Pages

Kamis, 01 Desember 2011

Al-Gadir






Peristiwa Ghadir dalam Perspektif Ahli Sunnah










Muhammad Ridha Jabbariyan
Alih Bahasa: A. Kamil



Iftitah

عليكم بعلي بن أبي طالب فإنه مولاكم فأحبوه ، وكبيركم فاتبعوه ، وعالِمكُم فأكرموه ، وقائدكم إلى الجنة فعززوه ، فإذا دعاكم فأجيبوه ، وإذا أمركم فأطيعوه ، أحبوه بحبي ، وأكرموه بكرامتي ، ماقلت لكم في علي إلا ماأمرني به ربي جلّت عظمته
Rasulullah Saw bersabda:
Hendaklah kalian bersama Ali bin Abi Thalib, lantaran ia adalah pemimpin dan maula kalian, cintailah ia.
Ia adalah orang besar di antara kalian, ikutilah ia.
Dan merupakan orang alim di antara kalian muliakanlah ia.
Pemimpin kalian menuju firdaus, agungkanlah ia.
Tatkala ia menyerumu penuhilah seruannya, ketika ia memerintahmu taatilah.
Cintailah ia, sebagaimana kalian mencintaiku.
Muliakanlah ia, sebagaimana kalian memuliakanku.
Aku tidak berkata sesuatu apapun tentang Ali bin Abi Thalib kecuali menjalankan perintah Tuhanku.”



Sekapur sirih dari Penulis
Tanpa syak kepribadian Ali bin Abi Thalib As merupakan kepribadian agung dan unggul setelah Rasulullah Saw. Kehadiran 'Ali bin Abi Thalib membuat seluruh alam semesta menjadi indah.
Kepribadian nurani Ali bin Abi Thalib As sedemikian cerlang menyinari kemanusiaan sehingga akal manusia sepanjang perjalanan sejarah terheran dan terperanjat. Jalan untuk mencapai kepribadian agung Rabbani tersebut, betapapun seluruh akal dan tabiat menstimulirnya, hanya jalan cinta yang  mampu melintasinya.
Apa yang telah diberi ulasan oleh pena dan lisan para ahli cinta dan fadilah terlewatkan oleh keindahan nuraninya. Pada hakikatnya derajat makrifat kitalah yang  tidak berada pada derajat untuk dapat mencerap kepribadian manusia agung tersebut. Kita dengan pengakuan dan iktiraf pada keluasan tanpa batas ruh kudusnya, berusaha meneladani hadits nabawi, untuk menemukan sejumput jalan supaya dapat mendekat kepada derajatnya yang suci.
Tujuan utama dari penulisan buku ini adalah ingin  membuktikan bahwa hari ghadir merupakan hari raya (ied) dan memberikan penjelasan sebagian dari adab-adab hari penuh berkah ini.
Dan sejalan dengan ritual-ritual yang lain, kami berupaya menyingkap dengan mengulas kepribadian agung Imam ‘Ali dan bercermin dari sabda Rasulullah Saw sehingga dapat melongok keindahan ‘Ali bin Abi Thalib As yang mempesona.
Harapan semoga kami dan para pembaca yang budiman dapat meraup dan menuai keberuntungan dari perjalanan maknawi ini.
Pada akhir buku ini, kami memandang perlu untuk menyebutkan beberapa poin bahwa kebanyakan tema dari buku ini bersandar dari kitab-kitab muktabar (yang diterima) Ahli Sunnah.
Untuk itu, kami tidak lupa menyebutkan sumber setiap hadits atau peristiwa yang kami jadikan sandaran, dengan menyebutkan jilid, halaman, penerjemah, penerbit dan percetakannya, tahun dan tempat penerbitannya.
Dalam masalah yang kurang mendapatkan perhatian oleh Ahli Sunnah dalam kitab-kitab mereka, kami merujuk kepada kitab-kitab muktabar Syi’ah dan kitab-kitab itu telah diperkenalkan dengan teliti sebagaimana kitab-kitab Ahli Sunnah.
Dalam hal di bawah sebuah hadits yang dinukil dengan menyebutkan satu atau beberapa referensi yang telah dipandang memadai, tidaklah berarti bahwa hadits tersebut tidak dijumpai dalam sumber-sumber lain; akan tetapi lantaran minimnya waktu dan tempat yang menjadi sebab tidak termuatnya seluruh referensi yang ada.
Kami memuat matan hadits-hadits tanpa perubahan, memberikan penjelasan pada hal-hal yang dipandang perlu.
Karena buku ini disusun dalam bahasa Persia, kami berupaya untuk menerjemahkan hadits-hadits yang tertuang dalam buku ini. Dan menukil matan-matan (teks-teks) hadits yang dipandang perlu.   
Buku ini terbagi menjadi enam bagian. Dan bagian-bagian itu sebagai berikut:
Bagian pertama  : Kisah Ghadir
Bagian kedua      : Khilâfah dan Wishayah
Bagian ketiga      : Kriteria-kriteria
Bagian keempat  : Selangit Keutamaan
Bagian kelima     : Perlakuan Khusus Rasulullah Saw
Bagian keenam   : Adab-adab dan Kebiasaan-kebiasaan Iedul Ghadir
        Kami berharap dengan hadirnya riset singkat ini, tetesan samudra keutamaan Ghadir dapat mengucur pada diri kita.








Bab I
Kisah al-Ghadir

Ahli bahasa beranggapan bahwa derivasi ‘ied adalah dari kata ‘aud. Dan kata ‘aud bermakna kembali. Oleh karena itu setiap ied adalah berarti kembali atau mudik.
Kembali secara berulang adalah sebuah gerakan yang muncul setelah melintasi kausa nuzuli (kurva turun) dan mulai beranjak naik menuju kausa su’udi (kurva naik). Sebagaimana kita memperingati tahun baru (nuruzz, tahun baru Persia, AK) sebagai saat-saat kembalinya kehidupan kepada tabiat (alam).
Sebuah kehidupan yang terpasung dalam tawanan suasana dingin, dan pada puncak kedinginan musim salju (winter, semiztân) dan bahkan pada batas ketiadaan – hingga seolah-olah tiada – dan kemudian lahir kembali dengan tibanya musim semi dan ibarat melodi yang mengalun naik.
Kembalinya kehidupan kepada suasana musim semi ini harus diperingati. Dan hal ini merupakan puncak semangat sebuah maktab yang dipersembahkan kepada dunia materi.
Kini apabila alegori (kiasan) ini kita aplikasikan pada teks-teks agama bahwa seluruh semesta merupakan mukaddimah bagi wujud manusia dan tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah, maka seyogyanya hari raya harus dimeriahkan sebagai hari kembalinya kehidupan maknawi manusia.
Dalam maktab seperti ini, hari raya manusia, adalah hari kembalinya ia kepada kesejatiannya dan menemukan kembali dirinya yang hilang; Hari dimana manusia ia meninggalkan derâkât (pada hal-hal yang negatif disebut derâkât dan pada hal-hal yang positif disebut derajat, AK) kehidupan bendawi dan menuju kepada derajat kehidupan maknawi. Hari tatkala manusia menemukan taufik, topeng tanah yang merupakan roman jiwa sucinya ia hadapkan kepada Sang Pencipta.
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan dimana sâlik (orang yang meniti jalan suluk, 'irfan dan tazkiyatun nafs, AK) yang berpuasa mendapatkan taufik dengan perjuangan dalam menghadapi angin-angin jahat keterikatan-keterikatan duniawi, api  cinta Ilahi yang terpasung dalam peti-peti es bendawi, membara dan kembali ia nyalakan.
Dan melakukan muraqabah (menjaga api tersebut tetap menyala) hingga lisan api itu menjilat seluruh wujudnya dan meleburkan segala ketidaktulusan eksistensinya; hingga penghambaan tulus dan murni menjelma dan tujuan penciptaan mengejewantah dalam dirinya. Kemudian merayakan hari Iedul Fitri.
Ibadah haji merupakan kesempatan yang lain. Orang-orang yang melaksanakan setelah melintasi pelbagai tingkatan mendapatkan taufik, ia sembelih segala sesuatu yang selain-Nya di tempat penyembelihan hewan qurban di Mina dan membebaskan dirinya dari penghambaan diri lalu melambung melintasi kausa su’udi (kurva naik) gerakan manusia, dan sebagai hasilnya ia mencapai derajat yang tinggi dalam penghambaan, kemudian ia merayakan hari Iedul Qurban.
Dan dari sini perbedaan antara ied dan perayaan atau festival menjadi jelas.  Perayaan atau festival adalah dalih untuk mendapatkan kesenangan dan kegembiraan. Dan ied adalah ditemukannya kembali kehidupan manusia.
Dan juga atas alasan ini, ied-ied memiliki sumber syariat dan ied-ied dalam Islam telah disyariatkan, sementara perayaan atau festival tidak demikian adanya.  
Oleh karena itu, hakikat ied dalam Islam adalah ditemukannya kembali kehidupan dan penetapannya berada di pundak syariat.
Kita percaya bahwa hari Ghadir juga memiliki kekhususan sebagai sebuah ied dalam Islam. Dan peletak hukum Islam, Rasulullah Saw memperkenalkan Iedul Ghadir sebagai hari raya umat Islam.
Buku yang ada di hadapan pembaca budiman ditulis dengan motivasi untuk membuktikan (itsbât) dua klaim di atas ini dan menjelaskan secara ringkas adab-adab hari bahagia ini.
Menelaah sebagian dalam tulisan ini, akan membina keyakinan bahwa hari Ghadir merupakan salah satu hari raya besar Islam. Dan bahkan termasuk hari raya yang paling besar, dan apabila kita melihatnya dengan rigoris dan researchfull, kita akan memahami bahwa hari Ghadir adalah hari raya paling besar bagi umat manusia.

Ghadir
Ghadir secara lughawi (leksikal) berarti telaga, kolam dan rawa. Lubang-lubang yang terletak pada sahara yang menanti hingga rintik air hujan atau lintasan bah memenuhi lubang tersebut sehingga musafir sahara yang dahaga selalu terbuka baginya dengan adekuasi dari anugerah berharga ini dapat menarik nafas lega dan memenuhi kantung kulit keringnya dari telaga ini. Dan telaga, rawa dan kolam ini disebut sebagai ghadir.

Ghadir Khum
Musafir yang melakukan perjalanan dari kota Madinah menuju Makkah, menempuh perjalanan sepanjang 500 Kilometer. Selepas melewati 270 Kilometer, ia akan sampai pada sebuah daerah yang disebut sebagai “Rabigh”.[1]
Rabigh merupakan daerah belantara yang terletak berdampingan dengan daerah Juhfa. Dan Juhfah merupakan salah satu miqat dalam ibadah haji yang terdiri dari lima miqat; tempat dimana para haji dari Syam (Suriah) dan orang-orang yang ingin pergi ke Mekkah melalui kota Jeddah, di tempat ini mereka akan mengenakan pakaian ihram.
Jarak Juhfah ke Makkah kira-kira 250 Kilometer dan ke Rabigh kurang-lebih 26 Kilometer.[2] Dan di tempat itu terdapat ghadir (kolam) yang airnya busuk dan beracun dan tidak dapat dimanfaatkan oleh para musafir. Dan kafilah-kafilah yang lewat di dekat oase itu tidak akan berhenti.[3] Tampaknya dengan alasan ini ghadir (kolam) ini disebut khum. Lantaran khum digunakan pada segala sesuatu yang rusak dan bau. Kandang ayam juga dengan alasan ini disebut khum.

Laporan dari Hajjatul Wida’
Tahun ini adalah tahun kesepuluh Hijriah. Dan Islam telah menyebar ke seantero jazirah Arab dan orang-orang di sana memberikan pengakuan terhadap risalah Nabi Muhammad Saw. Tanda dan bekas dari berhala-berhala setiap kabilah tidak lagi terlihat. Upaya dan kerja keras yang dilakukan oleh Nabi Saw menuai hasil dan buah manisnya. Berhala yang disembah tumbang di hadapan uluhiyyat, dan kalimat tauhid (tayyibah) laa ilaha illaLlah merebak di setiap penjuru jazirah Arab.
Kini satu-satunya perbedaan yang ada di antara masyarakat adalah iman yang terdapat dalam hati dan latar belakang mereka dalam Islam. Nabi Saw selama kurang-lebih 23 tahun memikul seberat-beratnya beban, dan selama kurun waktu yang panjang ini semangatnya sedetik pun tidak pernah kendor dalam menunaikan tugas menyampaikan risalah kepada manusia. Dan sedetikpun tidak pernah merasa lelah.
Kini telah datang kabar bahwa ia segera akan meninggalkan dunia fana ini dan berjumpa dengan Tuhan Yang Esa. Maka ia tanpa henti berusaha untuk mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada umat
Namun, masih ada tersisa sedikit dari ahkam (plural dari hukum) yang harus disampaikan dan diajarkan kepada umat. Namun waktu yang tepat belum tersedia.  Ahkam yang belum sempat disampaikan itu misalnya kewajiban penting yang harus ditunaikan dalam menjalankan ibadah haji. Nabi Saw hingga hari itu belum lagi menemukan waktu yang pas untuk mengajarkan ahkam haji kepada umat sebagaimana ahkam salat. Dan kini satu-satunya kesempatan yang tersisa.
Warta umum telah disiarkan bahwa Rasulullah Saw akan menunaikan ibadah haji. Kaum Muslimin dari setiap kabilah berduyun-duyun bergerak ke kota Madinah. Dan pada hari Kamis, Nabi Saw selama enam hari, atau hari Sabtu selama empat hari akhir Dzulqaidah[4] menugaskan Abu Dujanah sebagai man in charge (deputi).[5] Sementara Nabi Saw beserta para istri dan keluarganya berangkat bersama menyertainya[6] berikut seratus unta[7] bertolak meninggalkan Madinah.
Pada masa-masa itu, (penyakit cacar atau tipes) menyebar di kota Madinah yang membuat banyak di antara kaum Muslimin tidak dapat ikut serta bersama Nabi Saw.[8]
Dalam keadaan ini, masih terdapat puluhan ribu kaum Muslimin yang ikut serta bersama Nabi Saw. Para sejarawan menulis angka orang-orang yang ikut beserta Nabi Saw, empat puluh ribu, sembilan puluh ribu, seratus empat belas ribu, seratus dua puluh ribu dan seratus dua puluh empat ribu.[9] Kendati dengan adanya perbedaan ini, yang benar kita berkata bahwa sedemikian banyak orang yang ikut bersama Nabi meninggalkan Madinah sehingga hanya Tuhan yang tahu berapa jumlah pasti dari orang-orang yang ikut bersama Nabi Saw.[10]
Mereka adalah orang-orang yang datang dari Madinah, akan tetapi jumlah jamaah haji tidak bisa dibatasi dengan angka-angka yang disebutkan di atas. Lantaran penduduk kota Mekkah dan kota-kota di sekelilingnya serta orang-orang Yaman yang datang bersama dengan Amirul Mukminin Ali As juga ikut serta dalam ibadah haji musim itu.
Baginda Nabi Saw mandi, melamuri tubuhnya dengan minyak, menggunakan minyak wangi dan menyisir rambutnya,[11] dan meninggalkan Madinah. Tatkala bertolak menuju kota Madinah, ia hanya mengenakan dua lembar pakaian. Salah satunya diletakkan di atas bahu dan yang lainnya diikat pada pinggangnya. Ia melalui pintu demi pintu, rumah demi rumah.
Dan ketika sampai di Dzil Hulaifah, ia mengenakan pakaian ihram.[12] Dan demikianlah seterusnya hingga pada hari Selasa, 4 Dzulhijjah tiba di kota Mekkah. Ia memasuki Masjidil Haram melalui pintu Bani Syaibah;[13] melakukan thawaf; menunaikan shalat thawaf; sa’i antara Shafa dan Marwa dan seterusnya secara beruntun amalan-amalan umrah berakhir.[14] Ia bersabda bahwa barang siapa yang tidak membawa hewan kurban bersamanya, ia telah melakukan kesalahan dan hendaknya keluar dari keadaan ihram.[15] Dan karena ia membawa hewan kurban bersamanya ia tetap dalam keadaan mengenakan pakaian ihram sehingga ia dapat melakukan pemotongan hewan kurban di kota Minah.[16]
Amirul Mukminin As telah mendapat berita tentang kepergian Nabi Saw ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Ia bergerak dari Yaman beserta pasukannya, sembari membawa 37 hewan kurban, untuk ikut serta bersama Rasulullah Saw dalam menunaikan ibadah haji.
Dan di miqât orang Yaman sebagaimana Nabi Saw dengan niat mengenakan pakaian ihram, ia juga dengan niat mengenakan pakaian ihram. Dan seperti Nabi Saw, selepas menjalankan sa’i antara Shafa dan Marwah, Amirul Mukminin Ali As tetap dalam keadaan mengenakan pakaian ihram.[17]
Pada hari ke delapan Dzulhijjah, Rasulullah Saw bergerak menuju sahara di bilangan Arafah untuk memulai ibadah haji. Hingga matahari terbenam pada hari kesembilan, ia tinggal di kota Minah dan kemudian bertolak menuju Arafah. Setiba di Arafah, ia berhenti di kemahnya sendiri. 
Di Arafa, di hadapan massa kaum Muslimin, ia menyampaikan khutbah. Dalam khutbah ini, Nabi Saw memberikan wejangan untuk menggemarkan persaudaraan dan sikap saling menghormati; mengganggap seluruh ajaran-ajaran jahiliyah sebagai ajaran yang sesat dan mengumumkan ihwal berakhirnya (khatam) silsilah kenabian (nubuwwah).[18]
Nabi Saw tetap tinggal di Arafah hingga matahari tenggelam pada hari kesembilan Dzulhijjah. Ketika matahari terbenam dan keadaan menjadi remang dan sedikit gelap, Nabi Saw bertolak menuju Muzdalifah.[19] Ia melewati malam di Muzdalifah. Pada waktu Subuh, hari kesepuluh, Rasulullah Saw bergerak menuju Mina. Ia melaksanakan adab-adab tatkala mampir di kota Mina, dan demikianlah Nabi Saw mengajarkan manasik haji kepada kaum Muslimin.
Nabi Saw menyebut musim haji ini sebagai hajjatul wida’ (haji perpisahan), hajjatul Islâm, hajjatul balâgh (haji penyampaian), hajjatul kamâl (haji sempurna), hajjatul tamâm (haji penghabisan).[20] Dengan selesainya ibadah haji, Nabi Saw bergerak kembali menuju kota Madinah. Tatkala sampai di bumi Rabigh, di tempat yang bernama Khum; Malaikat Jibril As turun, menyampaikan dan membacakan pesan dari Allah Swt:
﴿ يَا أَيُّهٰا الرَّسُولُ بلِّغْ مٰا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّك وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ
 فَمٰا بَلَّغْتَ رِسٰالَتَهُ وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النّٰاسِ إِنّ َاللهَ لٰا يَهْدِي القَوْمَ الكٰافِرِينَ
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika engkau tidak kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memeliharmu dari gangguan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Qs. al-Maidah [5]:67)[21]

Pesan Ilahi ini meninggalkan tugas yang sangat riskan di atas pundak Rasulullah Saw; mengumumkan sesuatu yang seluruh orang harus tahu, dan apabila ia tidak melakukan hal ini, seolah-olah tugas risalah tidak tertunaikan.
Oleh karena itu, sebaik-baik keadaan untuk menyampaikan pesan seperti ini adalah di tempat ini; tempat di mana orang-orang yang berjalan ke arah Mesir, Irak, Madinah, Hadramaut, dan Tahamah berpisah. Dan hal ini akan  membuat para haji tidak dapat menghindar dari penyampaian pesan ini. Ghadir Khum merupakan tempat yang paling tepat dan pas untuk menyampaikan pesan samawi ini kepada seluruh orang yang baru saja menunaikan ibadah haji.
Maka perintah untuk berhenti dikeluarkan. Nabi Saw memerintahkan untuk meminta orang-orang yang telah pergi untuk kembali dan bersabar hingga mereka mudik ke tempatnya masing-masing.[22] Perhelatan akbar digelar di padang sahara. Hari itu panas terik membakar dan tempat itu segera saja menjadi tempat yang panas; sedemikian panas sehingga orang-orang setengah pakaiannya dilepas dan diletakkan di atas kepala dan setengah yang lain dililitkan di kaki-kaki mereka.[23]
Seluruh orang bertanya-tanya dan ingin tahu ada apa gerangan Nabi Saw memerintahkan untuk berhenti di tempat yang secara lahir tidak pantas bagi mereka untuk berhenti.  Rasa dahaga bercampur dengan panasnya udara membuat para haji  surut semangatnya.
Rasulullah Saw bersabda untuk menebang beberapa pohon tua dan mengumpulkannya dengan pelana-pelana unta supaya tegak sebuah mimbar. Menjelang Zuhur, ketika seluruh haji telah berkumpul, Nabi Saw naik ke atas mimbar dan menyampaikan khutbah:
Segala puji hanya bagi Allah Swt. Kita meminta pertolongan dari-Nya dan beriman kepada-Nya. Kita bertawakkal ke atas-Nya dan berlindung dari segala keburukan dan kejahatan dari diri kita; tiada diberi petunjuk orang-orang yang sesat, dan tidak akan tersesat orang-orang yang mendapatkan petunjuk-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Ayyuhannas, Allah Swt yang mahapemurah dan mahatahu memberikan kabar kepadaku bahwa tidak seorang nabi yang akan hidup melebihi setengah dari usia nabi-nabi sebelumnya.
Orang-orang berkata: Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan pesan Ilahi dan memberikan nasihat dan telah berupaya keras dalam menyampaikan risalah Tuhan. Semoga Allah Swt memberikan ganjaran yang setimpal kepadamu.
Nabi Saw bersabda: Apakah kalian tidak ingin memberikan kesaksian bahwa tiada tuhan yang layak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, surga, neraka dan kematian adalah benar adanya (hak) dan tanpa ragu hari kiamat akan datang dan Allah Swt akan membangkitkan seluruh orang yang telah mati?
Mereka berkata: Benar, kami memberikan kesaksian bahwa semuanya itu adalah benar.
Nabi Saw bersabda: Tuhanku saksikanlah.[24]
Lalu Nabi Saw bertanya: Ayyuhannas, apakah kalian mendengarkan suaraku?
Mereka menjawab: Iya, kami mendengarnya.
Nabi Saw bersabda: Aku akan tiba lebih dahulu dari kalian di telaga Kautsar dan kalian akan masuk dari tepi telaga untuk bertemu denganku.
Telaga Kautsar merupakan telaga yang lebarnya antara Sana’ (Yaman) hingga Busrah (Suriah) dan di telaga itu terdapat piala-piala untuk minum yang terbuat dari perak sebanyak jumlah bintang-bintang. Kini perhatikanlah bahwa selepasku apa yang kalian lakukan dengan dua pusaka yang aku wariskan kepada kalian.
Seorang tiba-tiba menyeruak di tengah-tengah kerumunan massa itu: Ya Rasulullah! Apakah gerangan dua pusaka berharga itu?
Rasulullah Saw bersabda: Salah satu dari kedua itu yang lebih besar adalah Kitabullah (al-Qur’an). Satu sisinya di sisi Allah Swt dan sisi lainnya di tangan kalian; Maka berpegang teguhlah kepadanya hingga kalian tidak tersesat. Yang satunya yang lebih kecil adalah itrat dan keluargaku.
Tuhan yang Mahapemurah memberi kabar kepadaku bahwa kedua pusaka ini tidak akan berpisah satu dari yang lain hingga keduanya berjumpa denganku di telaga Kautsar pada hari kiamat. Aku juga telah bermohon demikian kepada Allah Swt. Hendaklah kalian menjaga keduanya supaya kalian tidak celaka. Lantaran kalau kalian membiarkannya niscaya kalian akan binasa. Kemudian Nabi Saw mengambil dan mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib As sedemikian sehingga warna putih dari bawah ketiak mereka terlihat dan seluruh manusia yang hadir di tempat itu mengenal Amirul Mukminin Ali As.
Kemudian Nabi Saw bersabda: Ayyuhannas! Hubungan apakah yang lebih utama bagi kaum Mukminin?
Mereka menjawab: Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.
Rasulullah Saw bersabda: Allah Swt adalah Mawla dan junjunganku dan Aku adalah mawla dan junjungan kaum Mukminin. Dan Aku lebih utama dari kaum Mukminin melebihi keutamaan atas diri mereka sendiri. Maka barangsiapa yang menjdikan aku sebagai mawla-nya maka Ali adalah mawla dan junjungannya.[25] Nabi Saw mengulang sebanyak tiga kali pernyataan ini.
Lalu ia bersabda: Allahummah! Bertemanlah dengan orang yang berteman dengan ‘Ali dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya; cintailah orang yang mencintainya; bencilah orang yang membencinya;[26] bantulah orang yang membantunya dan tinggalkanlah orang yang meninggalkannya[27] dan jadikan kebenaran senantiasa bersama ‘Ali di manapun ia berada.[28]
Ayyuhannas! Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang ghaib (tidak hadir).[29]
Lantaran khutbah telah usai, Sang Pembawa Wahyu, Malaikat Jibril turun untuk yang kedua kalinya. Dan ia mendapat kehormatan dengan membawa pesan ini:
﴿اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَِكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيكُمْ نِعمَتي
Hari ini telah kusempurnakan agama bagimu dan telah kucukupkan nikmat bagimu.....”[30]
Rasulullah Saw setelah mendapatkan wahyu ini, ia meneruskan kepada khalayak. Nabi Saw bersabda: “Allah Mahabesar yang telah menyempurnakan agama dan nikmat dan Tuhanku telah ridha dengan risalah yang aku bawa dan wilâyah ‘Ali setelahku.”[31]

Seremoni Ucapan Selamat
Nabi Saw setelah menyelesaikan khutbah turun dari mimbar dan duduk dalam kemah dan memerintahkan supaya ‘Ali duduk di kemah yang lain. Setelah itu, Nabi Saw memerintahkan seluruh sahabat untuk segera berjumpa dengan Amirul Mukminin dan menyampaikan ucapan selamat kepadanya atas makam wilâyah yang kini diembannya.
Penulis kitab Raudha ash-Shifa setelah menukil peristiwa al-Ghadir, menulis:
“Setelah turun dari mimbar dan duduk di sebuah kemah khusus dan bersabda bahwa Amirul Mukminin duduk di kemah yang lain. Setelah itu ia memerintahkan kepada khalayak untuk bergegas menuju ke kemah Amirul Mukminin As untuk menyampaikan ucapan selamat dan kongratulasi kepadanya. Setelah kaum Muslimin menyampaikan ucapan selamat, giliran para ummâhat (para istri Rasulullah Saw yang disebut sebagai ummâhatul mukminin), sesuai dengan tuturan Khawajah Kaniyat,  menyampaikan selamat kepada Amirul Mukminin As.[32]
Dan disebutkan dalam kitab sejarah Habib as-Siyar setelah menukil hadits al-Ghadir bahwa “setelah Amirul Mukminin – karramaLlâhu wajha – menjawab titah Rasulullah Saw untuk duduk di kemah supaya khalayak yang terdiri dari berbagai kabilah dan suku datang menyampaikan ucapan selamat kepadanya. Dan dari kalangan sahabat, Umar bin Khattab – radialLahu ‘anhu – menyampaikan selamat kepada Ahli Wilayat,
بخ بخ لك يا بن أبي طالب أصبحت وأمسيت مولاي ومولى كل مؤمن ومؤمنة
 “Alangkah beruntungnya engkau wahai putra Abu Thalib! Engkau telah menjadi mawla-ku dan mawla seluruh kaum Mukminin dan Mukminat.[33]
Dan setelah itu, ummahatul mukminin berdasarkan petunjuk Sayyidul Mursalin datang kepada Amirul Mukminin As untuk menyampaikan ucapan selamat.
Almarhum Thabarsi Ra mufassir (ahli tafsir) dan muhaddits (ahli hadits) mazhab Syi’ah Imamiyah juga meriwayatkan hadits yang sama dalam kitabnya A’lâm al-Wara.[34]
Seluruh sahabat kembali membaiat Rasulullah Saw dan pada saat yang sama juga membaiat Amirul Mukminin ‘Ali As. Orang-orang yang pertama kali memberikan tangannya (membaiat) Nabi Saw dan Imam ‘Ali As adalah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, Thalha dan Zubair.[35] Dan sebelumnya kami telah menyebutkan bahwa ‘Umar untuk menyenangkan Nabi dan Imam ‘Ali As ia berkata sesuatu yang terekam baik dalam sejarah:
بخ بخ لك يا بن أبي طالب أصبحت وأمسيت مولاي ومولى كل مؤمن ومؤمنة
Alangkah beruntungnya engkau wahai putra Abu Thalib! Engkau telah menjadi mawla-ku dan mawla seluruh kaum Mukminin dan Mukminat.[36]
 Tak terbilang para muhaddits Ahli Sunnah menukil ucapan ini dan meriwayatkan orang-orang yang hadir di tempat itu. Di antara orang yang menukil ucapan ini adalah sahabat-sahabat seperti Ibn ‘Abbas, Abu Hurairah, Burai bin ‘Azib, Zaid bin Arqam, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abu Said Khudri, dan Anas bin Malik.
Allamah Amini Ra dalam kitabnya al-Ghadir menyebutkan tiga ratus nama ulama Ahli Sunnah yang menukil riwayat ini dalam kitab-kitab mereka. Dan sebagian yang lain menisbahkan hadits ini kepada Abu Bakar.[37]
Tatkala seremoni ucapan selamat dan kongratulasi selesai, Hassan bin Tsabit seorang pujangga masa itu, bangkit dan berkata, “Ya Rasulullah! Aku minta izinmu untuk mendeklamasikan syair di hadapanmu tentang ‘Ali As.”
Nabi Saw bersabda: “Dengan berkat Allah Swt, deklamasikanlah.”
Dan kemudian Hassan bin Tsabit naik ke atas mimbar dan mendeklamasikan:
يناديهم يوم الغدير نبيهم      بخم واسمِْعْ بالرسـول مناديا
فقال فمن مولاكم ونبيكم؟     فقالوا ولم يبدوا هناك التعاميا
ولم تلق منا في الولاية عاصيا             إلهك مولانا وأنت نبينا
فقال له : قم يا علي فإنني    رضيتك من بعدي إماما وهاديا
فمن كنت مولاه فهذا وليه     فكونوا له أتباع صدق مَواليا
هناك دعا اللهم وال وليه  وكن للذي عادى علياً معاديا
Nabi kepada kaum Muslimin pada hari Ghadir menyeru,
Bagaimanakah pesuruh Allah berseru,
Ia bersabda: Siapakah mawla dan nabi kalian?
Di tempat itu semua berkata terang tanpa keraguan
Dan tidaklah layak bagi kami untuk menentang dan bermaksiat kepadamu dalam urusan wilâyah,
Tuhanmu adalah mawla kami dan engkau adalah nabi kami,
Ia berkata kepadanya, bangkitlah wahai 'Ali
Sesungguhnya aku rela engkau menjadi imam dan pemberi petunjuk selepasku
Maka barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpin dan junjungannya, maka ‘Ali adalah pemimpin dan junjungannya. Ikutilah dan taatilah perintahnya.
Dan di tempat itu Sang Nabi Agung berdoa, “Allahummah cintailah orang yang mencintai ‘Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya.[38]

Penyematan Jubah Kebesaran pada Hari Ghadir
Seremoni ucapan selamat dan bai'at itu berlangsung selama tiga hari.[39] Kini khilâfah besar Ilahi telah menjadi maklum dan khalifah Rasulullah Saw telah ditetapkan. Masyarakat mengenal Imam ‘Ali As dan memberikan bai’at kepadanya. Kini tiba giliran upacara penyematan dilangsungkan. Rasulullah Saw meminta Amirul Mukminin As untuk maju dan ia mengenakan ammamahnya (sebuah pakaian khusus) yang disebut sebagai sahab itu kepada Imam ‘Ali As supaya sahab itu bergantung di kedua bahunya dan bersabda:
يا علي العمائم تيجان العرب
"Amamah merupakan pakaian kebesaran orang Arab."[40]
Dan supaya orang-orang di bawahnya melihatnya Kemudian Nabi Saw bersabda: Menghadaplah kepadaku. Imam ‘Ali As berdiri menghadap Nabi Saw. Nabi kemudian bersabda lagi, kembali. Imam ‘Ali As pun kembali.[41]
Kemudian Nabi Saw menghadap ke arah para sahabat dan bersabda: “Para malaikat yang turun membantuku pada hari Badar dan Hunain mengenakan amamah seperti ini.[42]
Lalu Nabi Saw bersabda: “Ammamah merupakan roman wajah Islam,[43] ammamah merupakan sebuah perlambang yang memisahkan seorang Muslim dengan seorang Musyrik.[44] Kemudian Nabi Saw bersabda lagi, “Para malaikat dengan cara seperti ini datang kepadaku.[45]
Demikian seterusnya, peristiwa Ghadir berakhir. Dan para haji kembali ke kampung mereka masing-masing yang bertebaran di seantero Jaziratul Arabia.
Sekarang peristiwa Ghadir secara ringkas telah menjadi maklum. Dan terdapat dua poin yang layak untuk disimak.
  1. Kebenaran peristiwa Ghadir dalam perspektif sejarah;
  2. Muatan sabda Rasulullah Saw pada khutbah Ghadir.

Kebenaran Peristiwa Ghadir dalam Perspektif Sejarah
Ghadir merupakan mata air yang darinya kemurnian Islam bersumber. Barang siapa yang mengakui realitas ini dan jiwanya karam dalam kemurniannya, ia akan mendapatkan keselamatan dalam lindungan Islam. Dan barang siapa yang menutup mata dan telinga atas realitas ini, dengan segala dalih dan alasan, tidak akan mendapatkan sesuatu kecuali suara bel dari jauh.
Ghadir bukanlah sebuah tempat atau kediaman untuk berhenti dimana Rasulullah Saw memperkenalkan penggantinya kepada umat. Nabi yang mulia ini berulang kali pada setiap kesempatan dan penjelasan dalam bentuk yang beragam telah memperingatkan umat atas realitas ini serta memperkenalkan pemimpin umat masa datang.
Mereka yang memiliki hubungan baik dengan baginda Nabi Saw dan senantiasa dalam kontak tentang apa saja yang terjadi pada sentral pemerintahan Islam, tahu bahwa ‘Ali As merupakan khalifah belâ fashl (immediate, segera setelah Rasulullah Saw), orang yang paling dicintai Rasulullah dan sahabat terdekat Rasulullah Saw.
Khilâfah bukanlah merupakan sebuah masalah yang didiamkan hingga tahun sepuluh Hijriah. Khalifah Rasulullah Saw telah maklum semenjak maklumnya kenabian (nubuwwah) di kota Makkah.[46]
Selepas itu, khususnya hingga tahun kesepuluh Hijriah sedemikian masalah ini berulang kali dibicarakan sehingga seluruh penduduk kota Madinah tahu masalah ini. Seluruh hadits seperti hadits manzilah, hadits râyat dan hadits thair[47] telah mereka dengar. Hadits tsaqalain[48] telah berulang kali dibacakan kepada mereka. Turunnya ayat seperti ayat “mawaddah”,[49] ayat “mubahalah[50] dan ayat wilâyah[51] telah menjadi sebab mentari pribadi Amirul Mukminin As semakin bertambah terang dan cerlang.
Dengan semua hadits ini, hadits Ghadir jauh lebih populer. Seluruh hadits-hadits yang telah diriwayatkan dalam bidang ini merupakan hadits-hadits sahih dan masyhur dan sebagian mutawatir (banyak orang yang menukilnya); akan tetapi hadits Ghadir bahkan melebihi tingkatan tawatur.
Almarhum ‘Alamal Huda Sayyid Murtada Ra bertutur tentang masalah ini:
“Barang siapa yang menghendaki dalil dari riwayat ini, seolah-olah menghendaki dalil kebenaran riwayat ghazawat dan keadaan Rasulullah Saw dan sedemikian terang sehingga ia seakan-akan meragukan akan kebenaran riwayat hajjatul wida’. Lantaran kesemua ini dari sisi kemasyhuran berada pada satu tingkatan.
Lantaran seluruh ulama Syi’ah menukil riwayat ini dan demikian juga para muhaddits (ahli hadits) dengan sanad-sanad meriwayatkan hadits tersebut. Para sejarawan dan penulis sejarah sebagaimana mereka menarasikan peristiwa-peristiwa penting, tanpa  sanad tertentu melalui generasi demi generasi meriwayatkan peristiwa-peristiwa tersebut. Dan para ahli hadits memverifikasi riwayat Ghadir dan mengolongkannya sebagai hadits sahih.
Riwayat ini memiliki keistimewaan. Sementara riwayat-riwayat yang lain tidak memiliki keistimewaan sebagaimana riwayat ini. Karena khabar atau riwayat terdiri dari dua bagian:
Bagian pertama adalah khabar atau riwayat yang tidak memerlukan sanad yang bersambung; seperti riwayat peperangan Badar, Khaibar, Jamal, Shiffin dan seluruh kejadian-kejadian penting yang diketahui oleh orang-orang melalui generasi demi generasi tanpa bersandar pada sanad. Bagian yang lain adalah khabar atau riwayat yang memerlukan sanad yang bersambung; misalnya riwayat yang berkenaan dengan hukum-hukum syariat.
Riwayat Ghadir telah dinukil melalui dua jalan ini. Maksudnya di samping riwayat tentang Ghadir sedemikian makruf dan masyhurnya dan tidak memerlukan sanad, ia juga memiliki sanad yang bersambung.
Terlebih riwayat yang dinukil dengan hukum-hukum syariat semuanya merupakan khabar wahid (satu orang yang meriwayatkannya, AK); akan tetapi riwayat tentang al-Ghadir banyak yang merawikannya.[52]
Bukan di sini tempatnya untuk menyebutkan satu persatu perawi yang meriwayatkan hadits atau kabar Ghadir, lantaran tidak hanya tempatnya yang terbatas tetapi juga kita tidak terlalu berhajat kepadanya. Almarhum Allamah Amini Ra menyebutkan para perawi hadits ini sesuai dengan urutan masa hidupnya. Kami hanya akan mencukupkan diri dengan menyebut jumlah perawi hadits al-Ghadir pada setiap zamannya. Bagi mereka yang ingin mengkaji lebih jeluk, silahkan rujuk kepada kitab al-Ghadir karya Allamah Amini.[53]
Di antara para sahabat Rasulullah Saw terdapat  110 sahabat yang meriwayatkan hadits al-Ghadir ini;
Di antara para thabi’in terdapat 84 orang;
Di antara ulama abad kedua Hijriah terdapat 56 orang;
Di antara ulama abad ketiga Hijriah terdapat 92 orang;
Di antara ulama abad keempat Hijriah terdapat 43 orang;
Di antara ulama abad kelima Hijriah terdapat 24 orang;
Di antara ulama abad keenam Hijriah terdapat 20 orang;
Di antara ulama abad ketujuh Hijriah terdapat 21 orang;
Di antara ulama abad kedelapan Hijriah terdapat 18 orang;
Di antara ulama abad kesembilan Hijriah terdapat 16 orang;
Di antara ulama abad kesepuluh Hijriah terdapat 14 orang;
Di antara ulama abad kesebelas Hijriah terdapat 12 orang;
Di antara ulama abad keduabelas Hijriah terdapat 13 orang;
Di antara ulama abad ketigabelas Hijriah terdapat 12 orang;
Di antara ulama abad keempatbelas Hijriah terdapat 19 orang;
Dan Hamu menulis:
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadits ini dengan 40 sanad, Ibn Jarir at-Tabari dengan tujuh puluh dua sanad, Jazari Muqarri dengan delapan puluh sanad, Ibn Uqdah dengan seratus lima sanad, Abu Sa’ad Mas’ud Sajistani dengan seratus dua puluh sanad, dan Abu Bakar Jua’bi dengan seratus dua puluh lima sanad.[54]
Ibn Hajar dalam kitabnya ash-Shawâiq al-Muhriqa menulis, “Hadits ini diriwayatkan oleh tiga puluh orang sahabat Rasulullah Saw sanad-sanad hadits tersebut adalah sanad-sanad sahih dan hasan.”[55]
 Ibn Maghazali dalam kitabnya Manâqib menulis:
“Hadits Ghadir adalah hadits sahih dimana kira-kira seratus orang sahabat yang di antara mereka adalah orang-orang yang mendapatkan berita gembira masuk surga (‘asyara mubasyarah) meriwayatkan hadits ini dari Nabi Saw. Hadits ini adalah hadits yang sifatnya tsâbit (tetap) dan tidak ada isyakalan atasnya. Dan kenyataan ini merupakan keutamaan Imam ‘Ali As yang tidak dimiliki oleh seorang pun.”[56]
Sayyid Ibn Thawus salah seorang ulama besar Syi’ah dalam kitabnya Iqbâl al-A’mâl menulis:
“Abu Sa’ad Mas’ud bin Nasir Sajistani menyusun sebuah kitab yang terdiri dari sepuluh juz yang bernama ad-Dirâyah fii hadits al-Wilâyah dan hadits ini ia riwayatkan dari seratus dua puluh sahabat.”
Muhammad bin Jarir ath-Thabari dalamnya kitabnya ar-Rad ‘ala al-Hurqusha menulis, “Bahwa hadits wilâyah diriwayatkan dari tujuh puluh lima jalan.”
Abul Qasim ‘Abdullah Huskani dalam masalah ini menyusun sebuah kitab tersendiri yang berjudul “Du’a al-Hudat ilaa Ada Haqqi al-Walât. Abul ‘Abbas Ahmad bin Sa’id bin ‘Uqda juga menulis sebuah kitab yang diberi judul Hadits al-Wilâyah dan hadits ini ia nukil dari seratus lima puluh orang. Setelah menukil  redaksi para perawi, ia menulis:
“Seluruh kitab-kitab ini selain kitab at-Thabari ada pada perpustakaan pribadi penulis; khususnya kitab Ibn Uqdah yang telah disusun pada masa hidupnya (tahun 330 H).”[57]
Yang terpenting dari itu, semenjak abad kedua hingga masa-masa munculnya mazhab, tidak satu pun dari perawi hadits ini berasal mazhab Syi’ah. Dan di kalangan Syi’ah sendiri jarang dijumpai seorang alim yang tidak menukil hadits ini dengan sanad yang berbeda.
Signifikansi hadits Ghadir ini sedemikian asasinya sehingga banyak ulama Islam menulis atau menyusun kitab perihal peristiwa al-Ghadir. Sesungguhnya Allamah Amini dalam kitab al-Ghadir, hingga masanya terdapat dua puluh enam kitab tersendiri telah ditulis atau diriset oleh para ulama dalam membuktikan tawatur-nya hadits al-Ghadir.[58]
 Masalah ini sedemikian terangnya dan jelasnya dan merupakan perkara yang pasti pada semua orang sehingga Ahli Bait As dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam pelbagai kesempatan berdalil dan berdebat menggunakan hadits al-Ghadir ini.
Kita jumpai dalam riwayat-riwayat yang beragam dimana Amirul Mukminin As sepanjang tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw dalam berbagai majelis bersumpah bahwa apakah kalian tidak mengingat Rasulullah Saw bersabda pada hari Ghadir: “Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya.” Dan mereka bersumpah bahwa mereka telah mendengarnya dari Nabi Saw.[59]
Sesuai dengan apa yang telah dibahas sebelumnya, hadits al-Ghadir merupakan peristiwa yang tidak dapat disepelekan oleh orang-orang tabahkar dan atau ditutup-tutupi oleh sekelompok orang-orang jahil; apatah lagi untuk menutupi mentari benderang hakikat Imam ‘Ali As.
Dengan alasan ini, seorang ulama, ‘Abdul Fattah ‘Abdul Maqsud Misri yang menyusun kitab Imam ‘Ali As, sembari memberikan pujian atas kitab al-Ghadir, ia menulis:
“Hadits Ghadir tanpa syak, merupakan sebuah kenyataan yang dengan sendirinya tidak akan pernah sirna; Hadits Ghadir merupakan hadits yang jelas dan terang, seperti terangnya siang hari. Dan hal ini merupakan salah satu kenyataan yang jelas bahwa Ghadir adalah sumber ilham yang tersebar dari dada Nabi Saw hingga ia memaklumkan orang pilihan dan binaannya di antara umat.[60]

Kandungan Hadits al-Ghadir
Kalimat yang menjadi saksi pada peristiwa Ghadir dan pada hakikatnya pesan utama Ghadir terkandung di dalamnya adalah sabda Nabi Saw bersabda:  مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَعَليٌّ مَولاهُ  
Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla, maka ‘Ali adalah mawlanya.
Orang-orang yang ber-istidlal (bernalar dan berdalil) dengan hadits ini memaknai mawla sebagai awla. Dan awla bermakna orang yang lebih layak untuk mengatur. Dengan ungkapan yang lebih sederhana adalah bahwa yang layak untuk membina dan memimpin. Dengan demikian, makna hadits ini adalah: Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpin dan pembinanya, ‘Ali As adalah pemimpin dan pembinanya.” Oleh karena itu, barangsiapa yang menerima Nabi Saw sebagai pemimpin dan pembinanya konsekuensinya menerima ‘Ali As sebagai pemimpin dan pembinanya.
Kini yang harus diketahui adalah apakah dalam bahasa Arab, makna ini digunakan atau tidak? Dan yang lainnya adalah apabila kita menerima bahwa mawla dalam bahasa Arab sesuai dengan makna ini, apakah dalam khutbah Ghadir kata mawla bermakna yang sama atau tidak?
Almarhum Allamah Amini menyebutkan empat puluh dua ulama besar dalam bidang tafsir dan bahasa dimana dua puluh tujuh dari mereka berkata: “Mawla bermakna awla.” Lima belas orang yang lain berkata: “Awla merupakan salah satu makna dari mawla.”[61]
Akan tetapi tentang masalah apakah dalam hadits ini kata mawla bermakna yang sama (awla), dengan memperhatikan situasi dan kondisi tatkala hadits ini disampaikan dan menelaah khutbah yang memuat hadits ini, tidak secuil pun syak yang akan tersisa bahwa kata mawla dalam hadits ini adalah bermakna awla.
Lantaran sosok agung seperti Nabi Saw yang merupakan akal keseluruhan (aql kul), insan paripurna dan Nabi teragung dan duta langit, pada hari yang sedemikian panas dan sahara yang sedemikian membakar kaki-kaki para pengelana dan sinar matahari yang sedemikian terik yang membuat otak manusia mendidih, pada sahara yang membara dan tanpa adanya fasilitas[62] dimana apabila daging di letakkan di atas tanah maka akan terpanggang.[63]  Sebuah tempat yang tidak satu pun karavan yang mau berhenti di situ.
Nabi Saw menahan puluhan ribu haji di tempat itu dan orang-orang yang telah pergi untuk menantikan orang-orang yang masih tinggal dan menyampaikan khutbah pada saat-saat yang paling terik dan di samping itu, Nabi Saw berulang kali bertanya kepada khalayak ketika itu untuk mencari tahu apakah mereka mendengarkan suara Nabi Saw dengan baik. Dan pada akhirnya menunjukkan ‘Ali As kepada mereka. Nabi Saw menyebutkan nama dan nasabnya lalu bersabda: مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَعَليٌّ مَولاهُ  
 (Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya maka ‘Ali adalah mawlanya)
 Lalu ia menugaskan orang-orang yang hadir untuk menyampaikan warta penting ini kepada orang-orang yang tidak hadir di tempat itu. Dan setelah itu ia meminta orang-orang untuk berbaiat kepadanya dan menyampaikan ucapan selamat, dan mengenakan ammamah kepunyaannya di atas kepala ‘Ali As dan bersabda kepadanya, “Pakaian kebesaran bangsa Arab adalah ammamah.” Dan Nabi Saw bersabda kepada para sahabatnya, “Para malaikat yang turun membantuku pada hari Badar mengenakan ammamah seperti ini.”
Sekarang apabila kita berasumsi hadits ini sampai di tangan seseorang tanpa qarinah (indikasi), tafsir dan penjelasan dan tanpa ada tujuan memperhatikan hadits ini, ia akan menjumpai - berseberangan dengan ucapan sebagian orang-orang jahil - bahwa Nabi Saw tidak pada tempatnya berkata, “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai temannya maka ‘Ali adalah temannya.” Atau “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai penolongnya maka ‘Ali adalah penolongnya.!
Lantaran teman dan penolong tidak memerlukan adanya ucapan selamat, pengenaan ammamah dan secara umum sabda Nabi Saw ini tidaklah sedemikian penting sehingga harus disampaikan pada situasi dan kondisi seperti itu dan dengan adanya pengumuman pendahuluan.
Atas alasan-alasan ini, Sibt bin Jauzi seorang ulama Ahli Sunnah, setelah membahas tuntas masalah ini, sampai pada sebuah kesimpulan bahwa hadits ini (mawla) adalah bermakna awla.[64]
Dan Ibn Thalha dalam kitab Mathâlib as-Su’âl menulis:
“Baginda Nabi Saw setiap makna mawla yang dinisbahkan kepadanya, ia nisbahkan juga kepada ‘Ali dan nisbah ini merupakan kedudukan tinggi yang diberikan kepada ‘Ali As.[65]
Hal ini merupakan konklusi yang ditunjukkan dari kandungan khutbah Rasulullah Saw dengan seluruh kalimatnya dan hal itu adalah yang dipahami dari sabda Nabi Saw oleh seratus dua puluh ribu Arab, tanpa adanya syak dan keraguan. Dan atas alasan ini, Hassan bin Tsabit bangkit dan berdiri mendeklamasikan syair untuk memuji Amirul Mukminin As dan aksinya itu mendapat sokongan dari Nabi Saw.
Setelah itu, siapa saja yang mendengar berita tentang peristiwa Ghadir memahami bahw Nabi Saw telah menetapkan pengganti dan khalifah selepasnya.
Sepanjang abad selanjutnya, seluruh pakar bahasa dan ulama Islam juga demikian memahami peristiwa Ghadir itu. Dan ratusan pujangga Arab dan non-Arab mendendangkan syair perihal Ghadir, dan dalam lirik-lirik syair mereka menjelaskan bahwa Nabi Saw memilih Amirul Mukminin ‘Ali As sebagai penggantinya dan karena itu mereka memuliakan hari Ghadir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar