut’ah adalah nikah yang menetapkan periode nikah, sementara nikah da’im tidak menetapkan batas waktunya. (Syarh al-Lum’a, V5, p287)
Tidak ada batasan minimal maupun batasan maksimal dalam penetapan periode nikah mut’ah. Secara umum,  tidak ada perbedaan antara periode yang sangat panjang sehingga orang menganggap nikah mut’ah tersebut akan berlanjut selama-lamanya, dengan periode yang sangat pendek sehingga tidak ada kemungkinan waktu bagi suami istri untuk bercampur satu sama lain. Dengan kata lain, periode nikah mut’ah dapat ditentukan secara spesifik sesuai dengan kesepakatan dan persetujuan kedua belah pihak. (Syarh al-Lum’a, V5, p287).
Ada beberapa riwayat yang menunjukkan dibolehkannya percampuran antara suami istri dalam nikah mut’ah segera setelah ‘aqd ataupun percampuran yang ditunda sampai waktu tertentu. (Wasa’il al-Syi’ah, V14, p446).  Jika di dalam perjanjian disepakati penundaan percampuran, waktu percampuran itu harus ditentukan secara spesifik hari dan bulannya. Sebagai contoh, jika laki-laki bermaksud melakukan nikah mut’ah selama sebulan tetapi tidak menyatakan dengan jelas bulan apa periode  nikah mut’ah itu akan dimulai, maka perjanjian itu dianggap tidak sah karena tidak jelas waktunya. Tetapi jika dalam bulan itu ‘aqd dilakukan dan periodenya ditetapkan hanya  satu bulan saja tanpa adanya penundaan percampuran, maka periode nikah dianggap dimulai segera setelah ‘aqd tersebut dan pernikahan dianggap sah. (Lihat Matajir, V2, p300 dan Jawahir, V5, p171).

7.        Mahar dan Penyempurnaan Pernikahan

Di dalam nikah da’im, penyempurnaan pernikahan berarti percampuran dengan melakukan hubungan seksual antara suami istri. Akan tetapi, di dalam nikah mut’ah penyempurnaan itu mempunyai arti yang lain. Penyempurnaan pernikahan dalam nikah mut’ah berarti penyempurnaan periode nikah yang telah ditetapkan pada saat perjanjian. Maksudnya, suami istri tetap bersama-sama dan berhubungan sesuai dengan perjanjian sampai periode nikah mut’ah yang telah disepakati berakhir. Oleh karena itu, penyempurnaan periode nikah mut’ah juga harus dibicarakan dalam konteks pemberian mahar. (Masalik, V1, p538)
Maksud penjelasan di atas adalah, jika ‘aqd telah dilakukan, maka istri berhak menerima mahar seluruhnya meskipun suami tidak  akan menyempurnakan periode pernikahan mereka.  Jika periode nikah mut’ah telah dimulai, hal itu berarti istri berhak mendapatkan mahar seluruhnya. Istri berhak mendapatkan mahar jika dia memenuhi kewajibannya terhadap suami sesuai dengan perjanjian dan menemani suaminya menyempurnakan periode nikah mereka. Setelah periode itu berakhir, maka istri bebas dari semua kewajiban yang ditetapkan di dalam perjanjian. (Lihat Matajir, V2, p300; Jawahir, V5, p170). Jika pada waktu perjanjian disepakati tidak ada hubungan seksual, maka secara hukum agama, istri tidak diwajibkan melayani suaminya dalam hubungan seksual tetapi dia tetap berhak mendapatkan mahar.
Pada saat periode nikah mut’ah dimulai, istri berhak meminta mahar seluruhnya. Dalam kasus ini, suami tidak boleh meminta maharnya kembali dalam keadaan bagaimanapun kecuali karena beberapa kasus dimana nikah mut’ah dianggap tidak sah. Ada banyak riwayat yang menegaskan masalah ini dengan jelas. (Wasa’il al-Syi’ah, V14, pp482-483).
Jika suatu perjanjian telah disetujui, namun sebelum periode nikah mut’ah dimulai, laki-laki bermaksud tidak melanjutkan periode nikah mereka dan ingin “mengembalikan” periode itu kembali kepada perempuan, maka perempuan tersebut berhak mendapatkan setengah mahar. Ketentuan ini sama dengan yang berlaku pada penikahan da’im dimana thalaq dijatuhkan sebelum suami dan istri bercampur satu sama lain. (Syarh al-Lum’a, V5, p285; Syara’I, V2, p24; Matajir, V2, p300 dan Masalik, V1, p538)
Ketika penyempurnaan periode nikah mut’ah dibicarakan dalam konteks mahar, maka jika seorang perempuan yang telah terikat dengan nikah mut’ah ingin berpisah dengan suaminya berdasarkan keinginannya sendiri sebelum periodenya berakhir, maka suami berhak mengurangi jumlah mahar sesuai dengan perbandingan periode nikah mut’ah yang telah dilalui dengan periode yang telah disepakati sebelumnya. (Syarh al-Lum’a, V5, p285) Sebagai contoh, mahar seorang perempuan sebesar 300 ribu rupiah dengan periode nikah selama 30 hari. Jika pada hari ke-20 istri bermaksud meninggalkan suaminya, maka suami berhak mengurangi mahar sepertiga bagian. Jika selama periode nikah itu istri tidak memenuhi kewajibannya kepada suami, maka dia tidak berhak mendapatkan mahar. Banyak riwayat yang telah menjelaskan masalah ini. Salah satunya adalah, Imam Ja’far as pernah ditanya apakah diperbolehkan mengambil sebagian mahar (jika dalam nikah mut’ah, pent.) istri gagal memenuhi kewajibannya. Imam Ja’far as menjawab: “Kamu diperbolehkan mengambil kembali apa yang kamu bisa ambil (yaitu mahar yang belum kamu berikan). Dan jika dia telah mengingkari janjinya, ambillah darinya (sesuai dengan perbandingan) periode yang tidak ditepatinya” (Wasa’il al-Syi’ah, V14, p481)
Akan tetapi, jika istri tidak bisa memenuhi kewajiban seksualnya terhadap suami karena sebab-sebab yang ditentukan oleh syari’at misalnya haid atau ketakutan pada tekanan (semacam sindrom psikologis, pent.), maka dia tetap berhak atas mahar seluruhnya. Seorang laki-laki datang menemui Imam Ja’far dan berkata: “Saya telah menikah mut’ah dengan seorang perempuan untuk satu bulan dengan mahar tertentu. Tetapi, perempuan itu datang kepada saya hanya beberapa waktu saja dan waktu lainnya di meninggalkan saya.” Imam Ja’far as menjawab: “Sejumlah mahar yang telah kamu berikan kepadanya harus dikembalikan kepadamu sesuai dengan (perbandingan) waktu dia meninggalkan kamu, kecuali hari-hari ketika dia mengalami haid, maka hari itu menjadi miliknya.” (Wasa’il al-Syi’ah, V14, p481)
Jika periode nikah mut’ah telah disempurnakan dan perempuan menyadari bahwa pernikahan itu tidak sah, maka dia tidak berhak mendapatkan mahar, apalagi jika dia seorang pelacur dan (sesuai dengan hukum Islam, pent.), tidak ada mahar untuk hubungan yang tidak sah (zina). Dalam kasus ini, jika laki-laki sudah memberikan mahar seluruhnya kepada perempuan, maka perempuan tersebut harus mengembalikan secepat mungkin ketika mereka mengetahui ketidaksahan pernikahan mereka. Jika dia sudah tidak memiliki jumlah mahar itu lagi misalnya karena dicuri atau dibelanjakan, maka dia sudah tidak wajib lagi mengembalikannya. (Matajir, V2, p301 dan Syarh al-Lum’a, pp287-288) Dan jika perempuan itu meninggal dunia dalam periode mut’ah meskipun periode itu belum berakhir, maka dia tetap berhak atas mahar seluruhnya, seperti yang berlaku dalam nikah da’im. (Syarh al-Lum’a, V5, p286)
Pada bagian berikutnya, kita akan membicarakan urgensi dan manfaat nikah mut’ah, Insya Allah.

Bagian Tujuh
Urgensi dan Manfaat Nikah Mut’ah

Kebutuhan seksual adalah salah satu jenis kebutuhan yang diciptakan oleh Allah Swt yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Seperti halnya kebutuhan yang lain, kebutuhan seksual ini harus diarahkan dan disalurkan. Pernikahan adalah jalan yang telah diberikan oleh Allah Swt untuk menyalurkan kebutuhan seksual ini agar tidak merusak kemaslahatan dan keselamatan ummat manusia. Nikah da’im adalah nikah yang paling dianjurkan, akan tetapi ada beberapa kondisi dimana nikah da’im yang dimaksudkan untuk melanjutkan keturunan tidak dapat dilakukan. Lantas apakah yang harus dilakukan dalam kondisi ini? Apakah kita menerima bahwa Allah meninggalkan  kita sendirian dalam menangani masalah ini? Atau apakah kita mengharapkan suatu peraturan yang lain?. Jika kita tidak menerima nikah mut’ah, maka kita mempunyai dua pilihan:
1.        Seks bebas tanpa batasan moral dengan segala konsekuensinya. Inilah yang terjadi di dunia Barat yang digembar-gemborkan oleh media massa, film-film Hollywood dan lain-lain.
2.        Menekan keinginan seksual sampai pernikahan da’im dapat dilakukan. Untuk pilihan ini, kita menghadapi beberapa masalah yaitu:
  1. Kita tidak mungkin terus-terusan melakukannya apalagi ketika kita diperhadapkan dengan aturan-aturan sosial.
  2. Katakanlah kita dapat melakukannya, tetapi hal itu dapat memunculkan gangguan psikologis dan gejala-gejala lainnya. Penekanan terhadap kebutuhan-kebutuhan alami seperti halnya kebutuhan seksual bukanlah tindakan yang baik dan Islam tidak menyetujui tindakan tersebut.
Jelas bagi kita bahwa solusi yang tepat adalah dengan membolehkan nikah mut’ah (sebelum nikah da’im dapat dilakukan dengan persiapan yang matang). Nikah mut’ah dapat dijadikan sebagai metode pengsucian hubungan laki-laki dan perempuan yang saling mencintai dan saling suka yang lazim disebut pacaran dalam budaya masyarakat kita sekarang ini. Sebenarnya, dua orang yang berbeda jenis kelaminnya dapat hidup bersama tanpa terikat pernikahan, tetapi untuk mensucikan hubungan tersebut (seperti yang ditetapkan oleh Allah, pent.) maka mereka harus melalui lembaga pernikahan. Dalam pernikahan, suami istri tersebut saling menyadari tanggung jawab masing-masing seperti yang telah diatur oleh Allah Swt dan tidak mengikuti keinginan masing-masing. Mereka bertanggung jawab kepada Allah Swt untuk tetap memegang komitmen. Dan dengan cara yang sama, nikah mut’ah mensucikan hubungan laki-laki dan perempuan yang saling menyukai seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Ada orang yang menganggap  bahwa riwayat dari Imam Ali as yang mengatakan: “Seandainya Umar tidak melarang nikah mut’ah, maka tidak akan ada seorangpun yang melakukan perzinahan kecuali orang yang benar-benar rusak” tidak dapat diterima karena menunjukkan distorsi seksualitas manusia.  Kami ingin menjelaskan bahwa bukan hanya laki-laki yang dapat melakukan perzinahan, oleh karena itu perkataan Imam ‘Ali as di atas merujuk baik kepada laki-laki maupun perempuan.  Nikah mut’ah, seperti halnya nikah da’im, memberi pengaruh bagi kedua belah pihak yang terikat di dalamnya, dan diharapkan bahwa keduanya dapat mengambil manfaat (yang sama) dari hubungan itu. Jika kita tidak membolehkan keduanya untuk mengambil manfaat itu bersama-sama dalam kesetaraan dan keseimbangan, maka kemungkinan buruk dapat menimpa keduanya.
Kelihatannya, banyak orang yang tidak perduli dengan budaya Barat yang mengeksploitasi ketelanjangan perempuan sebagai media iklan, sebuah budaya yan mereduksi nilai etika dan kesucian seksualitas manusia. Setiap hari kita dapat menyaksikan prilaku-prilaku yang mempertontonkan aurat diberbagai media massa. Bagi mereka, menggunakan perempuan muda dan cantik setengah telanjang (yang dianggap sebagai prototipe perempuan ideal) sebagai objek seksual dalam menjual bir, bukanlah sebuah masalah dan tidak ada hubungannya dengan etika. Seorang perempuan rela menjual kecantikannya kepada sebuah majalah untuk  mencari karir yang terhormat dengan menyebut profesinya sebagai seorang “model”.  Betapa “indahnya” istilah itu. Sebaliknya, pada saat yang sama, peran seorang ibu yang tinggal di rumah dianggap tidak penting, kalau bukan dianggap menurunkan derajat. Pacaran (dengan segala prilakunya) diterima sebagai bagian dari budaya kebebasan dan perkembangan peradaban. Tapi ketika kita mulai bicara tentang nikah mut’ah, mereka semuanya berteriak.
Beberapa orang yang lain mempercayai bahwa hubungan pra-marital di dalam kebudayaan Barat bukan hanya disebabkan oleh degradasi moral, tapi hal itu merupakan konsekuensi perubahan kondisi sosial-ekonomi. Dulu, pernikahan adalah hal yang sederhana dan usia pernikahan relatif rendah. Sekarang, di zaman semakin kompleksnya struktur sosial manusia, seseorang tidak mungkin lagi mencapai kemandirian ekonomi dalam waktu singkat, karenanya tidak  mungkin memasuki lembaga pernikahan sebelum usia tigapuluhan. Menurut pandangan ini, hanya ada satu cara untuk mencegah hubungan pra-marital yakni dengan memperpanjang usia untuk memasuki pernikahan sedikitnya lima belas tahun (dibandingkan dengan usia nikah sebelumnya). Masalah pendidikan juga dianggap salah satu penyebab. Laki-laki maupun perempuan, dianggap tidak dapat mencari pekerjaan (yang layak) jika mereka tidak mempunyai keterampilan dan tidak berpendidikan sehingga mereka tidak mungkin memiliki kemandirian finansial di usia muda. Inilah beberapa anggapan mereka. Akan tetapi, harus kita sadari bahwa memperpanjang usia layang adalah tidak alami dan tidak dapat dipertahankan dalam kondisi sosial masyarakat manapun. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa lembaga pernikahan di dunia Barat mengalami kehancuran dalam tiga puluh tahun terakhir.
Saat ini, banyak negara-negara Muslim yang mengalami perkembangan pesat. Tak bisa dipungkiri, perkembangan ini akan menghadapkannya pada masalah-masalah yang sama yang telah dihadapi oleh dunia barat. Tetapi, masyaratkat Muslim mempunyai pilihan. Mereka mungkin saja akan mencoba berbagai usaha untuk menghadapi perubahan yang serba tak terduga untuk mempertahankan nilai-nilai tradisinya, tetapi semua itu akan sia-sia (tanpa solusi yang tepat). Atau, mereka dengan semangat yang kuat menghadapi perubahan itu dengan mengambil inisiatif untuk mempertahankan nilai-nilai Islam yang di antaranya adalah nikah mut’ah, sebagai upaya dalam merespon perubahan-perubahan masyarakat dengan tetap mempertahankan ruh ajaran Islam yang benar. Pilihan yang kedua adalah jawaban yang paling tepat untuk masalah yang dihadapi dalam panjangnya usia layang saat ini. Kita harus memberikan pilihan untuk melakukan sebuah hubungan (antara laki-laki dan perempuan) dengan kesadaran sempurna atas nama Allah swt. Pilihan ini akan mencegah kerusakan moral masyarakat yang diakibatkan oleh prilaku seks bebas yang semakin memasyarakat di abad ini.
Berikut ini akan kami jelaskan beberapa urgensi dan manfaat nikah mut’ah dalam sudut pandang yang lebih luas.

1.        Hubungan Seksual

Seperti yang telah kami sebutkan, nikah mut’ah tidak selalu mensyaratkan hubungan seksual. Nikah mut’ah dapat pula dilakukan dengan alasan- alasan yang lain misalnya untuk saling mengenal lebih dekat (antara laki-laki dan perempuan). Di dalam kehidupan sosial masyarakat Syi’ah saat ini, nikah mut’ah banyak dilakukan oleh anak-anak remaja tanpa persyaratan diharuskannya bercampur satu sama lain. Umumnya mereka melakukan hal ini sebelum memasuki nikah da’im tetapi mereka belum saling mengenal dengan baik. Di samping itu, biasanya mereka melakukan nikah mut’ah agar mereka lebih akrab satu sama lain termasuk keluarga kedua belah pihak beberapa bulan sebelum mereka menikah da’im. Periode ini biasanya disebut masa pertunangan, dan bagi masyarakat Syi’ah, calon pengantin dalam periode ini  akan melakukan nikah mut’ah. (Sebenarnya tidak ada cara lain untuk pertunangan dalam Islam). Dalam periode ini, biasanya calon pengantin laki-laki akan mengunjungi calon pengantin perempuan dan sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga perempuan. Mereka sudah menjadi muhrim (dimana laki-laki dan perempuan yang akan menikah sudah dapat melihat satu sama lain tanpa hijab sebagai bagian dari perjanjian nikah mut’ah mereka). Mereka bisa saling berbicara, belajar bersama, bercanda, pergi piknik bersama orang tua mereka dan lain-lain. Mereka sebenarnya sudah menjadi suami istri, tetapi mereka diperbolehkan melakukan sesuatu (seperti dalam perjanjian) kecuali tidur bersama.
Praktek nikah mut’ah seperti ini memberikan kesempatan kepada laki-laki dan perempuan (yang ingin menikah da’im) untuk lebih mengenal satu sama lain dan untuk saling menjajaki apakah mereka akan menemukan kecocokan setelah mereka hidup bersama nanti. Biasanya, jika mereka menemukan ketidakcocokan satu sama lain, mereka dapat membatalkan  pernikahan da’imnya (jika ketidakcocokan itu tidak bisa diperbaiki, pent.) Hal ini dapat membantu mengurangi kasus perceraian dalam nikah da’im yang umumnya membawa banyak  masalah keluarga, terutama jika perceraian itu terjadi pada sebuah keluarga yang telah memiliki anak-anak.

2.        Masalah Perceraian (Thalaq).

Salah satu sudut pandang lain terhadap nikah mut’ah adalah masalah thalaq.  Di dalam Islam, hak menjatuhkan thalaq hanya diberikan kepada suami dan tidak kepada istri. Di samping itu, Islam juga tidak membenarkan seorang laki-laki bersama-sama dengan perempuan sebelum mereka menikah. Lalu, jika satu-satunya jalan untuk melegalkan hal itu hanyalah nikah da’im, maka konsekuensi yang tidak baik dapat terjadi pada pihak perempuan. Lantas bagaimana misalnya jika setelah ‘aqd nikah da’im dilakukan, seorang istri menemukan bahwa suaminya mempunyai kebiasaan buruk yang merugikan dirinya? Bagaimana jika pernikahannya tidak akan memberikan kebahagiaan karena moral suaminya yang buruk? Apakah istri harus tetap melanjutkan kehidupan keluarganya tanpa pilihan yang lain? Haruskah istri tetap hidup bersama dengan suami yang tidak bertanggung jawab? Untuk pertanyaan-pertanyaan ini, di dalam nikah da’im, jawabannya adalah ya. Istri tidak bisa menjatuhkan thalaq kepada suaminya kecuali suami yang ingin menceraikannya. (Pada beberapa kasus, seorang marja’ atau hakim dapat memberikan hak menjatuhkan thalaq kepada seorang istri jika dia mampu menunjukkan alasan yang tepat seperti halnya suami  yang tidak memenuhi hak-haknya sebagai istri, suaminya mengalami lemah syahwat dan lain-lain. Tapi jika istri hanya tidak menyukai suami (berdasarkan perasaan tertentu saja, pent), maka dia tetap tidak bisa mendapatkan hak menjatuhkan thalaq. Di samping itu, prosedur untuk mendapatkan hak menjatuhkan thalaq bagi seorang istri agak sulit apalagi misalnya jika keputusan marja’ atau hakim tidak sesuai dengan keinginan istri tersebut.)
Dengan adanya nikah mut’ah, masalah hak menjatuhkan thalaq bagi seorang istri dapat diselesaikan. Di dalam nikah mut’ah, suami istri dapat hidup bersama untuk kurun waktu tertentu agar dapat saling menjajaki satu sama lain, sambil mempertimbangkan kemungkinan untuk dapat melanjutkan hubungan mereka dalam ikatan nikah da’im. Seperti yang telah kami katakan, pasangan nikah mut’ah dapat menentukan pada saat perjanjian bahwa di dalam periode mereka tidak akan ada hubungan seksual. Di samping itu, wali seorang gadis (yang melakukan nikah mut’ah), dapat mensyaratkan kondisi bahwa pasangan itu hanya bisa saling bertemu pada saat siang saja, belajar bersama, dan melakukan kegiatan apapun kecuali aktivitas seksual.

3.        Pernikahan Bersyarat

Nikah mut’ah adalah pernikahan yang bersyarat. Tujuan (pernikahan) yang ditentukan pada saat ‘aqd bisa saja hanya untuk saling berbicara satu sama lain. Meskipun saling berbicara antara laki-laki dan perempuan (yang bukan muhrim) untuk keperluan tertentu tanpa dilandasi keinginan untuk berbuat dosa tidak dilarang dalam ajaran Islam, namun laki-laki dan perempuan yang belum menikah dan mempunyai kecenderungan untuk sering bersama seperti dalam studi  ataupun lainnya, sangat ditekankan untuk tetap membuat perjanjian untuk menghindarkan mereka dari berbuat dosa. Perjanjian itulah yang dapat dipersyaratkan dalam nikah mut’ah.

4.        Tanggung Jawab Rumah Tangga

Dalam kasus lain, seorang laki-laki dan seorang perempuan mungkin belum mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengurus sebuah rumah tangga dengan segala tanggung jawab ekonomi dan tanggung jawab hukumnya. Atau, mereka mungkin sudah mempunyai kemampuan yang cukup untuk memenuhi tanggung jawab ekonomi keluarga, tetapi mereka belum dapat merencanakan pernikahan da’im secara serius karena beberapa masalah. Sebagai contoh dalam kasus ini adalah seorang pelajar yang harus pergi ke negara lain untuk melanjutkan studinya. Pada keadaan ini, pelajar tersebut tidak dapat menemukan kondisi yang baik untuk melakukan nikah da’im di negara lain yang salah satu alasannya adalah perbedaan budaya yang cukup  besar. Tetapi jika mereka mengalami tekanan psikologis pada kondisi ini, mereka dapat melakukan suatu perjanjian tertentu (dengan melakukan nikah mut’ah, pent.) untuk beberapa tahun selama mereka berada di negara tersebut.
Pada beberapa kondisi, jika seseorang tidak mampu mengendalikan gejolak biologisnya, maka sebaiknya dia melakukan nikah mut’ah ataupun nikah da’im (untuk melindungi dirinya dari perzinahan). Akan tetapi, pada kondisi seperti yang telah disebutkan di atas, nikah mut’ah adalah solusi yang lebih praktis.

5.        Kondisi Sosial Masyarakat

Di setiap masyarakat, pasti ada perempuan-perempuan janda yang telah ditinggal mati oleh suaminya ataupun karena perceraian melalui thalaq. Umumnya, tidak ada seorang laki-laki yang masih ingin menikahi perempuan yang sudah berstatus janda seperti itu. Akhirnya, perempuan-perempuan janda tersebut dihadapkan pada beberapa pilihan seperti berikut.
a.        Mereka harus mengubur dalam-dalam naluri keperempuanan dan kebutuhan biologis mereka dan memilih hidup sendiri layaknya seorang biarawati. Kadang-kadang hal ini terjadi ketika masyarakat menganggap bahwa kejadian yang menimpa perempuan tersebut akibat kesalahannya sendiri, adanya tradisi masyarakat tertentu (yang mengucilkan seorang janda, pent.), ataupun tradisi untuk memilih hidup sendiri tanpa terikat institusi keluarga yang jelas-jelas dilarang di dalam ajaran Islam.
b.       Mereka akhirnya memilih jalan sendiri untuk memenuhi naluri keperempuanan dan hasrat biologisnya di jalan maksiat, jalan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip etika dan moralitas seperti yang telah terjadi di dunia Barat saat ini.
c.        Mereka terpaksa menjadi anggota masyarakat yang miskin, lemah, dan gelandangan jika mereka tidak mampu menghidupi diri mereka sendiri.
Islam pasti mempunyai penyelesaian untuk masalah-masalah psiko-sosial seperti ini. Solusi  yang paling tepat adalah dibolehkannya nikah mut’ah sehingga perempuan janda tersebut dapat memenuhi kecenderungan psikisnya sambil mencari kemungkinan untuk dapat menikah secara da’im kembali dengan laki-laki yang lebih baik. Tentu saja, mereka dapat memilih jalan mereka sendiri, apakah akan menikah lagi ataupun memilih untuk tetap hidup sendiri tanpa seorang suami. Untuk kondisi seperti ini, tidak masalah yang ditimbulkannya. Masalahnya kemudian akan muncul jika mereka terpaksa memilih dua kemungkinan berikut, apakah mereka akan membiarkan dirinya jatuh ke dalam kemaksiatan, atau mereka memilih untuk melakukan nikah mut’ah sebagai jalan yang telah diberikan oleh Allah Swt dan RasulNya,  demi menghindarkan dirinya dari dosa dan cela. Dan tentunya, kemungkinan yang kedua inilah yang harus dipilih untuk menghindarkan perempuan-perempuan janda tersebut dari kemaksiatan.

6.        Perbedaan Agama dalam Pernikahan

Menurut  ajaran Islam, meskipun laki-laki muslim diperbolehkan menikah secara da’im dengan perempuan non Muslim dari ahlul kitab, tapi pernikahan seperti itu hukumnya makruh. Hal ini didasarkan pada fungsi pernikahan da’im yang harapkan sebagai ikatan suami istri seumur hidup, sementara tak ada seorangpun yang bisa menjamin bahwa perempuan non Muslim akan mengubah keyakinannya ketika sudah menikah. Islam bukan hanya sebuah adat istiadat, tapi Islam adalah pandangan hidup yang sempurna. Dan kita ketahui, kebanyakan pernikahan dua orang yang berbeda agama dan keyakinan tidak akan mampu menciptakan keluarga yang bahagia jika kedua belah pihak tetap ingin mempertahankan keyakinannya masing-masing dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Sebaliknya, nikah mut’ah adalah ikatan suami istri yang akan berakhir dengan sendirinya setelah periode nikah mut’ah itu selesai.  Dan dengan cara ini, diharapkan selama periode tersebut, jika perempuan non Muslim tersebut benar-benar tertarik kepada Islam, maka dia dapat memutuskan untuk tetap melanjutkan ikatan mereka ke pernikahan da’im dimana dia dapat memulai keyakinan baru, keyakinan yang terpancar dari kesempurnaan ajaran Islam yang telah diperolehnya selama dia menjalani periode pernikahannya.

7.        Perpanjangan Periode Nikah Mut’ah

Salah satu aspek yang menarik dalam nikah mut’ah adalah, pasangan suami istri dapat memperpanjang periode mereka atau bahkan melanjutkannya ke nikah da’im jika mereka telah memutuskan untuk tetap hidup bersama selamanya. Pasangan ini dapat melakukan perpanjangan jika
a.        Periodenya sudah berakhir.
b.       Laki-laki “mengembalikan” sisa periode mereka kepada perempuan untuk  menyelesaikan periode mereka yang pertama secepatnya, dengan kewajiban untuk tetap memberikan mahar seluruhnya kepada perempuan (jika dia belum menunaikannya). Setelah “pengembalian” ini, mereka dapat membuat perjanjian yang baru dengan mahar yang baru pula. Jika perempuan akan menikah kembali dengan laki-laki yang sama, maka tidak ada masa iddah yang diwajibkan kepadanya.
Metode kedua dalam memperbaharui perjanjian dalam nikah mut’ah di atas didasarkan pada hadits dari Imam Ja’far as. Imam pernah ditanya perihal laki-laki yang menikah mut’ah dengan seorang perempuan untuk jangka satu bulan; tapi ternyata, laki-laki itu merasakan cinta yang semakin besar kepada istrinya. Sebelum periode mereka berakhir, dapatkah laki-laki memperbaharui perjanjian dengan memperpanjang periode dan menambah mahar sebelumnya? Imam menjawab bahwa perpanjangan seperti itu tidak diperbolehkan karena perjanjian yang pertama akan tetap berlaku. Tetapi yang mesti dia lakukan adalah: “Dia harus mengembalikan sisa periode nikah mut’ah mereka (kepada perempuan) kemudian menetapkan  perjanjian yang baru.” (Wasa’il al-Syi’ah, V14, p478). Cara ini akan memberikan jaminan bahwa perempuan mempunyai pilihan yang bebas untuk menetapkan perjanjian yang baru jika periode mereka sudah berakhir dan setelah dia menerima mahar seluruhnya. Pilihan ini dapat dilakukan oleh perempuan tanpa tekanan atau bujukan, setelah periode nikah mut’ah yang pertama berakhir.
Dalam proses (perpanjangan periode nikah mut’ah) ini, hendaknya perjanjian harus diulangi seluruhnya, mahar yang baru harus ditunaikan, izin yang baru dari wali bagi seorang gadis,  serta mengulangi kalimat yang diucapkan saat ‘aqd. Penerimaan dan persetujuan dalam hati saja tidak cukup (secara hukum), oleh karena itu beberapa kalimat harus diucapkan secara lisan. Salah satu syarat dalam semua jenis pernikahan adalah pernyataan persetujuan secara verbal, baik oleh kedua orang yang hendak menikah maupun oleh orang-orang yang mewakili keduanya.

8.        Nikah Mut’ah Berbeda dengan Poligami

Nikah mut’ah berbeda dengan poligami yang saat  ini masih jarang dilakukan. Jika nikah mut’ah diaplikasikan dalam sebuah masyarakat Islami, hal itu akan mampu mengurangi kasus perceraian, mencegah prilaku seksual bebas di kalangan remaja, mengurangi dosa-dosa mata dan lain-lain.
Sebenarnya masih banyak keuntungan lain dari salah sunnah Rasulullah Saww yang memperbolehkan nikah mut’ah ini, tetapi kami tidak dapat menjelaskan semuanya karena keterbatasan tempat. Untuk mengetahui beberapa manfaat nikah mut’ah lainnya, silahkan merujuk kepada Tawfiq al-Fukaiki  dalam bukunya, “The Mut’a and Its Effect/Benefit on Society.”
Namun, kami ingin menekankan bahwa, dibolehkannya nikah mut’ah tidak harus menggantikan fungsi nikah da’im dalam membentuk sebuah keluarga yang sakinah. Bagaimanapun, semua usaha harus diarahkan untuk membentuk institusi keluarga melalui pernikahan da’im serta  menghilangkan berbagai masalah dalam hal hubungan laki-laki dan perempuan dengan segala kecenderungannya.  Kita harus memandang nikah mut’ah sebagai solusi kedua untuk melindungi masyarakat dan menjaga setiap orang dari kemungkinan pengaruh buruk yang saat ini dapat kita saksikan bukan hanya di Barat, tetapi juga di beberapa negara Muslim.

Bagian Delapan

Beberapa Pertanyaan Seputar Nikah Mut’ah


Setelah membaca setiap bagian di awal tulisan ini, banyak orang yang mengirimkan pertanyaan-pertanyaan kepada kami; bukan hanya pertanyaan hipotetis, tetapi juga pertanyaan yang bermutu. Berikut ini kami kutipkan pertanyaan-pertanyaan tersebut berikut jawaban yang kami berikan.

1.        Dapatkah seseorang melakukan nikah mut’ah dalam waktu sejam saja?

Saya ingin mengatakan bahwa secara teoritis jawabannya ya. Hal ini sama alasannya dengan kasus thalaq dalam nikah da’im yang dijatuhkan satu jam setelah ‘aqd yang bahkan bisa kurang dari itu. Secara logis, jika suatu hal tidak membatalkan keabsahan pernikahan da’im, maka hal itu juga tidak akan membatalkan keabsahan nikah mut’ah.

2.        Apakah perbedaan antara nikah mut’ah dan prostitusi?

Pada bagian awal, kami telah menjelaskan bahwa nikah mut’ah dan nikah da’im mempunyai perbedaan yang tidak signifikan. Seperti yang telah kami katakan, seorang laki-laki dapat menikahi seorang perempuan secara da’im hari ini lalu menceraikannya besok. Lalu, dimanakah perbedaan tersebut?
Di samping itu, Allah tidak mungkin membicarakan prostitusi ketika menurunkan ayat tentang nikah mut’ah di dalam Alqur’an (4:24), anda sendirilah yang berpikir seperti itu. Semua orang (Muslim) sependapat bahwa Rasulullah Saww pernah membolehkan nikah mut’ah pada waktu-waktu tertentu (seperti yang dipercayai oleh mazhab Sunni, pent.). Demikian juga, semua orang percaya bahwa Rasulullah Saww tidak pernah mengatakan sesuatu sesuai dengan keinginannya sendiri (La Yantiqu Anil Hawa).  Kedua premis ini menjelaskan perbedaan antara nikah mut’ah dan prostitusi. Perbedaan itu adalah, Allah dan RasulNya membolehkan nikah mut’ah  sedangkan prostitusi tidak.
Jawaban yang singkat untuk pertanyaan anda adalah, yang satu dibolehkan dan satunya lagi dilarang. Sebagai contoh, ada seseorang yang sangat  berpengalaman dalam mengendarai mobil. Saat dia pergi ke negara lain, agar dapat membawa mobil, maka dia diharuskan mempunyai surat izin mengemudi (SIM) yang sesuai dengan peraturan di negara tersebut. Sekarang, jika dia membawa mobil tanpa SIM, apakah perbedaannya dengan seseorang yang mengendarai mobil dengan SIM tetapi kurang berpengalaman dibandingkan yang pertama? Jawabannya adalah, tindakan orang pertama bertentangan dengan hukum sementara yang kedua bertindak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Laki-laki dan perempuan dapat melakukan hubungan seksual dalam tiga kasus yaitu nikah da’im, nikah mut’ah dan prostitusi. Alqur’an menjelaskan bahwa kasus yang ketiga diharamkan dan dua yang pertama diperbolehkan. Perbedaan yang lain dari tiga kasus ini adalah, di dalam prostitusi, seorang perempuan dapat berhubungan dengan laki-laki lain satu jam setelah laki-laki yang pertama selesai; tetapi di dalam nikah da’im dan nikah mut’ah, seorang perempuan harus melewati  masa iddah sebelum dia dapat berhubungan dengan laki-laki lain. Seperti yang telah kami jelaskan, menurut mazhab Syi’ah, masa iddah dalam nikah mut’ah adalah dua siklus haid (minimal 45 hari untuk perempuan di usia haid tetapi tidak mengalami haid karena alasan tertentu). Masa iddah ini sedikitnya melayani hanya delapan orang pelanggan bagi seorang pelacur. Saya yakin, seorang germo akan mengalami kerugian pada tahun pertama jika kompleks pelacurannya mengikuti aturan nikah mut’ah. Itulah perbedaan-perbedaan antara nikah mut’ah dan prostitusi yang dapat kami sebutkan meskipun masih banyak perbedaan yang lain. Semoga Allah Swt memberi petunjuk kepada orang-orang yang menertawakan agama Allah dan Rasulullah Saww karena kebodohan mereka.

3.        Apakah mungkin orang tua  mengizinkan anak perempuannya melakukan nikah mut’ah?

Saya ingin mengatakan bahwa mereka  pasti mengizinkan anaknya. Alasannya adalah, karena mereka telah mengalami pernikahan da’im, maka pengalaman itu cukup untuk menjadi alasan dalam pernikahan mut’ah. Jika seorang ayah mempunyai anak perempuan yang belum menikah dan riskan melakukan perzinahan tetapi belum ada seorang laki-lakipun yang ingin melamarnya untuk nikah da’im (apapun alasannya), apakah orang tua tersebut akan mengizinkan anaknya menikah mut’ah (yang telah dibolehkan oleh Rasulullah Saww)  dengan laki-laki yang shaleh atau membiarkannya berbuat zina? Saya yakin bahwa masih banyak alasan yang lain yang bisa kita pikirkan. Hal ini belum termasuk alasan jika kita memandangnya dari sudut pandang laki-laki. Bagaimana misalnya dengan pelajar diluar negri yang tidak ingin menikah secara da’im dengan perempuan ahlul kitab? Bagaimana kemungkinan seorang istri yang non Muslim yang ingin masuk Islam? Bagaimana dengan kemungkinan memberikan dakwah kepada keluarga istri non Muslim? Apakah kamu pikir bahwa orang tua non Muslim perduli pada masalah-masalah seperti ini? Saya pikir tidak!
Bahkan di negri-negri Islam sendiri saya ingin mengatakan , meskipun Islam sendiri pada hakikatnya cenderung merubah kebudayaan masyarakat (ke arah yang lebih baik), tetapi karena keterbelakangan tingkat pendidikan masyarakat dan kecenderungan kuatnya pengaruh kebudayaan masyarakat itu sendiri, justru ajaran Islamlah yang mengalami kontaminasi budaya setempat dan dianggap (hanya) sebagai salah satu budaya dalam konteks budaya masyarakat secara global. Oleh karena itu, kita harus bisa membedakan antara kebenaran yang dibawa oleh Islam sebagai ajaran yang Ilahiyyah dengan nilai-nilai yang lahir dari sebuah budaya.
Tentang pernikahan secara umum, masih banyak keluarga Muslim yang mempunyai tradisi dan budaya sendiri dalam menikahkan anak perempuan mereka yang kadang-kadang hanya didasarkan pada alasan yang tidak rasional. Dalam hal ini, kita tidak boleh menyalahkan agama Islam pada saat pengikutnya masih memiliki banyak kekurangan dan bahkan  masih memegang mentalitas kesukuannya.
Beberapa pandangan masyarakat (dalam hal pernah pernikahan) masih banyak yang didasarkan pada budaya dan tradisi yang sebenarnya bertentangan dengan pikiran yang rasional. Apakah kita ingin mencoba menyelamatkan anak-anak kita dengan membuat peraturan untuk membahagiakan mereka tetapi justru membuat kerusakan? Standar apa yang dapat kita gunakan untuk membedakan yang mana kerusakan dan mana yang bukan? Tidak bolehkah kita berdasarkan hanya kepada ajaran Islam yang sudah terbukti kebenarannya?Jika seperti ini logikanya, maka kita telah menyaksikan bahwa nikah mut’ah tidak semestinya dicegah karena nikah mut’ah adalah ajaran Islam yang telah terbukti kebenarannya.
Sekarang ini, banyak orang Muslim yang lebih toleran kepada teman-teman dan  keluarganya yang mereka tahu atau dengar dari orang lain adalah pelacur; tetapi, mereka justru tidak mau menerima konsep nikah mut’ah yang dapat memberikan solusi masalah-masalah sosial dan mencegah perzinahan yang terjadi di masyarakat. Mereka tidak mau menerima bahwa nikah mut’ah dibolehkan dan  dianjurkan (oleh Rasulullah Saww) dan sebenarnya yang melarangnya adalah Umar.

4.        Apakah laki-laki akan menerima jika saudara perempuannya melakukan nikah mut’ah?

Pertanyaan ini mirip dengan pertanyaan sebelumnya. Standar apa yang digunakan seorang laki-laki untuk menerima atau menolak hal ini? Apakah nikah mut’ah itu tidak sesuai dengan perintah Allah? Atau apakah agama Allah yang harus dirujukkan kepada keinginan dan kecemburuan laki-laki tersebut?
Lagi pula, mengapa banyak laki-laki yang melakukan nikah mut’ah tetapi melarang saudara perempuannya untuk melakukan hal yang sama? Sejak kapan ketidaksukaan kita bisa menjadi parameter untuk menilai sesuatu itu salah atau tidak? Hasrat seksual adalah keinginan alami yang telah diciptakan oleh Allah Swt dalam diri manusia. Apakah perbedaan antara kebahagiaan seorang suami bersama saudara perempuan seseorang dalam nikah mut’ah dengan kebahagiaan seorang suami dalam pernikahan da’im yang diikuti oleh perceraian yang sangat cepat dalam kasus yang sama?
Mengapa kita menganggap bahwa hanya suami yang merasakan kenikmatan dalam nikah mut’ah ini sedangkan istri tidak? Mengapa kita tidak berpikir bahwa kenikmatan itu akan dirasakan oleh keduanya? Mengapa kita tidak menerima bahwa nikah mut’ah bukan hanya hubungan pisik saja tetapi juga mencakup cinta, kasih sayang, emosi dan sensasi psikis meskipun hanya dalam satu bulan misalnya?
Saya berpikir, janganlah kita mendistorsi ajaran Islam hanya karena ketidakmampuan kita melihat sebuah kebenaran yang nyata, apalagi hanya karena masalah-masalah tradisional yang tidak sesuai dengan norma-norma keadilan.

5.        Mengapa kita tidak langsung menikahkan laki-laki dan perempuan secara da’im saja dan membiarkan mereka saling mengenal satu sama lain setelah mereka menikah (untuk menggantikan masa penjajakan dengan melakukan nikah mut’ah dalam masa pertunangan seperti yang telah dijelaskan oleh penulis, pent.)?

Pernikahan da’im tidak bisa dilakukan untuk tujuan seperti itu dengan beberapa alasan sebagai berikut.
a.        Pertama, setelah ‘aqd nikah da’im, seorang istri tidak bisa menjatuhkan thalaq kepada suaminya jika sekiranya dia menemukan bahwa ternyata suaminya tidak (atau kurang) baik. Dalam kasus ini, jika seorang laki-laki menyukai istrinya tetapi istri tidak terlalu suka kepada suaminya, maka tidak akan terjadi thalaq. Dengan demikian, menggunakan periode awal nikah da’im bagi laki-laki dan perempuan yang ingin hidup bersama sebagai waktu saling menjajaki hanya akan menguntungkan pihak laki-laki saja. Sebaliknya, nikah mut’ah akan berakhir pada waktunya. Dan selanjutnya, baik laki-laki maupun perempuan, akan mempunyai hak yang sama untuk membuat keputusan (apakah akan melanjutkan ke nikah da’im atau tidak).
Namun, seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, pada beberapa kondisi, seorang marja’ atau hakim dapat memberikan hak menjatuhkan thalaq kepada perempuan. Tapi hal ini memberikan resiko kepada perempuan jika sekiranya keputusan marja’ atau hakim bertentangan dengan keinginan perempuan tersebut. Akhirnya, alih-alih saling mengenal, justru yang terjadi adalah  kerenggangan kedua belah pihak.
b.       Kedua, di dalam perjanjian nikah da’im, seseorang tidak bisa menolak percampuran atau hubungan seksual. Dengan kata lain, hubungan seksual adalah kemestian dan kewajiban dalam nikah da’im. Sebaliknya, kewajiban dan kemestian ini tidak ada di dalam nikah mut’ah. Lantas bagaimana mungkin seorang perempuan melakukan nikah da’im “hanya untuk mengenal”  suaminya lebih dekat.?
c.        Ketiga, mekipun orang dapat menceraikan istrinya, tetapi perceraian adalah sesuatu yang dibolehkan tetapi sangat dibenci di dalam Islam. Alasannya adalah, suami istri semestinya hidup dalam kebahagiaan dengan segala tanggung jawab moralnya. Jika seorang laki-laki yang setelah sebulan hidup bersama istrinya, setelah mengambil keperawanan dan kesuciannya, tapi kemudian dia  menceraikannya di dalam periode penjajakan ini hanya dengan alasan suami tidak terlalu menyukainya, keadaan ini akan menjadi pukulan yang berat bahkan menjadi beban psikologis bagi perempuan tersebut. Harus diingat, walaupun seorang suami melakukan hal yang memalukan ini, tidak ada seorangpun yang bisa menghukumya karena dia menggunakan hak thalaqnya. Tetapi, tindakan ini secara moral jelas menjijikkan. Oleh karena itu, nikah da’im bukanlah pilihan yang tepat untuk masa penjajakan dan saling mengenal antara laki-laki dan perempuan. Ingat, pilihan kita haruslah praktis dan bersifat teknis, tidak didasarkan pada pendapat  dan asumsi-asumsi yang sangat ideal. Kita tidak bisa menjamin bahwa laki-laki dan perempuan akan benar-benar saling mempercayai satu sama lain sebelum menikah.
Sebaliknya, nikah mut’ah tidak mempunyai resiko apa-apa. Pertama, laki-laki maupun perempuan  sudah mengetahui bahwa mereka akhirnya akan berpisah setelah waktunya berakhir sehingga mereka tidak akan terkejut dan mencemaskan perceraian mereka. Yang kedua, tidak ada satupun di antara mereka yang mempunyai tanggung jawab moral (maupun tanggung jawab hukum, pent.) untuk melanjutkan pernikahan setelah periodenya berakhir. Di samping itu, suami tidak berhak memaksa istri untuk melanjutkan pernikahan tersebut  setelah periodenya berakhir, demikian pula sebaliknya. Dan seperti yang telah kami sebutkan, mereka dapat mensyaratkan bahwa hubungan seksual tidak ada  selama periode nikah mut’ah yang mereka jalani.

6.        Jika seorang suami meninggalkan kota (tempat dia melakukan nikah mut’ah) setelah periodenya berakhir, apakah dia diwajibkan untuk mencari tahu kemungkinan istrinya hamil? Apakah dia juga diwajibkan memberikan biaya pemeliharaan untuk anaknya?

Jika seorang laki-laki pergi ke suatu tempat dan melakukan nikah mut’ah di tempat tersebut, dia diwajibkan untuk memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya tentang identitasnya, tempat tinggalnya serta  bagaimana cara menghubunginya. Hal ini dimaksudkan jika perempuan tersebut hamil, dia secepat mungkin dapat menyampaikan berita kehamilannya untuk meminta nafkah kepada bapak anak itu. Hal ini juga diharuskan di dalam nikah da’im. Jika seorang suami menceraikan istriya lalu meninggalkan kota tempat tinggal istrinya, maka dia diharuskan untuk memberikan informasi tempat tinggalnya yang baru agar dapat dihubungi jika bekas istrinya hamil setelah dia meninggalkan kota tersebut. Anak yang lahir dari kedua kasus ini tetap menjadi ahli waris dari bapak dan ibunya.

7.        Dapatkah seorang laki-laki menikah mut’ah lagi jika dia sudah mempunyai empat istri dari nikah da’im dan atau nikah mut’ah?

Ya. Seluruh kasus pada gadis yang melakukan nikah mut’ah (termasuk masa iddah) sama dengan kasus pernikahan dengan budak perempuan. Semua mazhab sepakat bahwa seorang laki-laki dapat menikahi budak perempuan berapapun jumlahnya. Tetapi di dalam nikah da’im, jumlah perempuan yang dapat dinikahi dibatasi hanya sampai empat orang. Namun, dianjurkan bagi seorang laki-laki untuk  menikah mut’ah dengan perempuan maksimal empat orang saja.
Alasan sehingga Islam membatasi jumlah istri da’im maksimal sampai empat orang saja adalah, di dalam nikah da’im, suami memikul tanggung jawab yang tidak ada pada jenis pernikahan lainnya. Tanggung jawab ini tidak akan dapat dipenuhi jika istri da’im melebihi empat orang. Sebagai contoh, suami dalam pernikahan da’im harus aktif secara seksual sementara itu dia diwajibkan untuk tidur bersama istrinya minimal sekali dalam empat malam, lantas bagaimana dia harus memenuhi kewajiban ini jika istrinya lebih dari empat orang?? Di samping itu, pemberian nafkah finansial kepada istri bukanlah hal yang mudah (apalagi untuk empat orang). Kewajiban seperti ini tidak dikenakan di dalam nikah mut’ah. Meskipun  hal itu bisa dipersyaratkan saat perjanjian dan ‘aqd, tetapi hal itu tidak ditekankan dalam nikah mut’ah. Seperti juga yang telah kami sampaikan, seorang laki-laki yang sudah mempunyai istri da’im tidak dianjurkan lagi untuk menikah mut’ah karena hal itu bisa mengganggu ketentraman  keluarganya.

8.        Apakah dalam nikah mut’ah juga diperlukan saksi? Apakah laki-laki dan perempuan yang ingin menikah mut’ah dapat mengucapkan ‘aqd hanya berdua saja?

Pertanyaan ini mempunyai jawaban yang sama dengan pada kasus nikah da’im. Dalam kedua kasus ini, kalimat yang diucapkan secara spiritual tidak memerlukan saksi (karena Allah yang menjadi sebaik-baik saksi bagi mereka, pent.). Mereka yang hendak menikah dapat mengucapkan ‘aqd berdua tanpa disaksikan orang lain. Akan tetapi, harus ditekankan lagi bahwa, jika perempuan tersebut masih gadis (perawan), maka laki-laki diharuskan mendapat izin dari orang tua (wali) gadis tersebut meskipun kehadiran orang tua (wali) gadis tersebut tidak diwajibkan pada saat ‘aqd diucapkan.
Kami ingin menggaris bawahi bahwa apa yang kami katakan adalah penjelasan berdasarkan hukum agama. Oleh karena itu, pasangan yang hendak menikah dapat saja mendaftarkan pernikahan mereka ke kantor catatan sipil (yang menurut hukum agama tidak diperlukan), ataupun melakukan peraturan-peraturan lain termasuk kehadiran wali dan saksi (jika peraturan pemerintah memang mengharuskan hal itu).
Namun, mereka yang ingin melakukan nikah mut’ah di negara-negara Barat tidak perlu mendaftarkan pernikahannya ke kantor catatan sipil karena pernikahan mereka pada akhirnya akan habis setelah periodenya berakhir. Pernikahan yang mereka lakukan hanyalah hubungan yang bersifat sementara dan  tidak memerlukan berbagai tanggung jawab seperti halnya yang diwajibkan dalam nikah da’im ( seperti pemberian nafkah, warisan dan lain-lain). Dalam pandangan hukum Barat, hubungan seperti itu tak lebih dari hubungan pacaran antara laki-laki dan perempuan yang justru menjadi bagian dari budaya mereka, bahkan banyak dipraktekkan tanpa batasan apa-apa. Tetapi, pengucapan ‘aqd secara verbal saat hendak melakukan nikah mut’ah adalah sebuah kewajiban untuk memenuhi seluruh aturan-aturan nikah mut’ah yang telah ditetapkan oleh Islam.
Di samping itu, di negara-negara Barat, tak ada orang yang perduli terhadap hubungan laki-laki dan perempuan. Tetapi di negara-negara Muslim, untuk menghindari tuduhan melakukan perzinahan, sebaiknya pasangan yang hendak melakukan nikah mut’ah harus mempunyai beberapa orang saksi untuk melindungi mereka. Tapi yang jelas, kehadiran saksi dalam sebuah pernikahan tidak menjadi bagian dari syarat sahnya pernikahan tersebut.
Dalam kasus nikah mut’ah, pasangan yang hendak menikah tidak harus menyampaikan perihal pernikahan mereka kepada masyarakat umum apalagi jika masyarakat di daerah tersebut tidak menerima, tidak mengerti, atau tidak perduli tentang konsep nikah mut’ah. Sebenarnya, dalam nikah da’im juga tidak diwajibkan menyampaikan perihal pernikahan tersebut kepada masyarakat umum, meskipun penyampaian seperti ini sangat dianjurkan.

9.        ‘Aqd nikah mut’ah yang pernah saya lihat adalah berbahasa Arab. Apakah ‘aqd tersebut memang harus diucapkan dalam bahasa Arab?

Sekali lagi, jawaban untuk pertanyaan ini sama dengan pada kasus nikah da’im. Beberapa mazhab tidak sependapat dalam hal pengucapan ‘aqd nikah (mut’ah maupun da’im), apakah harus dalam bahasa Arab atau tidak.  Kebanyakan mazhab berpendapat bahwa ‘aqd tersebut harus dalam bahasa Arab. Mazhab yang lain menambahkan, jika yang mengucapkan ‘aqd tersebut mengerti bahasa Arab, maka mereka wajib mengucapkannya dalam bahasa Arab; jika tidak, mereka bisa mengucapkannya dengan bahasa mereka sendiri. Perlu dicatat bahwa kalimat yang diucapkan saat ‘aqd nikah adalah kalimat yang sangat pendek, oleh karena itu memperlajari bahasa Arabnya tidaklah terlalu sulit. Di samping itu, laki-laki maupun perempuan tidak perlu mengetahuinya bersama-sama. Jika laki-laki sudah mengetahuinya, maka perempuan dapat diwakili oleh laki-laki yang menjadi calon suaminya, sama halnya jika kalimat itu diwakilkan kepada orang ketiga. Dan jika laki-laki maupun perempuan sama-sama tidak mengerti bahasa Arab, maka kalimat ‘aqd yang diucapkan oleh keduanya dalam ‘aqd dapat diwakilkan kepada orang ketiga tersebut.

10.     Dalam pendapat penulis (yang saya anggap bukan fatwa), apakah seseorang dapat mengikuti salah satu hukum yang dianggap logis dalam mazhab Syi’ah sementara dia masih berpegang pada mazhab Sunni? Apakah hal itu diharamkan?

Menurut pandangan pribadi saya, hal itu dibolehkan. Saya mengenal beberapa orang Sunni yang percaya bahwa meskipun mereka mengetahui dengan baik dan mengikuti sebuah mazhab tertentu, mereka tetap tidak taklid buta dan merujukkan seluruh keyakinannya pada mazhab tersebut. Jika mereka menemukan satu hal yang terbukti kebenarannya di dalam Alqur’an dan hadist Rasulullah Saww, mereka lalu mengikutinya. Sebagai contoh, saya mengenal dan bersahabat dengan beberapa penganut mazhab Hanafi yang berpengetahuan luas. Mereka mempercayai bahwa kita dapat menggabungkan shalat Dhuhur dan shalat Ashar dalam satu waktu seperti yang diyakini oleh mazhab Syi’ah. Ketika saya menanyai alasan mereka, mereka mengatakan: “Kami menemukan banyak hadits di dalam Sahih Bukhari yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saww biasa menggabung shalat Dhuhur dan shalat Ashar meskipun tidak sedang dalam perjalanan dan tidak sedang dalam keadaan darurat. Di samping itu, kami melihat setidaknya ada satu mazhab dalam Islam yang memperbolehkan penggabungan shalat seperti itu (yaitu mazhab Imamiyyah). Karna banyaknya riwayat yang memperbolehkan hal itu, maka kami yakin bahwa kami dapat melakukannya meskipun kami mengikuti mazhab Hanafi.”
Di bawah ini saya kutipkan fatwa dari Syaikh Muhammad Syaltut, Rektor Universitas Al-Azhar Kairo yang telah berusaha untuk menjembatani hubungan antara mazhab Syi’ah dan Sunni. Beliau membolehkan pengikut mazhab Sunni untuk mengikuti fatwa yang dikeluarkan oleh mazhab Syi’ah. Saya hanya mengutip bagian kecil dari fatwa Syaikh tersebut berikut ini.

Kantor Pusat Universitas Al-Azhar
Bismillahir Rahmanir Rahim
Naskah fatwa yang dikeluarkan oleh Yang Mulia
Syaikh Muhammad Syaltut
Rektor Universitas Al-Azhar,
Tentang dibolehkannya mengikuti mazhab “Al-Syi’ah al-Imamiyyah”