Dengan Nama Allah Yang Mahakasih dan Mahasayang
Sayid Muhammad Rizvi
Imamah & Wilayah
Dalam Ajaran Ahlulbait
Sayid Muhammad Rizvi
Diterjemahkan dari buku:
Shiism
Imamat & Wilayah
Penerjemah: A. Kamil
Penyunting: Hasbi al-Ghifari
Cetakan I 2007
Diterbitkan oleh
Yayasan Ashr azh-Zhuhur
Kuwait
Daftar Isi
Bagian Pertama
I. Asal-usul Syiah : Faktor Politik atau Agama? – 11
1. Pengantar – 11
2. Masa Permulaan Islam – 15
3. Asal-usul Syiah – 15
4. Nama Syiah – 20
Bagian Kedua
II. Sensor Diri dalam Sejarah Islam: Sebuah Studi Kasus atas Da'wat dzu'l Asyira – 23
1. Pengantar – 23
2. Dakwah Pertama kepada Islam – 23
3. Ibnuu Hisyam & Da'wat – 26
4. Sensor Diri (self-censorship) oleh at-Tabari – 29
5. Sensor Diri di Abad Kiwari – 30
2. Wilâyah Universal – 96
3. Wilâyah: Spritual vs Politik – 102
a. "Hanya Wilâyah Spiritual, bukan Politik – 102
b. "Politik Juga" – 110
4. Peran Para Imam di mata Ulama Najaf & Qum – 112
5. Wilâyah dan Aqidah? – 116
6. Koreksi Akhir – 118
Bagian Ketujuh
VII. Ilmu Pengetahuan Ahlulbait As – 123
1. Pengantar – 123
2. Al-Qur'an dan 'Ilmul Ghaib – 124
3. 'Ilmul Ghaib Para Nabi – 126
4. 'Ilmul Ghaib Para Imam – 129
5. 'Ilmu Ghaib dan Kehidupan Pribadi – 138
6. Konsep "al-Qur'ân an-Nâtiq" – 140
Kesimpulan – 142
Daftar Pustaka – 145
Sekapur Sirih dari Penulis
Dengan Nama Allah Yang
Mahakasih dan Mahasayang
Shalawat dan Salam tercurah ke atas Junjungan Kita
Nabi Muhammad Saw berserta Keluarganya yang Suci
Allahummah Shalli 'Ala Muhammad wa Ali Muhammad
Risalah yang ada di hadapan Anda ini berkenaan dengan beberapa masalah-masalah penting ajaran Syiah. Kendati seluruh bagian yang ada tidak ditulis pada saat yang sama, namun seluruh bagian tersebut berkaitan satu dengan yang lain dan bertalian dengan tema imamah dan wilayah para Imam Ahlulbait As. Bagian kedua ditulis pada tahun 1998, bagian ketiga pada tahun 1990, bagian keempat tahun 1997, sementara bagian pertama dan tiga bagian terakhir ditulis pada tahun 1999. Selagi melakukan revisi pada bagian ketiga, saya menambahkan masalah "Arti dari Mawla" sehingga melengkapi pembahasan kita tentang Ghadir Khumm.
Diharapkan kepada pembaca dapat meraih beberapa masukan dan cakrawala baru tentang pokok-pokok pemikiran Syiah yaitu masalah paling fundamental yang telah didefinisikan keberadaannya pada masa lalu sebagaimana masa sekarang. Buku ini juga mencerminkan beberapa isu yang telah didiskusikan beberapa bagiannya oleh komunitas Syiah yang berdomisili di Amerika Utara. Diskusi dan debat semacam itu, setidaknya, menyediakan peluang untuk kajian lebih lanjut dan menjelaskan keyakinan utama Syiah.
Semoga Allah Subhana wa Ta'ala, menganugerahkan kepada kita kemampuan untuk membuka mata hati kita
terhadap bimbingan-Nya, dan semoga Dia mengangkat hijab arogansi intelektual dan solidaritas kesukuan dari hati dan jiwa kita tatkala melihat kebenaran. Amin
Wa ma taufiq illa bilLâh.
Toronto
Sayid Muhammad Rizvi
12 Rabiuts Tsani 1420 H/26 Juli 1999
I. Asal-usul Syiah :
Faktor Politik atau Agama?
1. Pengantar
Dalam tulisan-tulisan polemis mazhab Sunni, ditegaskan bahwa Islam Sunni merupakan Islam Asli (ortodox) " sementara Syiah adalah suatu "Firqah Bid'ah" yang bertujuan untuk menyelewengkan Islam dari dalam. Pendapat ini kadang-kadang disuarakan dengan mengatakan bahwa Syiah bermula sebagai sebuah gerakan politik yang kemudian mengerucut menjadi gerakan keagamaan.
Sikap anti-Syiah ini tidak terbatas hanya pada penulis-penulis beberapa abad lampau, namun juga beberapa penulis Sunni pada abad kiwari cenderung memiliki pandangan yang serupa. Orang-orang seperti Abul Hasan Nadwi, Manzur Ahmad Nu'mani (keduanya berasal dari India), Ihsan Ilahi Zahir (Pakistan), Muhibbuddin al-Khatib dan Musa Jar Allah (keduanya dari Timur-Tengah) termasuk orang-orang yang mewakili abad kontemporer sebagai orang-orang yang anti-Syiah.[1] Tidak terbatas dalam lingkaran alumnus hawzah saja dan tidak bersentuhan secara langsung dengan so-called tokoh-tokoh akademis dunia. Orang-orang anti Syiah, seperti Ahmad Amin (Mesir) dan Fazlur Rahman (Pakistan) termasuk dalam kategori ini.
Sebagai contoh, Ahmad Amin menulis :
"Yang benar adalah Syiah merupakan sebuah pengembaraan yang orang-orangnya bermaksud ingin merusak Islam dari dalam dengan dasar permusuhan dan kecemburuan. Oleh karena itu, ajaran yang ingin diperkenalkan adalah Islam yang bermuatan ajaran nenek-moyang Yahudi, Nasrani atau Zoroaster, sehingga mereka dapat mencapai tujuan kejinya di bawah naungan ajaran kepercayaan ini.[2]
Dalam mencermati kasus Fazlur Rahman, kasusnya memang menarik. Setelah menyelesaikan pelajarannya dari Universities of Punjab dan Oxford, dan mengajar di Universities of Durham dan McGill, ia bekerja sebagai direktur Institut Pusat Penelitian Islam di Pakistan hingga tahun 1968. Dan ia harus kehilangan jabatannya sebagai akibat dari sikap kontroversialnya dalam memandang dan menafsirkan al-Qur'an. Kemudian, ia hijrah ke Amerika dan menjadi profesor kajian-kajian keislaman di Universities of Chicago. Dalam bukunya yang masyhur, Islam, digunakan sebagai textbook bagi para mahasiswa di berbagai universitas Barat, Dr. Fazlur Rahman mempersembahkan penafsirannya tentang asal-usul Syiah sebagai berikut:
"Setelah pembunuhan Ali, Syiah (partai) Ali di Kufah menuntut kedudukan khalifah dikembalikan kepada keluarga khalifah yang malang itu. Klaim legitimis ini disuarakan demi membela keturunan Ali merupakan awal dari doktrin politik Syiah.
"Legitimisme ini, adalah sebuah doktrin yang menegaskan bahwa kepemimpinan umat secara sah berada di pundak Ali dan keturunannya. Doktrin ini adalah tonggak asal-usul Syiah Arab yang murni merupakan gerakan politik."
"Lalu, kita melihat Syiah telah menjadi –pada permulaan sejarah Islam– sebuah kedok untuk berbagai kekuatan sosial dan sikap ketidakpuasan politik. Namun dengan adanya pergantian (shift) dari tangan orang Arab kepada mereka yang non-Arab ('Ajam), motivasi asli gerakan politik ini dibangun menjadi firqah agama dengan dogmanya sebagai dalil teologi. Atas alasan ini, terukir keyakinan-keyakinan timur tentang cahaya Ilahi dan metafisika baru dibuat untuk keyakinan ini dan dibekali dengan gagasan-gagasan 'Irfan Neo-Platonic Nasrani.[3]
Lebih jauh, ia berkomentar: "Gagasan ini membawa pada pembentukan firqah-firqah rahasia, dan Syiah disajikan untuk tujuan pendaulatan politik, sehingga di bawah jubahnya, orang-orang yang terlantar secara spirtual ini memulai memperkenalkan gagasan usang mereka kepada Islam.[4]
Dengan nada yang kurang-lebih hampir sama dengan yang di atas, penulis temukan sangat sukar untuk dipahami betapa seorang cendekiawan, berlatar belakang Syiah, dapat menggemakan gagasan yang sedikit mirip ihwal asal-usul Syiah yang ditulis oleh orang-orang anti-Syiah, ia menulis :
"Kebanyakan pembahasan-pembahasan awal ihwal imâmah dipandang dari sudut pandang politik, namun pada akhirnya debat mencakup muatan-muatan implikasi-implikasi agama sebagai penyelamatan. Memang benar bahwa hal ini adalah seluruh konsep-konsep Islam, lantaran Islam sebagai sebuah fenomena keberagamaan adalah akibat dari Islam sebagai sebuah realitas politik."[5]
"Sejak hari-hari permulaan perang sipil pada tahun 656 M beberapa orang muslim tidak hanya berpikir tentang kepemimpinan dalam istilah politik, namun juga memberikan penjelasan bahwa agama menekankan tentang kepemimpinan." [6]
Berdasarkan pada dukungan orang-orang Syiah Kufah yang mengklaim bahwa kepemimpinan berada di pundak Ali, seorang penulis menuliskan:
"Dukungan atas kepemimpinan Ali, setidaknya pada awalnya, tidak bermuatan agama. Klaim kepemimpinan Ali menjadi sebuah keyakinan berlebihan yang dilontarkan dalam istilah-istilah ketaqwaan dari sunnah yang dinisbatkan kepada Nabi, dan secara perlahan menjadi bagian doktrin Kardinal Imamah, poros yang diatasnya seluruh keyakinan Syiah berputar."[7]
Setelah menjelaskan kegagalan dan kesyahidan beberapa paderi agama yang bangkit melawan penguasa, ia menulis:
"Pergerakan mereka ini menandakan permulaan perkembangan sebuah penekanan agama ihwal peran kepemimpinan Ali."[8]
"Pergerakan mereka ini menandakan permulaan perkembangan sebuah penekanan agama ihwal peran kepemimpinan Ali."[8]
2. Masa Permulaan Islam
Sunni, sebagaimana juga Syiah, meyakini bahwa Islam merupakan agama yang ajaran-ajaranya tidak hanya terbatas pada wilâyah ruhani kehidupan manusia semata, namun juga meliputi aspek politik kemasyarakatan. Termasuk tujuan-tujuan ideal politik dalam Islam tidak berarti bahwa Islam memulai atau merupakan sebuah pergerakan politik. Tengok kehidupan Nabi Muhammad Saw. Misi Rasul bermula di Mekah. Pada masa pra-hijrah, tidak ada program Rasulullah Saw yang menunjukkan program-program pergerakan politik. Program perdana Rasulullah Saw pada masa pra-hijrah ini adalah sebuah pergerakan keagamaan.
Hanya setelah hijrah, ketika mayoritas penduduk Madinah menerima Islam, kesempatan untuk melaksanakan aturan sosial Islam terbuka dan Rasulullah Saw juga mengemban jabatan sebagai pemimpin politik. Beliau menandatangani sejumlah perjanjian dengan suku-suku yang lain, mengutus duta-duta kepada para raja dan kaisar, membentuk angkatan bersenjata sekaligus memimpinnya, duduk sebagai hakim, melantik gubernur, deputi-deputi, para pemimpin, dan mengangkat hakim serta mengumpulkan dan membagikan pajak. Namun demikian, Islam pada masa awal adalah sebuah pergerakan keagamaan yang kemudian juga melingkupi aspek-aspek politik. Sehingga perkataan "Islam adalah sebuah fenomena keberagamaan sebagai akibat dari Islam sebagai sebuah realitas politik" secara historis adalah perkataan yang tidak benar.
3. Asal-usul Syiah
Asal-usul Syiah tidak terlepas dari asal-usul Islam. Karena Nabi sendiri yang menuai tanamannya dengan memproklamasikan wishaya (pelaksanaan wasiat) dan khilafat (khalifah) Ali bin Abi Thalib As pada masa dakwah terbuka yang beliau lakukan di Mekah.
Islam bermula ketika Nabi Muhammad Saw berusia empat puluh tahun. Sebelumnya dakwah Rasulullah Saw bersifat sembunyi-sembunyi. Kemudian tiga tahun selepas kemunculan Islam, Nabi Saw diperintahkan supaya memulai dakwah terbuka untuk menyampaikan pesan-pesan samawi. Kejadian ini berlangsung ketika Allah Swt mewahyukan ayat: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat ." (Qs. Asy-Syu'arâ [26]:214)
Ketika ayat ini turun, Rasulullah Saw mengadakan sebuah perjamuan yang dikenal dalam sejarah sebagai "Da'wat dzu 'l Asyira ". Rasulullah Saw mengundang sekitar empat puluh laki-laki kerabat beliau dari Bani Hasyim dan meminta Ali bin Abi Thalib untuk menyiapkan jamuan makan malam. Setelah menjamu tamu-tamunya dengan makanan dan minuman, Rasulullah Saw bermaksud untuk berbicara kepada mereka ihwal Islam, Abu Lahab mendahuluinya sambil berkata kepada para tamu ketika itu, katanya: "Tuan rumahnya telah lama menyihir Anda". Seluruh tamu membubarkan diri sebelum Rasulullah Saw menyampaikan pesannya.
Rasulullah Saw kemudian mengundang mereka lagi pada hari berikutnya. Setelah perjamuan, ia bersabda kepada mereka: "Wahai Bani 'Abdul Mutthalib, Demi Allah, Aku tidak kenal seseorang pun dari bangsa Arab yang datang kepada umatnya lebih baik dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku datang membawa sesuatu untuk kebaikan kalian baik di dunia maupun di akhirat. Aku telah diperintahkan oleh Allah Swt untuk mengajak kalian kepada-Nya. Oleh karena itu, siapa di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusan ini sehingga ia akan menjadi saudaraku (akhi), pelaksana wasiatku (washiyyi) dan khalifah sepeninggalku?"
Panggilan ini adalah panggilan pertama ketika Rasulullah Saw berdakwah secara terbuka kepada mereka dalam hubungannya untuk menerima beliau sebagai utusan dan Rasul Allah Swt; ia juga menggunakan kalimat: "akhi wa wasiyyi wa khalifati " – saudaraku, penggantiku, khalifahku " dengan alasan ialah yang akan membantunya dalam menunaikan misi Rasulullah Saw. Ketika itu mereka semua diam dan tidak menjawab seruan Nabi serta mundur teratur menghadapi seruan ini, kecuali seorang yang paling muda di antara mereka yakni Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib berdiri dan berkata: "Aku bersedia menjadi penolongmu, wahai Rasulullah."
Nabi Saw kemudian menaruh tangannya di balik leher Ali dan berkata: "Inna hadza akhii wa washiyyi wa khalifati fikum, fasma'u lahu wa athi'u – sesungguhnya ia ini adalah saudaraku, penggantiku dan khalifahku di antara kalian; dengarkan dan taatilah dia."[9]
Proklamasi ini merupakan perkataan yang terang karena hadirin memahami penunjukan Ali yang sangat jelas itu. Beberapa di antara hadirin, termasuk Abu Lahab, bahkan dengan berseloroh, dan kepada Abu Talib ia berkata bahwa kemenakanmu, Muhammad, memerintahkanmu untuk mendengarkan anakmu dan mentaatinya! Setidaknya, seloroh Abu Lahab ini menunjukkan bahwa pengangkatan Ali bin Abi Talib adalah masalah yang terang dan jelas (eksplisit), tidak samar (implisit).
Setelah itu, Nabi Saw di berbagai tempat menekankan masalah kecintaan terhadap Ahlulbaitnya, meminta bimbingan dari mereka, dan menarik perhatian umat kepada status khusus yang mereka miliki di hadapan Allah Swt dan Rasul-Nya.
Akhirnya, dua bulan berselang sebelum wafatnya, Rasulullah Saw secara jelas menunjuk Ali di Ghadir Khum sebagai pemimpin kaum muslimin (pemimpin agama sekaligus pemimpin politik). Nabi berkata: "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya." Ia juga berkata: "Aku tinggalkan kepadamu dua hal yang berharga (tsaqalain), dan selama engkau berpegang teguh kepadanya niscaya engkau tidak akan sesat selamanya yaitu Kitâbullâh dan Itrahti (al-Qur'an dan Ahlulbaitku)."[10]
Peristiwa agung ini telah banyak menjadi bahan diskusi dan tulisan hingga saat ini. Para pembaca dapat merujuk kepada karya-karya tulis berbahasa Inggris di bawah ini :
· A study on the question of al-Wilâyah oleh Sayyid Muhammad Baqir ash-Shadr, diterjemahkan oleh Dr. P.Haseltine. (Risalah ini pertama kali diterjemahkan di India dengan judul "Shiism: The Natural Product of Islam").
· The Origin of Shia and its Principles oleh Muhammad Husain Kasyful Ghitâ.
· Imamate : The Vigerence of the Prophet oleh Sayyid Said Akhtar Rizvi.
· Origins and Early Depelovment of Shia Islam oleh S.Hussain M.Jafri.
· The Right Path oleh Syed Abdulhussein Syarafuddin al-Musawi.
· The Meaning & Origin of Shi'ism oleh Sayyid Saeed Akhtar Rizvi dalam Right Path, jilid. 1 (Jan-Mar 1993) #3.[11]
Setiap orang yang membaca karya tulis ini akan melihat bahwa awal kedatangan Islam dan Syiah adalah bersamaan. Dan sebagaimana Islam, Syiah merupakan sebuah pergerakan keagamaan yang juga meliputi aspek sosial dan politik. Dr.Jafri menuliskan: "Ketika kita menganalisa relasi kemungkinan perbedaan antara keyakinan-keyakinan agama dan konstitusi politik dalam Islam diemban oleh satu sama lainnya, kita temukan klaim dan trend doktrinal pendukung Ali lebih cenderung mengarah kepada aspek agama ketimbang aspek politik, dengan demikian kelihatan paradoks bahwa partai (syiah) yang mengklaim berdasarkan kepada kepemimpinan dalam bidang spiritual dan agamis, sebagaimana kita akan uji secara lebih jeluk nantinya, seyogyanya diberikan label sebagai gerakan politik sejak semula.[12]
Memang tidak dapat dibayangkan bahwa sahabat-sahabat utama Nabi Saw seperti Salman al-Farsi dan Abu Dzar berpikir bahwa Ali terutama adalah sebagai seorang pemimpin politik, dan kemudian berfikir lagi bahwa Ali juga adalah pemimpin agama.
Dalam karya akademisnya, Islamic Messianism, cendikiawan ini menghitung perang sipil sebagai permulaan dari "Keberagamaan Syiah": "Sejak permulaan perang sipil yang berkecamuk pada tahun 656 M, beberapa orang di antara kaum muslimin tidak hanya berpikir ihwal kepemimpinan dalam istilah politik, tetapi bahkan memberikan tekanan agama di dalamnya."[13] Namun dalam artikelnya yang dipersembahkan dalam sebuah pertemuan publik dan diterbitkan oleh salah satu markaz Islam, ia menempatkan permulaan Syiah sejak pada masa Ghadir Khum. Ia menulis "Proklamasi Nabi dalam peristiwa itu memunculkan ketegangan antara kepemimpinan ideal yang dipromosikan oleh Nabi melalui wilâyah Ali bin Abi Thalib dan fakta yang dipicu oleh kekuatan manusia untuk memberangus tujuan Allah Swt di muka bumi."[14]
Dikotomi antara "Akademisi" dan "Mukmin " memang sangat mengganggu. Semoga Allah Yang Maha Kuasa menganugerahkan seluruh pekerja iman keyakinan untuk bersiteguh atas keyakinan mereka pada seluruh pertemuan, baik dari dalam maupun dari luar (fis sirri wa l-ala'niyya).
4. Nama Syiah
Seorang penganut ajaran Islam disebut sebagai Muslim namun meyakini Imam Ali sebagai pengganti dan khalifah Rasulullah Saw dikenal sebagai Syiah. Istilah Syiah ini merupakan singkatan dari Syiatu Ali شعة علي- - pengikut Ali."
Kaum Muslimin merasa bangga karena berafiliasi dengan Nabi Ibrahim dan memang dibenarkan demikian. Demikian juga dikenal di kalangan kaum Muslimin bahwa Nabi Ibrahim juga diberi nama oleh Allah Swt dengan nama "Muslim" sebagaimana firman Allah Swt :
ماكان ابراهيم يهود يا ولانصر ا نيا ولكن
كا ن حنيفامسلما وما كا ن من المشر كين
"Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang yang musyrik. " (Qs. Ali 'Imran [3]:67)
Apa yang luput dari perhatian umat adalah Allah Swt memberikan nama Ibrahim juga dengan nama Syiah. Tentu saja bukan Syiahnya Ali tapi Syiahnya Nuh. Allah Swt berfirman: "Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam" .... "Dan Sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya Nuh "(Qs. Ash-Shaffaat:79 &83)
Jadi mereka yang memanggil dirinya sebagai Muslim dan Syiah sebenarnya mengikuti sunnah yang dititahkan Allah Swt dan dipanggil sebagai "pengikut" orang beriman tepat sebagaimana Nabi Ibrahim yang dijelaskan sebagai pengikutnya Nabi Nuh As.[]
III. Sensor Diri dalam Sejarah Islam:
Sebuah Studi Kasus atas Da'wat dzu'l Asyira
1. Pengantar
Kebanyakan pelajar dalam bidang sejarah Islam memulai dengan asumsi bahwa jika sebuah peristiwa atau sebuah perkataan tidak dinukilkan dalam kitab-kitab sumber awal sejarah kaum Muslimin atau hadis seperti as-Sirah an-Nabawiyah-nya Ibnuu Hisyam atau Sahih al-Bukhari, maka keberadaan hadis atau suatu peristiwa pada kitab lainnya niscaya terjadi sebuah pemalsuan sehingga tidak dapat diandalkan kebenarannya. Mereka cenderung mengabaikan bias (keberpihakan) dan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh sejarawan itu, mungkin karena aturan penguasa atau juga karena kecendrungan pribadi mereka. Bias-bias ini tidak hanya relevan dalam memalsukan sosok mistikal, peristiwa dan perkataan, tetapi ia juga selaras dalam mengabaikan dan dengan diam-diam melewatkan begitu saja cerita-cerita atau tokoh-tokoh sejarah tertentu.
Tulisan ini bermaksud untuk menguji metode para sejarawan muslim yang berhubungan dengan dakwah pertama kepada Islam yang lebih dikenal sebagai " Da'wat dzu 'l Asyira ."
2. Dakwah Pertama kepada Islam
Islam bermula ketika Nabi Muhammad Saw berusia empat puluh tahun. Sebelumnya dakwah Rasulullah Saw bersifat sembunyi-sembunyi. Kemudian tiga tahun selepas kedatangan Islam, Nabi Saw diperintahkan supaya memulai dakwah terbuka untuk menyampaikan pesan-pesan samawi. Kejadian ini berlangsung ketika Allah Swt mewahyukan ayat: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat" (Qs.Asy-Syu'araa [26]:214)
Ketika ayat ini turun, Rasulullah Saw mengadakan sebuah perjamuan yang dikenal dalam sejarah sebagai " Da'wat dzu 'l Asyira ". Rasulullah Saw mengundang sekitar empat puluh laki-laki kerabat beliau dari Bani Hasyim dan meminta Ali bin Abi Thalib untuk menyiapkan jamuan makan malam. Setelah menjamu tamu-tamu beliau dengan makanan dan minuman, Rasulullah Saw bermaksud untuk berbicara kepada mereka tentang Islam, Abu Lahab mendahuluinya sambil berkata kepada para tamu ketika itu, katanya: "Tuan rumahnya telah sekian lama menyihir anda ". Seluruh tamu membubarkan diri sebelum Rasulullah Saw menyampaikan pesan beliau.
Rasulullah Saw kemudian mengundang mereka lagi pada hari berikutnya, Setelah perjamuan, beliau bersabda kepada mereka: " Wahai Bani Abdul Muttalib, Demi Allah, Aku tidak kenal seseorang pun dari bangsa Arab yang datang kepada umatnya lebih baik dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku datang membawa sesuatu untuk kebaikan kalian dunia dan akhirat. Aku telah diperintahkan oleh Allah Swt untuk mengajak kalian kepada-Nya. Oleh karena itu, siapa di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusan ini sehingga ia akan menjadi saudaraku (akhi), pelaksana wasiatku (wasiyyi) dan khalifah sepeninggalku?
Panggilan ini adalah panggilan pertama ketika Rasulullah Saw berdakwah secara terbuka kepada mereka dalam hubungannya untuk menerima beliau sebagai utusan dan Rasul Allah Swt; beliau juga menggunakan kalimat: " akhi wa wasiyyi wa khalifati " – saudaraku, penggantiku, khalifahku " dengan alasan, ialah yang akan membantunya dalam menunaikan misi Rasulullah Saw. Ketika itu mereka semua diam dan tidak menjawab seruan Nabi, mereka semuanya mundur teratur menghadapi seruan ini, kecuali seorang yang paling muda di antara mereka yakni Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib berdiri dan berkata: "Aku akan bersedia menjadi penolongmu, wahai Rasulullah."
Nabi Saw kemudian menaruh tangannya di pundak Ali dan berkata: " Innâ hadzâ akhii wa wasiyyi wa khalifati fikum, fasma'u lahu wa athi'u – sesungguhnya ia ini adalah saudaraku, penggantiku dan khalifahku di antara kalian, dengarkan dan taatilah ia."[15]
Proklamasi ini merupakan perkataan yang terang karena para hadirin memahami penunjukkan Ali ini dengan sangat jelas. Beberapa di antara hadirin, termasuk Abu Lahab, bahkan dengan bercanda kepada Abu Thalib ia berkata bahwa kemenakanmu, Muhammad, memerintahkanmu untuk mendengarkan anakmu dan mentaatinya! Setidaknya, seloroh Abu Lahab ini menunjukkan bahwa pengangkatan Ali bin Abi Talib adalah masalah yang terang dan jelas (eksplisit), tidak samar (implisit).
3. Ibnu Hisyam dan Da'wat
Satu pertanyaan yang mengemuka dalam hubungannya dengan masalah ini, mengapa Abdul Malik Ibnu Hisyam (wafat 213 H) tidak menyebutkan peristiwa ini dalam kitabnya, as-Sirah an-Nabawiyyah? Padahal ia adalah sejarawan pertama.
Apa yang dikenal sebagai Sirah-nya Ibnuu Hisyam sebenarnya adalah ringkasan kitab Muhammad Ibnu Ishaq (lahir tahun 85 Setelah Hijriah di Madinah dan wafat 151 Setelah Hijrah di Baghdad). Kitab Târikh Ibnu Ishaq merupakan kitab yang masih utuh, lengkap belum diringkas. Dan kitab ini tidak dapat dijumpai lagi. Jadi pertanyaan yang kini harus dirumuskan kembali adalah: "Apakah Ibnu Ishaq tidak menyebutkan peristiwa ini di dalam kitabnya?"
Pertimbangan-pertimbangan politik yang mempengaruhi Ibnu Hisyam dalam menghilangkan beberapa peristiwa tertentu dan menjaga yang lainnya jelas sesuai dengan komentarnya sendiri. Selagi menyusun daftar bagian-bagian yang telah ia hilangkan, Ibnuu Hisyam menulis: "Hal-hal yang tidak perlu untuk didiskusikan, perkara yang akan merusak pikiran kebanyakan orang, hal-hal ini yang telah aku hilangkan".[16] Penyunting kitab Sirah Ibnu Hisyam pada tahun 1955 edisi Mesir dalam kitab itu menulis bahwa Ibnu Ishaq mengutip peristiwa-peristiwa yang menggerahkan penguasa Abbasiyah "seperti keikutsertaan al-Abbas dalam jajaran pasukan kafir ketika perang Badar dan tertawannya ia oleh pasukan Muslim – cerita yang kemudian dihilangkan oleh Ibnu Hisyam karena takut terhadap penguasa Abbasiyah.[17]
Dan puja-pujian terhadap Imam Ali bin Abi Thâlib, khususnya dalam hadits dar, adalah salah satu bagian yang dihilangkan oleh Ibnu Hisyam dalam membuat ringkasan Sirah-nya Ibnuu Ishaq. Hadis dar adalah ihwal peristiwa Da'wat dzu 'l Asyira sebagaimana telah disebutkan di atas.
Pada kenyataannya, dapat disaksikan Ibnu Ishaq menukilkan peristiwa ini dari Ibnuu Ishaq, melalui sumber-sumber lain selain Ibnu Hisyam. Misalnya, at-Tabari (wafat 310 Setelah Hijrah) menukilkan peristiwa yang dimaksud dari Ibnu Ishaq. Syaikh Abu Ja'far Tusi (wafat 460 setelah Hijrah) juga menceritakan perisitwa yang dimaksudkan di atas melalui dua sanad yang berbeda : keduanya adalah melalui sanad dari Ibnu Ishaq melalui at-Tabari.[18]
Mata Rantai Periwayat Hadis Da'wat du 'l Asyira
Oleh at-Tabari & at-Tusi
Ali
'Abdullah bin 'Abbas
Abdullah bin Harits bin Naufal
Al-Minhal bin 'Umar
'Abdul Ghaffar bin al-Qasim Sulaiman al-Amasy
Muhammad bin Ishaq Salma bin Salim al-Ju'fi
Salma bin al-Fadhl Muhammad al-Jurura'i
Muhammad bin Humaid Muhammad al-Baghandi
At-Tabari
Abul Mufadhdhal
Sekolompok
At-Thusi
Tabel ini menunjukkan secara jelas bahwa apa yang telah dikenali sebagai paling awal dan sejarah paling sahih tidak terlepas dari bias dalam mengabaikan beberapa peristiwa tertentu dan menukilkan orang-orang.
Ibnu Ishaq sendiri dikecam karena memiliki kecenderungan terhadap Syiah. Jika hal ini ada benarnya, maka boleh jadi pertimbangan Ibnu Hisyam dalam menghapus peristiwa tersebut karena alasan Syiah ini. Betapapun, al-Khatib al-Baghdadi dalam Târikh Baghdâd-nya dan Ibnu Sayyidi ' N Nas dalam 'Uyunul Athâr, keduanya adalah tokoh sejarah Sunni, telah membuat pembelaan terhadap Ibnu Ishaq. Mereka membela Ibnu Ishaq atas segala tuduhan yang dialamatkan kepadanya sebagai orang yang memiliki kecenderungan terhadap Syiah.[19]
4. Sensor Diri (self-censorship) oleh at-Tabari
Kasus Muhammad bin Jarir at-Tabari (wafat 310 Setelah Hijrah) merupakan kasus yang lebih menarik lagi. Peristiwa Da'wat dzu 'l Asyira diberikan di atas berdasarkan kepada versi karya monumental Tabari: "Târikhul Umam wal Muluk. " At-Tabari juga mengarang sebuah kitab tafsir Qur'an yang terkenal: "Jâmiul Bayân Ta'wil Âyatul Qur'ân". Yang menarik adalah membandingkan antara Târikh Tabari dan tafsir Qur'annya sehubungan dengan pembahasan utama kita.
Tarikh Tabari, jilid 3 (1879 edisi) hal. 1173
Dalam Târikh-nya, at-Tabari mengutip kalimat-kalimat yang digunakan oleh Nabi Saw kepada Ali dalam perjamuan itu secara keseluruhan,
"Akhi wa wasiyyi wa khalifati: saudaraku, penggantiku, khalifaku.[20]
Namun di dalam at-Ta'wil-nya (jilid.19, hal. 74) dalam mendiskusikan ayat yang berhubungan dengan Nabi yang diperintahkan untuk mengajak mereka kepada Islam, at-Tabari menggunakan sensor diri dan telah menyembunyikan fakta yang jelas dan terang (eksplisit) dari perkataan Nabi Saw dengan menulisnya sebagai berikut :
"Akhi wa kadza wa kadza (saudaraku, demikian dan demikian)."
Ibnu Katsir, seorang ulama terkemuka dari Damaskus, pengarang kitab al-Bidâyah wa an-Nihâyah (jilid.3, hal.40), telah menggunakan Târikh Tabari sebagai sumber rujukannya. Namun ketika ia tiba pada peristiwa Da'wat dzu 'l Asyira, ia meninggalkan Târikh Tabari dan menggunakan versi yang telah diramu dan diubah Jâmiul Bayan! Hal ini tidaklah mengherankan kita, mengingat bahwa Ibnu Katsir dikenal sebagai orang yang memiliki sikap anti-Syiah.
5. Sensor Diri di Abad Kiwari
Seorang penulis kiwari (modern) dari Mesir, Dr. Muhammad Husain Haikal, menulis sebuah buku ternama tentang riwayat hidup Nabi Saw. Buku ini dikenal sebagai Hayat Muhammad. Haikal pertama kali menerbitkan Hayat Muhammad ini dalam tulisan mingguannya as-Siyâsa. Peristiwa Da'wat dzu 'l Asyira diterbitkan dalam suplemen # 2751 (12 Dzul-Qaidah)hal. 5, kolom 2. Salah satu kritikannya, menulis sebuah surat yang mengkritisi tulisan Haikal, menudingnya menggunakan sumber-sumber Syiah yang bercerita tentang Imam Ali. Haikal menanggapi tudingan ini dalam suplemen keluaran # 2758, hal. 6, kolom 4. Dengan mengingkari bahwa ia tidak menggunakan sumber Syiah " karena seluruh hadis bercerita tentang peristiwa ini, perilaku Ali, dan mengutip hadis dari Shahih Muslim, Musnad Ahmad dan yang lainnya.[21]
Haikal tetap bersiteguh melawan tekanan yang memintanya supaya perkataan Nabi ihwal Ali dihilangkan, ketika buku itu hampir selesai dicetak menjadi sebuah buku. Dalam edisi perdana Hayat Muhammad, Haikal menukil peristiwa Da'wat dzu 'l Asyira sebagai berikut: "Ketika mereka selesai menyantap jamuan yang disediakan, ia (Nabi) berkata kepada mereka: "Aku tidak mengenal satu pun dari kalangan bangsa Arab yang lebih baik daripada apa yang aku bawa kepada kalian, Aku datang kepadamu dengan sesuatu yang terbaik di dunia dan di akhirat. Tuhanku telah memerintahkanku untuk mengajak kalian kepada-Nya.
"Jadi siapa di antara kalian yang bersedia menolongku dalam urusan ini, sehingga ia akan menjadi saudaraku, penggantiku dan khalifahku di antara kalian?" Seluruh hadirin menjauh darinya dan bermaksud untuk meninggalkannya namun Ali berdiri meskipun ketika itu ia masih seorang belia yang belum mencapai masa baligh. Ali berkata: "Wahai Rasulullah, Aku bersedia menjadi penolongmu! Aku akan membantumu melawan siapa saja yang menentangmu. " Bani Hasyim tersenyum, beberapa di antara mereka ada yang tertawa, dan pandangan mereka layangkan ke Abu Talib hingga ke anaknya, lalu mereka meninggalkan tempat itu sambil mencemooh kejadian tadi."[22]
Haikal Hayat Muhammad, edisi perdana, hal.104
Haikal telah mengutip kalimat-kalimat penting dalam perkataan pertama Rasulullah yang meminta bantuan, namun secara sengaja meninggalkan seluruh jawaban Rasulullah atas kesediaan Ali tersebut untuk membantunya!
Pada edisi kedua, Haikal nampaknya mendapat tekanan para puritan sehingga ia bahkan menghapus kata-kata penting Rasulullah Saw dan hanya menulis: "....Dia berkata kepada mereka, " Siapa di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusan ini? Seluruh hadirin menjauh darinya ....."[23]
Hayat Muhammad, edisi kedua, hal.140.
[1] . Penuli-penulis ini mewakili kaum Salafi/Wahabi, dan buku-buku anti-Syiah mereka telah disebarkan ke seluruh penjuru dunia atas dukungan dana raksasa dari negara-negara Petro-Dolar di Timur Tengah, khususnya setelah meletusnya Revolusi Islam di Iran yang dipimpin oleh 'Ulama Syiah.
[2] . Fajrul Islâm, hal.33. yang membantah Aslusy Syiah wa Usluhu karya Muhammad Husain Kâsyiful Ghitâ (Qum: Mu'assasa al-Imam Ali, 1515,) hal.140,142; juga lihat terjemahan Inggrisnya yang terakhir , The Shi'ah Origin and Faith (Karachi:Islamic Seminary,1982).
[5] . Abdulaziz Abdulhussein Sachedina, Islâmic Messianism :The Idea of Mahdi in Tewelver Shi'ism (Albany: State Universities of New York,1981) hal. 4. Dr. Sachedina dulunya belajar di Universities of Aligarh (India), Masyhad (Iran), dan Toronto. Islamic Messianism merupakan edisi revisi dari disertasi doktoralnya yang dipersembahkan pada tahun 1976 di University of Toronto.
[9] . Rujukan peristiwa ini dan pembahasannya, silahkan lihat bagian "Kendali-diri dalam Sejarah Muslim.
[10] . Untuk pembahasan lebih lanjut tentang peristiwa Ghadir Khum ini, lihat bagian "Ghadir Khum dan Kaum Orientalis". Untuk otentisitas versi hadits ini (Kitabullah dan Ithrahku" sebagai lawan dari "Kitabullah dan Sunnahku), lihat, Hasan bin Ali as-Saqqaf, penulis Sunni, "The Book of Allah and What Else?" The Right Path, jilid.6 (#3 &4 Okt-Des 1997) hal. 44-49.
[11]. Pada daftar buku-buku rujukan ini, kita juga dapat menambahkan The Succesion of Muhammad oleh Wilferd Madelung diterbitkan pada tahun 1997. Buku ini merupakan kajian pertama yang dilakukan oleh seorang cendekiawan Barat yang mengakui bahwa kekhalifaan Abu Bakar tidak melalui mufakat, dan perbuatanya itu telah ditantang oleh Ali bin Abi Talib dan para sahabatnya. Karya ini merupakan terobosan baru di dunia Barat/Cendekiawan non-Muslim yang berkata bahwa fakta perbedaan Syiah-Sunni bermula setelah meletusnya perang sipil, yakni setelah terbunuhnya 'Utsman bin Affan dan selama perang antara Imam Ali melawan Muawiyah.
[13]. Islamic Messianism, hal. 5
[14]. Sachedina, "Wilayah of Imam Ali and Its Theological-Juridicial Implications for The Islamic Political Thought" dalam Ghadir (Toronto: Islamic Shi'a Ithna- 'Asheri Jamaat & NASIMCO, 1990), hal. 54.
[15] . Kebanyakan sejarawan muslim dan penafsir Quran telah menukil peristiwa ini. Lihat sumber-sumber rujukan Sunni berikut ini: at-Tabari, at-Târikh, jilid. 1 (Leiden, 1980 offset dari edisi 1789) hal. 171-173; Ibn al-Atsir, al-Kâmil, jilid. 5 (Beirut, 1965) hal. 62-63; Abu al-Fida, al-Mukhtashar fi Târikh al-Basyar, jilid. 1 (Beirutm tanpa tahun) hal. 116-117; al-Khazin, at-Tafsir, jilid. 4, (Kairo, 1955) hal. 127; al-Baghawi, at-Tafsir (Ma'âlimu at-Tanzil), jilid. 6 (Riyadh: Dar Tayyiba, 1993) hal. 131; Al-Baihaqi, Dalâil an-Nubuwwah, jilid. 1, (Kairo, 1969) hal. 428-430; as-Suyuti, ad-Durru al-Mantsur, jilid. 5 (Beirut, tanpa tahun) hal. 97; Muttaqi al-Hindi, Kanz al-'Ummâl, jilid. 15 (Haidarabad, 1968) hal-hal, 100, 113, 115. Untuk referensi lebih lanjut, lihat 'Abdu al-Husain al-Amini, al-Ghadir, jilid. 2 (Beirut, 1967) hal-hal. 278-289. Dalam bahasa Inggris, lihat, Sayid Saeed Akhtar Rizvi, Imamate: The Vicegerency of the Prophet (Tehran: WOFIS, 1985) hal-hal. 57-60 (edisi Indonesia, Imamah: Khalifah Rasulullah). Untuk diskusi panjang ihwal isnad dan makna hadis Nabi Saw dalam peristiwa ini, dan juga perbedaan-perbedaan pada sumber-sumber awal Sunni dan Syiah, lihat Dr. Sayid Talib Husain ar-Rifai, Yawmu ad-Dar (Beiru: Dar al-Azwa, 1986)
[16]. Ibn Hisyam, Sirah an-Nabawiyyah, jilid. 1, (Kairo: Mustafa al-Halabi & Sons, 1955) hal. 11-12; Juga lihat terjemahan Inggrisnya oleh A. Guillaume, The Life of Muhammad (Lahore: Oxford University Press, 1955) hal. 691. Lihat juga pengantar oleh Dr. Asghari Mahdawi pada terjemahan Persia yang dilakukan oleh Rafiuddin Hamadani, Sirat-e Rasulullah, (Tehran, Bunyad Farhang-e Iran, 1360 Syamsiah) hal. Nun.
[18] . Abu Ja'far at-Tusi, Kitâb al-'Amali, jilid. 2 (Najaf: Maktabatu al-Haidari, 1964) hal. 194091.
[19]. Lihat pengantar as-Sirah an-Nabawiyyah, jilid. 1, hal. 15-17; lihat juga Guillaume, The Life of Muhammad, hal. xxxiv-xxxviii.
[20]. Lihat edisi 1879 EJ Brill, Leiden (jilid. 3 hal. 1173), edisi 1908 Daru al-Qamusi al-Hadits, Kairo (jilid. 1 & 2, hal. 217), dan juga edisi 1961 Dar al-Maarif, Kairo, editor Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim (jilid. 2, hal. 321) yang di dalamnya kalimat aslinya utuh dinukil. Bahkan edisi Inggris at-Tabari yang dicetak oleh State University of New York, jilid. 6 (penerjemah: W. M. Watt dan MV McDonald) hal. 90-91 telah menukil kalimat asli Nabi Saw tanpa kealpaan.
[21]. Antonie Wessels, A Modern Arabic Biography of Muhammad (Leiden: EJ Brill, 1972) hal. 223, 245; Lihat juga 'Abdul Husain Syarafuddin al-Musawi, al-Muraja'at (Dialog Sunni-Syiah), yang diberi keterangan oleh Husain ar-Razi (Beirut: tanpa penerbit, 1982) hal. 189.
[24]. Ibn Taimiyyah, Minhâj as-Sunnah, jilid. 4 (Kairo: al-Matba' al-Kubra al-Amiriyya, hal. 1322) hal. 81.
[25]. Sayid Abu al-Qasim al-Khui, Mu'jâm Rijal al-Hadits, jilid. 10 (Beirut: Madina al-'Ilm, 1983) hal. 55-56.
[26]. Muta at-Tarabisyi, Ruwât Muhammad bin Ishâq bin Yasâr fi al-Maghâzi wa as-Siyâr wa Sâiri al-Marwiyyât (Damascus: Dar al-Fikr, 1994) hal. 149.
[28] . Sayid Syarafuddin al-Musawi, al-Murâja'ât, hal. 129; juga lihat terjemahan Inggris oleh M. A. H. Khan, The Right Path (Blanco, Texas: Zahra Publication, 1986) hal. 85-86.
[29]. Adz-Dzahabi, Mizân al-I'tidâl, jilid. 2 (Egypt, Dar Ihya al-Kutub al-'Arabiyya, tanpa tahun) hal. 192.
[31] . Bagian ini merupakan versi revisi dari sebuah tulisan yang pertama kali dipublikasikan secara bersamaan dalam edisi majalah dwi bulanan The Light (June 1990) dan dalam Ghadir (Toronto: ISIJ & NASIMCO, July 1990) dengan judul "Orientalist & the Event of Ghadir Khumm."
[33] . Hodgson, M.G.S., The Venture of Islam, jilid. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974) hal. 27.
[34]. Hourani, A., "Islamic History, Middle Eastern History, Modern History," in Kerr, M. H. (ed) Islamic Studies: A Tradition and Its Problems (California: Undena Publications, 1979) hal. 10.
[38]. Hodgson, op. cit., hal. 66-67.
[39] . Ibn Khaldun, The Muqaddimah, terjemahan, Franz Rosenthal, jilid. 1 (New York: Pantheon Books, 1958) hal. 403. Dalam edisi aslinya, lihat jilid. 1 (Beirut: Maktabul Madrasah, 1961) hal. 348..
[40]. El², hal. 993 dengan judul "Ghadir Khum."
[41]. Goldziher, Muslim Studies, terjemahan, Barber dan Stern, jilid. 2 (Chicago: Aldine Inc., hal. 1971) hal-hal. 112-113.
[44] . Hughes, Thomas P., A Dictionary of Islam (New Jersey: Reference Book Publishers, 1965) hal. 138.
[47]. At-Thathaba'i, 'Abdul 'Aziz, al-Ghadir fit Turatsil Islami, (Qum: Nasyr al-Hadi, 1415) hal. 7-8
[50] . Haikal, M.H., Hayât Muhammad, (2nd edition) hal. 478; lihat juga terjemahannya, The Life of Muhammad, terjemahan al-Faruqi (American Trust Publication, 1976) hal. 492.
[53] . Untuk referensi lebih lengkap, lihat al-Amini, al-Ghadir, jilid. 1 (Tehran: Muassasatul Muwahhidi, 1976) hal. 166-168.
[55] . Al-Amini membeberkan nama-nama muhaddits (ahli hadis) Sunni yang telah menukil pertanyaan di atas, termasuk di antara mereka adalah Ahmad bin Hanbal, Ibn Majah, an-Nasa'i, dan at-Tirmidzi. Lihat al-Ghadir, jilid 1, hal. 370-371
[56] . Lihat al-Amini, al-Ghadir, jilid 1, hal-hal. 270-283 untuk referensi dari sumber-sumber Sunni.
[57]. Konteks-konteks ini adalah bersumber dari kitab al-Ghadir karya Allamah Amini yang diringkas oleh Rizvi dalam Imamate: The Vicegerency of the Prophet.
[58]. An-Nasai, Al-Khasâis, Ali bin Abi Thalib, hal. 92-93; at-Tirmidzi, Shahih, jilid 5, hal. 632 (hadis #3712), dan Jamiush Shagir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar