Islam bermula ketika Nabi Muhammad Saw berusia empat puluh tahun. Sebelumnya dakwah Rasulullah Saw bersifat sembunyi-sembunyi. Kemudian tiga tahun selepas kemunculan Islam, Nabi Saw diperintahkan supaya memulai dakwah terbuka untuk menyampaikan pesan-pesan samawi. Kejadian ini berlangsung ketika Allah Swt mewahyukan ayat: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (Qs. Asy-Syu'araa:214)
Ketika ayat ini turun, Rasulullah Saw mengadakan sebuah perjamuan yang dikenal dalam sejarah sebagai " Da'wat dzu 'l Asyira". Rasulullah Saw mengundang sekitar empat puluh laki-laki kerabatnya dari Bani Hasyim dan meminta Ali bin Abi Thalib untuk menyiapkan jamuan makan malam. Setelah menjamu tamu-tamunya dengan makanan dan minuman, Rasulullah Saw bermaksud untuk berbicara kepada mereka tentang Islam, Abu Lahab mendahuluinya sambil berkata kepada para tamu ketika itu, katanya: "Tuan rumahnya telah lama menyihir Anda". Seluruh tamu membubarkan diri sebelum Rasulullah Saw menyampaikan pesannya.
Rasulullah Saw kemudian mengundang mereka lagi pada hari berikutnya. Setelah perjamuan, ia berkata kepada mereka: "Wahai Bani Abdul Muttalib, Demi Allah, Aku tidak kenal seseorang pun dari bangsa Arab yang datang kepada umatnya lebih baik dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku datang membawa sesuatu untuk kebaikan kalian dunia dan akhirat. Aku telah diperintahkan oleh Allah Swt untuk mengajak kalian kepada-Nya. Oleh karena itu, siapa di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusan ini sehingga ia akan menjadi saudaraku (akhi), penggantiku (wasiyyi) dan khalifah sepeninggalku?
Proklamasi ini merupakan perkataan yang terang karena hadirin memahami penunjukan Ali sangat jelas. Beberapa di antara hadirin, termasuk Abu Lahab, bahkan dengan bercanda ia berkata kepada Abu Talib bahwa kemenakanmu, Muhammad, memerintahkanmu untuk mendengarkan anakmu dan mentaatinya! Setidaknya, seloroh Abu Lahab ini menunjukkan bahwa pengangkatan Ali bin Abi Talib adalah masalah yang terang dan jelas (eksplisit), tidak samar (implisit).
Seluruh kaum muslim sepakat menerima dimensi pertama dari wilâyah Ahlulbait ini. Mencintai Ahlulbait merupakan "dharuriyat ad-din" (ushuluddin). Termasuk shalawat[34] dalam salat setiap hari adalah sebagai bukti yang cukup untuk hal ini. Lihat kitab-kitab anti-Syiah seperti as-Shawâiqul Muhriqa, Ibnu Hajar al-Makki dan Tuhfa-e Ithna Ashariyayh milik Shah 'Abdul 'Aziz Dehlawi, dan anda akan mengetahui bahwa Ahlusunnah berusaha dengan segenap kekuatan untuk menjelaskan bahwa mereka menentang orang-orang Syiah, namun tidak kepada Syiah Imamiyah karena mereka tahu bahwa mencintai Ahlulbait merupakan bagian esensial dalam keimanan.
Cinta kepada Ahlulbait seperti tercermin firman Allah Swt: "Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan". (Qs Asy Syuraa [26]:43) yang telah kita bahas bersama pada bab sebelumnya. Di sini saya hanya akan mengutip satu lagi hadis dari kitab Ahlusunnah. Imam Ali berkata, "Demi Allah Yang telah memecah butir padi, biji dan mencipta jiwa, sesungguhnya Rasulullah Saw telah berjanji bahwa tidak ada yang mencintaiku kecuali dia seorang beriman dan tidak ada yang membenciku kecuali ia seorang munafik."[35] Sebenarnya Jabir bin Abdullah al-Ansari dan Abu Sa'id al-Khudri, dua sahabat utama Nabi, pernah berkata: "Kami tidak mengenali kaum munafik kecuali kebencian mereka terhadap Ali."[36]
Sudah menjadi pandangan umum para ulama Syiah bahwa siapa pun yang menolak salah satu dari dharuriyat ad-din ini, maka dia tidak dipandang lagi sebagai seorang yang beriman.[37] Dan juga berdasarkan kepada prinsip ini, Khawarij dan Nawasib (mereka yang menyatakan secara terbuka kebencian dan permusuhannya terhadap Ahlulbait) dipandang sebagai non-Muslim oleh para fuqaha Syiah.[38]
Dimensi Kedua : Bimbingan Ruhani
Dimensi kedua dari wilâyah ini adalah sebuah keyakinan yang disepakati secara umum oleh Syiah, demikian juga oleh sebagian besar Ahlisunnah khususnya yang mengikuti tarekat-tarekat sufi. Tidak ada yang lebih baik merefleksikan interpretasi ini selain yang diberikan oleh Maulawi Salamat Ali, seorang ulama Sunni dari India, sehubungan dengan hadis al-Ghadir. Ia menulisnya dalam at-Tabsira, "Ahlisunnah tidak meragukan imâmah Amirul Mukminin Ali; dan hal ini merupakan esensi iman. Bagaimanapun, ini perlu, dalam mengambil hadis al-Ghadir ini, ia bermakna Imâmah Ruhani bukan politik. Hal ini merupakan makna yang diambil dari komentar ulama Ahlisunnah dan ulama Sufi, dan, akibatnya, baiat seluruh tarekat-tarekat sufi sampai ke Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib dan melalui Imam Ali mereka dapat tersambung hingga ke Rasulullah Saw."[39]
Selain dari tarekat NaqSyabandi, seluruh sufi ditelusuri mata rantai ruhani mereka sampai kepada para Imam Ahlubait, dan berakhir pada Imam Ali bin Abi Talib sebagai orang yang memegang wewenang spiritual par excellence setelah Nabi.[40] Tarekat Naqsabandi jika ditelusuri pemimpin spiritual mereka kembali kepada Imam Jafar Sadiq dan mengikut nasab dari ibunya kepada Muhammad bin Abu Bakar dan kemudian ke Abu Bakar. Pengalihan yang berasal dari Imam ash-Shadiq kepada Abu Bakar adalah, betapapun tidak sahih, karena Muhammad bin Abu Bakar tumbuh dewasa dalam bimbingan Imam Ali bin Abi Thalib yang menikahi ibunya, Asma binti Umays, setelah wafatnya Abu Bakar. Dan ustad ruhani Muhammad bin Abu Bakar hanyalah Imam Ali bin Abi Thalib As.
Dimensi Ketiga dan Keempat :
Wilâyah Sosio-politik dan Semesta
Dimensi ketiga dan keempat dari wilâyah ini merupakan wilâyah yang unik dari keyakinan Syiah, dan dipandang sebagai bagian dari dharuriyat al-mazhab, bagian asasi dari mazhab Syiah. Dan pandangan umum ulama Syiah menyatakan bahwa siapa yang menolak salah satu dari daruriyat al-mazhab, tidak dipandang sebagai seorang penganut mazhab Syiah.
Kedudukan Ahlulbait
di antara kaum Muslimin
| Sunni | Sufi | Syiah |
Kecintaan Ahlulbait | √ | √ | √ |
Bimbingan Ruhani Ahlulbait | X | √ | √ |
Kepemimpinan Politik Ahlulbait | X | X | √ |
Wilâyah Universal Ahlulbait | X | X | √ |
Penting untuk diperhatikan bahwa dimana saja Syiah menggunakan istilah imâmah atau imam, maka ini sudah mencakup seluruh empat dimensi dari wilâyah tersebut. Termasuk wilâyah spiritual (ruhani) dan universal demikian juga sosial dan kepemimpinan."[41]
Dalam definisi ini, istilah Syiah "imâmah" atau "imam" lebih komprehensif dari istilah Sunni "khilâfat" dan "khalifah". Dalam kitab-kitab yang berisikan dialog antara Syiah-Sunni ihwal kepemimpinan setelah Nabi, fokus pembahasannya lebih ditekankan pada kepemimpinan sosial-politik namun tidak dalam artian yang menafikan wilâyah spiritual dan universal Imam. Sehingga ketika sedang membaca atau berdiskusi masalah suksesi Nabi Muhammad Saw, seseorang seharusnya tidak kehilangan muatan universal tentang status seorang imam menurut pandangan Syiah.
2. Wilâyah Universal
Nampaknya perlu untuk dijelaskan keempat dimensi wilâyah secara lebih jeluk sehingga pembaca dapat mengambil manfaat darinya.
Dimensi keempat dari wilâyah ini adalah wilâyah universal yang telah dianugerahkan kepada Nabi dan Ahlulbait. Wilâyah ini adalah sebuah wewenang yang memungkingan untuk wali untuk menggunakan kekuasaannya atas segala maujud. Dalam istilah Ayatullah Khomeini, "Merupakan sebuah khilafah yang menyangkut seluruh ciptaan, dengan keutamaannya sehingga seluruh atom-atom yang ada dalam semesta ini seluruhnya merendah dihadapan pemegang wilâyah ini."[42]
Wilâyah dari hamba-hamba mustafa (pilihan) Allah ini bergantung sepenuhnya kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Pandangan ini tidak dapat ditinjau secara horizontal tapi secara vertikal vis-á-vis (berhadapan dengan) kekuasaan Allah Swt. Kita dalam hal ini menggunakan hierarki vertikal bahwa Allah-lah yang memberikan kehidupan dan kematian. Allah berfirman :
"Allah memegang jiwa (orang) pada saat mereka mati " (Qs. Az Zumar [39]:42)
Tapi pada saat yang sama, al-Qur'an juga menisbatkan kematian kepadanya malaikat-Nya dengan berfirman :
"Katakan : Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawamu) akan mematikan kamu". (Qs. as-Sajdah [32]:11)
Jika Anda menempatkan muatan-muatan kedua ayat ini secara berdampingan (bentuk horizontal), maka Anda telah berbuat syirik, politheism. Tapi jika anda menempatkannya dalam bentuk vertikalnya (dengan kekuasaan malaikat-malaikat di bawah dan bergantung kepada kekuasaan Allah Swt), maka tauhid Anda terpelihara.
Demikian juga, jika kita menempatkan kekuasaan dan wewenang 'anbiya (para nabi) dan aimmah (para imam) dalam bentuk vertikal (dengan keyakinan bahwa kekuasaan mereka di bawah dan bergantung pada kekuasaan Allah Swt), maka kita telah memelihara tauhid juga status hamba-hamba pilihan Allah tersebut.
Al-Qur'an memberikan beragam contoh orang-orang yang telah diberikan wilâyah di alam semesta ini.
1. Dalam menjelaskan kekuasaan bahwa Allah Swt, telah memberikan kepada Nabi 'Isa bin Maryam As, al-Qur'an mengisahkannya sebagai berikut :
"Dan Allah akan mengajarkan kepadanya Al Kitab, Hikmah, Taurat, dan Injil." ( Qs. Al imran [3]:48)
2. Dalam menjelaskan kekuasan-kekuasaan yang diberikan kepada Nabi Sulaiman, al-Qur'an mengisahkannya sebagai berikut :
"Kemudian kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut apa saja yang dikehendakinya " ( Qs Shaad [38]:36)
"Dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan semuanya ahli bangunan dan penyelam." (Qs. Shaad [38]:37)
"Inilah anugerah Kami, maka berikanlah (kepada orang lain) atau (tahanlah untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggung jawaban. " (Qs Shaad [38]:40)
Juga pada firman-Nya:
"Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan Kami telah tundukkan (pula kepada Sulaiman) segolongan setan-setan yang menyelam (ke dalam laut) untuknya dan mengerjakan pekerjaan selain dari pada itu dan adalah Kami memelihara mereka itu." ( Qs. al-Anbiyaa' [21]: 81-82)
3. Dalam menjelaskan kekuasaan Asif bin Barkhiya, perdana menteri Nabi Sulaiman, al-Qur'an menceritakan adegan detik-detik sebelum Ratu Shiba dan rombongannya datang mengujunginya :
"Berkata Sulaiman: " Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri. Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu, sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya. Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: "Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya)." (Qs. an-Naml [27]: 38, 39 & 40)
Pada ketiga contoh dari al-Qur'an ini, kita melihat bahwa Allah Yang Maha Kuasa telah menganugerahkan kekuasan kepada hamba-hamba pilihan-Nya, memberikan nafas kepada seekor binatang, menghidupkan orang yang telah mati, menyembuhkan orang yang buta dan yang mengidap penyakit lepra, menundukkan jin untuk menunaikan tugas mereka, membawa sesuatu dari jauh hanya dalam sekejap mata, dan sebagainya. Contoh-contoh ini memadai untuk menunjukkan bahwa kekuasaan-kekuasaan seperti itu dapat diberikan dan telah diberikan oleh Allah Swt kepada orang yang dikehendaki-Nya. Kekuasaan ini dalam teologi Syiah dikenal sebagai "al-wilâyah at-takwiniyah " (kekuasaan untuk mengatur alam semesta atau wilâyah universal)."
Allah telah memberikan peringkat-peringkat kepada para nabi dan rasul "Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain." (Qs. al-Baqarah [2]:253) dan "Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain) ."(Qs. al-Isra' [17]:55), dan kepada seluruh kaum muslimin yang meyakini bahwa Nabi Saw, Muhammad al-Mustafa, berada pada peringkat yang tertinggi dari seluruh para nabi dan rasul."[43]
Seluruh para nabi dan rasul datang untuk menyiapkan umat mereka dalam rangka menyambut Rasulullah, Muhammad Saw, sebagai Rasul untuk seluruh alam semesta dan Rasul pamungkas. Jika para nabi seperti Nabi Sulaiman, Dawud, 'Isa dan Musa dan juga perdana menteri Nabi Sulaiman, dianugerahkan kekuasaan menundukkan alam semesta, kemudian diikuti oleh kemestian bahwa Nabi Muhammad niscaya telah dianugerahkan dengan kekuasaan yang lebih untuk menundukkan alam semesta. Dua contoh telah dengan jelas disebutkan dalam al-Qur'an. Kemampuan Nabi Saw untuk berjalan melintasi relung ruang dan waktu dengan raga materinya. (Qs. al-Israa' [17]:1; An-Najm [53]:5-8), dan membelah bulan dengan menunjuknya dengan tangan. (Qs. al-Qamar [54]:1).[44]
Imam Ali dan para Imam Ahlulbait diyakini oleh para pengikutnya (baca: Syiah) lebih tinggi kedudukannya daripada seluruh para nabi dan rasul kecuali Rasulullah Saw.[45] Dan sebagai sebuah kemestian bahwa mereka juga telah diberikan kekuasaan oleh Allah Swt seperti yang telah diberikan kepada Rasulullah Saw.
Pada poin ini, saya hanya akan menyebutkan satu ayat dari al-Qur'an berkenaan dengan masalah ini. Selama masa awal-awal di Mekkah, ketika para penyembah berhala mengingkari seruan Nabi, Allah Swt menurunkan sebuah ayat untuk menghibur hati beliau: "Berkatalah orang-orang kafir: "Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasul." Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu dan antara orang yang mempunyai ilmu Al Kitab." (Qs. ar-Ra'd [13]:43)
Nabi Muhammad dihibur bahwa tidak menjadi masalah jika para penyembah berhala itu tidak mempercayai seruanmu itu; sudah cukup bahwa Allah dan "Orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang al-Kitab" menjadi saksi atas kebenaran seruanmu. Siapakah yang disebut oleh Allah menjadi saksi atas seruan Nabi ini? Siapakah yang memiliki pengetahuan atas al-Kitab ini? Menurut riwayat-riwayat Syiah, yang didukung juga oleh kitab-kitab Ahlisunnah, orang yang menjadi saksi dan memiliki ilmu pengetahuan seperti yang dimaksud di atas adalah Ali bin Abi Talib.[46] Sudah pasti tidak ada di antara sahabat-sahabat Nabi yang dapat mengklaim lebih memiliki ilmu pengetahuan daripada Ali bin Abi Talib.
Bagaimana uraian "memiliki pengetahuan tentang al-Kitab" membuktikan wilâyah universal Ali? Jika anda menyebut Asif Barkhiya, perdana menteri Nabi Sulaiman, demikian memiliki kekuasaan dapat membawa mahkota Ratu Saba dalam sekejap mata". Asif dikisahkan sebagai seseorang yang memiliki "ilmun min al-kitab" (pengetahuan tentang sebagian al-Kitab, tidak "pengetahuan tentang seluruh al-Kitab)." Sebagai perbandingan, Imam Ali dikisahkan oleh Allah sebagai seseorang yang memiliki "ilmul kitab" – pengetahuan tentang seluruh al-Kitab, tidak hanya sebagian dari al-Kitab sebagaimana Asif Barkhiya. Dengan demikian, tidak terlalu sulit untuk menyimpulkan bahwa kekuasaan Imam Ali atas alam semesta niscaya lebih unggul daripada Asif Barkhiya yang dapat membawa mahkota dari jauh sebelum "mata berkedip."
Lagi, penting untuk diingat, saya harus menyebutkan bahwa keyakinan ini harus diteliti dalam bentuk vertikal vis-á-vis (berhadapan dengan) kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa, dan hanya dalam format itu kita dapat menjaga konsep tawhid yang menyatakan bahwa Allah adalah Pemegang Kekuasaan Mutlak dan sumber segala kekuasaan. Ini juga mengingatkan kita akan kebergantungan total hamba-hamba pilihan itu kepada kehendak dan kekuasaan Allah yang memerintahkan Nabi-Nya untuk berkata. "Katakanlah : Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. " (Qs. al-A'raaf [7]:188) Perkataan Nabi ini bukanlah sebuah penafian bahwa beliau tidak memiliki kekuasaan; sebuah penegasan keyakinan bahwa kekuasaan apa saja yang beliau miliki bersumber dari kehendak dan keridaan Allah Swt.
3. Wilâyah: Spritual vs Politik
Cendekiawan yang menulis artikel dalam Bio-Ethics Encyclopedia (di dalamnya ia menulis bahwa Nabi Saw "tidak meninggalkan arahan tersurat (eksplisit) ihwal suksesi yang menggantikan peran memegang peran wewenang (Wilâyah) agama dan politik "telah menimbulkan pembahasan yang hangat di tengah umat. Tanggapan-tanggapan yang ditulis cendekiawan ini kepada umat dan komentar-komentar yang kemudian ia buat dalam sebuah majlis Muharram 1419 di Toronto, memberikan gambaran bahwa ia masih bingung tentang konsep wilâyah ini.
a. "Hanya Wilâyah Spiritual, bukan Politik"
Pertama, cendekiawan ini mengklaim bahwa wilâyah Nabi dan para Imam hanyalah wilâyah spiritual dan bukan politik. Ia berkata :
"Sebenarnya, Nabi Saw tidak pernah dikenal sama sekali sebagai pemimpin politik. Tidak, itu sama sekali tidak benar. Nabi dikenal sebagai Rasulullah, pembawa risalah Tuhan. Tidak ada politik, tidak ada bahasa politik yang dilekatkan padanya. Tidakkah ini yang diajarkan oleh ilmu pengatahuan moderen kepada kita; cara Iran mengatakan kepada kita berulang kali bahwa Nabi Saw adalah seorang pemimpin politik. Tidak. Beliau dikenal secara azasi dan esensial sebagai seorang Nabi Allah.[47]
"Tugas kenabian adalah membimbing umat kepada kesempurnaan. Dan kesempurnaan tidak dapat dicapai secara perorangan – ia harus dilakukan sebagai anggota dari umat. Umat bermakna sebuah komunitas di bawah seorang nabi sebagai nabi, bukan sebagai pemimpin politik.
"Kini kita ketahui mengapa "man kuntu mawlahu fa hadza Aliyun mawlahu" berarti sesuatu yang teramat-sangat penting. Nabi Saw bisa saja berkata, man kuntu khalifah fa hadza khalifa'. Dan beliau juga dapat berkata "man kuntu hakiman fa hadza hakiman."
Ia tidak menggunakan setiap istilah yang kita gunakan dalam istilah politik dalam mengemban wewenang pemimpin politik dan sebagainya.
"Lihat susunan kata yang dipilih oleh Allah Swt dalam membimbing. Lagi pula, Nabi Saw adalah "ma yantiqu 'anil hawa in huwa illa wahyun yuha." Beliau diberikan perintah-perintah. "Mawla" apa arti kata mawla ini? Allah Swt berfirman dalam al-Qur'an "wal kafirun laysa lahum mawla." Kaum kafir tidak memiliki mawla. Mereka tidak memiliki seorang mawla – mereka tidak memiliki pelindung, penjaga, mereka tidak memiliki seseorang yang memelihara mereka. Inilah arti mawla.."[48]
Cendekiawan ini berkata bahwa nubuwwat tidak termasuk kepemimpinan politik, dan kata mawla yang digunakan oleh Nabi Saw di Ghadir Khum tidak bermakna khalifah (pengganti peran politik) atau hakim (pengatur). Dengan kata lain, ia mengeluarkan dimensi ketiga dari wilâyah dari istilah "mawla" dan membatasinya kepada dimensi kedua (bimbingan ruhani). Dalam usahanya untuk meyakinkan jamaahnya, ia membuat kesalahan hipotetikal dan gramatikal kalimat-kalimat Arab yang tidak ada makna sama sekali. Sebagai contoh, kalimat "man kuntu khalifah fa hadza [lahu] – barangsiapa yang menjadikan aku sebagai penggantinya, maka ini dia penggantinya." Apakah khalifa' (pengganti) Nabi Saw adalah salah seorang hadirin ketika itu? Tentu saja tidak; dan inilah alasan mengapa beliau tidak menggunakan istilah "khalifah" dalam hadis al-Ghadir.
Sebagaimana yang telah kita bahas pada bagian-bagian sebelumnya (bagian keempat dari buku ini), untuk dapat mengerti makna "mawla" yang digunakan oleh Nabi Saw untuk Imam Ali, Anda tidak perlu pergi terlalu jauh. Hanya menimbang pertanyaan yang beliau tanyakan kepada kaum muslimin yang hadir di hadapan Ali sebagai "mawla". Nabi Saw bertanya kepada mereka, "Apakah aku lebih memiliki wewenang atas diri kalian lebih atas wewenang kalian atas diri kalian sendiri? A lastu awla bi kum min anfusikum?"[49]
Ketika itu mereka menjawab, "Tentu saja, Wahai Rasulullah," lalu beliau bersabda: "Man kuntu mawla fa hadza Aliyun mawlahu – barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya." Nabi Muhammad Saw niscaya tengah membicarakan seorang pemimpin yang lebih memiliki wewenang (awla) atas orang-orang melebihi wewenang atas diri mereka sendiri, dan juga termasuk wewenang dalam urusan politik. Dan, oleh karena itu, Nabi tidak perlu lagi berkata "man kuntu ['alayhi] hakiman, fa hadza ['alayhi] hakiman."
Cendekiawan kita ini melanjutkan pembicaraannya :
"Nabi Saw ketika memperkenalkan wilâyah Imam Ali di tengah umat, apa yang beliau katakan? Man kuntu mawla fa hadza Aliyun mawlahu." Apa yang dimaksudkan oleh beliau adalah bahwa "Siapa saja yang memandang aku sebagai contoh teladan untuk diikuti hingga mencapai keselamatan," Ali adalah orang yang harus diikuti." Pertanyaannya adalah pertanyaan ketaatan. Mawla, adalah seseorang yang harus ditaati, seseorang yang tidak boleh dipandang enteng. Dalam istilah ini, Allah adalah mawla. Allah adalah mawla dari diin, jalan itu yang di atasnya kalian tidak mampu tebus untuk menentang Allah Swt....."[50]
Apakah kalimat di atas ini dan ketaatan dibatasi hanya kepada urusan-urusan spiritual belaka dan tidak termasuk urusan-urusan sosial-politik?
Hadis dari Abdulah bin Mas'ud
Untuk membuktikan poinnya bahwa deklarasi al-Ghadir tidak cukup tersurat untuk menyampaikan makna "khilâfat" dalam pengertian suksesi politik, cendekiawan kita ini berkata:
"Nabi tidak pernah memaksa. Setelah ia kembali dari Ghadir ke Madinah; suatu malam ketika beliau di rumah dengan Abdullah bin Mas'ud. Beliau berkata kepada Abdullah bahwa utusan Tuhan (malaikat maut) telah datang dan menghendaki kalau aku pergi; Nabi Saw telah menerima kabar tentang kematian beliau. Abdullah berkata, sebenarnya kabar ini terjadi setelah peristiwa Ghadir, Menunjuk seorang pengganti." Iya. Inilah yang sebenarnya yang beliau katakan. Mengapa Anda tidak menunjuk Abu Bakar?" Nabi menggelengkan kepalanya dan berkata, tidak. Beliau menyebutkan satu persatu orang yang hadir di situ malam itu. (Aku tidak tahu nilai hadis ini; Syaikh Mufid menyebutkannya dan aku menukilnya dari Syaikh Mufid. Saya di sini tidak bermaksud menguji dan menilai seberapa otentik hadis ini. Tapi, saya ingin katakan kepada Anda ini menunjukkan keadaan pada suatu umat. Jika hadis ini benar, hadis ini menunjukkan keadaan umat.[51] Hadis Abdullah berlalu; dan Nabi bertanya, "Apa yang seharusnya saya lakukan?" Abdullah berkata. "Mengapa Anda tidak menunjuk 'Umar, mengapa Anda tidak menunjuk Utsman?" Dan akhirnya 'Abdullah berkata, "Mengapa Anda tidak menunjuk Ali?" Dan Nabi berkata, dan ia lemah kali ini, Duhai aku berharap, mereka mentaati. Aku berharap mereka mentaati."[52]
Pertama, percakapan antara Nabi dan Abdullah bin Mas'ud tidak terjadi di Madinah setelah deklarasi al-Ghadir sebagaimana cendekiawan ini para pendengar meyakininya ("Sebenarnya, ini setelah Ghadir). Pada permulaan dari kisah ini, Abdullah berkata, "Kami pergi keluar bersama Rasulullah Saw pada malam pengutusan jin hingga kami [tiba] tinggal beberapa saat di 'Ula." 'Ula adalah sebuah tempat Nabi berhenti dalam perjalanannya menuju Tabuk.[53]
Kedua, peristiwa yang dihubungkan dengan utusan jin terjadi ketika Nabi dalam perjalanan menuju Tabuk pada tahun 9 H.[54] Dan peristiwa Ghadir Khum terjadi pada tahun 10 H.
Ketiga, sesuai dengan metodologi para cendekiawan Barat, tidak akan menjadi hasil dengan nama yang diusulkan oleh Abdullah bin Mas'ud sendiri sebagai sebuah indikasi bahwa hadis ini adalah hadis yang dibuat kemudian (baca: palsu)? Mengapa para cendekiawan Barat begitu cepat menolak hadis-hadis yang dinukil oleh Syiah yang bermuatan nama-nama para imam dengan kelanjutan layak tapi tidak memberlakukan standar ketat (baca : meragukan) terhadap hadis-hadis Sunni? Jawabannya mudah. "Aku berkata bahwa aku tidak tahu nilai hadis ini....." Pertanyaan saya hanyalah , mengapa membuat umat bingung dan menciptakan keraguan dalam kejelasan sabda Nabi Saw pada deklarasi al-Ghadir dengan menukil sebuah hadis Abdullah bin Mas'ud secara tidak bertanggung jawab?
Dengan landasan rapuh ini, cendekiawan kita ini mengambil sebuah kesimpulan dengan berkata :
"Sangat terang, ada pertanyaan besar terhadap peran agama yang dimainkan oleh Nabi Saw di tengah umat. Umat melihat sendiri bahwa ia didirikan di bawah kepemimpinan Nabi Saw. Ketika ia pergi, seseorang harus menggantikan kedudukannya – dengan wewenang yang sama. Dan hari ini adalah hari dimana kita masih mencari penafsirannya."
Alhamdulilah pengikut sejati Nabi Saw memahami tafsiran sebenarnya pada peristiwa Ghadir Khum sendiri. Dan semoga Allah Yang Maha Kuasa menolong mereka yang masih mencari penafsiran yang sebenarnya dari istilah "mawla" dan status "waliyullah" ini.
Arti imâmah
Dengan ceramah yang sama, cendekiawan kita ini lebih jauh menjelaskan arti imâmah dengan berkata :
"Sistem keyakinan berkata bahwa setiap orang yang memiliki hak untuk wajib ditaati setelah Nabi Muhammad Saw adalah Ali bin Abi Talib. Hal ini berarti imâmah. Anda buka kitab-kitab ilmu Kalam, Anda akan temukan para mutakallimin (teolog) menjelaskan Imam Ali sebagai, seseorang yang harus ditaati oleh umat. Mengapa ia harus ditaati? Karena ia duduk persis di tempat Nabi Muhammad Saw ....
"Imam Ali merupakan imam sejak Nabi Muhammad Saw wafat. Terlepas dari apakah ia menjadi khalifah atau tidak. Bagaimana ia dapat menjadi imam tanpa menjadi seorang khalifah, tanpa duduk di singgasana? Itu bukan syarat utama. Karena ketaatan sudah memadai menggantikan kedudukan Nabi Muhammad Saw."
Untuk mempertahankan tulisannya dalam Bio-Ethics Encylopedia, cendekiawan ini telah membagi "imâmah" dan "khilâfah" menjadi dua ranah yang berbeda: "imâmah" menjadi sebuah maqam spritual sementara "khilâfah" menjadi sebuah maqam politik. Katanya, "imâmah tidak lebih dari itu", dan bahkan dengan tegas meminta orang-orang yang mendengarkan cerahmahnya (audience) untuk "membuka kitab-kitab ilmu kalam (teologi)...."
Jadi, kita buka kitab-kitab ilmu Kalam dari berbagai masa dan menemukan komentar-komentar cendekiawan ini berbanding terbalik dengan yang berlaku secara umum (mainstream) dalam keyakinan Syiah dalam makna dan cakupan "imâmah."
Syaikh Mufid (wafat 413 H/1022 M) mendefinisikan "imâm" sebagai berikut: "Imam adalah orang yang memiliki kepemimpinan komprehensif dalam urusan agama dan juga urusan dunia sebagai pengganti nabi."[55]
Allamah Hilli (wafat 726 H/1325 M) mendefiniskan imâmah sebagai berikut: "imâmah merupakan sebuah wilâyah universal (riyâsa) dalam urusan agama dan dunia yang dimiliki oleh beberapa orang dan berasal dari (niyaba) nabi."[56]
Abdur Razzaq Lahiji (wafat 1072 H) mendefinisikan imâmah sebagai berikut: "Ketahuilah bahwa imâmah adalah sebuah wewenang atas orang-orang baligh dalam urusan duniawi sekaligus urusan agama berdasarkan kepada penggantian nabi."[57]
Allamah Tabatabai' (wafat 1401 H/1981 M) menulis, imâmah dan kepemimpinan agama dalam Islam dapat dikaji dari tiga perspektif yang berbeda: Dari perspektif pemerintahan islami, ilmu pengetahuan dan dustur-dustur islami, dan kepemimpinan serta bimbingan spiritual. Syiah meyakini bahwa karena umat Islam sangat membutuhkan bimbingan dari ketiga aspek di atas, orang yang menjalankan fungsi sebagai orang yang memberikan bimbingan dan merupakan pemimpin umat dalam ketiga aspek di atas harus diangkat oleh Allah dan Nabi."[58]
Bahkan Murtada Muthahhari menyebutkan bahwa ketika Syiah menggunakan istilah "imâm", tidak hanya mencerminkan bimbingan spiritual dan kepemimpinan, tapi juga termasuk kepemimpinan sosial dan politik.[59]
Sebagaimana yang Anda lihat, seluruh mutakallimin dan ulama-ulama besar Syiah sepakat dalam definisi Imam sebagai sebuah kedudukan yang menggabungkan kepemimpinan spiritual/religius sekaligus kepemimpinan sosio-politik/duniawi. Bagi seorang Syiah, Ali adalah Imam yang pertama sekaligus Khalifah Rasulullah yang pertama. Seorang Syiah tidak akan pernah berkata bahwa Ali adalah Imam yang pertama tapi bukan khalifah bila fasl (langsung menggantikan Nabi, karena ada tiga khalifah sebelumnya, -penj.) Nabi. Perbedaan antara Syiah dan Sunni bukan masalah kepemimpinan spiritual; tapi pada masalah kepemimpinan sosial-politik segera setelah wafatnya Nabi. Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, pandangan bahwa Ahlulbait "pembimbing spiritual saja bukan pemimpin politik" adalah keyakinan yang bisa ditemukan di kalangan Sunni secara umum dan kaum Sufi secara khusus.[60]
b. "Politik Juga"
Lalu ceramah pada tanggal 6 Muharram 1419, cendekiawan kita ini, dengan sebuah cara, membantah komentarnya di atas. Ia berkata :
" ..Kenyataan yang masih tersisa bahwa al-Qur'an memandang Nabi Saw sebagai pemimpin umat, dan sebuah umat yang mencakup ranah agama, sosial dan politik. Dengan kata lain, mencakup kehidupan sipil, moralitas umat yang dipandu oleh seseorang, yang memiliki wewenang komprehensif, yang tidak dapat diterima oleh suku-suku Arab. Ketika peristiwa al-Ghadir terjadi, satu dimensi yang menantang dari peristiwa al-Ghadir adalah sebuah perkenalan konsep Qur'ani ihwal kepemimpinan. Wilâyah bermakna kepemimpinan, yang menggabungkan antara wewenang sipil dan akhlak dalam diri seseorang.
Artinya tidak ada pemisahan kekuasaan. Tidak ada gereja dan negara seperti ini, kecuali wewenang sipil dan akhlak tergabung dalam diri orang tersebut yang memegang pos wilâyah ini. Apa yang baru tentang masalah ini? Hal yang baru adalah bahwa dalam budaya Arab, bangsa Arab tidak pernah melihat seorang pemuda yang mengemban tugas sebagai pemimpin. Dalam budaya Arab tidak mungkin bagi seorang pemuda berusia tiga puluh tahun menjadi seorang pemimpin, karena bangsa Arab percaya bahwa orang tua yang harus menjadi pemimpin...[61]
Lagi pada ceramahnya yang kedelapan, ia berkata :
"Pertanyaan utama adalah apakah Islam merupakan sebuah sistem politik atau sebuah sistem agama? Ada dua pendapat mengenai hal ini. Banyak ulama yang bersilang pendapat ihwal masalah ini termasuk, Ayatullah Khui, Ayatullah Mutahhari, Ayatullah Khomeini, al-Ashmawi di Mesir, al-Jabiri di Maroko...Bagiku ada masalah penting yang terkait di sini. Jika kita mengatakan bahwa Islam bukan merupakan sebuah sistem politik, dan hanyalah sebuah sistem keagamaan yang hanya peduli pada usaha manusia kepada kesempurnaan dan menyiapkannya untuk akhirat, maka kita telah mengingkari peran utama yang dimainkan oleh Nabi dalam membentuk umat ini. ..
"Sembilan per sepuluh ajaran Islam terdiri dari muamalat, bagaimana Anda dapat berhubungan dan berinteraksi satu sama lain, bagaimana Anda mengelola urusan-urusan Anda di dunia ini karena apapun yang Anda lakukan di dunia ini memiliki implikasi pada dunia akhirat kelak. Dalam agama seperti ini, mengatakan bahwa Islam hanya sebuah agama tanpa sistem sosial adalah mengingkari kebenaran wilâyah. Sebenarnya, jika Anda mengingat kuliah saya pada malam kelima sebelumnya, karena wilâyah bermakna moral, wewenang sosial yang dapat menuntun Anda kepada tujuan utama penciptaan, dan tujuan utama penciptaan ini tidak akan diketahui hanya dengan salat lima kali sehari, berpuasa, tapi mengetahui bagaimana dapat hidup sebagai manusia dalam sebuah masyarakat. Sebaliknya, tidak akan ada otoritas sipil, Nabi Saw hanya dapat kita sebut sebagai an-nabi ar-ruhi..."[62]
Pernyataan ini memang benar. Mengapa cendekiawan kita ini pada ceramah keduanya berkata: "Nabi tidak pernah dikenali sebagai pemimpin politik"? Baguslah ia telah membuat klarifikasi dan berkata bahwa Nabi Saw tidak hanya sebagai pemimpin agama, tapi juga sebagai pemimpin politik. Setelah perang dunia pertama, ada sebuah debat yang hangat di Mesir tentang Westernization melawan Islam, mencoba mensekulerkan Islam dengan membatasi khilafat pada masalah-masalah spiritual dan memisahkannya dengan sistem politik ummat. Ali Abdur Raziq menulis al-Islam wa Usuluhul Hukm (1925) mengajukan usul pemisahan sempurna antara agama dan negara dalam Islam.[63] Gagasan-gagasan yang sama mencuat ke permukaan akhir-akhir ini dalam tulisan-tulisan intelektual muslim yang terpengaruh oleh gagasan-gagasan liberal/sekuler Barat.
4. Peran Para Imam di mata Ulama Najaf dan Qum
Lalu pada ceramahnya yang kesembilan, cendekiawan kita ini menimbang peran spiritual dan politik Nabi Saw dan para Imam As. Dan kini secara mengejutkan ia mengklaim bahwa bahkan ulama-ulama besar di Qum dan Najaf memiliki pandangan yang berbeda tentang masalah ini. Ia berkata :
" ...Najaf dan Qum terbagi dalam perdebatan hangat tentang peran politik Nabi. Najaf sebagai salah satu pusat pengkajian Syiah, dan Qum, kini pusat terpenting pengkajian Syiah terbagi menjadi dua pandangan tentang peran Imam...Najaf memegang sikap konservatif terhadap peran Imam. Mereka meyakini bahwa agama memiliki sebuah fungsi moral (akhlak), sebuah fungsi etis bukan sebuah fungsi politik, termasuk Ayatullah Khui, yang pendapatnya banyak dinukil orang. Ia tidak meyakini bahwa wilâyah Imam Ali bin Abi Talib As perlu untuk mewujudkan dirinya secara politis karena Imam As tetap sebagai pemimpin secara spiritual, moral, etis tanpa memandang apakah orang-orang membai'atnya atau tidak. Pendapat ini dibantah oleh Ayatullah Khomeini sendiri."[64]
Cendekiawan ini ingin meninggalkan kesan dibenak para pendengarnya bahwa bahkan ulama Qum dan Najaf pun memiliki pendapat yang berbeda ihwal peranan Imam dalam pandangan orang-orang Najaf terbatas pada ranah spiritual (an-sich), sementara Qum melebarkannya dan juga memasukkan ranah politik ke dalamnya.
Tidak ada yang dapat diajukan sebagai kebenaran. Ulama Syiah Najaf (yang dicontohkan oleh almahrum al-Khu'i) dan Qum (yang dicontohkan oleh almahrum al-Khomeini) memiliki pandangan yang sama tentang Wilâyah Nabi dan para Imam. Perbedaan yang mengemuka di antara mereka bukan pada masalah wilâyah para Imam, namun pada perluasan wilayat-e faqih, otoritas seorang faqih. Lagi pula, dalam masalah wilâyat-e faqih pembagian bukan antara Qum dan Najaf; ulama di antara dua kubu dalam masalah ini, di Qum dan juga di Najaf.
Sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya, seluruh empat dimensi wilâyah Nabi dan para Imam adalah termasuk daruriyat al-mazhab (usul aqidah Syiah), sehingga bagaimana bisa ulama-ulama besar Syiah memiliki pandangan yang berbeda ihwal masalah in?
Berkenaan dengan pandangan almahrum Ayatullah al-Khomeini tentang Wilâyah Nabi dan Ahlulbaitnya, saya akan mengutip ceramahnya tentang wilâyat-e faqih. Ia berkata :
"Untuk membuktikan bahwa pemerintah dan otoritas dimiliki oleh Imam tidak hanya bermakna bahwa Imam tidak memiliki kedudukan spiritual. Imam tentu saja memiliki dimensi-dimensi spiritual yang tidak bersambung dengan fungsinya sebagai penguasa. Kedudukan spirtual Imam adalah khilâfah universal Ilahi yang kadang-kadang disebut oleh para Imam As. Khilâfah yang berkenaan dengan seluruh penciptaan, dengan keutamaan yang seluruh partikel-partikel atom di alam semesta merendahkan diri mereka di hadapan pemegang otoritas ini. Ini adalah salah satu usul aqidah mazhab Syiah bahwa tidak ada seorang pun dapat mencapai kedudukan para imam tersebut, bahkan tidak juga oleh para malaikat dan para nabi. Kenyataanya, sesuai dengan hadis-hadis yang sampai ke tangan kita, Nabi Saw dan para Imam As – dalam bentuk cahaya – telah ada sebelum penciptaan semesta ini, mereka bersemayam di bawah arsy Ilahi; kedudukan mereka jauh lebih unggul dari manusia-manusia lain dalam sperma yang kemudian tumbuh dan berkembang dalam susunan fisik mereka. Kedudukan agung mereka ini hanya dibatasi oleh kehendak Ilahi, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Jibril terekam dalam hadis-hadis tentang mi'râj: "Jika aku mendekat seujung jari, niscaya aku akan binasa."[65]
Ayatullah Khomeini, ketika menegaskan kepemimpinan politik Nabi dan para Imam, ia tidak mengingkari atau mendemistifikasi wilâyah universal mereka.
Kini tiba giliran pandangan Ayatullah al-Khu'i tentang wilâyah Nabi Saw dan Ahlulbait As yang saya nukil dari transkrip kuliah-kuliahnya. Ia berkata :
"Tentang dimensi pertama dari wilâyah [takviniyah, universal], secara jelas tidak ada keraguan terhadap otoritas mereka atas seluruh penciptaan sebagaimana telah jelas dalam hadis karena mereka dalam mata rantai penciptaan, melalui mereka [berlanjut] eksistensi, dan mereka adalah hujjah [sebab] diciptakannya alam semesta ini; jika bukan karena mereka, Allah tidak akan menciptakan manusia seluruhnya, manusia telah diciptakan untuk berkhidmat kepada mereka, melalui mereka manusia wujud, dan mereka adalah wahana tercurahnya anugerah Tuhan.
"Sebenarnya, mereka memiliki otoritas (wilâyah) universal persis di bawah Sang Pencipta sendiri; otoritas mereka ini adalah sama dengan otoritas Allah Yang Maha Kuasa pada penciptaan, namun, masih di bawah otoritas Tuhan dalam penciptaan."[66]
Kemudian, al-Khui juga berbicara tentang otoritas sipil/politik Nabi As dan para Imam As, katanya:
"Berkenaan dengan dimensi kedua dari wilâyah at-tashri'iyya dalam pengertian bahwa mereka memiliki otoritas untuk secara mandiri mengatur kekayaan dan kehidupan manusia – secara jelas, tidak ada perdebatan ihwal otoritas ini...Ini dibuktikan dari hadis-hadis yang telah diuji kebenarnya, dan dalam hajjatul wida' [Nabi bersabda], "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya. Apakah aku lebih memiliki otoritas terhadap kalian melebihi otoritas atas diri kalian sendiri?" Mereka berkata: " Ya..."[67]
Ayatullah al-Khui, dalam menegaskan wilâyah universal Nabi Saw dan para Imam As, ia tidak mengingkari otoritas politik mereka. Pada hakikatnya, ia lebih jauh menjelaskan :
"Dan anggapan bahwa sejarah bertentangan dengan ini [dalam artian bahwa para Imam secara historis tidak menunjukkan otoritas politik mereka] .....tidak sahih."
Lalu ia menyimpulkan,
"Jadi jangan menggunakan [otoritas dalam artian sejarah] tidak membuktikan tidak adanya otoritas ini karena hal ini sudah jelas."[68]
Hakikatnya, dua faqih besar kontemporer dunia Syiah yang mewakili Qum dan Najaf memilki pandangan yang serupa tentang wilâyah para Imam Ahlulbait As. Keduanya meyakini empat dimensi wilayat tersebut – spritual, sosio-politik, dan universal – Nabi dan para Imam. Ikhtilaf yang ada di antara mereka hanya pada batasan wilâyah seorang faqih (mujtahid) selama masa ghaIbnuya Imam Zaman Ajf.
Bagaimana mungkin seorang cendekiawan, yang menulis buku The Just Ruler (Sang Penguasa Adil) pada otoritas faqih, tidak tahu perbedaan antara wilâyah para Imam (yang disepakati oleh fuqaha Syiah) dan wilâyah faqih (dengan ikhtilaf tentang batasan wilâyah di kalangan fuqaha Syiah)?
5. Wilâyah dan Aqidah?
Dengan merujuk kepada kontroversi seputar artikelnya dalam Bio-Ethics Encyclopedia, cendekiawan ini membuat komentar dalam ceramahnya yang keempat pada bulan Muharram 1419 :
"Bagaimana mungkin hal seperti itu memecah-belah umat bila ini bukanlah sebuah masalah yang penting, dan bahkan bukan bagian dari aqidah."
Merujuk pada peristiwa Ghadir Khum, ia berkata :
"Peristiwa itu adalah peristiwa sejarah: Apa hubungannya dengan aqidah kita? Jadi jika saya berkata dalam artikel bahwa Nabi tidak meninggalkan arahan tersurat tentang penggantinya, apakah saya menyusuri jalan berbahaya bagi keselamatan agama Ahlulbait? Ataukah saya tengah memenuhi hak saya sebagai seorang peneliti untuk melihat apa yang tertera pada kitab-kitab sejarah?"
Apakah masalah wilâyah dan imâmah ini adalah sebuah bagian sepele dan "bahkan bukan merupakan bagian dari aqidah?"
Sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya pada awal-awal bagian keenam dari buku ini, dalam Islam tersebut sebuah istilah yang dikenal sebagai "dharuriya, jamak dari dharuriyah" yang berkenaan dengan masalah-masalah penting dari agama kita. Dharuriyah terbagi menjadi dua bagian:
"Dharuriyat ad-din" – bagian esensial dari aqidah Islam dan "dharuriyah mazhab" – bagian esensial dalam mazhab Syiah." Sudah menjadi pendapat umum bahwa siapa saja yang mengingkari salah satu dari dharuriyat ad-din, maka ia tidak lagi dipandang sebagai seorang muslim; dan siapa saja yang mengingkari salah satu bagian dari dharuriyah al-mazhab, maka ia tidak lagi dipandang sebagai pemeluk mazhab Syiah.
Bagaimanakah kedudukan aqidah dalam Wilâyah Ahlulbait: Apakah ia salah satu bagian dari daruriyat atau tidak? Ketika mendiskusikan kedudukan kaum muslimin di luar Syiah, Ayatullah Khui mendefinisikan wilâyah (dalam pengertian kecintaan terhadap Ahlulbait) sebagai salah satu bagian daruriyat ad-din, dan wilâyah (dalam pengertian khilafah dan kepemimpinan politik) sebagai salah satu bagian daruriyah al-mazhab. Almarhum Ayatullah al-Khui berkata :
"Dimensi wilâyah yang esensial adalah wilâyah dalam pengertian kecintaan dan ketaatan, dan mereka [Sunni] tidak mengingkari Ahlulbait dengan pengertian ini bahkan mereka menyatakan kecintaan mereka terhadap Ahlulbait As....
"Tentu saja, wilâyah dalam pengertian suksesi (khilâfah) merupakan bagian penting dalam mazhab [Syiah], tapi bukan merupakan bagian terpenting dari agama."[69]
Jadi sesuai dengan Ayatullah al-Khui, wilâyah dan imâmah dalam pengertian suksesi (khilâfah) adalah sebuah bagian esensial (dharuri) dalam mazhab Syiah, siapa saja yang mengingkari dimensi wilâyah ini tidak termasuk dalam mazhab Syiah. Ia masih dianggap sebagai muslim bukan sebagai seorang Syiah.
Berkenaan dengan pertanyaan bahwa dengan mengingkari eksplisitnya (jelas) penunjukkan Imam Ali, apakah cendekiawan kita ini "sedang menyusuri jalan yang berbahaya bagi hidupnya agama Ahlulbait?"
Baiklah, agama Ahlulbait akan senantiasa hidup karena ia memiliki Imam yang menjaganya meskipun dalam masa ghaib; tapi komentar-komentar seperti ini sudah tentu akan melemahkan aqidah orang-orang awam kita. Anda harus melihat apa akibat dari komentar ini: akan meminimalisir kesalahan terhadap Ahlulbait dan memberikan bentuk pengesahan (legitimasi) terhadap pandangan Sunni. Seorang Sunni akan melebarkan argumen ini lebih jauh bahwa karena Nabi Saw tidak membuat masalah wilâyah ini cukup jelas, maka sahabat telah melakukan yang terbaik untuk Islam! Seorang Syiah yang telah menghadiri ceramah-ceramah ini berkata "Apa masalahnya jika kita meyakini bahwa Ali adalah Imam yang pertama (dalam pengertian spiritual) dan keempat khalifah (dalam pengertian sosio-politik)!" Dengan sikap bersahabat seperti ini, kita tidak akan lagi memiliki musuh.
6. Koreksi Akhir
Selang beberapa saat sebelum datang ke Toronto pada tahun 1988 yakni untuk mengisi acara Muharram (1419), cendekiawan kita ini mengirim koreksi atas ceramah-ceramahnya kepada penerbit buku Bio-Ethics Enclyopedia. Koreksi tersebut sebagai berikut :
"Muhammad wafat pada tahun 632 M, setelah membawa bangsa Arab di bawah pemerintahan Madinah. Namun, meskipun ia secara tersurat mengangkat sepupu dan anak-mantunya, Ali untuk menggantikannya, ia tidak meninggalkan petunjuk tertulis ihwal proses politik selanjutnya."
Pernyataan ini ia kirim ke beberapa ikhwân di Toronto dan juga menyinggungnya pada salah satu ceramahnya pada Muharram 1419.
Kami memiliki komentar-komentar berikut ini berkenaan dengan perbaikan yang telah dibuat: Pertama, perbaikan yang telah dibuatnya pun masih tetap bermasalah. Ia telah mencoba untuk membagi suksesi ke dalam dua bagian: agama dan politik. Pada masalah suksesi agama, ia menulis bahwa Nabi Saw secara tersurat mengangkat Imam Ali As untuk menggantikannya. Kemudian ia secara terburu-buru mengkualifikasikan pengangkatan tersurat ini dan mengeluarkan suksesi politik dari pengangkatan ini dengan menulis : "Ia (Nabi) tidak menulis petunjuk tertulis tentang proses politik selanjutnya." Pada ceramah Muharram-nya (1419) yang keempat, ia berkata: "Iya, al-Ghadir adalah sebuah pengangkatan tersurat (ekplisit), namun itu tidak berarti petunjuk tersurat tentang proses politik. Tidak ada catatan sejarah yang mendukung hal tersebut."
Sejak kapan "petunjuk tertulis" menjadi hal yang penting dalam mengerangka ajaran-ajaran Islam? Apakah seluruh struktur sistem Islam berdasarkan pada perkataan: al-Qur'an dan Sunnah? Tentu saja tidak ada petunjuk "tertulis" yang ditinggalkan oleh Nabi untuk segala hal, sehingga mengapa menciptakan bantal (landasan) yang baru untuk Sunni dalam mempertahankan argumennya dan balik menyerang Syiah dengan berharap pada sebuah petunjuk "tertulis" ihwal masalah khalifah? Bagaimana tentang seluruh sabda Nabi tentang pengangkatan Imam Ali bin Abi Talib sebagai khalifah?
Akankah petunjuk "tertulis" lebih bernilai daripada petunjuk "lisan" Nabi? Apakah menentang petunjuk "lisan" Nabi Saw kurang mendapat azab dari petunjuk "tertulis"beliau? Allah Swt berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi "(Qs. al-Hujurat [49]:2)
Jika cendekiawan kita ini bermaksud untuk menyebut kisah tentang qirtas yang diminta oleh Nabi berupa sebuah pena dan kertas, lalu ia harus menulis seluruh kisah dan menunjuk orang yang bertanggung jawab karena tidak memberikan kesempatan pada Nabi Saw untuk meninggalkan apapun dengan tertulis.
Kedua, permainan dengan kata-kata seperti "pengangkatan" dan "petunjuk" sangat mengganggu. Pada hari Ghadir, Nabi Saw berbicara tentang semakin dekatnya ajal Nabi Saw dan mendapatkan pengakuan dari kaum muslimin tentang tingkatan otoritas Nabi Saw terhadap mereka, dan lalu beliau mendeklarasikan bahwa: "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya." Lalu ia bersabda: "Aku tinggalkan dua hal kepada kalian: Kitâbullâh dan Itrahti, kalian tidak akan tersesat selagi kalian berpegang teguh kepadanya."
Dan kemudian ia memerintahkan para sahabat untuk datang dan memberikan selamat kepada Imam Ali dengan memanggilnya sebagai "Amir" (pemimpin)." Ketika Anda mengamati seluruh qarînah (konteks) peristiwa al-Ghadir, bukankah petunjuk, pengangkatan, indikasi, kecendrungan (inklinasi), pelantikan – atau apa saja yang Anda suka untuk menyebutnya – yang ada sebagai dalil kepemimpinan Ali bin Abi Thalib setelah wafatnya Nabi?
Untuk meyakini bahwa Nabi Saw tidak meninggalkan arahan tersurat tentang pengganti kepemimpinan politiknya memberikan legitimasi kepada khalifah Ahlisunnah. Jika sekiranya Nabi Saw tidak berkata tentang masalah ini dengan jelas, lalu bagaimana mungkin Syiah mengklaim bahwa Abu Bakar telah merampas haknya Ali bin Abi Thalib As? Perkataan seperti ini hanya akan menolong Ahli Sunnah, tidak lain.
Ketiga, dalam menyoroti komentar cendekiawan kita ini, siapa pun dapat berkata bahwa Ali adalah Imam (pengganti kepemimpinan agama dan spiritual) tapi bukan sebagai Khalifah (pengganti kepemimpinan politik)! Saya tidak tahu bagaimana nantinya cendekiawan ini berbicara tentang deklarasi Nabi pada Da'wat dzul 'Ashira yang menopang bahwa Ali adalah "penggantiku" (khalifati)
Dalam ilmu Kalam Syiah, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, tidak ada perbedaan antara "imâmah" dan "khilâfah". Implikasi dari dua hal ini adalah sederhana: Ali – dalam hubungannya dengan Nabi – adalah Khalifah dan penggantinya; dan Ali – dalam hubungannya dengan ummat – adalah Imâm dan pemimpin mereka. Jadi dalam mendefinisikan "imâmah" sebagai sebuah pergantian peran pemimpin agama dan "khilafah" sebagai sebuah pergantian peran pemimpin politik bertentangan dengan implikasi-implikasasi Imâm dan Khalifah. Ali merupakan Imâm kaum muslimin dalam urusan agama sekaligus dalam urusan politik, dan demikian juga, Ali adalah Khalifah Rasulullah dalam urusan agama sekaligus dalam urusan politik. Karena didepak dari kedudukan politiknya tidak akan mengurangi hakikat kebenaran. Dalam bahasa Sayyid al-Khui, "Tidak menggunakan [wilâyah] tidak dapat dijadikan bukti bahwa wilâyah tidak ada."
Pemisahan kepemimpinan menjadi dua, agama dan politik sejatinya telah menjadi sejarah tersendiri versi Ahlisunnah. Keempat khalifah pertama mengemban kepemimpinan politik dan agama yang pada masa itu disebut sebagai "al-Khalifatu ar-Rasyida" (khalifah yang dibimbing secara hak)". Setelah itu, para khalifah tersebut mengemban kepemimpinan politik tapi kepemimpinan agama diemban oleh orang lain. Dalam dunia fiqih, sebagai misal, keempat Imam (Sunni) muncul sebagai pemimpin padahal pada saat yang sama ada beberapa khalifah yang memerintah. Dalam ilmu Kalam, Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi muncul sebagai pemimpin. Dalam tasawuf, beberapa ustadz (dan bahkan beberapa Imam Syiah) diterima sebagai mursyid dan pemimpin mereka.
Syiah tidak menganut paham pemisahan kepemimpinan politik dan agama (baca; sekularisme, -AK.) para Imam As merupakan pembimbing dan pemimpin puncak dalam seluruh aspek kehidupan: dalam urusan agama, politik, hukum dan ilmu kalam. Oleh karena itu, sebagai contoh, Imam Ja'far Sadiq As tidak hanya merupakan pembimbing hukum orang-orang Syiah, tapi ia juga adalah pemimpin puncak dalam seluruh arti, bahkan jika beberapa dimensi dari kepemimpinannya tidak mengejewantah.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar