Pages

Rabu, 30 November 2011

Syiah dan Peradaban ilmu






SYIAH



DAN 
PERADABAN ILMU KEISLAMAN






Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr


































Dengan Nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang

































Judul:_______ “Syiah dan Peradaban Ilmu Keislaman"
Penulis:_____ Ayatullah Hasan Ash-Shadr
Penerjemah:_ Ammar Fauzi Heryadi
Produser:____ Divisi Penerjemahan Departemen
                              Kebudayaan  Majma Jahani Ahlul Bait
Tim redaksi:_ Penyunting:
Pemeriksa akhir:
Lay out:
Disain sampul:
Penerbit: ____ Majma’ ‘Alami li Ahli Bayt
Cetakan :____ Pertama
Tahun dicetak:          2005
Tiras:_______ 5000
Percetakan:__ Leyla
e-mail:______ www.ahl-ul-bait.org
ISBN:_______ 964-

Hak cipta Majma Jahani Ahlul Bait dilindungi oleh undang-undang






















KATA PENGANTAR

Segala puji syukur ke hadirat Allah, Tuhan alam semesta. Shalawat dan salam atas Rasulullah, sebaik-baiknya makhluk, dan atas keluarganya yang suci nun mulia, serta atas segenap sahabatnya.

Amma ba'du. beberapa waktu yang lalu, saya telah menulis sebuah risalah sederhana di bawah judul "Antara Syiah dan Ahli Sunnah"; risalah yang menyimpan harapan besar dan keinginan yang kuat agar terjalin pertalian antara Syiah dan Ahli Sunnah atas dasar prinsip-prinsip persaudaraan, cinta, kasih dan solidaritas, sekaligus mencerabut benih-benih perpecahan yang telah ditanamkan oleh musuh-musuh kedua mazhab ini ke dalam jiwa-jiwa para penganutnya masing-masing. Masih di dalam risalah yang sama, saya menyerukan agar setiap mazhab memandang perspektif mazhab lainnya selayaknya orang alim yang sedang mencari kebenaran, dan menyadari bahwa sesungguhnya kebenaranlah yang sepatutnya diikuti.

Telah saya katakan di sana bahwa bila semangat yang kita warisi dari orang-orang soleh kita yang terdahulu itu telah menekankan keharusan komitmen pada kebenaran di manapun, dan menerangkan bahwa kebanaran adalah pusaka berharga seorang mukmin yang hilang yang akan ia ambil di manapun ia menemukannya, meskipun jatuh dari mulut orang kafir. Mereka menegaskan kepada kita bahwa orang yang berakal tidak akan menentukan kebenaran atas dasar figur seseorang, akan tetapi atas dasar bukti dan argumentasi. Maka dengan mengenal kebenaran, ia akan mengenal orang-orang yang benar.

Oleh karena itu, telah menjadi keharusan atas kita sebagai generasi penerus mereka, supaya senantiasa mencari kebenaran, berpegang teguh padanya, mempersiapkan diri guna menyampaikannya, bergerak di sekitar porosnya, tanpa lagi memandang siapa yang menyerukannya kepada kita. Sudah begitu jelas bagi orang-orang yang berakal bahwa perkara-perkara yang masih belum diketahui secara yakin selalu menjadi titik silang pendapat. Begitu pula bahwa sikap saling menghormati setiap pendapat oleh setiap pengkaji pada segala persoalan yang membuka berbagai macam pergulatan pemikiran adalah sebuah keharusan. Dengan demikian, mereka dapat berselisih pandangan dan pada saat yang sama duduk sejajar sebagai sahabat-sabahat yang baik. Semoga Allah swt. melimpahkan rahmat kepada seseorang yang mengatakan: "Perselisihan pendapat tidaklah merusak jalinan cinta".

Sesungguhnya Islam telah menjunjung semangat toleransi dan keterbukaan sebegitu tinggi. Al-Qur'an menyatakan: "Dan berserulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan sebaik-baiknya cara". Maka, bila seseorang ingin menikmati kebebasan dirinya dan mengekspresikan hasil-hasil kajian dan pikirannya, tidaklah sepatutnya memungkiri hak kekebasan pada orang lain untuk berbicara dan mengungkapkan hasil-hasil pencarian dan pemikirannya.
Dan cukuplah sebuah kebanggaan bagi kaum muslim tatkala mereka bersatu dan mufakat di atas prinsip-prinsip agama. Tampak begitu jelas, bagaimana prinsip ketuhanan menempati puncak sakralitas di dalam jiwa-jiwa muslimin. Bagaimana keyakinan akan Hari Kebangkitan, pengakuan atas Kenabian dan ketergantungan umat manusia kepada prinsip ini serta penutupan silsilah kenabian oleh Tuan anak-anak Adam, Muhammad bin Abdillah saw. Bagaimana mereka semua mempercayai kebenaran Al-Qur'an Al-Karim dan hadis-hadis sahih dari Rasulullah saw. Semua prinsip kepercayaan agama ini terpatri kuat di dalam hati dan jiwa segenap umat Islam. Kehormatan dan sakralitas tiap-tiap prinsip itu tidak terbandingi oleh kehormatan agama manapun pada jiwa para penganutnya.
Semua di atas tadi telah saya sampaikan,  bahkan lebih banyka lagi, di dalam risalah "Antara Syiah dan Ahli Sunnah", meskipaun di dalam risalah ini saya belum menuliskan apa yang ingin aku ungkapkan lantaran pertimbangan kondisi proses penyetakan kala itu.

* * *

Dan kini sebuah kebahagian besar bagi saya; mendapatkan kesempatan guna membubuhkan kata mengantar untuk sebuah karya Sayyid Hasan Abu Muhammad, yang berjudul "Syiah Dan Peradaban Ilmu Keislaman". Di dalamnya beliau membuka sebuah cakrawala yang barangkali tampak asing bagi kebanyakan masyarakat Ahli Sunnah.
Pada mulanya, saya ingin sekali mempelajari buku ini secara objektif, sehingga -berdasarkan sejumlah data dan argumentasi- tampak jelas nilai kebenaran duduk persoalan yang tengah diupayakan oleh penulisnya untuk ditangani. Namun, saya mendapatkan buku ini justru di luar kapasitas dan kualifikasi saya sendiri, sebab penulis ra. memiliki wawasan pengetahuan yang luas dan data-data yang melimpah, sehingga beliau mampu memetakan semua ilmu-ilmu Islam dan Arab, dan memberikan penilaian selayaknya seorang yang menguasai seluk beluknya, mengetahui rahasia-rahasianya, memahami faktor-faktor kelahirannya dan melacak tahap-tahap perkembangannya. Pada dasarnya, tahap-tahap ini sendiri menuntut sejumlah kelompok pakar dalam ilmu-ilmu tersebut, sehingga setiap pakar meneliti materi penelitiannya, lalu penulis yang mulia menerimanya atas dasar bukti, sebagaimana ia pun dapat menolaknya atas dasar bukti pula.
Dan seandainya saya tidak lagi sempat berkecimpung di dalam bidang ini dan mencermati subjek buku ini secara kritis lantaran kepercayaan saya pada kesungguhan para pakar yang begitu besar dalam mempelajari buku ini, tentu saya akan kecewa bila saja saya kehilangan kesempatan guna menorehkan sebuah kalimat yang saya anggap sebagai pendalaman atas apa yang telah tertulis di dalam risalah saya; "Antara Syiah dan Ahli Sunnah". Kalimat itu ialah bahwa penulis yang mulia ra. mengklaim Syiah sebagai pelopor dalam merintis ilmu-ilmu agama dan Arab, lalu beliau membawakan bukti-bukti pendukung. Dengan demikian, sesungguhnya buku ini berkisar pada penguraian klaim ini dan pemaparan argumentasi-argumentasinya.
Sementara pembaca, siapapun ia, berada di antara dua sikap di hadapan klaim tersebut:
Sikap pertama adalah sikap kaum pelajar, yaitu mereka yng tidak peduli terhadap peletak dan penggagas suatu bidang ilmu. Mereka hanya sibuk mempelajari materi-materi ilmu itu sendiri. Bagi mereka tidaklah penting identitas para penggagas ilmu-ilmu; apakah ilmu itu hasil kreatifitas muslim Syiah saja, atau hasil kreatifitas muslim Sunni saja, atau hasil kerja sama mereka berdua.
Sikap kedua adalah sikap kaum terpelajar, yaitu mereka yang selain mempelajari ilmu-ilmu itu sendiri, juga mengamati kelahiran dan penggagas-penggagasnya serta tahap-tahap perkembangan yang dilaluinya. Karena, semua bidang ilmu mempunyai awal pembentukan dan perumusannya, persis dengan awal kelahiran tokoh-tokoh besar. Maka dari itu, setiap ilmu memiliki latar belakang sejarah sebagaimana akar sejarah kelahiran para tokoh besar tersebut.
Dan kepada kaum terpelajar saya katakan, bahwasanya buku "Syiah Dan Peradaban Ilmu Keislaman" merupakan usaha keras yang patut disyukuri. Penulisnya telah mengetangahkannya kepada masyarakat Islam sebagai langkah partisipasi dalam mengemban tugas yang semestinya dipikul oleh para ulama Islam. Itulah sejarah ilmu-ilmu keislaman dan sejarah ilmu-ilmu lain yang diturunkannya. Untuk itu, tidaklah pantas membalas budi usaha keras dan besar ini dengan cara pandang yang dangkal yang berdasarkan pada ketakpedulian dan penyepelean. Tidaklah sepatutnya untuk mengatakan -misalnya- bahwa usaha ini hanyalah fanatisme, atau penantangan, atau senada kata-kata ini sebagaimana yang digunakan sebagai alasan pembenaran diri oleh orang yang tidak menginginkan dirinya terlibat di dalam jerih penelitian.
Sekali lagi, tidaklah sepatutnya untuk mengatakan bahwa hanya ini, tidak ada selainnya. Sebab, tidak ada alasan untuk bersikap fanatik, pun tidak ada dalih untuk berlaga menantang, karena Syiah sebagaimana Ahli Sunnah; mereka adalah muslimin. Perselisihan pendapat mereka dengan Ahli Sunnah hanya seputar persoalan-persoalan yang masih berada di bawah dataran prinsip agama. Maka itu, Syiah adalah saudara muslim, dan kepeloporan mereka dalam merintis  sebagian bidang ilmu tak ubahnya dengan keunggulan seorang saudara di atas saudara lainnya. Dan bagaimanapun fenomena ini menumbuhkan semangat bersaing dan gelora kompetisi, namun tidak membangkitkan permusuhan dan pertikaian.
Oleh kerena itu, kita tidak mempunyai selain dua pilihan berikut ini:
Pertama, menundukkan kepala sebagai ungkapan syukur dan penghargaan atas usaha keras yang telah dicurahkan oleh penulis yang mulia, dan atas hasil-hasil penelitian yang telah dicapainya.
Kedua, membalas usaha keras penulis dengan cara serupa, dan menawarkan hasil-hasil penilitian yang diraih berikut bukti yang kuat dan argumentasi yang dapat diterima.
Selanjutnya, saya menghadapkan diri kepada Allah Yang Mahakuasa sambil berharap; semoga Dia menyucikan jiwa-jiwa dari noda-noda yang mencemari mereka dan menggantikannya dengan benih-benih cinta, ketulusan dan persaudaraan, mengembalikan persatuan kepada muslimin, memahamkan agama kepada mereka, mengingatkan akibat setiap urusan mereka, memberikan taufik kepada mereka sehingga tertuntun di bawah hidayah Islam dalam kehidupan pribadi dan sosial mereka, dan memberikan inayah kepada mereka agar dapat menyampaikan ajaran agama kepada sekalian umat manusia dengan mengamalkannya dan menjaga hukum-hukumnya sebagai bukti yang kuat atas keindahan dan kesempurnaannya.

* * *

Pada kesempatan ini saya ingin sekali menyinggung salah satu keunggulan dan kegemilangan kaum muslimin yang patut kita angkat dan kita banggakan, yaitu karya-karya Sayyid Muhammad Bagir Ash-Ashadr. Saya tidak mengira bahwa dunia telah dapat menciptakan semacamnya di tengah kondisi yang melingkupi penyusunannya. Kecerdasan beliau yang luar biasa telah menghasilkan dua karya besar berikut ini; "Falsafatuna" dan "Iqtishoduna".
Itulah karya-karya yang mengetengahkan akidah Islam dan sistem penataan sosialnya, dengan tetap menyadur pandangan-pandangan yang digagas oleh arus ateis Barat dan para antek-antek mereka yang seringkali memakai jubah Islam sedangkan Islam sendiri tampak jauh dari mereka. Itulah padangan-pandangan laksana tumbuhan kesembuhan yang sempat mengapung di permukaan laut lalu tenggelam hilang seakan tak pernah muncul.
Untuk itu, saya anjurkan kepada mereka yang mengoleksi berbagai teori palsu di dalam kepala agar menelaah karya-karya itu, dengan harapan mereka dapat menycikan diri dari kotoran dan najis kebatilan dengan air suci kebenaran, dan menangkap cahaya wujud dari balik hati nurani mereka setelah tersesat di tengah gelombang kehampaan, serta dapat menemukan kembali diri mereka setelah menyia-nyiakannya.
Saya menganjurkan kepada kaum remaja muslim yang terkecoh oleh sebersit janji peradaban yang palsu agar meluangkan waktu guna membaca karya-karya tersebut. Saya pun sadar bahwa bagaimana membaca karya-karya itu menjadi terasa sukar bagi mereka yang hidup di dalam hedonisme, jauh dari kesungguhan, lebih kerap dengan kebatilan daripada dengan kebenaran. Sebab, kebatilan dan hidup bersenang-senang adalah dua kendala yang telah menyelimuti akal dan hati mereka sehingga mereka lalai dari kesunggguhan dan kebenaran.
Begitu pula saya menganjurkan kepada para guru agar mempelajari karya-karya tersebut sehingga dapat membina jiwa-jiwa yang telah rusak, hati-hati yang telah gelap, akal-akal yang telah lumpuh dan terhina di mata para pecandu dunia lantaran mereka tidak mengecap betapa besar berkah dan fungsinya, dan pada gilirannya mereka pun tidak mengenal nilai yang sesungguhnya. Dengan begitu, keadaan mereka tak menentu, kehidupan mereka menyimpang dan harapan-harapan mereka kabur, dan akhirnya mereka jatuh ke dalam kondisi yang menuntut supaya diciptakan sedia kala.

* * *

Di akhir kata pegantar ini, tidak ada yang layak saya sampaikan selain ungkapan terima kasih kepada saudara yang terhormat, Sayyid Murtadha Ar-Radhawi, pemilik perpustakaan An-Najah di kota Najaf- Republik Irak, atas upaya-upayanya yang mulia dalam menebarkan ilmu dan memperkenalkan khazanah-khazanah yang selama ini terpendam, juga atas kesempatan yang diberikan kepada saya sehingga saya dapat mengetahui buku yang berharga ini [Syiah dan Peradaban Ilmu Keislaman]. Saya percaya bahwa buku ini akan menjadi subjek penelitian yang amat berarti bagi kaum pelajar dan terpelajar seketika edisi penerbitan terbarunya sampai di tangan mereka, insyaallah.


 Sulaiman Dunya
Guru Besar Filsafat dari Jurusan Usuluddin di Universitas Al-Azhar
20 Ramadhan 1386/1 Januari 1967







RIWAYAT HIDUP PENULIS
Oleh: Ayatullah Sayyid Abdul Husein Syarafuddin

Kelahiran dan Masa Kanak-kanak
Dilahirkan di Kazimain pada siang hari jumat, tanggal 29 Ramadan 1272. Di kota Irak itulah Ayatullah Sayyid Hasan Ash-Shadr tumbuh di bawah asuhan orang yang paling mulai saat itu, yaitu ayahandanya yang mulia. Sang ayah mencurahkan segenap upayanya dalam mendidik sang anak, membina pekerti dan menumbuh-kembangkan potensi-potensinya secara matang, serta membimbingnya di atas jalan akal dan menitikannya sampai ke puncak hidayah. Maka, pertama-tama ia mengenyam ilmu-ilmu bahasa dan sastra secara mendalam dan teliti, sehingga belum lagi mencapai usia lima belas tahun ia sudah mampu secara cermat menguasai Sharaf, Nahwu, Ma'ani, Bayan, Badi'e. Begitu pula ia telah mempelajari ilmu mantiq secara sempurna.
Semua ilmu-ilmu tersebut ia peroleh dari guru-guru yang ahli dan soleh yang dipilihkan oleh sang ayah di antara ulama-ulama kota Kazimain (seperti Syeikh Allamah Baqir  ibn Hujjatul Islam Muhammad Aliyasin, Allamah Sayyid Baqir ibn Al-Muqoddas As-Sayyid Haidar. Pada kedua ulama ini, beliau belajar Nahwu dan Sharaf. Beliau menyelesaikan ilmu BAyan pada Syeikh allamah Ahmad Al-'Atthar. Sedangkan ilmu mantiq, beliau menamatkannya pada seorang guru besar masa itu, yaitu Syeikh Muhammad ibn Haji Kazim dan mirza Baqir As-Salmasi). Dalam setiap pelajarannya, sang ayah senantiasa menyertaibta di samping guru-guru tersebut. Ia tak henti-hentinya memberikan semangat belajar dan gairah berlatih dan memupuk kekuatan niat serta tekadnya dalam menekuni pelajaran dan persoalan.
Di awal-awal masa pertumbuhannya, telah tampak pada diri Sayyid Hasan Ash-Shadr keinginan yang tinggi, kehendak yang kuat dan kecenderungan yang besar untuk mencapai tahap-tahap kesempurnaan. Ia begitu berhasrat dalam berusaha dan giat dalam belajar, sehingga ia tampil menonjol dan mengungguli anak-anak seusianya.
Belum lagi mencapai usia delapan belas tahun, ia telah berhasil menamatkan kuliah tingkat tinggi di bidang Fiqih dan Usul Fiqih di bawah asuhan langsung sang ayah secara lengkap dan cermat. Dan sangat mungkin ia telah mendalami kedua bidang ilmu itu pada selain ayahnya dari ulama-ulama ternama kota Kazimain. Segera prestasi pendidikannya menjadi buah bibir banyak kalangan warga kota. Ketika itu, ia sudah dikenal sebagai seorang alim yang cerdas, terhormat, bijak dan berbudi pekerti. Sungguh ia telah menjadi teladan unggul bagi kaum remaja dalam kemuliaan keluarga, kesucian jiwa, keindahan rupa dan kesempurnaan akhlak.

Menuju Kota Najaf Asyraf
Kota Najaf Asyraf adalah pusat ilmu pengetahuan dan basis pendidikan ulama sejak hijrahnya Syeikh Ath-Thaifah Imam Abu Ja'far ibn Hasan Ath-Thusi pada tahun 448 hijriyah ke sana. Sampai sekarang, kota yang mulia ini senantiasa menjadi tujuan para penuntut ilmu-ilmu agama, pusat perkumpulan para pakar berbagai disiplin ilmu, ibukota agama Islam dan Mazhab Syiah Imamiyah. Najaf Asyraf merupakan perguruan tinggi yang menjadi pusaran tujuan dan perniagaan besar ilmu yang menumbuhkan berbagai harapan dan penantian bagi para penuntut ilmu, sehingga terbuka lebar dan meriah pasar-pasar pertukaran ilmu-ilmu aqli dan naqli. Banyak ulama-ulama besar yang diperuntukkan kota itu kepada umat. Ilmu dan petunjuk mereka menebar ke berbagai pelosok dunia, laksana bintang-bintang yang bertaburan di langit, memberikan janji kemuliaan dan ancaman siksa sebagaimana tradisi para nabi Bani Israil.
Kala itu, Sayyid Hasan Ash-Shadr telah menjadi bagian terdepan dari jajaran ulama-ulama besar itu. Pengalaman berharga ini dimulai dari keberangkatannya ke Najaf Asyraf atas perintah sang ayah pada tahun 1290 hijriyah, dengan bekal tekad yang bulat guna mencapai tingkat kesempurnaan dalam ilmu-ilmu, hasrat yang meluap untuk berusaha semaksimal mungkin dan bertahan sabar dalam menekuni hazanah fiqih para imam Ahlulbait a.s. dan akidah serta segenap ilmu-ilmu mereka. Semua itu dituntutnya dari guru-guru besar agama pada masa-masa itu.
Di samping itu, Sayyid Hasan Ash-Shadr telah mempelajari ilmu Filsafat dan Kalam pada Maula Muhammad Baqir Asy-Syiki'. Tatkala Asy-syiki wafat, beliau menyempurnakan dua cabang ilmu itu pada Maula Syeikh Muhammad Taqie Al-Gulpaigaini dan Syeikh Abdunnabi Ath-Thabarsi.
Demikianlah Sayyid Hasan beruasaha bertahan di Najaf Asyraf guna menuntut  kesempurnaan, giat dalam mencari ilmu-ilmu dari kuliah guru-guru dan tokoh-tokoh agama, tekun dalam pengkajian dan bahkan dalam perannya sebagai pengajar, penulis, penceramah dan panelis dalam forum-forum perdebatan ilmiah, sampai ia berhijrah ke kota Samarra. Tokoh-tokoh agama di sana sudah mendengar namanya dari guru-gurunya dan mengagumi kedudukan ilmu dan budi pekertinya seraya memberi kesaksian atas keberhasilannya dalam mencapai derajat ijtihad, yakni kelayakannya dalam menyimpulkan hukum-hukum far'i syariat dari dasar-dasarnya yang terinci. Segala puja dan puji bagi Allah swt. atas nikmat yang dianungrahkan kepadanya.

Menuju Samarra



PENDAHULUAN

Segala puji dan syukur bagi Allah swt. yang telah membukakan pintu-pintu ilmu dengan meletakkan ilmu-ilmu keislaman, dan yang telah memuliakan kita dengan nama Syiah Imamiyah. Kami memanjatkan puji ke hadirat-Nya yang mendahului mereka dalam meraih ridha-Nya dan memberinya sesuai yang mereka inginkan. Shalawat dan salam tercurahkan ke atas sebaik-baiknya makhluk dan semulia-mulianya ciptaan Allah, Muhammad sang penghulu para rasul, pembawa syariat samawi, yang diutus dengan seagung-agungnya kitab suci, penutup kenabian yang terdahulu, pembuka gerbang masa yang akan datang, dan ke atas keluarganya nun mulia; di tangan merekalah kunci ilmu-ilmu keislaman.
Amma ba'du. Tatkala saya menulis buku yang mendedah fakta; bagaimana tokoh-tokoh Syiah yang mulia merintis dan membangun ilmu-ilmu keislaman, yaitu Ta'sisusy-Syiah li Fununil Islam, saya menatanya berdasarkan pasal-pasal yang menghimpun berbagai disiplin-disiplin ilmu yang digagas oleh ulama Syiah untuk pertama kalinya di tengah umat Islam.
Pada setiap pasal, saya meletakkan bagian-bagian yang menerangkan ihwal orang pertama yang menggagas dan yang menyusun suatu disiplin ilmu,  ihwal orang-orang yang  membidani sebuah cabang dari ilmu tersebut dan menyusunnya, juga perihal orang pertama yang menggagas sebuah istilah baru yang kemudian mentradisi, dan perihal orang pertama yang menyusun sebuah cabang ilmu secara terpisah, serta hal-hal lain semacam ini. Berikutnya, saya juga menghimpun sebuah bagian yang khusus memperbincangkan pakar-pakar terkenal suatu ilmu dan  tokoh-tokoh utamanya yang terdahulu. Di sana saya sebutkan nama-nama mereka menurut urutan masa hidup mereka masing-masing, tidak atas dasar urutan huruf abjad, misalnya. Ini dilakukan demi menghargai kedudukan mereka yang telah lebih dahulu berusaha dalam kerja yang besar ini, sesuai dengan hukum keutamaan yang terdahulu di atas yang terakhir, dan kemuliaan yang diikuti di atas yang mengikuti.
Sebelum ini, belum ada orang yang mendahului saya dalam melakukan rencana ini, berfikir tentangnya, ataupun upaya-upaya untuk mengingkarinya. Untuk itu, cobalah membaca apa yang saya tulis dengan kesadaran akan tanggung jawab untuk menjelaskan masalah secara argumentatif. Hasilnya, terbitlah sebuah buku yang tebal lantaran sejumlah data-data menyangkut identitas tokoh-tokoh dan liputan informasi-informasi yang langka. Oleh sebab itu, sebagian ulama dari keluarga meminta saya agar meringkas buku itu sehingga seimbang dengan maksud penyusunan buku. Mereka pun menyaran agar saya memberi judul Syiah wa Fununil Islam; Syiah dan Pembangunan Peradaban Ilmu-ilmu Keislaman.
Demi memenuhi harapan mereka, saya beristikharah kepada Allah swt. Berangkat dari hasil positif istikharah, segera saya pun melakukan proses peringkasan dan penyederhanaan buku. Hanya saja, saya tidak lagi terikat pada susunan pembahasan sebagaimana pada mulanya buku itu, tetapi saya menyusun pasal-pasal di dalamnya berdasarkan urutan kemuliaan ilmu, tidak menurut urutan kemunculan ilmu-ilmu.


BAB PERTAMA
Kepeloporan Syiah dalam Ilmu Ulumul Qur'an
Sebelum memulai pembahasan, perlu diingatkan kedudukan Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. sebagai pemulai dan pelopor dalam mengembangkan berbagai ilmu Ulumul Qur'an. Sesungguhnya beliau telah mendiktekan enam puluhan cabang ilmu Ulumul Qur'an, dan menyebutkan contoh yang khas untuk setiap cabang. Semua itu terhimpun dalam sebuah buku yang kami riwayatkan dari beliau melalui bebarapa jalur periwayatan yang tersedia pada kami sampai sekarang ini. Buku itu adalah pedoman pokok bagi setiap orang yang telah menulis mengenai macam-macam cabang ilmu Al-Qur'an.
Mushaf atau kitab pertama yang menghimpun ayat-ayat Al-Qur'an sesuai dengan urutan masa penurunannya setelah wafat Nabi saw. adalah mushaf Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. Terdapat sejumlah riwayat mengenai hal ini dari jalur Ahlulbait secara mutawatir, dan dari jalur Ahlisunah secara mustafidz (satu tingkat di bawah mutawatir). Sebagiannya telah kami singgung di dalam kitab pertama kami, yakni Ta'sisusy-Syiah li Fununil Islam. Di sana kami telah mendiskusikan pandangan Ibnu Hajar Al-Asqolani secara kritis.


Pasal Pertama
Tentang Orang Pertama Yang Mengarang Kitab Mengenai Ilmu Tafsir Al-Qur'an.

Orang pertama yang mengarang buku seputar ilmu Tafsir ialah seorang tabi'in bernama Said ibn Jubair r.a. Kala itu, ia adalah orang yang paling ahli di bidang Tafsir di antara para Tabi'in, sebagaimana yang dilaporkan oleh As-Suyuthi di dalam Al-Itqon dari periwayatan Qotadah seraya menyebutkan tafsirnya. juga Ibn Nadim menyinggung nama Said di dalam Al-Fehrest tatkala menyebutkan karya-karya yang dikarang seputar tafsir Al-Qur'an. sementara itu, sebelum Said belum ada tafsir yang pernah dinisbahkan kepada selainnya.
Said meninggal dunia pada tahun 94 Hijriyah. tak syak lagi, ia adalah salah satu syiah yang tulus. ulama-ulama kami telah memberikan kesaksian ini secara tegas di dalam kitab-kitab ilmu Rijal, seperti Allamah Jamaluddin ibn Al-Muthahhar di dalam Al-Khulashah dan Abi Amr Al-Kasyi di dalam Kitabun fir-Rijal. yang terakhir ini di dalam kitabnya meriwayatkan sejumlah riwayat dari Imam-Imam a.s. mengenai sanjungan mereka kepadanya, kesyiahannya dan ketulusannya pada Syiah. Al-Kasyi mengatakan: "Dan alasan pembunuhan Hajjaj ibn Yusuf atas Said tidak lain adalah karena persoalan ini, yakni kesyiahaannya, pada tahun 94".
Dan perlu diketahui bahwa sekelompok dari tabi'in Syiah telah memulai mengarang di bidang tafsir Al-Qur'an setelah Said ibn Jubair. Di antara mereka adalah As-Sudi Al-Kabir Islmail ibn Abdurrahman Al-Kufi Abu Muhammad Al-Qurasyi yang wafat pada tahun 127 H. Di dalam Al-Ithqon, As-Suyuthi mengatakan: "Karya tafsir terbaik adalah tafsir tafsir Ismail As-Sudi. Darinyalah para Imam-imam mazhab menukil banyak riwayat".
Saya katakan bahwa selain As-Suyuthi, An-Najasyi pun telah menyebutkan tafsir As-Sudi. Begitu pula Syeikh Abu Ja'far Ath-Thusi di dalam Asma' Mushannifis Syi'ah. Adapun Ibnu Qutaibah secara tegas memberikan kesaksiannya atas kesyiahan As-Sudi di dalam Kitabul Ma'arif, juga Ibn Hajar Al-'Asqolani di dalam At-Taqrib dan Tahzibut Tahzib. Ismail As-sudi adalah salah satu sahabat Imam Ali ibn Husein, Imam Muhammad Al-Baqir dan Imam Ja'far Ash-Shadiq a.s.
Di antara mereka adalah Muhammad ibn As-Saib ibn Bsyr Al-Kalbi, pengarang tafsir yang terkenal itu, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibn NAdim tatkala ia mengurut nama kitab-kitab yang dikarang berkenaan dengan tafsir Al-Qur'an. Ibn Uday dalam Al-Kamil-nya mengatakan: "Al-Kalbi mempunyai hadis-hadis yang sahih dan khas (syiah, pent.) yang diriwayatkannya dari Abi Soleh, dan ia terkenal di bidang tafsir. Bahkan, tidak ada seorang pun yang mengarang tafsir setebal dan seindah karya tafsir Al-Kalbi".
As-Sam'ani mengatakan: "Muhammad ibn As-Saib, pengarang tafsir, adalah warga kota Kufah. Ia menganut ajaran Raj'ah. Anaknya bernama Hisyam yang bernasab mulia dan bermazhab Syiah yang kuat. Saya katakan bahwa Ibn Saib adalah seorang syiah dan sahabat dekat Imam Ali Zainal Abidin dan Imam Muhammad Baqir a.s. Ia wafat pada 146 H.
Di antara mereka adalah Jabir ibn Yazid Al-Ja'fi, seorang tokoh di bidang tafsir Al-Qur'an. Ia mempelajari ilmu ini dari Imam Muhammad Baqir a.s. dan ia termasuk orang-orang yang dekat dengan beliau. Jabir telah mengarang sebuah tafsir Al-Qur'an dan selainnya. Tercatat pada tahun 127 H ia meninggal dunia. Tafsir Jabir tidaklah sama dengan tafsir Imam Baqir yang telah disebutkan oleh Ibn Nadim tatkala ia mengurut nama kitab-kitab yang dikarang di bidang tafsir. Ibn Nadim mengatakan: "Kitab Muhammad ibn Ali ibn Husein Al-Baqir telah diriwayatkan oleh Abul Jarud Ziyad ibn Munzir, Imam mazhab Jarudiyah Zaidiyah". Saya katakan bahwa  sekelompok dari perawi-perawi terpercaya Syiah seperti: Abu Bashir Yahya ibn Qosim Al-Asadi dan selainnya, telah menukil menukil kitab Imam Baqir tersebut dari Abul Jarud di masa-masa kemurnian kesyiahannya; yakni sebelum ia menjadi penganut Zaidiyah.


Pasal Kedua
Tentang Orang Pertama Yang Mengarang Di Bidang Qira'ah Dan Merumuskannya Sebagai Ilmu, Dan Orang Pertama Yang Menghimpun Bacaan-bacaan Al-Qur'an

Perlu dicatat bahwa orang pertama yang merumuskan ilmu Qira'ah adalah Aban ibn Taghlab Ar-Ruba'i Abu Said. Ia biasa juga dipanggil Abu Umaimah Al-Kufi. An-Najasyi di dalam Asma' Mushannifis Syi'ah mengatakan: "Sesungguhnya Aban rahimahullah adalah pelopor di berbagai bidang ilmu Al-Qur'an, Fiqih dan Hadis. Aban juga memiliki bacaan tersendiri yang masyhur di kalangan para Qori'". An-Najasyi dalam periwayatan kitab tafsir Aban mengurut sanadnya dari Muhammad ibn Musa ibn Abu Maryam, pengarang kitab Al-Lu'lu', sampai ke Aban. Di sana Aban mengatakan: "Dan pertama-tama hanyalah Hamzah sebagai pelatihan...".
Ibnu Nadim dalam Al-Fehrest menyebutkan karangan Aban mengenai ilmu Qira'ah. Ia mengatakan: "Di antara karya-karya Aban ialah kitab Ma'anil Qur'an yang indah, Kitabul Qira'ah dan Kitab minal Ushul mengenai ilmu Riwayat menurut mazhab Syiah".
Setelah Aban adalah Hamzah ibn Habib, salah seorang Pencetus tujuh bacaan, yang mengarang kitab Al-Qira'ah. Ibn Nadim mengatakan di dalam Al-Fehrest: "Al-Qira'ah adalah kitab yang ditulis oleh Hamzah ibn Habib; salah seorang dari tujuh sahabat terdekat Imam Ja'far Ash-Shadiq". Sementara itu, Syeikh Abu Ja'far Ath-Thusi telah menyinggung ihwal Hamzah ini di dalam Kitabur Rijal seputar sahabat-sahabat Imam Ash-Shadiq a.s. Dan telah ditemukan catatan yang ditulis oleh Syeikh Syahid Muhammad ibn Makki dari Syeikh Jamaluddin Ahmad ibn Muhammad ibn Al-Haddad Al-Hilli, yaitu demikian: "Al-Kisaie telah belajar Al-Qur'an pada Hamzah, dan Hamzah pada Abu Abdillah Ja'far Ash-Shadiq, dan Ash-Shadiq pada ayahnya, dan ayahnya pada ayahnya, dan ayahnya pada ayahnya, dan atahnya pada Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib". Saya katakan bahwa Hamzah juga belajar pada Al-A'masy dan Himran ibn A'yan; yang keduanya adalah tokoh Syiah, sebagaimana yang akan kita kenal.
Hingga kini, belum ada nama yang dikenal selain Aban dan Hamzah dalam pengarangan kitab di bidang Qiroah. Misalnya, Adz-Dzahabi dan selainnya yang menulis mengenai generasi para pembaca Al-Qur'an mencatat bahwa orang pertama yang mengarang di bidang Qira'ah adalah Abu 'Ubaid Al-Qosim ibn Salam yang wafat pada 224 H. Menurut catatan ini, jelas Aban telah memulai lebih dahulu, sebab Adz-Dzahabi sendiri dalam Al-Mizan dan As-Suyuthi di dalam Ath-Thabaqot menuliskan tahun wafat Aban pada 141 H. Maka itu, Aban 83 tahun lebih dahulu mengarang daripada Abu Ubaid. Begitu pula   sekaitan dengan Hamzah ibn Habib. Adz-Dzahabi dan As-Suyuthi menuliskan tahun kelahirannya pada 80 H dan tahun wafatnya pada 156. Ada yang mengatakan wafatnya pada 154 H, ada pula yang mencatatnya pada 158, kendati tahun yang terakhir ini tidak valid.
Ala kulli hal, dapat disimpulkan bahwa Syiah adalah pelopor di bidang penyusunan ilmu Qira'ah dan bacaan  Al-Qur'an. Fakta ini tidaklah luput dari kesadaran sang Penghafal Al-Qur'an Adz-Dzahabi dan sang penghafal Al-Qur'an dari Syam As-Suyuthi. Hanya saja, mereka hendak menunjukkan muslim pertama di antara Ahli Sunnah yang mengarang kitab di bidang Qira'ah, bukan di antara umat Islam secara umum.
Di samping itu, dalam perihal pengarangan kitab Qira'ah, terdapat sekelompok syiah selain yang telah saya sebutkan seperti: Ibn Sa'dan Abu Ja'far ibn Sa'dan Adl-Dlurair. Ia aktif sebagai penyusun ilmu Qira'ah sebelum Abu Ubaid. Pada pembahasan 'Pembaca-pembaca Syiah', Ibn Nadim dalam Al-Fehrest menuliskan: "Ibn Sa'dan adalah guru masyarakat Ahli Sunnah, salah seorang pembaca berdasarkan bacaan Hamzah, kemudian ia memilih bacaan untuk dirinya sendiri. Ia lahir di Baghdad, bermazhab Kufah (Syiah, pent.), wafat pada 131 di hari Arafah. Di antara karya-karyanya ialah Kitabul Qira'ah, Mukhtasharun Nahw. Dan ia pun memiliki kumpulan definisi, semacam kumpulan definisi Al-Fara'".
Seperti juga Ibn Sa'dan adalah Muhammad ibn Al-Hasan ibn Abu Sarah Ar-RAwasi Al-Kufi, guru Al-Kisaie dan Al-Fara'. Ia adalah salah seorang sahabat dekat Imam Muhammad Baqir a.s. Abu Amr Ad-Danie telah menyebutkannya di dalam Thabaqotul Qurra', dan mengatakan: "Muhammad ibn Al-Hasan telah meriwayatkan ilmu Huruf dari Abu Amr dan belajar pada Al-A'masy; seorang ulama Kufi (Syiah, pent.). Ia mempunyai mazhab yang khas dalam Qira'ah yang juga dianut oleh sebagian orang. Darinyalah Khallad ibn Khalid Al-Manqori dan Ali ibn Muhammad Al-Kindi belajar ilmu Huruf, darinya pula Al-Kisaie dan Al-Farra' meriwayatkan ilmu tersebut".
Muhammad ibn Al-Hasan wafat pada belasan tahun setelah seratus hijriyah. Di antara karya-karyanya ialah Kitabul Waqf, Al-Ibtida' dalam edisi besar dan kecil, dan Kitabul Hamaz sebagaimana yang dicatat oleh An-Najasyi di dalam Asma' Mushannifis Syi'ah dan oleh selainnya.
Di sini perlu juga dibubuhkan nama Zaid, sang syahid. Ia mempunyai qiroah datuknya, Amiril Mukminin Ali bin Abu Thalib a.s., sebagaimana telah dinukil oleh Umar ibn Musa Ar-Rojhi. Di pembukaan kitab qiroah Zaid, Umar mengatakan: "Aku telah mendengar qira'ah ini dari Zaid ibn Ali ibn Al-Husein ibn Ali ibn Abi Thalib a.s. Sungguh aku tidak pernah menemukan orang yang paling mengerti tentang Al-Qur'an, ayat-ayat nasikh dan mansukhnya, bentuk dan tata bahasanya, selain Zaid ibn Ali". Zaid wafat pada tahun 122 H dalam keadaan syahid di masa kekuasaan Hisyam ibn Abdul Malik, salah seorang raja dinasti Bani Umayyah. Di saat wafat, ia berusia 42 tahun, lantaran ia lahir pada 82 H.
Semua nama-nama yang telah saya bawakan di atas tadi benar-benar telah memulai lebih dahulu dalam penyusunan dan perumusan ilmu qiraah (pembacaan Al-Qr'an) daripada Abu Ubaid Al-Qosim ibn Salam. Dengan demikian, dapat dibuktikan kepeloporan kaum Syiah di dalam penggagasan dan penyusunan ilmu Qira'ah.


Pasal Ketiga
Tentang Orang Pertama Yang Mengarang di Bidang Ilmu Ahkamul Qur'an

Ketahuilah bahwasanya orang yang pertama kali mengarang di bidang Ahkamul Qur'an (ilmu mengenai ayat-ayat hukum syariat) adalah MUhammad ibn As-Saib Al-Kalbi; seorang sabahat Imam Muhammad Baqir a.s. sebagaimana telah saya singgung namanya sebelum ini. Dalam rangka menghimpun nama kitab-kitab yang ditulis berkenaan ilmu Ahkamul Qur'an, Ibn Nadim di dalam Al-Fehrest mengatakan: "Kitab Ahkamul Qur'an yang ditulis oleh Al-Kalbi telah diriwayatkannya sendiri dari Ibn Abbas".
Telah Anda ketahui bahwa Ibn As-Saib Al-Kalbi wafat pada tahun 146 H. Atas dasar ini, maka pendapat As-Suyuthi yang menegaskan bahwa Imam Asy-Syafi'ie adalah orang pertama yang menulis di bidang ilmu Ahkamul Qur'an, dapat diragukan kebenarannya. Sebab, Imam Asy-Syafi'ie wafat pada 204 H, pada usia 54 tahun.   
Begitu juga pendapat lain As-Suyuthi di dalam Tobaqotun Nuhat; memastikan bahwa orang pertama menulis berkenaan dengan Ahkamul Qur'an ialah Al-Qosim ibn Ishbagh ibn Muhammad ibn Yusuf Al-Bayani Al-Qurthubi; seorang ulama Ahli hadis dan pakar bahasa dari Andalusia. Pendapat ini tampak lemah mengingat tahun wafat Al-Qosim jatuh pada 340 H.


Pasal Keempat
Tentang Orang Pertama yang mengarang di bidang ilmu Gharibul Qur'an

Ketahuilah bahwasanya orang pertama yang mengarang di bidang ilmu Gharibul Qur'an adalah tokoh Syiah tersohor yang bernama Aban ibn Taghlab. Ulama-ulama besar Syiah telah memberikan kesaksian atas hal ini. Kita juga dapat menyimak kesaksian dari Yaqut Al-Humawi di dalam Mu'jamul Udaba' dan Jajaluddin As-Suyuthi di dalam Bughyatul Wu'at. Mereka semua menyatakan wafat Aban pada tahun 141 H.
As-Suyuthi di dalam kitab Al-Awail mengatakan: “Orang pertama yang mengarang di bidang Gharibul Qur’an ialah Abu Ubaidah Muammar ibn Al-Mutsanna. Dan ia menyatakan secara tegas akan tanggal wafatnya, yaitu pada tahun 209 H, sebagai mengatakan 208 H, sebagian lagi mengatakan 210 H , ada pula yang mencatat 211 H”. Namun, saya tidak menyangka bahwa As-Suyuthi lalai akan apa yang dia sebutkan sendiri berkenaan dengan riwayat hidup Aban bin Taghlab, dan menurut kesaksiannya bahwa Aban mempunyai kitab Gharibul Qur’an. Hanya saja As-Suyuthi hendak menyebutkan orang pertama yang mengarang di bidang ilmu ini dari warga Bashrah.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa Abu Ubaidah bukanlah dari kelompok Ahli Sunnah sehingga dilakukan pembelaan bahwa As-Suyuthi hendak menyebutkan orang pertama yang mengarang di bidang Gharibul Quran dari kaum Ahli Sunnah, karena Abu Ubaidah sendiri dari kelompok Khawarij Shafuriyyah, sebagaimana hal ini dikuatkan oleh kesaksian Al-Jahidz di dalam kitabnya,  Al-Hayawan yang baru saja dicetak pada akhir-akhir ini di Mesir.
Selanjutnya perlu diketahui bahwa para pengharang di bidang Gharibul Qur’an setelah Aban bin Tghlab adalah sekelompok kaum Syiah. Di antara mereka ialah Abu ja’far Ar-Rawasi. Ia sendiri sudah lebih dahulu muncul daripada Abu Ubaidah. Selain Abu Ja’far adalah Abu Utsman Al-Mazani yang wafat pada tahun 248 H. Lalu Al-Farra’ yang wafat pada tahun 207 H, dan Ibnu Duraid Al-Kufi; seorang ahli sastra Arab yang wafat pada 321 H, dan Ali ibn Muhammad As-Simsathi. Dan akan dibawakan riwayat-riwayat hidup mereka masing-masing pada pasal Ilmu Nahwu dan pasal Ilmu Bahasa, serta bukti-bukti atas kesyiahan mereka.


Pasal Kelima
Tentang Kepeloporan Syiah Dalam Penyusunan Ilmu Ma’anil Qur’an.

Ketahuilah bahwa orang pertama dari kaum Syiah yang mengarang di bidang ma’anil Qur’an (makna-makna Al-Qur’an) ialah Aban bin Taghlab yang wafat pada tahun 141 H. Kitab Aban tentang bidang ini telah dinyatakan oleh Ibnu Nadim dalam kitabnya, Al-Fehrest, dan An-Najasyi di dalam kitabnya, Asma’Mushannifisy Syi’ah, dan selain mereka berdua. Saya sendiri tidak menemukan satu orang pun yang menyusun sebuah kitab berkenaan dewngan imu Ma’anil Qur’anm sebelum Aban. Perlu diakui bahwa terdapat selain Aban dari kelompok Syiah yang menyusun ilmu ma’anil Qur’an, yaitu Ar-Rawasi dan Al-Farra’. Ibnu Nadim mengatakan: “Kitab Ma’anil Qur’an yang dikarang oleh Ar-rawasi dan kitab Ma’anil Qur’an yang disusun oleh Al-Farra’ untuk Umar ibn Bakar. Kedua penulis ini adalah dari kaum Syiah.
Dan orang pertama yang mengarang kitab di bidang ilmu Nasikh wa Mansukh adal;ah Abdullah ibn Abdurrrahman Al-Ashamm Al-Masma’ie dari warga Bashrah. Ia adalah seorang tokoh Syiah dan sahabat dekat Imam Ja’dfar Ash-Shadiq a.s. Dan setelahnya adalah Darim ibn Qubaishah ibn Nahsal ibn Majma’, Abul hasan At-Tamimi Ad-Darimi, salah seorang tokoh utama Syiah. Ia berumur panjang sehingga dapat menjumpai Imam Ali Ar-Ridha a.s. dan wafat pada akhir-akhir abad kedua. Ia mempunyai kitab Al-Wujuh wan Nadzair, dan kitab An-Nasikh wal Mansukh. Dua kitab itu telah disebutkan oleh An-Najasyi di dalam Asma’ Mushannisy Syiah.
Pengarang setelah mereka berdua di atas ialah Al-Hasan ibn Ali ibn Al-fidhal; sahabat dejkat Imam Ali ibn Muasa Ar-Ridha. Ia Awafat [pada tahun 224 H. Lalu Syeikh Al-A’dham Ahmad ibn Muhammad ibn Isa Al-Asy’ari al-Qummi; yang juga sabahat dekat Imam Ali Ar-Ridha a.s. Ia berusia cukup panjang hingga menjumpai Imam Hasan Al-Askari.
Dan berdasarkan apa yang disimpulkan dari tulisan Jalaluddin As-Suyuthi, bAwha orang pertama yang mengaranmgh di bidang Ma’anil Quran ial;ah Abu Ubaidah Al-Qosim ibn Salam yang wafat pada tahun 224 H, dan ia semasa dengan Al;-Hasan ibn Ali ibn Fidhal yang juga mengarang kitab di bidang yang sama, dan muncul jauh setelah Al-Masmaie, bahkan setelah Darim ibn Qubaishah.
Ala kulli hal, kaum Syiah adalah pelopor-pelopor di bidang penyusunan ilmu Ma’anil Qur’an. Dan orang pertama yang menyusun berkenaan dengan Nawadirul Qur’an (Kelangkaan Al-Qur’an) ialah Ali ibn Husein bibn Fidhal. Ia adalah seroang tokok Syiah di abad ketiga. Di dalam Al-Fehrest, Ibnu Nadim mengatakan: “dan Syeikh Ali ibn Ibrahim ibn Hasyim yang menyusun kitab tentang Nawadirul Qur’an adalah seorang Syiah. Ali ibn hasan ibn Fidhal yang menulis kitab di bidang yang sama juga dari kaum Syiah. Begitu pula, Abu Nashr Al-‘Ayyasyi yang juga mengarang dibidang tersebut adalah seorang Syiah”.
Saya Katakan, bahwa Ahmad ibn Muhammad Al-Yasari; penulis dari warga Bashrah juga mempunyai kitab Nawadirul Qur’an. Pada waktu itu, Al-Yasari menuliskan kitab itu untuk Raja Thahir di jaman Imam Hasan Al-Askari. Begitu juga Abdul Hasan Muhammad ibn hmad ibn MuhammAd yang terkenal juga dengan nama Al-Haritsi mempunyai kitab Nawadir Ilmil Qur’an. An-Najasyi mengtakan: “Abdul Hasan Muhammad ibn Ahmad ialah salah seoranmg sahabat kami yang masyhur dalam keterpercayaannya”.
Lalu, orang pertama yang mengarang di bidang ilmu Mutasyabihul Qur’an (tentang makna-makna samar di dalam Al-Qur’an) adalah HamzAh ibn habib Az-ziyad Al-Kufi. Ia adalah pengikut sekaligus asalah seorang sahabat setia Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. Ia wafat pada tahun 156 H di Halwan. Ibnu Nadim mengatakan: “Kitab Mutasyabihul Qur’an adalah karya Hamzsh ibn Habib, dan ia dalah salah satu dari tujuh sahabat dekat Imam Ja’far Ash-Shadiq”. Begitu njuga Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi menggolongkannya swebagai salah satu sahabat dekat Imam Ash-Shadiq a.s.
Jauh sebelum kesaksian Ibnu Nadim dan Syiekh Ath-Thusi adalah Ibnu ‘Uqdah yang telah menganggap Hamzah sebagai salah seorang sahabat dekat Imam a.s. di dalam kitab Ar-Rijal. Dan terdapat sekelompok kaum Syiah terdahulu kami yang mengarang di bidang Mutasyabihul Qur’an, seperti Muhammad ibn Ahmad Al-Wazir yang hidup semasa dengan Syeikh Ath-Thusi. Ia memiliki kitab Mutasyabihul Qur’an. Selain Al-Wazir ialah Syeikh Rasyiduddin Muhammad ibn Ali ibn Syar-Asyub Al-Mazandarani yang wafat pada tahun 288. Ia mempunyai kitab Mutasyabihul Qur’an.

Lalu, orang pertama yang menyusun kitab mengenai ilmu Maqthu’ul Qur’an wa Maushuluhu (sambungan dan putusan ayat-ayat Al-Qur’an) ialah Syeikh Hamzah ibn Habib. Muhammad ibn Ishaq yang dikenal juga dengan nama Ibnu NAdim  telah menyebutkan di dalam kitab Al-Fehrest bahwa sebuah kitab  Maqthu’ul Qur’an wa Maushuluhu adalah karya Hamzah ibn Habib; salah seorang tujuh sahabat dekat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s.”.
Lalu, orang pertama yang meletakkan titik-titik huruf dan tanda-tanda baca (i’rab) serta menjaganya dari tahrif (distorsi) di berbagai banyak buku adalah Abul Aswad, dan di sebagian buku adalah Yahya ibn Ya’mur Al-‘Idwani; yaitu murid Abul Aswad sendiri. Namun yang pertama lebih tepat. Walhasil, siapapun mereka itu, bisa dikatakan bahwa keutamaan dan kepeloporan berada pada kaum Syiah, sebab Abul Aswad maupun Yahya adalah dua orang Syiah, sebagaimana kesaksian mufakat para ulama. Dan telah kita bawakan berbagai macam teks serta bukti atas kesyiahan mereka di dalam kitab asli saya, yaitu Ta’sisusy Syi’ah li fuinunil Islam.
Lalu, orang pertama yang menyusun kitab di bidang Majazul Qur’an (Metaforika Al-Qur’an) sejauh yang saya ketahui, ialah Al-Farra’; nama lengkapnya adalah yahya Ibn Ziyad yang wafat pada tahun 207 H, sebagaimana yang akan dibawakan riwayat hidupnya pada pembahasan mengenai tokoh-tokoh ilmu Nahwu. Dan Al-Maula Abdullah Afandi di dalam Riyadul ‘Ulama menyatakan secara tegas bahwa Yahya ibn Ziyad Al-Farra’ ialah seorang Syiah. Ia mengatakan: “Dan apa yang dikatakan oleh As-Suyuthi mengenai kecenderunagn Al-Farra’ kepada Mu’tazilah mungkin berpangkal dari kerancuan sebagian besar ulama Ahli Sunnah berkenaan dengan prinsip-prinsip Syiah dan prinsip-prinsip Mu’tazilah. Padahal, Al-Farra’ itu sendiri ialah seorang Syiah Imamiyah”.
Selain itu, ada sekelompok orang Syiah yang menulis kitab berkenaan dengan majaz Al-Qur’an. Di antara karangan yang terbaik sekaitan dengan ilmu ini adalah kitab Majazatul Qur’an; karya Sayyid Syarif Radhi Al-Musawi, saudara Sayyid Al-Murtadha.  
Lalu, orang pertama yang mengarang kitab di bidang ilmu Amtsalul Qur’an (pribahasa Al-Qur’an) ialah Syeikh Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Junaid. Ibnu Nadim di dalam kitab Al-Fehrest, yaitu tatkala sampai di akhir bagian ulasannya tentang kitab-kitab yang dikarang mengenai berbagai makna Al-Qur’an, menyebutkan: “Kitab Amtsalul Qur’an adalah karya Ibnu Junaid”. Di sini, saya sendiri tidak menemukan seorang pun yang mengarang kitab mengenai ilmu ini sebelum Ibnu Junaid.
Lalu, orang pertama yang mengarang kitab tentang Fadhailul Qur’an (Keutamaan-keutamaan Al-Qur’an) ialah Ubay ibn Ka’ab Al-Anshari, seorang sahabat Nabi saw. masih di dalam Al-Fehrest, Ibnu Nadim menyatakan hal ini. Dan sepertinya Jalaluddin As-Suyuthi tidak mengetahui keutamaan Ubay ini sebagai pelopor penyusunan ilmu ini. Maka itu, dapat dimaklumi bila ia mengatakan bahwa orang pertama yang menulis kitab di bidang Fadhailul Qur’an ialah Imam Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’ie yang wafat pada tahun 204 H. Kemudian Sayyid Ali ibn Sadruddin Al-Madani, pengarang As-Salafah, telah menyatakan kesyiahan Ubay ibn Ka’ab di dalam kitab Ath-Thabaqot; nama lengkapnya ialah Ad-Darajatur Rafi’at fi Thabaqot Syi’ah. Di sana, Al-Madani membawakan berbagai bukti atas kesyiahan Ubay. Dan di dalam kitab Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah menambahkan bukti-bukti lain atas hal itu.
Dan ada sekelompok dari kaum Syiah juga mengarang di bidang yang sama. Di antara mereka ialah Al-Hasan ibn Ali ibn Abu Hamzah Al-Bathayini dan Muhammad ibn Khalid Al-Barqi. Kedua-duanya hidup di masa Imam Ali Ar-Ridha. Dan Ahmad ibn Muhammad Al-Yasari, Abu Abdillah seorang penulis dari Basrah yang hidup di jaman Khalifah Dzahir dan Imam Hasan Al-Askari a.s. Ada pula nama-nama selain mereka, yaitu Muhammad ibn Mas’ud Al-‘Ayyasyi, Ali ibn Ibrahim ibn Hasyim, Syeikh Al-Kulaini dan Ahmad ibn Muhammad ibn Ammar Abu Ali Al-Kufi yang wafat pada tahun 346 H, serta mana-nama lain dari ulama terdahulu kami.
Lalu, orang pertama yang mengarang kitab di bidang Asba’ul Qur’an (Tujuh Bacaan Al-Qur’an) ialah Hamzah ibn Habib Al-Kufi Az-Ziyab; salah seorang dari tujuh tokoh pembaca Syiah. Sebagaimana telah saya bawakan kesaksian atas kesyiahannya dari tokoh-tokoh terkemuka Islam. Di dalam Al-Fehrest, Ibnu Nadim telah menyebutkan kitab Asba’ul Qur’an dan kitab Hudud Ayil Qur’an, dan mengatakan bahwa kitab tersebut adalah karya Hamzah. Dan sejauh ini, saya tidak mengetahui seorang pun yang mendahului Hamzah dalam mengarang kitab tentang ilmu ini.


Pasal Keenam
Tentang Tokoh-tokoh Ilmu Al-Qur’an Dari Kaum Syiah

Di antara mereka adalah Abdullah ibn Abbas. Ialah orang pertama dari kaum Syiah yang mengdiktekan tafsir Al-Qur’an. Seluruh ulama kami telah memberikan kesaksian mereka atas kesyiahan Ibn Abbas. Mereka juga memberikan keterangan riwayat hidupnya secara baik, seperti Sayyid Ali ibn Sadruddin Al-Madani, di dalam kitab Ad-Darajatur Rafi’at fi Thabaqot Syi’ah. Dan saya sendiri telah mengulas perihal pribadinya ini di dalam Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam secara memadai. Ibn Abbas wafat pada tahun 67 H di kota Thaif, dan menjelang wafatnya, ia berikrar di dalam doanya; “Ya Allah, Sungguh aku memohon kedekatan diriku kepadamu dengan kesetiaanku pada kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib alahis-salam”.
Di antara mereka adalah Jabir ibn Abdullah Al-Anshari; seorang sahabat mulia Nabi saw. Sebagaimana yang dicatat oleh Abul Khair di dalam Tabaqotul Mufassirin, Jabir tergolong sebagai bagian dari jajaran pertama para mufassir. Fadhl ibn Syadzan An-Naysyaburi; seorang sabahat Imam ali Ar-Ridha a.s. mengatakan bahwa Jabir ibn Abdullah Al-Anshari ra. Adalah dari kelompok terdahulu/pertama yang merujuk kepada Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. masih berkaitan dengan ihwal pribadi Jabir, Ibnu ‘Uqdah mengatakan:”Ia begitu tulus kepada Ahlulbait”. Dan saya sendiri stelah menyebyutklan di Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam beberapa keterangan tambahan mengenai dirinya. Jabir ibn Abdullah meninggal di Madinah pada tahun 70 H, yakni pada usia 94.
Di antara mereka adalah Ubay ibn KA’ab; pemuka para qorie (pembaca bacaan khas Al-Qur’an). Para ulama dan ahli sejarah mencatatnya berada di jajaran pertama dari silsilah kedudukan para mufassir. Ia adalah seorang sahabat Nabi saw. Dan ia sebagaimana yang sudah diketahui, adalah seorang Syiah. Riwayat hidup Ubay dicatat secara memadai oleh Sayyid Ali ibn Sadruddin Al-Madani di dalam Ad-Darajatur Rafi’at fi Thabaqot Syi’ah. Dan secara rinci lagi, saya telah membawakan riwayatnya di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam.
Termasuk dari tokoh-tokoh ilmu Al-Qur’an yang datang setelah nama-nama sahabat di atas ialah para tabi’in. Di antara mereka ialah Sa’id ibn Jubair; seoranmg tabi’in yang paling ulung di bidang tafsir, sebagaimana kekasksian Qotadah atas hal ini. Sebagaimana pengarang Al-Itqon, yaitu As-Suyuthi. Dan telah saya bawakan bukti-bukti atas kesyiahan Sa’id.
Di antara para Tabi’in adalah Yahya ibn Ya’mur; seorang tabi’in danm tokoh Syiah di bidang ilmu Al-Qur’an. Ibnu Khalqan mengatakan: “Yahya adalah salah satu qorie; imam bacaan Al-Qur’an dari Bashrah, dan kepadanya Abullah ibn Ishaq belajar qiroah (bacaan Al-Qur’an). Ia amat menguasai Al-Qur’an, ilmu Nahwu dan berbagai cabang ilmu bahasa Arab. Yahya mempelajari Nahwu pada Abul Aswwad aD-Duali. Dan ia dikenal sebagai seorang tokoh dari jajaran pertama kaum Syiah yang mengakui kedudukan tinggi Ahlulbait, tanpa merendahkan orang mulia selain mereka. Dan saya telah menyebutkan sebaigian riwayat hidupnyua di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, yaitu ketika membahas tokoh-tokoh ilmu Nahwu.
Di antara para tabi’in ialah Abu Soleh. Ia dikenal pula dengan panggilan kuniyahnya. Abu Soleh merupakan murid Ibnu Abbas di bidangh Tafsir Al-Qur’an. Nama asli Abu soleh sendiri adalah Mizan Bashri; seorang tabi’in Syiah. Syeikh Mufid Muhammad ibn Nu’man di dalam Al-Kafiah fi Ibtholi taubatil Khotiah, telah memberikan kesaksian atas kesyiahan dan keterpercayaan Abu Soleh, yaitu tatkala Syeikh Mufid menyinggungnya setelah mengulas ihwal Ibnu Abbas. Abu Soleh wafat pada tahun 100 H.
Di antara para Tabi’in ialah Thawus ibn Kisan Abu Abdillah Al-Yamani. Ia mempelajari tafsir pada Ibnu Abbas. Syeikh Ahmad ibn Taimiyah menganggapnya sebagai oang yang paling mengusai tafsir, sebagaimana yang dicatat pula di dlam Al-Itqon oleh Jalaluddin As-Suyuthi. Dan Ibnu Qutaibah di dalam kitab Al-Ma’arif memberikan kesaksian atas kesyiahan Thawus. Di cetakan Mesir, halaman 206, Ibnu Qutaibah mengatakan: “Di antara kaum Syiah adalah Al-Harts Al-A’war, Sha’sha’ah ibn Shuhan, Ashbagh ibn Nabatah, Athiyah Al-‘Aufi, Thawus dan Al-A’masy”. Thawus meninggal di Makkah pada tahun 106 H. Dan ia dikenal senbagai oang yang amat setia pada Imam Ali ibn Husein As-Sajjad a.s.
Di antara para Tabi’in Adalah Al-A’masy Al-Kufi Sualiaman ibn Mehran Abu Muhammad Al-Asadi. Dan sebagiaman yang telah lalu, Ibnu Qutaibah telah memebrikan kekaskisan atas kesyiahannya. Begitu pula Syahristanmi di dalam kitab Al-Milal Wan Nihal serta selain mereka berdua. Dan di antara ulama kami yang memberikan kesaksian yang sma ialah Syeikh Syahid tsani Zainuddin di dalam Hasyiyatul Khulashah dan Muhaqqiq Bahbahani di dalam At-Ta’liqoh dan Mirza Muhammad Baqir Ad-Damad di dalam Ar-Rawasyih. Dan saya telah membawakan teks-teks yang menyuatakan kesaksian mereka atas kesyaiahan Al-A’masy di dalam kitab Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Di sana yang menambahkan beberapa kesaksian lain. Al-A’masy Al-Kufi meningal pada tahun 148 H pada usia 88.
Di antara pata tabi’in uialah Sa’id ibn Al-Musayyab. Ia belajar fatsir pada Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. dan Ibnu Abbas. Ia tyumbuh cerdas di bawah pendidikan guru pertamanya dan ia menyertainya dan tidak pernah berpisah dengannya. Ia telah mengikuti perbabagai peperanagn secara langsung di dalamnya. Dan Imam Ja’far Ash-Shadiq  dan Imam Ali Ar-Ridha A.s. telah memberikan eksaksian atas kesyiahan Sa’id, sebagimana yang tercatat di dalam juz ketiga dari kitab Qurbul Isnad, karya Al-Humairi. Sa’id ibn Al-Musayyab adalah seorang imam qiroah di madinah dan telah dinukil dari Ibnu Al-Madaini bahwa “Aku tidak mengenal dari kaum tabi’in yang lebih luas ilmu dan wasasannya daripada Sa’id ibn Al-Musayyab”. Sa’id wafat pada tahun 70, yaitu ketika ia berusia lebih dari 80.

Di antara para tabi’in ialah Ab Abdurrahman As-Sulami      

(hal 70)

Pasal Keempat
Tentang Orang Pertama Penghimpun Hadis di Pertengahan Abad Kedua

Dari kaum Syiah yang menyusun kitab-kitab, pokok-pokok akidah dan perincian hukum-hukum yang diriwayatkan dari jalur Ahlulbait adalah mereka yang hidup di masa-masa orang yang disebutkan berkenaan dengan orang pertama yang mengumpulkan riwayat dari kalangan Ahli Sunnah. Mereka meriwayatkan hadis-hadis dari Imam Ali Zainal Abidin a.s. dan dari putranya; Imam Muhammad Baqir a.s. Di antara mereka adalah Aban bin Taglab. Ia telah meriwayatkan tiga puluh ribu hadis dari Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s.
Ada pula Jabir ibn Yazid Al-Ja’fi yang meriwayatkan tujuh puluh ribu hadis dari Imam Muhammad Al-Baqir a.s., dari ayah-ayah beliau hingga Rasulullah saw. Jabir mengatakan: “Aku memiliki lima puluh ribu hadis yang belum aku sampaikan. Semuanya dari Rasulullah saw. dari jalur Ahlulbait a.s.
Terdapat nama-mana lain yang melakukan penghimpunan dan periwayatan  hadis sebanyak di atas tadi, seperti Abu Hamzah, Zurarah ibn A’yan, Muhammad ibn Muslim Ath-Thaifi, Abu Bashir Yahya ibn Al-Qosim Al-Asadi, Abdul Mu’min ibn Al-Qosim ibn Qois ibn Muhammad Al-Anshari, Bassam ibn Bdullah Ash-Shairafi, Abu Ubaidah Al-Hidzaie Ziyad ibn Isa Abu Raja’ Al-Kufi, Zakaria ibn Abdullah Al-Fayyad Abu Yahya, Jahdar ibn Al-Mughirah Ath-Thaie, Hajar ibn Zaidah Al-Hadhrami Abu Abdillah, Muawiyah ibn Ammar ibn Abi Muawiyah, Khabbab ibn Abdillah, Al-Mutthalib Az-Zuhri Al-Qurasyi Al-Madani, dan Abdullah ibn Maimun ibn Al-Aswad Al-Qoddah. Saya telah sebutkan kitab dan riwayat hidup mereka masing-masing di dalam Ta’sisusy Sy’ah li Fununil Islam.  
Sementara itu, Tsaur ibn Abu Fakhitah Abu Jaham telah meriwayatkan hadis-hadis dari sekelompok sahabat Nabi saw. Dan ia memiliki sebuah kitab utuh dari Imam Muhammad Baqir a.s.


Pasal Kelima
Tentang Orang Pertama Dari Kaum Syiah Yang Menyusun Kitab Hadis Setelah Pertengahan Abad Kedua

Terdapat sekelompok sahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. yang meriwayatkan hadis dari beliau dan menghimpunnya ke dalam empat ratus kitab dengan judul Al-Usul. Syeikh Imam Abu Ali Al-Fadhl ibn Al-Hasan Ath-Thabarsi di dalam kitabnya, A’lamul Wara’, mengatakan: “Dinukil secara hampir mutawatir oleh banyak kalangan bahwa orang-orang yang meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. adalah mereka yang tergolong dari tokoh-tokoh ilmu yang jumlah mereka mencapai empat ribu. Lalu, mereka menyusun hadis-hadis tersebut ke dalam empat ratus kitab yang dikenal di tengah kaum Syiah dengan nama Al-Usul. Kemudiadan, kitab ini diriwayatkan oleh sabahat-sahabat Imam Ash-Shadiq a.s. dan oleh sahabat-sahatbat putra beliau; Imam Musa Al-kadzim a.s.”.
Sementara itu Abul Abbas Ahmad ibn ‘Uqdah telah menulis sebuah buku terpisah dengan judul Kitabu Rijali Man Rowa ‘an Abi Abdillah Ash-Shadiq. Kitab ini secara khusus menghimpun nama-nama mereka yang meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi bahkan menyebutkan dan menghitung karangan-karangan mereka masing-masing di dalam bab Ashabu Abi Abdillah Ash-Shadiq dari kitabnya;  Ar-Rijal, yaitu kitab yang disusun menurut nama-nama sahabat setiap dua belas imam Ahlulbait a.s.


Pasal Keenam
Tentang Jumlah Kitab yang dikarang olrh orang Syiah tentang Hadis dari Jlur  Ahlulbait, sejak masa Imam Ali bin Abi Thalib sampai masa Imam Hasan Al-Askari a.s.

Ketahuilah bahwa jumlah kitab-kitab itu  melebihi angka 6600, sebagaimana yang dicatat oleh Syeikh Al-Jahidz Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr, penulis Al-Wasail. Bahkan, ia menyatakan jumlah tersebut secara tegas di dalam bab keempat dari kitabnya yang besar tentang hadis, yaitu Wasailusy Syiah ila Ahkamisy Syari’ah. Semua ini juga telah saya sebutkan data-data yang menguatkan jumlah di atas tadi di dalam kitab saya yang berjudul Nuhayatud Dirayah fi Usuli Ilmul Hadis.


Pasal Ketujuh
Tentang Generasi Berikut yang Menjadi Tokoh Ilmu Hadis dan Penyusun Kitab-kitab Induk yang Hingga Kini Merupakan Rujukan Hukum-hukum Syar’i Kaum Syiah

Ketahuilah bahwasanya tiga Muhammad pertama adalah tokoh terdepan dalam penyusunan empat kitab induk hadis. Yang pertama ialah Muhammad ibn Ya’qub Al-Kulaini, penyusun kitab Al-Kafi. Ia wafat pada tahun 328 H. Di dalam kitab tersebut, Al-Kulaini telah mencatat 16099 hadis, lengkap dengan sanad-sanadnya. 
Kedua ialah Muhammad ibn Ali ibn Al-Husein ibn Musa ibn Babaweih Al-Qummi yang wafat pada tahun 381 H. Ia dikenal juga dengan panggilan Abi Ja’far Ash-Shaduq. Ia telah menyusun 1400 kitab tentang ilmu hadis. Yang terbesar di antara kitab-kitab Ash-Shaduq adalah kitab  Man La Yahdhuruhul Faqih yang memuat 9044 hadis mengenai hukum-hukum syariat dan sunah-sunah.
Ketiga adalah Muhammad ibn Al-hasan Ath-Thusi yang terkenal dengan gelar Syeikh Ath-Thoifah. Ia telah menulis kitab Tahdzibul Ahkam, dan menyusunnya ke dalam 393 bab, dan mencatat hadis sebanyak 13590. Kitab Ath-Thusi lainnya adalah Al-Istibshor yang memuat 920 bab sehingga mencakup 5511 hadis. Inilah empat kitab induk yang menjadi rujukan utama kaum Syiah.
Kemudian tibalah peran tiga Muhammad terakhir yang juga tergolong sebagai tokoh kitab induk hadis. Pertama ialah Imam Muhammad Al-Baqir ibn Muhammad At-Taqie. Ia terkenal dengan nama Al-Majlisi. Kitab besar yang ditulis Al-Majlisi adalah kitab Biharul Anwar; fil Ahaditsil Marwiyyah ‘anin Nabi wal Aimmah min Alihil Ath-har. Kitab ini disusun sebanyak 26 jilid tebal. Dapat dikatakan bahwa kitab ini telah menjadi pegangan kaum Syiah. Sebab, tidak ada kitab induk hadis yang paling lengkap selain kitab Biharul Anwar. Sehingga Tsiqotul Islam Allamah An-Nurie menulis sebuah kitab yang berjudul “Al-Faidhul Qudsi fi Ahwalil Al-Majlisi” dan dicetak di Iran, yakni sebuah kitab yang secara khusus mengulas ihwal kehidupan Al-Majlisi.
Kedua ialah Muhammad ibn Murtadha ibn Mahmud, seorang tokoh besar ilmu hadis dan guru utama di dua bidang ilmu aqli dan naqli. Ia lebih dikenal dengan nama Muhsin Al-Kasyani dan julukan Al-Faidh. Kitab hadis yang ditulis olehnya berjudul Al-Wafi fi Ilmil Hadis, yang ketebalannya mencapai 14  jilid, dan setiap jilidnya merupakan kitab tersendiri. Kitab Al-Wafi menghimpun hadis-hadis yang termaktub di dalam empat kitab induk terdahulu berkenaan dengan akidah, hukum syariat, akhlak dan sunah-sunah. Usia Muhsin Al-Kasyani mencapai 84 tahun dan wafat pada tahun 1091 H. Dalam rentang usainya yang panjang itu, ia telah mengarang kurang lebih dua ratus kitab dari berbagai bidang ilmu.
Ketiga ialah Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr Asy-Syami Al-‘Amili Al-Masyghari, seorang ulama hadis yang mayshur di kalangan ahli hadis dengan gelar Syeikhusy Syuyukh (guru ulama). Ia menulis kitab Tafshil Wasailsy Syi’ah ila Tahshil Ahaditsusy Syariah, dan penyusunannya mengacu pada kitab-kitab Fiqih. Di antara kitab-kitab induk hadis, kitab hadis Al-‘Amili ini tergolong sebagai kitab yang paling  banyak diakses oleh ulama. Di dalamnya telah tercatat hadis-hadis yang dinukil dari 80 kitab induk hadis, 70 dari jumlah itu dinukil dengan perantara, dan dicetak berkali-kali di Iran. Bisa dikatakan bahwa kaum Syiah sekarang lebih berkutat pada kitab ini. Muhammad Al-‘Amili dilahirkan pada bulan Rajab 1033 dan wafat pada tahun 1204 H di Thus-Khurasan (salah satu propinsi di bagian barat Iran, pent.)
Dan Syeikh Allamah Tsiqotul Islam Al-Husein ibn Allamah An-Nuri telah menghimpun hadis-hadis yang tidak dicatat oleh penulis Wasailusy Syi’ah, dan menyusunnya di dalam sebuah kitab berjilid berdasarkan susunan bab-bab kitab Wasailusy Syi’ah, dan meletakkan judul Mustadrokul Wasail wa Mustanbatul Masail padanya. Secara umum, kitab ini bentuk lain dari kitab Wasailusy Syi’ah. Dan dapat dikatakan bahwa kitab Syeikh An-Nuri ini merupakan kitab hadis Syiah yang paling besar, dimana Syeikh telah menyelesaikannya pada tahun 1319 H. Ia wafat pada 28 Jumadil Akhir 1320 H.
Dan masih banyak kitab-kitab induk hadis yang disusun oleh ulam-ulama besar hadis Syiah. Di antaranya ialah kitab Al-‘Awalim sebanyak 100 jilid, karya seorang ahli hadis yang tersohor bernama Syeikh Abdullah ibn Nurullah Al-Bahrani. Ia hidup semasa dengan Allamah Al-Majlisi, pengarang kitab Biharul Anwar yang telah kami singgung di atas tadi.
Selain Al-‘Awalim adalah kitab Syarhul Istabshor fi Ahaditsul Aimmatil Ath-har yang disusun  oleh Syeikh Qosim ibn Muhamad ibn Jawad ke dalam beberapa jilid besar, mirip dengan kitab Biharul Anwar. Syeikh Qosim dikenal dengan panggilan Ibnu Al-Wandi dan panggilan Faqih Al-Kadzimi. Ia hidup semasa dengan Syeikh Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr; pengarang kitab Wasailusy Syi’ah sebagaimana telah disinggung. Syeikh Qosim adalah salah seorang murid utama  datuk saya, Allamah Sayyid Nuruddin; saudara Sayyid Muhammad pengarang kitab Al-Madarik.
Selain itu adalah kitab Jami’ul Akhbar fi Idhohil Istibshor. Kitab ini tergolong kitab hadis yang besar yang disusun ke dalam banyak jilid oleh Syeikh Allamah Abdullatif ibn Ali ibn Amhmad ibn Abu Jami’ Al-Haritsi Al-Hamadani Asy-Syami Al-‘Amili. Ia menimba ilmu dari Syeikh Al-Hasan ibn Abu Mansur ibn Asy-Syahid Syeikh Zainuddin Al-‘Amili, pengarang kitab Al-Ma’alim dan Al-Muntaqo, dan salah seorang ulama abad kesepuluh Hijriyah.
Selain itu adalah kitab induk besar yang berjudul Asy-Syifa fi Hadis Alil Mushtafa. Kitab ini mencakup beberapa jilid tebal, disusun oleh seorang ulama peneliti hadis yang ulung, yaitu Syeikh Muhammad Ar-Ridha, putra seorang ahli Fiqih; Syeikh Abdullatif At-Tabrizi. Syeikh Ar-Ridha telah merampungkan penulisan kitab tersebut pada tahun 1158 H.
Selain itu adalah kitab Jami’ul Ahkam yang tercetak hingga mencapai 25 jilid besar, disusun oleh Allamah Abdullah ibn Sayyid Muhammad Ar-Ridha Asy-Syubbari Al-Kadzimi. Pada masa itu, ia dikenal sebagai guru besar kaum Syiah dan penulis unggul. Dapat dikatakan bahwa setelah era Allamah Al-Majlisi, tidak ada ulama yang mengarang kitab lebih banyak daripada karya-karyanya. Sayyid Muhammad Ar-Ridha wafat di Al-Kadzimain pada tahun 1242 H.


Pasal Kedelapan
Tentang Kepeloporan Kaum Syiah dalam Menggagas Ilmu Dirayah dan Membaginya ke Beberapa Cabang Utama.

Orang pertama yang memulai perintisan dan pengagasan ilmu ini ialah Abu Abdillah Al-Hakim yang lahir di Naysyabur (sebuah kota di Propinsi Khurasan-Iran, pent.). Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Abdullah. Ia wafat pada 405 H. Semasa hidupnya, Al-Hakim telah mengarang sebuah kitab yang berjudul Ma’rifatu Ulumil Hadis setebal lima jilid, lalu membagi ilmu-ilmu hadis ke lima puluh cabang. Kitab Kasyful Dzunun telah menyatakan kesaksiannya atas kepeloporannya dalam penggagasan ilmu tersebut, dan mengatakan: “Orang pertama yang memulai penggagasan dan pembagian ilmu Hadis ialah Muhammad ibn Abdullah dari Naysyabur, kemudian diikuti oleh Ibnu Ash-Shalah”.
Sementara itu, Al-jahidz As-Suyuthi menyebutkan di dalam kitab Al-Wasail fil Awail, bahwa orang pertama yang menyusun macam-macam ilmu Hadis dan membaginya menjadi beberapa cabang yang masih dikenal sampai sekarang ialah Ibnu Ash-Shalah. Ia wafat pada tahun 643 H. Data ini tidaklah bertentangan dengan apa yang telah kami bawakan di atas itu. Sebab, Al-Jahidz hendak menyebutkan orang pertama yang mengerjakan hal itu dari kaum Ahli Sunnah, sedangkan Abu Abdillah Al-Hakim adalah seorang Syiah berdasarkan kesepakatan para ulama Ahli Sunnah dan Syiah. Syeikh As-Sam’ani di dalam Al-Ansab, Syeikh Ahmad ibn Taimiyah dan Al-Jahidz Adz-Dzahabi di dalam Tadzkirotul Huffadz telah menyatakan secara tegas ihwal kesyiahan Al-Hakim.
Bahkan di dalam Tadzkirotul Huffadz, misalnya, Adz-Dzahabi menuturkan kesaksian Ibnu Thahir yang mengatakan: “Aku bertanya kepada Abu Ismail Al-Anshari perihal Al-Hakim. Ia berkata: ‘Ia adalah perawi yang terpercaya di bidang hadis dan seorang syiah yang penyimpang’”. Lalu Adz-Dzahabi mengatakan: “Lalu Ibnu Thahir berkata: ‘Abu Abdillah Al-Hakim adalah seorang syiah yang fanatik dalam kerahasiaannya, namun ia menampakkan kesunniannya dalam permasalahan khilafah dan khalifah pertama  setelah Nabi saw. Ia berseberangan dengan Muawiyah dan keluarganya seraya menampakkan pengakuannya pada mereka; suatu hal yang tidak bisa diterima sikapnya ini’”.
Saya katakan bahwa ulama-ulama kami, Syiah, juga telah menyatakan kesaksian mereka atas kesyiahan Abu Abdillah Al-Hakim, seperti Syeikh Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr di akhir-akhir kitab Wasailusy Syi’ah. Di dalam MA’alimul Ulama di bab Al-Kuna, ia menukil dari Ibnu Syar-Asyub yang menilai Al-Hakim sebagai salah seorang pengarang Syiah, dan ia memiliki kitab tentang keutamaan-keutamaan Ahlulbait serta sebuah kita tentang keutamaan-keutamaan Imam Ali Ar-Ridha a.s. mereka juga menyebutkan sebuah kitabnya berkenaan dengan keutamaan-keutamaan Fatimah Az-Zahra a.s.
Bahkan, Abdullah Afandi telah menerangkan riwayat hidup Al-Hakim secara rinci di dalam kitabnya; Riyadul ‘Ulama, di bagian pertama yang secara khusus membahas Syiah Imamiyah. Begitu juga Afandi menyebutkan namanya dan memberikan kesyaksian atas kesyiahannya di bab Al-Alqob dan di bab Al-Kuna. Di dalam kitab itu, Afandi menyebutkan dua kitab Al-Hakim yang berjudul Usul Ilmil Hadis dan Al-Makhal ila Ilmish Shohih. Afandi mengatakan: “Dan Al-Hakim telah mencatat hadis-hadis tentang Ahlulbait yang tidak termaktub di dalam Sohih Al-Bukhari, seperti hadis Ath-Thoirul masywi dan hadis Man kuntu maulahu”.
Setelah Abu Abillah Al-Hakim, terdapat sekelompok tokoh ilmu Hadis dari kaum Syiah yang mengarang di bidang ilmu Dirayah. Di antara mereka ialah Sayyid Jamaluddin Ahmad ibn Thawus Abul fadhail. Ialah peletak istilah-istilah hadis  Syiah Imamiyah berkenaan dengan pembagian hadis kepada empat macam; sohih, hasan, muwatssaq dan dzaif. Ibn Tawus wafat pada tahun 673 H.

Dan di antara mereka ialah Sayyid Allamah Ali ibn Abdul Hamid Al-Hasani. Ia mengarang kitab Syarh Usul Dirayatul Hadis.Ia juga melaporkan dari Syeikh Allamah Al-Hilli ibn Al-Muthahhar dan Syeikh Zainuddin yang masyhur dengan gelar Syahid Tsani (sang syahid kedua), sebuah kitab bernama Ad-Dirayah fi Ilmid Dirayah dan syarahnya yang berjudul Ad-Dirayah.
Dan di antyara mereka ialah Syeikh Al-Husein ibn Abdush Shomad Al-Haritsi Al-hamadani yang mengarang kitab Wushulul Akhyar ila Usulil Akhbar, Syeikh Abu Mansur Al-Hasan ibn Zainudin Al-‘Amili yang menulis kitab Muqoddimatul Muntaqo dan Usul Ilmil Hadis, dan Syiekh Bahauddin Al-‘Amili pengarang kitab Al-Wajizah fi Ilmi Diroyahtul Hadis. kitab terakhir ini telah saya syarahi dalam sebuah kitab yang saya namai dengan judul Syarah Nihayatud Dirayah, dicetak di India dan menjadi kurikulum di sekolah-sekolah pendidikan agama.


Pasal Kesembilan
Tentang Orang Pertama Yang Menyusun Ilmu Rijal Dan Riwayat Hidup Para Perawi

Ketahuilah bahwasanya Abu Abdillah Muhammad ibn Khalid Al-Barqi Al-Qummi adalah salah seorang sahabat Imam Musa ibn Ja’far Al-Kadzim a.s., sebagaimana Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi mencatat hal ini di dalam kitab Ar-Rijal. Dan Abul Faraj Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest, di awal bagian kelima pasal keenam mengenai riwayat tokoh-tokoh Fiqih Syiah menyebutkan karya Al-Barqi di bidang ilmu Rijal. Di sana ia mengatakan: “Dan di antara karya-karya Al-Barqi adalah Al-‘Awidh, At-Tabshiroh dan Ar-Rijal. Di dalam kitab terakhir ini, ia menyebutkan nama-nama yang meriwayatkan hadis-hadis dari Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib”.
Setelah Al-Barqi ialah Abu Muhammad Abdullah ibn Jablah ibn Hayyan ibn Abhar Al-Kinani. Ia mengarang kitab Ar-Rijal. Abdullah Al-Kinani berusia panjang dan wafat pada tahun 219 H.
As-Suyuthi di dalam Al-Awail mengatakan: “Orang pertama yang membahas ilmu Rijal ialah Syu’bah”. Jelas bahwa Syu’bah datang setelah Abdullah ibn Jablah, karena yang pertama wafat pada tahun 260 H. Bahkan setelah Abdullah ibn Jablah dan sebelum Syu’bah, terdapat salah seorang sahabat Imam Muhammad Jawad a.s. yang bernama Abu Ja’far Al-Yaqthini. Ia mengarang Kitabur Rijal, sebagaimana yang dicatat di dalam Al-Fehrest An-Najasyi dan Al-Fehrest Ibnu Nadim.
Perlu saya katakan bahwa Abu Abdillah Muhammad ibn Khalid Al-Barqi juga seorang sahabat imam Ahlulbait, yaitu Imam Musa Al-Kadzim a.s. dan Imam Ali Ar-Ridha a.s. Malah ia juga sempat menjumpai Imam Muhammad Jawad a.s. Kitab Al-Barqi masih terjaga utuh dan tersedia sampai sekarang. Di dalamnya disebutkan nama perawi-perawi yang meriwayatkan hadis dari Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. dan perawi-perawi setelah mereka. Di dalamnya juga terdapat tema penting Rijal mengenai Al-Jarah wat Ta’dil (penilaian kritis atas ihwal kehidupan para perawi) sebagaimana yang juga dibahas oleh semua kitab Rijal.
Kemudian Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad ibn Khalid Al-Barqi mengarang kitab Ar-Rijal dan kitab Ath-Thabaqot, dan wafat pada tahun 274 H.
Lalu, Syeikh Abul Hasan Muhammad ibn Ahmad ibn Dawud ibn Ali Al-Qummi yang dikenal juga dengan Ibnu Dawud; seorang ulama terkemuka Syiah. Ia mengranag kitab Al-Mamduhin wal Madzmumin minar Ruwat, dan wafat pada tahun 368 H.
Lalu, Syeikh Abu Ja’far Muhammad ibn Babaweih Ash-Shoduq yang mengarang kitab Ma’rifatur Rijal dan Kitabur Rijalil Mukhtarin min Ashabin Nabi saw. Ia wafat pada tahun 381.
Lalu, Syeikh Abu Bakar Al-Ji’ani yang dinyatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ia merupakan salah seorang ulama besar Syiah. Al-Ji’ani mengarang kitab Asy-Syi’ah min Ashabil Hadits wa Thabaqotuhum. Tentang kitab ini, An-Najasyi mengatakan bahwa kitab itu disusun dalam ukuran besar. 
Lalu, Syeikh Muhammad ibn Baththah yang mengarang kitab Asma’ Mushannifisy Syi’ah, dan wafat pada tahun 274 H.
Lalu, Syeikh Nashr ibn Ash-Shabah Abul Qosim Al-Balkhi; guru Syeikh Abu Amr Al-Kasyi. Ia mengarang kitab Ma’rifatun Naqilin min Ahlil Miah Tsalitsah. Ia wafat pada tahun pada abad ketiga hijriyah.
Lalu, Ali ibn Al-Hasan ibn Fidhal yang mengarang kitab Ar-Rijal. Ia berada di generasi sebelum Syeikh Nashr Al-Balkhi.
Lalu, Sayyid Abu Ya’la Hamzah ibn Al-Qosim ibn Ali ibn Hamzah ibn Al-asan ibn Ubaidilah ibn Al-Abbas ibn Ali ibn Abu Thalib a.s., yang mengarang kitab Man Rowa ‘an Ja’far ibn Muhammad minar Rijal. An-Najasyi mengatakan: “Kitab ini cukup baik, dan At-Tal’akbari meriwayatkan sertifikat pengakuan dan validitas darinya”. Hamzah ibn Qosim adalah ulama Syiah abad ketiga.
Lalu, Syeikh Muhammad ibn Al-Hasan ibn Ali Abu Abdillah Al-Maharibi yang menyusun kitab Ar-Rijal min Ulama Tsalitsah.
Lalu, Al-Musta’thof Isa ibn Mehran yang mengarang Kitabul Muhadditsin. Isa termasuk ulama terdahulu Syiah, sebagaimana yang dicatat oleh Syeikh Ath-Thusi dio dalam Al-Fehrest.
Berikutnya, di dalam kitab Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah mengulas karangan-karangan Syeikh Ath-Thusi, An-Najasyi, Al-Kasyi, Allamah ibn Al-Muthahhar Al-Hilli, Ibnu Dawud dan generasi-generasi yang mengarang kitab tentang ilmu Rijal. Dan hingga kini, semua karya-karya mereka  masih menjadi rujukan dalam upaya menilai kualitas pribadi para perawi (Al-jarah wa Ta’dil). Perlu dibubuhkan di sini, bahwa Abul Faraj Al-Qannani Al-Kufi; guru An-Najasyi, mempunyai karangan di bidang ini, berjudul Kitab Mu’jam Rijalil Mufadhal, dan menyusunnya sesuai dengan urutan huruf Hijaiyyah.


Pasal Kesepuluh
Tentang Orang Pertama Yang Mengarang Kitab Mengenai Ilmu Tabaqot

Ketahuilah bahwasanya orang pertama yang mengarang kitab di b idang Tabaqot (Ilmu tentang generasi para perawi hadis) ialah Abu Abdullah  Muhammad ibn Umar Al-Waqidi yang lahir pada tahun 103. usianya mencapai 78 tahun. Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest memberikan kesaksian tegas atas kerangan Al-Waqidi di bidang ini, tepatnya di pasal keempat dari bab kedelapan sebagaimana akan datang uraian rincinya.
Ada pula Ibnu Al-Ju’abi Al-Qodhi Abu Bakar Amr ibn Muhammad ibn Salam ibn Al-Barra’ yang masyhur dengan panggilan Ibnul Ju’abi. Ia menulis Kitabusy Syi’ah min Ashabil Hadis wa Thabaqotihim dengan ukurannya yang besar dan tebal. Ia juga menulis kitab Al-Mawali wal Asyraf wa Thabaqotuhum, kitab Man Rowal Hadits min Bani Hasyim wa Mawalihim, kitab Akhbaru Ali Abi Thalib, kitab Akhbaru Baghdad wa Thabaqotuhum wa Ashabul Hadits. Ibnu Nadim mengatakan di dalam Al-Fehrest: “Ibnul Ju’abi adalah serorang ulama terhormat Syiah. Ia telah menjumpai penguasa masa itu, yaitu Saifuddaulah, dan mendekatinya hingga menjadi orang khususnya”. Saya katakan bahwa sejumlah ulama besar Syiah telah meriwayatkan hadis dari Ibnul Ju’abi, seperti Syeikh Mufid. Ibul Ju’abi wafat pada abad keempat, tepatnya pada tahun 355 H.
Berikutnya ialah Syeikh Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad ibn Khalid Al-Barqi, penulis Al-Mahasin. Ia mengarang Kitabut Thabaqot, Kitabut Tarikh, Kitabur Rijal. Abu JA’far Al-Barqi wafat pada tahun 274 H, dikatakan pula pada tahun 280 H.





BAB KETIGA
Tentang Kepeloporan Syiah Dalam Ilmu Fiqih

Pasal Pertama
Tentang Orang Pertama Yang Pengarang Kitab Di Bidang Ilmu Fiqih, Merumuskan Dan Menyusun Bab-babnya.

Ketahuilah bahwasanya orang pertama yang mengarang kitab di bidang ilmu Fiqih dan merumuskannya ialah Ali ibn Abu Rafie; budak Rasulullah saw. An-Najasyi di dalam mengulas generasi pertama pengarang dari syiah Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.: “Ali ibn Abu Rafie, budak Rasulullah saw.  adalah seorang tabi’in dan pengikut setia Syiah. Ia mempunyai hubungan persahabatan yang dekat dengan Imam Ali ibn Abi Thalib a.s. Ia adalah sekretaris Imam Ali, menyimpan banyak dokumen, dan menyusun sebuah kitab tentang berbagai bab Fiqih, seperti Wudhu, Shalat dan bab-bab lainnya. Ia belajar pada Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Penyusunan kitab itu dilakukannya pada masa hidup sang guru yang mulia, dimulai dari bab Wudhu. Termaktub di dalamnya, bahwa jika salah seorang dari kalian hendak berwudhu, maka memulailah dari bagian kanan ke kiri dari badannya”.
Masih dari An-Najasyi dikatakan: “Para Ulama menghormati kitab ini. Maka, dia (Ali bin Abu Rafie) adalah orang pertama dari kaum Syiah yang mengarang kitab di bidang Fiqih. Dan Jalaluddin As-Suyuthi menyatakan: “Orang pertama yang mengarang kitab di bidang Fiqih ialah Imam Abu Hanifah”. Maksudnya ialah orangh pertama dari kalangan Ahli Sunnah, sebab penyusunan kitab fiqih telah dilakukan oleh Ali ibn Abu Rafie di masa hiodup Imam Ali ibn Abi Thalib a.s., beberapa puluh tahun jauh sebelum kelahiran Abu Hanifah.
Bahkan terdapat sekelompok ahli fiqih Syiah yang mengarang kitab di bidang Fiqih sebelum Abu Hanifah, seperti seoang tabi’in bernama Al-Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar dan Sa’id ibn Al-Musayyab; seorang faqih Madinah keturuan bangsa Quraisy, dan salah seorang enam pakar fiqih. Sa’id wafat pada tahun 94 H. Sementara Al-Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar wafat pada 106 H. ini berdasarkan pendapat yang benar. Ia adalah datuk Tuan kami; Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. dari pihak ibu beliau, yaitu Farwah binti Al-Qosim. Al-Qosim menikah dengan anak perempuan Imam Ali Zainal Abidin a.s.
Di samping itu, Abdullah Al-Humairi di dalam kitabnya, Qurbul Isnad, dalam mengulas ihwal Al-Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar dan Sa’id ibn Al-Musayyab mengatakan: “Kedua-duanya adalah Syiah”. Adapun Al-Kulaini di dalam Al-Kafi di bab kelahiran Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. menukil dari Yahya ibn Jarir, bahwa Yahya mengatakan: “Berkata Abu Abdillah (Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s.) bahwa Sa’id ibn Al-Musayyab, Al-Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar dan Abu Khalid Al-Kalibi termasuk dari perawi-perawi terpercaya Ali ibn Husein a.s. (Imam Ali Zainal Abidin). Bahkan dalam sebuah hadis, dinyatakan bahwa Sa’id  dan Al-Qosim adalah dua hawari (sahabat dekat) Ali ibn Husein a.s.”.


Pasal Kedua
Tentang Tokoh-tokoh Tersohor Dari Fuqoha Generasi Pertama Syiah    

Nama-nama mereka telah dicatat oleh Syeikh Abu Amr Al-Kasyi di dalam kitabnya yang terkenal; Rijalul Kasyi, yang semasa dengan Abu Ja’far Al-Kulaini; ahli hadis di abad ketiga. Al-Kasyi mengatakan: “Mengenai nama-nama para faqih dari sahabat Imam Muhammad Baqir dan Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., bahwa para ulama telah sepakat pada pengakuan mereka akan kedudukan ilmu orang-orang pertama dari sahabat Imam Muhammad Baqir dan Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., dimana ulama ini merujuk mereka ini dalam masalah fiqih. Mereka mengatakan bahwa yang paling terkemuka di antara mereka adalah enam sahabat Imam, yaitu Zurarah ibn A’yan, Ma’ruf ibn Kharbudz, Buraid, Abu Bashir Al-Asadi, Al-Fudhail ibn Yasar dan Muhammad ibn Muslim Ath-Thaifi. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang benar ialah Abu Abshir Al-Muradi, yakni Laits ibn Al-Bakhtari, bukan Abu Bashir Al-Asadi. Mereka juga mengatakan bahwa yang paling alim di antara enam sahabat ini ialah Zurarah”.
Al-Kasyi lebih lanjut mengatakan: “Mengenai nama-nama fuqoha dari sahabat Imam Ja’far Ash-Shodiq a.s., para ulama telah sepakat untuk menyatakan sohih atas hadis-hadis sohih yang diriwayatkan oleh mereka, membenarkan apa yang mereka katakan, dan mengakui fiqih selain mereka berenam yang telah kami sebutkan namanya masing-masing. (Selain) mereka itu adalah enam orang; yaitu Jamil ibn Darraj, Abdullah ibn Miskan, Abdullah ibn Bakir, Hammad ibn Isa, Hammad ibn Utsman dan Aban ibn Utsman. Mereka (para ulama) juga mengatakan bahwa seorang faqih besar bernama Abu Ishaq; yaitu Tsa’labah ibn Maimun, menilai bahwa yang paling alim di antara mereka berenam ialah Jamil ibn Darraj. Enam orang itu adalah sahabat-sahabat muda Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s.”.
Masih dari Al-Kasyi dinyatakan: “Mengenai nama-nama fuqoha dari sahabat Abu Ibrahim dan Abul Hasan (Imam Ali Ar-Ridha a.s.), bahwa telah sepakat ulama kami untuk menilai sohih hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mereka, membenarkan ucapan mereka serta mengakui ilmu dan fiqih mereka. Mereka itu ialah enam orang yang datang selain eman orang sahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. yang telah kami sebutkan di atas tadi; yaitu Yunus ibn Abdurrahman, Shafwan ibn Yahya Bayya’ As-Sabiri, Muhammad ibn Abi Umair, Abdullah ibn Al-Mughirah, Al-Hasan ibn Mahbub dan Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Bashar. Sebagian ulama itu mengatakan bahwa yang benar bukanlah Al-Hasan ibn Mahbub, tetapi Al-Hasan ibn Ali ibn Fidhal dan Fudhalah ibn Ayyub. Sebagian mereka lagi menempatkan Utsman ibn Isa di posisi Fudhalah. Disepakati bahwa di antara mereka yang paling alim ialah Yunus ibn Abdurrahman dan Shafwan ibn Yahya”. Demikianlah kesaksian Al-Kasyi menjelaskan tokoh-tokoh tersohor dari fuqoha Syiah.


Pasal ketiga
Tentang Banyaknya Jumlah Nama Faqih Dari Generasi Pertama Yang Mengarang Kitab Berdasarkan Mazhab Imam Ja’far Ibn Muhammad Ash-Shadiq a.s.

Ketika membahas ihwal Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., Syeikh Abul Qosim Ja’far ibn Sa’id yang terkenal dengan gelar Al-Muhaqqiq (peneliti) mengatakan di dalam kitabnya yang berjudul Al-Mu’tabar: “Dia (Imam Ja’far Ash-Shadiq) telah melakukan pengajaran sekelompok besar dari ulama dan ahli fikih terkemuka. Dari jawaban-jawaban Imam Ja’far a.s. atas peroslan-persoalan yang diajukan, mereka menulis 400 kitab”. Saya katakan bahwa kitab-kitab ini adalah hasil penyusunan para ulama dan ahli fikih tersebut. Namun, perlu dicatat bahwa Syeikh Syamsuddin Muhammad ibn Makki Asy-Syahid menyatakan di awal kitab Adz-Dzikra: “jawaban-jawaban Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. atas masalah-masalah fiqih telah ditulis oleh 4000 orang dari warga Irak, Hijaz, Khurasan dan Syam. Nama-nama kitab mereka tersimpan di kitab-kitab katalogia kitab-kitab Syiah, seperti kitab Fehrest Syeikh Abul Abbas An-Najasyi, Fehrest Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi, Fehrset Syeikh Abul Faraj Ibnu Nadim, kitab Al-‘Uqaili, kitab Ibnu Al-Ghadhoiri.
Pada kesempatan membahas ihwal Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., Syeikh Mufid di dalam Al-Irsyad mengatakan: “Begitu banyak orang yang menukil dari beliau sehingga menjadi pusat tujuan perjalanan dan menebar sanjungan kepadanya di berbagai pelosok negeri. Para ulama tidak menukil hadis dan ilmu beliau dari salah satu aggota keluarga beliau. Para ahli hadis mencatat nama-nama perawi terpercaya yang meriwayatkan dari beliau, meski perbedaan pendapat mereka. Jumlah mereka mencapai 4000 orang”. Saya katakan bahwa Syeikh Abul Abbas Ahmad ibn ‘Uqdah Az-Zaidi telah menghitung nama-nama tersebut sebanyak 4000 orang, lalu menghimpunnya secara terpisah di dalam sebuh kitab, sebagaimana yang dilaporkan oleh Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi di awal bab sahabat-sahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. dari kitabnya, Ar-Rijal. Silahkan dirujuk!


Pasal Keempat
Tentang Sebagian Kitab-kitab Induk Fiqih Yang Dikarang Oleh Sahabat-sahabat Para Imam Ahlulbait Dari Generasi Pasca Tabi’in

Seperti kitab induk fiqih bernama Jami’ul Fiqh yang dikarang oleh Tsabit ibn Hurmuz Al-Miqdam dari Imam Ali Zainal Abidin a.s., dan kitab Syara’iul Iman, karya Muhammad ibn Al-Mu’afi; budak Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. sekaligus belajar pada Imam Musa Al-Kadzim dan Imam Ali Ar-Ridha a.s. Muhammad wafat pada tahun 265 H. Juga kitab Jami’ Abwabil Fiqh, karya Ali ibn Abu Hamzah; murid Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. Adalah Abdullah ibn Al-Mughirah telah menulis tiga puluh kitab tentang bebarapa bab fiqih, sebagaimana dicatat oleh An-Najasyi. Ia adalah salah seorang sahabat Imam Musa Al-Kadzim a.s.
Adapula kitab Al-Fiqh wal Ahkam yang dkarang oleh Ibrahim ibn Muhammad ibn Abu Yahya Al-Madani Al-Aslami. Ia swafat pada tahun 184 H. Juga kitab Al-Jamie fi Abwabil Fiqh karya Al-Hasan ibn Ali ibn Abu Muhammad Al-Hijal. Juga kitab Al-Jamiul Kabir fil Fiqh, karya Ali ibn Muhammad ibn Syireh Al-Kasyani Abil Hasan; seorang yang produktif mengarang kitab. Juga sebuah kitab yang disusun menurut urutan bab fiqih yang dikarang oleh Shafwan ibn Yahya Al-Bajali. Ia wafat pada tahun 210 H. Juga kitab Al-Masyikhakh yang disusun berdasarkan arti fiqih oleh Abu Ali Al-Hasan ibn Mahbub As-Sarrad; seorang guru besar Syiah dan sahabat Imam Ali Ar-Ridha a.s. Ia wafat pada tahun 224 H. Dan terkhir adalah kitab Ar-Rahmah; sebuah kitab tebal yang menghimpun berbagai cabang ilmu fiqih dari jalur Ahulubait a.s.



BAB KEEMPAT
Tentang Kepeloporan Syiah Di Bidang Ilmu Kalam

Pasal Pertama
Tentang Orang Pertama Yang Menulis Dan Merumuskan Ilmu Kalam

Ketahuilah bawhasanya Isa ibn Raudhah adalah seorang tabi’in Syiah Imamiyah yang mengarang kirab tentang Imamah. Usia Isa cukup panjang hingga hidup di jaman khalifah Abbasiyah; Abu Ja’far Al-Mansur, bahkan ia menjadi orang kepercayaannya. Demikian ini lantaran ia adalah budak Bani Hasyim. Dan Isa-lah yang menyingkapkan wajah asli (politik) Al-Mansur dan membongkar jati diri, maksud dan sikapnya. Ahmad ibn Abu Thahir telah menyebutkan ciri-ciri kitab kalam Isa nya di dalam Ta’rikhul Baghdad. Menurut pengakuannya, Ahmad telah melihat kitab tersebut; sesuai dengan apa yang digambarkan oleh An-Najasyi.
Kemudian, Abu Hasyim ibn Muhammad ibn Ali ibn Abu Thalib a.s. mengarang sebuah kitab di bidang ilmu Kalam. Bisa dikatakan bahwa Ialah seorang tokoh Syiah dan diakui sebagai peletak ilmu Kalam. Beberapa saat sebelum wafatnya, ia menyerahkan kitab-kitabnya kepada Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas; seorang tabi’in dari Abi Hasyim. Sejak itu kaum Syiah merujuk kepadanya, sebagaimana yang dicatat oleh Ibnu Qutaibah di dalam Al-Ma’arif.
Tentunya, Isa ibn Raudhah dan Abu Hasyim sudah lebih dahulu menulis kitab mengenai ilmu Kalam dibandingkan dengan Abu Hudzaifah dan Washil ibn ‘Atha’; seorang imam mazhab Mu’tazilah yang diyakini oleh As-Suyuthi sebagai orang pertama yang mengarang di bidang ini.


Pasal Kedua
Tentang Orang Pertama Dari Imamiyah Yang Berdebat Seputar Syiah

Abu Utsman Al-Jahidz mngatakan: “Orang opertama yang berdebat tentang mazhab Syiah ialahn Al-Kumait ibn Zaid; seorang penyair tersohor. Ia membangun berbagai argumentasi. Sekiranya dia tidak melakukan itu, sungguh ulama tidak banyak mengenal berbagai macam argumentasi dan seluk-beluknya”. Saya katakan bahwa bahkan dalam hal ini, Abu Dzar Al-Ghifari ra. telah lebih dahulu melakukan. Yaitu tatkala ia tinggal di Damaskus selama beberapa waktu. Di sana ia menyerukan dakwahnya dan menyebarkan kesetiaan dan mazhabnya pada kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan kepercayaan-kepercayaan syiahnya. Lalu, terdapat sekelompok masyarakat dari dalam Syam yang menerima dakwahnya. Kemudian Abu Dzar keluar menuju Sharfand dan Mies; dua daerah di Jabal Amil (selatan Lebanon, pent.) dan mengajak penduduknya kepada Syiah. Segera mereka pun menyambut ajakan tersebut.
Bahkan di dalam kitab Amalul Amil disebutkan, bahwa tatkala Abu Dzar bergerak menuju Syam lalu menetap di sana beberapa waktu, tak lama kemudian sekelompok masyarakat Syam memilih Syiah. Karena itu, Muawiyah mengusirnya dari kota itu ke Al-Qira, sampai akhirnya ia singgah di Jabal Amil. Lagi-lagi masyarakat di sana menerima ajakan syiahnya dan mereka tetap sebagai orang-orang Syiah sampai sekarang ini.
Abul Faraj Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest megatakan: “Orang pertama yang melakukan perdebatan mengani mazhab Syiah Imamiyah ialah Ali ibn Islmail ibn Maitsam At-Tammar. Ia adalah seorang sahabat terhormat Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Di antara karya-karya Ali adalah Kitabul Imamah dan Kitabul Istihqoq”. Saya katakan bahwa sesungguhnya Isa ibn Raudhah –sebagaimana telah Anda Ketahui- jauh lebih dahulu daripada Ali, apalagi Al-Kumait di bandingkan dengannya. Karena, Ali hidup sejaman dengan Al-Hisyam ibn Al-Hakam. Ia tinggal di Baghdad. Di sana ia berdebat dengan Abu Hudzail dan Dhirar ibn Amr Adh-Dhobiy tentang masalah Imamah. Begitu pula, Ali berdebat dengan An-Nidzam sampai membungkamnya di berbagai kesempatan, sebagaimana yang dikisahkan oleh Al-Murtadha di dalam Al-Fushulul Mukhtarah.
Oleh karena, dapat dikatakan bahwa Ali ibn Ismail adalah salah seorang tokoh ilmu Kalam dari kaum Syiah, bukan orang pertama dari Syiah yang membahas persoalan Imamah. Sebab, terdapat bebarapa sahabat seperti Abu Dzar dan sebelas kawannya, yaitu Khalid ibn Sa;id ibn Al-Ash, Salman Al-Farisi, Al-Miqdad ibn Al-Aswad Al-Kindi, Buraidah Al-Aslami, Ammar ibn Yasir, Ubai ibn Ka’ab, Khuzaimah ibn Tsabit, Abul Haitsam ibn At-Tihan, Sahal ibn Hanif dan Abu Ayyub Al-Anshari ra. Mereka itu telah mendahului Ali ibn Ismail dalam memperbincangkan permasalahan Imamah, sebagaimana yang termaktub di dalam hadis Al-Ihtijaj yang diriwayatkan di dalam kitab Al-Ihtijaj, karya At-Tabarsi.


Pasal Ketiga
Tentang Tokoh-tokoh Besar Ilmu Kalam Dari Syiah
Telah kami sebutkan nama-nama mereka dari generasi yang berbeda, seperti Kumail ibn Ziyad dai kota Kufah. Ia adalah murid terpandang Imam Ali ibn Abu Thalib a.s. dalam berbagai ilmu. Sang guru telah mengabarkan akan kematian sang murid di tangan Hajjaj ibn Yusuf. Maka, pada tahun 83 H, Kumail dibunuh oleh Hajjaj di Kufah.
Lalu, Sulaim ibn Qois Al-Hilali; seorang tabi’in yang senantiasa dikejar-kejar Hajjaj, namun tidak pernah tertangkap. Ia wafat di masa kekuasaan Hajjaj. Sebagaimana telah dipaparkan, Sulaim merupakan seorang sahabat khusus Imam Ali ibn Abi Thalib a.s.
Lalu, Al-Harits Al-A’war Al-Hamadani, pengarang kitab Al-Munadzarat fil Ushul (perdebatan-perdebatan seputar prinsip-prinsip agama), telah belajar penuh pada Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Ia wafat pada tahun 65 H. Di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya membawakan riwayat hidup Al-Harits sedcara memadai.
Berikutnya adalah Jabir ibn Yazid ibn Al-Harits Al-Ja’fi Abu Abdillah Al-Kufi. Ia amat menguasai secara mendalam tema-tema usuluddin maupun ilmu-ilmu agama lainnya. Jabir belajar pada Imam Muhammad Baqir a.s. dan keluar sebagai salah satu murid unggul beliau.
Setelah mereka, muncullah generasi kedua dari tokoh ilmu Kalam. Di antara mereka adalah Qois Al-Mashir; salah seorang ulama terkemuka ilmu Kalam di jamannya, sehingga menjadi pertemuan para penuntut ilmu dari berbagai negeri. Qois belajar Kalam pada Imam Ali Zainal Abidin a.s. Dan Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. telah memberikan kesaksian atas kecerdasan dan ketrampilannya di bidang ini. Beliau berkata: “Kamu dan Al-Ahwal itu dua orang yang cerdas dan tangkas”. Al-Ahwal adalah  Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn Nu’man ibn Abi Thuraifah Al-Bajali Al-Ahwal. Ia mempunyai sebuah toko yang terletak di gudang barang-barang di Kufah, dan hanya menerima transaksi kontan. Maka itu, ia dicemooh dengan sebutan ‘setan gudang’. Al-Ahwal belajar pada Imam Ali Zainal Abidin a.s., dan menulis kitab If’al la Taf’al, kitab Al-Ihtijaj fi Imamati Amiril Mu’minin Alaihissalam, kitab Mujalasatun ma’al Imam Abi Hanifah wal Murjiah, kitab Al-Ma’rifah, dan kitab Ar-Rodd ‘alal Mu’tazilah.   
 Selain mereka adalah Himran ibn A’yan, saudara Zurarah ibn A’yan. Ia belajar ilmu Kalam pada Imam Ali Zainal Abidin a.s. Lalu Hisyam ibn Salim, salah seorang guru besar Syiah dalam ilmu Kalam. Lalu Yunus ibn Ya’qub yang begitu cakap dalam Kalam. Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. berkata kepadanya: “Engkau berjalan di atas makhluk dengan Kalam hingga menemukan kebenaran”. Terakhir di sini adalah Fidhal ibn Al-Hasan ibn Fidhal Al-Kufi, seorang ahli Kalam yang tersohor. Ia tidak berdebat dengan dengan satu pun dari musuh-musuhnya kecuali mendesaknya hingga terdiam. Sayyid Al-Murtadha di dalam Al-Fushulul Mukhtarah menuturkan sebagian peredebatan Fidhal dengan lawan-lawannya.
Alhasil, semua nama-nama yang saya sebutkan di atas tadi hidup di satu masa, dan mereka meninggal di pertengahan abad kedua.
Setelah mereka semua, muncul generasi ketiga Syiah dari tokoh ilmu Kalam. Di antara mereka adalah Hisyam ibn Al-Hakam. Tentangnya Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. mengungkapkan kebanggaan: “Inilah pembela kami dengan hatinya, lisannya dan tangannya”. Hisyam telah melakukan debat dengan segenap pemuka mazhab dan aliran, dan sanggup membungkam mereka. Ia mempunyai forum-forum debat dengan lawan-lawan ahli Kalamnya. Ia juga sempat menulis kitab mengenai ilmu Kalam. Namun, orang-orang tidak menyukainya lantaran iri pada ketajaman daya serang argumentasinya dan ketinggian derajat ilmunya, sehingga menjadi sasaran tuduhan, sinis dan citra buruk. Padahal, ia seorang yang bersih dan bebas dari segala keburukan yang ditujukan kepadanya. Dan saya telah mengurut karangan-karangannya di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Hisyam wafat pada tahun 179 H.
Di antara mereka adalah As-Sakkak Muhamaad ibn Khalil Abu Ja’far Al-Baghdadi, sahabat Hisyam ibn Al-Hakam sekaligus muridnya, dimana Muhammad telah belajar banyak ilmu Kalam darinya. Ia mempunyai kitab mengenai ilmu ini, sebagaimana yang telah saya singgung di kitab Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Dan di antara mereka ialah Abu Malik Adh-Dhahhak Al-Hadhrami. Ia adalah tokoh utama di bidang Kalam, seorang ulama besar Syiah. Abu Malik hidup semasa Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. sampai menjumpai masa Imam Musa Al-Kadzim a.s.
Di antara mereka dalah keluarga besar Naubakht. Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest mengatakan: “Keluarga Naubakht terkenal dengan keyakinan dan kesetiaan mereka pada keimamahan Ali Bin Abi Thalib dan (dua belas) keturunannya”. Dinyatakan pula di dalam Riyadhul ‘Ulama, bahwa keluarga Naubakht adalah sebuah kelompok yang dikenal sebagai para ahli kalam Syiah.   
 Saya katakan bahwa Naubakht sendiri adalah seorang berkebangsaan Persia (Iran) yang dihormati berkat penguasaannya di bidang ilmu Al-Awail. Ia menjadi teman dekat khalifah Al-Manshur dari dinasti Abbasiyah lantaran kemampuannya membaca peredaran bintang-bintang. Namun, ketika persahabatannya dengan Al-Manshur melemah, segera posisinya digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Sahal ibn Naubakht. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Al-Fadhl, dan tampak maju begitu pesat dalam mencapai derajat ilmu dan jenjang keutamaan. Sebagian ulama Syiah mengatakan bahwa ia adalah seorang filosof, mutakallim dan sufi. Ia juga dikenal sebagai satu-satunya orang yang menguasai ilmu Al-Awail. Pada masanya, Al-Fadhl  merupakan seorang intelektual termasyhur. Ia banyak menerjemahkan karya-karya para filosof Pahlevi (Iran Kuno) tentang filsafat Iluminisme dari bahasa Persia ke bahasa Arab. Ia mengarang kitab tentang berbagai macam filsafat. Ia juga mempunyai kitab di bidang filsafat dan  kitab yang amat tebal tentang Imamah. Ia juga mengarang kitab di berbagai cabang ilmu Nujum lantaran minat besar masyarakat pada ilmu tersebut pada jaman itu.
Al-Fadhl terhitung sebagai salah satu ulama besar di masa kekuasaan Ar-Rasyid Harun ibn Al-Mahdi; khalifah dinasti Abbasiyah. Ia bahkan menjadi kepala Perpustakaan besar ‘Al-Hikmah’ milik Ar-Rasyid. Ia mempunyai anak-anak yang juga ulama-ulama yang terhormat. Al-Quthafi di dalam kitab Akhbarul Hukama’ mengatakan: “Al-Fadhl ibn Naubakht Abu Sahal Al-Farisi disebut-sebut secara masyhur sebagai salah satu tokoh kaum mutakallim”. Nama Al-Fadhl banyak tercantum di dalam kitab-kitab Kalam. Dan Muhammad ibn Ishaq Nadim serta Abi Abdullah Al-Marzbani telah mengurai nasabnya secara rinci.
Di antara anak-anak Nuabakht yang  unggul di berbagai cabang ilmu ialah Ishaq ibn Abu Sahal ibn Naubakht. Ia menamatkan ilmu-ilmu aqli dan cabang-cabang ilmu Al-Awail pada ayahnya sendiri. Lalu ia menggantikan posisi sang ayah sebagai kepala perpustakaan Al-Hikmah milik Harun Ar-Rasyid. Ishaq memupnyai anak-anak yang alim dan pandai di bidang ilmu Kalam, seperti Abu Ishaq Ismail ibn Ishaq ibn Abu Sahal ibn Naubakht, pengarang kitab Al-Yaqut fi Ilmil Kalam yang disyarahi oleh Allamah ibn Al-Muthahhar Al-Hilli. Di awal syarahnya, Allamah Al-Hilli mengatakan: “Inilah kitab karya guru besar terdahulu kita dan imam terbesar kita, Abu Ishaq ibn Naubakht. Di dalam Riyadhul ‘Ulama’ dikatakan: “Nama ibnu Naubakht terkadang dilekatkan pada Syeikh Ismail ibn Ishaq ibn Abu Ismail ibn Naubakht, seorang alim mutakallim yang terkenal, tokoh terdahulu Syiah Imamiyah, dan pengarang kitab Al-Yaqut fi Ilmil Kalam”. Di tempat dari kitab yang sama dinyatakan: “Ismail ibn Naubakht  yang hidup semasa dengan penyair Abu Nawas”.
Dua saudara Ismail bernama Ya’qub dan Ali ibn Ishaq ibn Abu Sahal ibn Naubakht. Mereka berdua termasuk anak terhormat keluarga besar Nuabakht dan tokoh utama ilmu Kalam dan ilmu Nujum. Dari Ali lahir anak-anak yang ulama terpandang. Di antara mereka ialah Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn Ishaq ibn  Abu Sahal ibn Naubakht. Ia tergolong seorang mutakallim terkemuka dan disegani. Ibnu Nadim menyebut namanya di dalam daftar para mutakallim Syiah. An-Najasyi mengatakan: “Ia adalah guru besar kaum mutakallim dari ulama Syiah kami di Baghdad, dan paling unggul dan terkemuka di antara keluarga besar Naubakht pada masa itu”. Ibnu Nadim mengatakan: “Abu Ja’far adalah salah seorang ulama terbesar Syiah, terhormat, dan alim mutakallim”.
Abu Ja’far mempunyai majlis ta’lim yang dihadiri oleh sekelompok dari kaum mutakallim. Dan ia adalah paman Al-Hasan ibn Musa Abu Muhammad An-Naubakhti; seorang mutakallim tersohor. Ibnu Nadim mengatakan: “AlHasan adalah seorang mutakallim dan filosof”. Sementara An-Najasyi mengatakan: “Ia adalah guru besar kami dan seorang mutakallim yang disegani pada masanya, yakni sebelum abad ketiga dan setelahnya”. Saya katakan di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, bahwa mereka semua mempunyai karangan-karangan di bidang ilmu Kalam dan filsafat ataupun bidang lainnya. Begitu pula kepandaian jumlah besar dari anak-anak keluarga besar Naubakht. Sejauh ini, belum ditemukan seorang pun yang mengarang sebegitui banyak kitab sebagaimana yang ditulis oleh keluarga besar Naubakht.
Di antara tokoh ilmu Kalam dari generasi ketiga tersebut ialah Abu Muhammad Al-Hijal. Al-fadhl ibn Syadzan mengatakan: “Ia adalah seorang mutakallim dari ulama Syiah kami, berbicara indah dan fasih serta tangkas berdialog.
Di antara mereka ialah Abdurrahman ibn Ahmad ibn Jabruweih Abu Muhammad Al-Askari. An-Najasyi mengatakan: “ia seorang mutakallim yang mempesona bahasanya, indah karyanya, terkenal dengan budi pekerti. Ia perbah berdebat Kalam dengan ‘Ibad ibn Sulaiman dan dengan para mutakkalim yang segenerasi dengannya. Di antara kitab-kitab Abdurrahman yang tersisa di tangan kita ialah Al-Kamil fil Imamah; sebuah kitab yang laik”.
Di antara mereka ialah Muhammad ibn Abu Ishaq; seoang ahli kalam yang terhormat. Ibnu Baththah di dalam Al-Fehrest menyebutkan namanya berserta judul karangan-karangannya yang banyak. Saya katakan bahwa Muhammad adalah seorang ulama yang hidup di masa Imam Ali Ar-ridha a.s. dan Khalifah Abbasiyah Al-Ma’mun. Dan Al-Barqi meriwayatkan hadis darinya.
Di antara mereka ialah Ibnu Mumallik Muhammad ibn Abdullah ibn Mumallik Al-Ishfahani Abu Abdillah; seorang yang mulia di antara ulama Syiah, tingga derajatnya. Ia pernah bermazhab Mu’tazilah, lalu kembali ke Syiah di tangan Abdurrahman ibn ahmad ibn Jabruweih yang baru saja disingguing di atas tadi. Ibnu Mumallik mempunyai banyak karangan; saya telah menyebutkannya di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Ia hidup semasa tokoh Kalam Mu’tazilah bernama Al-Jubaie, dan mengkritisi kitabnya.
Di antara mereka ialah Ibnu Abu Dajah, hyaitu Ibrahim ibn Sulaiman ibn Abu Dajah Abu Ishaq warga kota Bashrah. Ia merupakan salah satu tokoh terpandang di bidang Fiqih, Kalam, sastra Arab dan Syair. Al-Jahidz meriwayatkan hadis darinya dan membawakan ihwal kehidupannya di kitab-kitabnya.
Di antara mereka ialah Syeikh Al-Fadhl ibn Syadzan dari negeri Naysyabur. Ia adalah seorang guru besar para mutakallim Syiah dan menguasai berbagai cabang ilmu. Al-Fadhl mengharang 180 kitab. Ia termasuk sabahat Imam Ali Ar-ridha a.s. dan berumur panjang hingga meninggal di masa Imam Hasan Al-Askari a.s., yakni setelah kelahiran Imam Muhammad Al-Mahdi (semoga Allah swt. mempercepat  kehadirannya).
Di antara mereka ialah Abul Hasan Ali ibn Washif, berpostur kecil. Ibnu Nadim menyebutkan namanya di dalam kelompok mutakallim Syiah Imamiyah dan mengenalkan sebuah kitab miliknya tentang Imamah. Berkata Ibnu Katsir di dalam Fawatul Wafiyyat: “Abul Hasan adalah seorang mutakallim yang pandai dan ulama besar Syiah”. Saya katakan bahwa ia telah belajar ilmu Kalam pada Abu Sahal Ismail ibn Ali ibn Naubakht. Dan ia termasuk di dalam generasi ulama dan tokoh sastra Arab, syair dan Kalam. Abul Hasan lahir di Baghdad, tinggal di dekat gerbang kota, mati syahid dibunuh dan mayatnya dibakar, sebagaiman dicatat di dalam Ma’alimul ‘Ulama’. Ibnu Khalkan di Al-Wafiyyat menuturkan bahwa penyair Arab, Al-Mutanabbi, pernah menghadiri majlis ta’lim Ali ibn Washif dan menulis dikte pelajarannya.
Di antara mereka ialah Al-Fadhl ibn Abdurrahman Al-Baghdadi; mutakallim yang pandai, penulis Al-Imamah; sebuah kitab besar dan menarik  yang berada pada Abu Abdullah Al-husein ibn Ubaidillah Al-Ghadhoiri.
Dan di antara mereka ialah Ali ibn Ahmad ibn Ali Al-Khazzaz dari kota Rey (kota kecil di selatan Teheran-Iran, pent.). Ia seorang mutakallim ternama dan mengrang kitab di bidang Kalam dan Fiqih. Salah satu kayranya berjudul kifayatul Kifayatul  Atsar fin Nushush alal Aimmatil Itsna ‘Asyar. Ali Al-Khazzaz dipanggil juga dengan nama Abul Qosim atau Abul Hasan. Ia hidup sejaman dengan Ibnu Babaweih Ash-Shoduq. Dan di dalam Kifayatul  Atsar fin Nushush alal Aimmatil Itsna ‘Asyar,  ia meriwayatkan dari Ash-Shaduq. Ali wafat di kota kelahirannya.
Dan di antara mereka ialah Ibnu Qubbah Abu JA’far Ar-Rozi Muhammad ibn Abdurrahman. Ibnu Nadim mengatakan bahwa ia termasuk mutakallim Syiah dan orang-orang pandai mereka. Ia juga mendata nama karya-karyanya. Begitu pula An-Najasyi dan selainnya dari ahli Rijal telah menyebutkan ihwal dirinya. Ibnu Qubbah berada pada tingkatan/genarasi syeikh Abu Abdillah Mufis dan Syeikh Ash-Shoduq ibn Babaweih.
Dan di antara mereka ialah Al-Busanjardi Muhammad ibn Bisyr Al-Hamduni dari keluarga Mahdun, dipanggil juga dengan nama Abul Hasan. Al-Busanjardi termasuk tokoh besar dari ulama Syiah dan di antara yang terbaik dalam ilmu Kalam. Ia juga telah menunaikan iabadah haji ke tanah suci Makkah dengan berjalan kaki sebanyak 50 kali. Al-Busanjardi mempunyai karangan di bidang ilmu Kalam. Ia menjumpai Abu Ja’far Ibnu Qubbah dan Aul Qosim Al-Balkhi dan sekelompok dari generasi mereka. Salah satu kitabnya berjudul Al-Muqni’e fil Imamah.
Dan di antara mereka ialah Ali ibn Ahmad Al-Kufi. Ibnu Nadim telah memasukkannya ke dalam keompok mutakallim terkemuka dan ualam yang disegani di kalangan Syiah Imamiyah. Ia juga menyebutkan sebuah kirab miliknya yang bernama Kitabul Aushiya’. Saya sendiri telah membawakan riwayat hidup Ali Al-Kufi berikut karangan-karangannya di berbagai bidang ilmudi dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam.  Ia wafat pada tahun 352 H.
Dan di antara mereka ialah Abdullah ibn Muhammad Al-Balwi, dari kabilah Balwi di Mesir. Dalam Al-fehrest Ibnu Nadim, ia tercatat sebagai salah satu mutakallim Syiah. Ibnu Nadim juga menyebutkan karya-karyanya, dan mengtakan bahwa Al-Balwi dalah seorang ulama, ahli hukum  dan penceramah.
Dan di antara mereka ilah Al-Ja’fari, yaitu Abdurrahman ibn Muhammad. Ia termasuk jajaran guru besar tokoh mutakallim ternama Syiah Imamiyah. Ibnu Nadim menyebutkan namanya di dalam kelompok mutakallim Syiah, juga melaporkan bahwa ia menulis dua kitab; Al-Imamah dan Al-Fadhail. 
Generasi yang muncul setelah mereka di atas adalah nama-nama cemerlang di bidang Kalam.  Di antara mereka ialah Abu Anshr Al-Farabi, filosof pertama yang di dunia Islam mencapai puncak derajat kengajaran.  Dikatakan bahwa ia dalam hal ini membagi kursi ‘Guru Ilmu’ dengan Al-Muallimul Awwal; Aristoteles. Dan telah saya bawakan riwayat hidupnya yang mulia di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Masih di dalam kitab itu, saya juga menyebutkan judul karya-karyanya. Al-Farabi wafat pada tahun 339 H.
Di antara mereka ialah Abu Bisyr Ahmad ibn Ibrahim ibn Ahmad Al-Qummi. Ibnu Nadim telah menempatkannya  di dalam kelompok mutakallim Syiah. Abu Bisyr juga termasuk orang yang menghimpunkan ilmu Fiqih dan ilmu Kalam dan mengarang kitab di dua bidang tersebut, semua itu dipelajarinya dari Al-Jaludi. Di antara karya-karyanya ialah kitab Mihanul Anbiya’ wal Aushiya’. Abu Bisyr Wafat pada tahun 350 H.
Dan di antara mereka ialah Dzahir; seorang imam ilmu Kalam. Ibnu Nadim dan penulis katalogia tokoh dan ulama lainnya telah menyebutkan nama Dzahir di kelompok mutakallim Syiah. Mereka mengungkapkan sanjungan kepadanya. Padanya Syeikh Mufid berlajar. Dicatat pula bahwa Dzahir adalah seorang budak milik Abul Jaisy Al-Mudzaffar ibn Al-Khurasani. Ia hidup di abad ketiga.
Dan di antara mereka ialah Ali ibn Washif; si tubuh kecil yang begitu masyhur di bidang Kalam. Kepiawaiannya di bidang tersebut menjadi buah bibir masyarakat. Ibnu Nadim menggolongkannya ke dalam jajaran tokoh Kalam Syiah. Ali juga terkenal sebagai salah seorang penyair ulung Ahlulbait a.s. Di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, riwayat hidupnya dipaparkan cukup rinci.
Dan di antara mereka ialah Abu Shoqr Al-Mushili, seorang ahli Kalam Syiah Imamiyah. Ia pernah berdebat dengan Ali bn Isa Ar-Rumani tatkala masuk Baghdad dan sanggup menaklukkannya. Guru besar Syiah, Ibnul Mu’allim, di dalam kitab Al-‘Uyun wal Mahasin menuturkan ihwal forum diskusi Abu Shaqr, dan ia sendiri sempat mengadairi forum terbut.
Dan di antara mereka ialah guru besar Syiah dan penghidup syariat, Syekh Mufid Abu abdillah Muhammad ibn Muhammad ibn An-Nu’mani, yang dikenal pula dengan nama Ibnul Mu’allim. Ibnu Nadim mengatakan: “Padanyalah puncak ketokohan kaum mutakallim Syiah berakhir, terdepan dalam ilmu kalam menurut mazhab ulama Syiah, memiliki kecerdasan yang luar biasa dan daya hafal yang kuat. Aku melihat dan menjumpainya. Kudapatkan dia seorang yang pandai”. Saya katakan bahwa Syeikh Mufid adalah imam ulama di jamannya di segenap ilmu keislaman. Ia hidup di antara tahun 338 H dan 409 H.
Dan di antara mrka adalah Abu Ya’la Al-Ja’fari Muahammad ibn Al-asan ibn Hamzah, pengganti posisi Syeikh Mufid. Ia seorang mutakallim, faqih dan pengelola uruasan hukum kedua mazhab; Syiah dan Sunnah. Abu Ya’la wafat pda tahun 463 H.
Dan di antara mereka ialah Abu Ali ibn Sina; guru utama filsafat kaum Masysya’ (Paripatetisme). Kepribadiannya dalam keunggulan ilmu lebih terkenal dari sekadar untuk disebutkan di sini. Al-Qodhi Al-Mar’asyi di dalam kitabnya yang berbahasa parsi; Ath-Thabaqot, membawakan argumentasi yang begitu banyak atas kesyiahan imamiyah Ibn Sina. Sementara saya sendiri belum melakukan penelitian dalam hal ini. Namun berlu diakui bahwa ia lahir di atas fitrah Syiah, lantaran ayahnya adalah seorang Syiah Ismailiyah. Ibn Sina wafat pada tahun 428 H pada usianya yang ke-58.
Dan di antara mereka ialah Syeikh Abu Ali ibn Maskaweih. Ia asli warga Rey, hanya tinggal dan dimakamkan di  Ishfahan. Ia mempelajari banyak bidang ilmu dan menjadi tokoh pada setiap bidang tersebut, bahkan mempunyai karangan tentang masing-masing bidang itu. Di Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah bawakan riwayat hidupnya dan data karya-karyanya. Ibn Maskaweih berteman dengan menteri Al-Mahlabi, lalu dengan ‘Adhududdaulah ibn Baweih, lalu Ibnul Amid, lalu dengan putranya. Mereka semua adalah Syiah. Banyak dari ulama peneliti yang memberikan kesaksian atas kesyiahan Ibn Maskaweih, seperti Mir Muhammad Baqir Ad-Damad, Al-Qodhi Al-Mar’asyi di dalam Tabaqot berbahasa persia, dan Sayyid Al-Khunsari di dalam Ar-Raudhat.tahun wafatnya jatuh pada 431, dan makamnya masyhur di sebuah kawasan Khaju di Ishfahan.
Dan di antara mereka ialah As-Syarif Al-Murtadha Alamul Huda. Ia mempunyai karya yang banyak di bidang ilmu Kalam yang menjadi pegangan dan rujuakan. Padanyalah ketokohan Syiah dalam agama berporos. Selain Al-murtadha, belum ditemukan seorang pun yang memiliki wawasan ilmu, keluasan kajian di semua bidang ilmu keislaman. Di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, telah saya ketengahkan riwayat hidupnya yang cemerlang berikut nama karya-karyanya. Al-Murtadha dilahirkan pada Rajab 355 H, dan wafat pada Rabiul Awal 436 H.
Dan salah satu budak beliau, yaitu Dzubay ibn ‘A’yan, adalah seorang pandai ahli kalam yang hebat. Dzubay mengarang kitab di bidang Kalam bernama ‘Uyunul Adillah dalam dua belas jilid; ukuran yang besar yang tidak ada kitab Kalam lain yang sebanding dengannya.
Dan di antara mereka ialah Syeikh Allamah Abul Fath Al-Karajiki; guru besar kaum mutakallim dan menguasai filsafat berikut cabang-cabangnya, fiqih dan hadis. Ia menulis kitab-kitab besar dan kecil di semua bidang tersebut. Di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah mendata semua karangan-karangannya. Dan di dalam kitab Bughyatul Wu’at fi Thabaqotul Masyayekhil Ijazat, saya meneliti semua nama guru-gurunya. Abul Fath Al-Karajiki wafat pada tahun 449 H.
Dan di antara mereka ialah Ibnul Farisi Muhammad ibn Ahmad ibn Ali An-Naysyaburi, seorang mutakallim terpandang, faqih, soleh dan ahli akhlak. Ia mati dibunuh oleh Abul Mahasin Abdurrazzaq, penguasa Naysyabur. Ibnul Farisi memiliki banyak karangan yang masyhur, di antaranya adalah Raudhatul Wa’idzin. Ia hidup semasa dengan Sayyid Al-Murtadha, dan belajar qiroah (bacaan Al-Qur’an) ayahnya; Ali Al-Murtadha.

Generasi yang datang setelah mereka semua diawali oleh nama Syeikh Sa’id Ali ibn Sulaiman Al-Bahrani; teladan para filosof dan imam ulama. Ia menulis Al-Isyarat fil Kalam yang kemudian disyarahi oleh muridnya sendiri, yaitu Al-Muhaqqiq Ar-Rabbani Syeikh Maitsam Al-Bahrani sebagaimana yang akan datang penjelasan tentang dirinya. Syeikh Said Al-Bahrani juga menulis Risalatun fil Ilm yang disyarahi oleh Nashiruddin Ath-Thusi.
Lalu, Sadiduddin ibn Azizah Salim ibn Mahfudz ibn Azizah Al-Hilli. Ia menjadi rujukan ilmu Kalam dan filsafat dan ilmu-ilmu Al-Awail. Beberapa murid terbaiknya ialah Al-Muhaqqiq Al-Hilli; penulis kitab Asy-Syarai’e, Sadiduddin ibn Al-Muthahhar dan sekelompok ulama besar. Sadiduddin Al-Hilli mengarang kitab Al-Minhaj fi Ilmil Kalam yang merupakan kitab rujukan dalam ilmu Kalam.
Lalu, Syeikh Kamaluddin Maitsam ibn Ali ibn Maitsam Al-Bahrani. Ia berada pada barisan terdepan di semua ilmu-ilmu keislaman, filsafat, Kalam, dan rahasia-rahasia irfan. Bahkan, para ulama berijma akan keunggulannya di bidang itu semua. Dan telah saya bawakan pengakuan ulama-ulama besar akan kedudukan ilmunya di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Di antara karya-karya Maitsam adalah kitab Al-Mi’raj As-Samawi dan Syarah Nahjul Balaghah dalam tiga jilid; masing-masing berukuran besar, sedang dan kecil. Di dalamnya ia melakukan kajian mendalam yang belum pernah dilakukan sepertinya dalam beberapa abad. Kajiannya itu sungguh membuktikan keunggulan Maitsam di berbagai cabang ilmu.
Selain dua kitab itu, adalah Syarah Kitabul Isyarat karya gurunya; Al-Muhaqqiq Al-Bahrani yang baru saja diulas di atas tadi. Syarah itu ditulisnya berdasarkan kaidah-kaidah filsafat dan metode kaum filosof yang arif (sufi). Maitsam Al-bahrani juga mengarang kitab Al-Qowa’id fil Ilmil Kalam yang dituntaskannya pada bulan Rabiul Awal 676 H, kitab Al-Barrul Khidham, Risalah fil Wahyu wal Ilham, Syarah Miah Kalimah (setarus kata mutiara Imam Ali ibn Abu Thalib a.s. yang dikumpulkan oleh Al-Jahidz), kitab An-Najat fil Qiyamah di Amril Imamah, kitab Istiqshaun Nadzar fi Imamatil Aimmatil Itsna ‘Asyar, dan Risalah fi Adabil Bahts. Maitsam Al-Bahrani wafat pada tahun 679 di desa Hilnan di propinsi Ma’khuz di Bahrain.
Lalu, Nashiruddin Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasan Ath-Thusi; guru besar para filosof dan mutakallimin, pembela agama dan umat. Riwayat hidupnya telah diuraikan secara rinci di dalam kitab saya, Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam. Di kitab ini pula saya sebutkan karya-karyanya di bidang-bidang ilmu aqli dan naqli sesuai dengan mazhab Syiah Imamiyah. Sejumlah besar ulama telah muncul dari kuliahnya. Nashiruddin Ath-Thusi lahir pada tahun 597 H, dan wafat di Baghdad pada tahun 673 H. Makamnya terletak di halaman haram Imam Musa Al-Kadzim a.s. Salam sejahtera atas para peziarahnya!
Lalu, Allamah Jamaluddin ibn Al-Muthahhar Al-Hilli; gurui besar Syiah yang dikenal dengan gelar Ayatullah dan Allamah alal Ithlaq. Sungguh gelar ini layak disandang olehnya. Allamah Al-Hilli laksana samudera ilmu, pembongkar setiap makna inti, guru di atas guru. Ia mengarang di berbagai bidang ilmu lebih dari 400 kitab. Dan saya telah menghitung karya-karyanya di dua bidang filsafat dan kalam sebanyak 40 kitab. Dan secara keseluruhan, di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya mendata karya yang masih tersisa pada masyarakat; jumlahnya mencapai 90 kitab. Allamah Al-Hilli wafat pada ahkir tengah malam sabtu, 20 Muharram 726 H, pada usia 78. Makamnya terletak di kamar Iwanuz-zahab di haram Al-Haidariyah, yang senantiasa menjadi tujuan peziarah.
Dan terakhir ialah Asy-Syarif Jamaluddin An-Naysyaburi Abdullah ibn Muhammad ibn Ahmad Al-Husaini, warga kota Halab-Syiria. Ia adalah salah satu tokoh utama ilmu Kalam, demikian Ibnu Hajar menyebutkan di dalam Ad-Durarul Kaminah fi ‘Ayanil Miah Tsaminah. Ibnu Hajar mengatakan: “Jamaluddin begitu pandai di bidang usuluddin, sastra Arab, membuka kuliah di kawasan Asadiyah di Halab. Ia adalah salah seorang imam ilmu aqli, tampil sebagai pemuda yang mulia, dan bermazhab Syiah. Jamaluddin wafat pada tahun 776 H”. Inilah nukilan As-Suyuthi dari Ibnu Hajar di kitab Bughyatul Wu’at.


BAB KELIMA
Kepeloporan Syiah Di Bidang Ilmu Usul Fiqih
Ketahuilah bahwasanya orang pertama yang membuka pinta ilmu ini dan merumuskannya ialah ‘Sang Pembongkar Ilmu’; Imam Muhammad ibn Ali Al-Baqir a.s. lalu putra beliau, yaitu Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. Mereka telah mendiktekan kaidah-kaidah dan masalah-masalah ilmu tersebut kepada sekelompok murid mereka, yang pada gilirannya mereka (para murid) itulah yang mengumpulkan semua itu, kemudian ulama-ulama yang datang setelah mereka menyusunnya sesuai dengan kerangka pembahasannya, seperti kitab Usul Alir-Rasul , kitab Al-Fushulul Muhimmah fi Ushulil Aimmah dan kitab Al-Ushulul Ashilah. Semua kitab ini dilengkapi dengan riwayat-riwayat para perawi yang terpercaya dan sanad-sanadnya bersambung sampai kepada Ahlulbait a.s.
Dapat dikatakan bahwa orang pertama yang secara khusus menyusun sebagian pembahasan ilmu Usul Fiqih ke dalam sebuah kitab ialah Hisyam ibn Al-Hakam; guru besar kaum mutakallim, murid utama Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. Ia mengarang kitab Al-Alfadz, di mana ia menuliskan sejumlah masalah yang merupakan pembahasan pokok ilmu tersebut. Setelah Hisyam ialah Yunus ibn Abdurrahman; budak keluarga Yaqthin, murid utama Imam Musa Al-Kadzim a.s. Ia mengarang kitab Ikhtilaful Hadits, yang di dalamnya terdapat pembahasan penting seperti ‘Ta’arudh Dalilain’ dan ‘At-Ta’adul wa Tarjih bainahuma’ (sebuah topik ilmu Usul Fiqih yang membahas pertentangan antardalil hukum dan metode mengkompromikan dan memprioritaskan di antara dalil-dalil tersebut, pent.).
As-Suyuthi di dalam Al-Awail mengatakan: “Orang pertama yang mengarang di bidang ilmu Usul Fiqih ialah Asy-Syafi’ie, berdasarkan ijma para ulama”. Maksudnya, Imam Asy-Syafi’ie adalah orang pertama di antara empat imam mazhab Ahli Sunnah. Mirip dengan kitabnya dari segi ukurannya yang kecil dan susunan pembahasannya, adalah kitab Usulul Fiqih karya Syeikh Mufid Muhammad ibn Muhammad ibn An-Nu’man yang terkenal dengan gelar ‘Ibnul Mu’alim’ dan ‘Syeikhusy Syi’ah’. Kedua kitab mereka telah dicetak.
Namun, kitab Ushul Fiqih yang dikarang oleh generasi pertama ialah kitab Adz-Dzari’ah fi Ilmi Ushulusy Syari’ah, karya Syarif Al-Murtadha. Kendati  ukurannya paling sederhana, kitab ini mengandung pembahasan ilmu tersebut secara lengkap di dalam dua juz. Selain itu, Al-Murtadha juga mengarang banyak kitab di bidang ini, dan kitab Adz-Dzari’ah merupakan kitabnya yang paling sederhana sekaligus paling baik. Namun, bisa dikatakan bahwa terdapat sebuah kitab yang lebih baik darinya, yaitu Al-‘Iddah karya Syeikh Abu Ja’far Muhammad ibn Al-Hasan ibn Ali Ath-Thusi. Kitab terakhir ini sungguh terbaik yang pernah dikarang sepertinya di masa-masa sebelumnya. Itulah kitab yang begitu sederhana, penuh ketelitian dan kecermatan sang penulisnya.
Perlu juga saya sampaikan di sini bahwasanya ulama-ulama Ushul Fiqih Syiah telah mencapai puncak pengkajian di bidang ilmu ini, dan dalam pendalaman serta analisis yang ketat terhadap masalah-masalahnya secara mentradisi dari satu generasi ke generasi lainnya. Bahkan, mereka mengarang kitab berjilid-jilid, yang secara khusus mengulas sebagian masalah Ushul Fiqih, apalagi bila mereka mengulas semua masalah dan topiknya. Hanya saja, saya  memandang tidak cukup kesempatan di sini untuk menyebutkan nama-nama dan membicarakan riwayat hidup mereka. Saking banyak jumlahnya, tidak begitu berarti lagi upaya mengklasifikasi ihwal generasi mereka.


BAB KEENAM
Kepeloporan Syiah Dalam Islam Di Bidang Ilmu Firoq
Muslim pertama yang merumuskan dan mengarang kitab tentang ilmu Firoq (ilmu ihwal mazhab dan aliran kepercayaan) atau tentang agama-agama bangsa Arab ialah Hisyam ibn Muhammad Al-Kalbi yang wafat pada tahun 206 H, sebagaimana yang dicatat oleh Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest. Masih di bidang yang sama, seorang filosof terkemuka di antara sejawatnya pada masa-masa sebelum abad ketiga, yaitu Al-Hasan ibn Musa An-Naubakhti yang juga mengarang Kitabul Ara’ wad Diyanat dan kitab Al-Firoq.
Jelas, Al-Hasan An-Naubakhti lebih dahulu daripada para pengarang di bidang ini, seperti Abu Amnshr Abdul Qodir ibn Thahir Al-Baghdadi yang wafat pada tahun 429 H, Abu Bakar Al-Baqillani yang wafatnya jatuh pada tahun 403 H, Ibnu Hazm yang wafat pada tahun 456 H, dan Ibnu Furak Al-Ishfahani yang wafat pada tahun 451 H, yang kira-kira pada tahun ini pula Abu Al-Mudzaffar Thahir ibn Muhammad Al-Asfarani wafat. Tokoh yang muncul setelah mereka semua ialah Syahrustani yang wafat pada tahun 548.
Dan saya tidak mengenal satu nama pun di antara mereka yang mendahului Hisyam Al-Kalbi dan Al-Hasan An-Naubakhti dalam menyusun ilmu Firoq. Karangan mereka berdua di bidang ini telah dibenarkan oleh Ibnu Nadim, An-Najasyi dan ulama-ulama yang lain, yaitu tatkala membahas riwayat hidup  dan daftar karya-karya mereka. Dan kitab Al-Firoq karya An-Naubakhti hingga kini ada pada kami. Salah satu topiknya berkenaan dengan mazhab-mazhab di dalam Syiah.
Lebih dari itu, ada sekelompok Syiah yang juga telah mengarang kitab di bidang Firoq lebih dahulu daripada mereka (selain Al-Kalbi dan An-Naubakhti). Di antara mereka ialah Nashr ibn Ash-Shabah, guru Abu Amr Al-Kasyi pakar ilmu Rijal. Nashr telah mengarang kitab Firoqusy Syi’ah. Lalu, Abul Mudzaffar Muhammad ibn Ahmad An-Na’imi yang juga mengarang di bidang ini. Lalu, Abul Hasan Ali ibn Al-Husein Al-Mas’udi yang wafat pada tahun 346 H. Ia mengarang kitab Al-Maqolat fi Ushulid Diyanat, kitab Al-Ibanah fi Ushulid Diyanat. Al-Mas’udi serupakan salah seorang guru besar Syiah, sebagaimana ditegaskan oleh Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi di dalam Al-Fehrest dan oleh An-Najasyi di dalam Asma’ Mushannifisy Syi’ah. Mereka mengakui bahwa Al-Mas’udi menulis beberapa kitab; Al-Bayan fi Asmail Aimmah dan Itsbatul Washiyyah fi Imamatil Aimmatil Itsna ‘Asyar. Di sini menjadi tampak kekeliruan At-Tajie As-Sabki yang telah menempatkannya di dalam silsilah ulama mazhab Syafi’iyyah, sebagaimana yang juga dilakukan oleh Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi. Tentang riwayat hidup Al-Mas’udi, saya telah membahas secara terinci di Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam.


BAB KETUJUH
Kepeloporan Syiah Dalam Islam di Bidang Ilmu Akhlak
Ketahuilah bahwasanya muslim pertama yang mengarang di bidang ini ialah Amiril Mukminin Ali ibn Abu Thalib a.s. Beliau telah menulis sebuah kitab yang memuat ilmu Akhlak, yaitu dalam perjalanannya dari Shiffin lalu mengirimkannya kepada putranya; Imam Hasan a.s. atau kepada Muhammad ibn Al- Hanafiyah. Kitab tersebut berukuran besar dan mengimpun berbagai pasal-pasal ilmu ini, termasuk di dalamnya ialah metode-metode berperilaku mulia, serangkaian sifat-sifat luhur, letak-letak keselamatan dan kecelakaan, dan cara-cara melepaskan diri dari kecelakaan.
Para ulama dari Syiah dan Ahli Sunnah telah meriwayatkan kitab tersebut dan memujinya sebagaimana layaknya. Al-Kulaini juga telah meriwayatkan dari bebarapa jalur di dalam kitab Ar-Rasail. Begitu pula Imam Abul Hasan ibn Abdullah ibn Said Al-Askari telah memberitahukan Kitab itu dan menyalinnya secara lengkap di dalam kitab Az-Zawajir wal Mawa’idz. Ia mengatakan: “Seandainya ada kebenaran yang harus  ditulis dengan cairan emas, maka di dalam kitab inilah”. Sekelompok ulama juga telah menyebutkan ihwal kitab Imam Ali a.s. ini kepadaku, beserta jalur-jalur pemberitaan akan keberadaannya.
Namun, orang pertama dari Syiah yang mengarang kitab di bidang ilmu Akhlak ialah Ismail ibn Mehran ibn Abu Nashr Abu Ya’qub As-Sukuni. Kitab yang ditulisnya berjudul Kitab Shifatul Mu’min wal Fajir. Ismail juga menyusun sebuah kitab yang mencatat kumpulan teks khutbah-khutbah dan kata-kata mutiara Imam Ali ibn Abu Thalib a.s. kedua kitabnya diberitakan oleh Abu Amer Al-Kasyi dan Abul Abbas An-Najasyi di dalam Asma Mushannifisy Syi’ah. Para ulama menyatakan bahwa Ismail telah meriwayatkan hadis dari sejumlah sahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., dan dianugerahi umur panjang hingga dapat menjumpai Imam Ali Ar-Ridha a.s. serta meriwayatkan hadis dari beliau. Ia termasuk ulama yang hidup di abad kedua hijriyah.   
Begitu pula, terdapat ulama-ulama besar Syiah yang mengarang kitab di bidang Akhlak. Di antara mereka ialah Abu Muhammad Al-Hasan ibn Ali ibn Al-Hasan ibn Syu’bah Al-Harrani ra. Ia adalah seorang ulama yang hidup di abad ketiga hijriyah. Al-Harrani mengarang kitab Tuhaful ‘Uqul. Di dalamnya terdapat kata mutiara, nasihat dan keterangan mengenai sifat-sifat mulia akhlak yang datang dari Ahlulbait a.s. Kitab Al-Harrani ini sebuah kitab yang mulia, yang belum pernah dikarang sepertinya. Banyak dari guru ulama-ulama Syiah yang merujuk kepadanya, seperti Syeikh Mufid yang telah banyak menukil hadis darinya. Sebagian ulama kami mengatakan: “Kitab itu tidak mengizinkan jaman untuk mendatangkan sepertinya”.
Lalu, Ali ibn Ahmad Al-Kufi yang mengarang kitab Al-Adab dan kitab Makarimul Akhlaq. Ia wafat pada tahun 352 H.
Lalu, Abu Ali ibn Maskaweih yang telah saya singgung sebelum ini. Ia telah mengarang Tahdzibul Akhlaq wa Tathirul A’raq; sebuah kitab yang mencakup enam bagian, yang bila dicermati sungguh tak ada bandingannya. Sekali lagi, saya telah menyinggung ihwal Ibn Maskaweih. Dan di dalam Tasisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya juga telah menyebutkan generasi-generasi para tokoh ilmu Akhlak serta karya-karya mereka masing-masing.


BAB KEDELAPAN
Kepeloporan Syiah di bidang ilmu Siroh
Orang pertama yang meletakkan ilmu ini ialah Ubadillah ibn Abu Rafi’e; budak rasulullah saw. Ia telah mengarang kitab berkenaan dengan ilmu Sirah pada masa khilafah Imam Ali ibn Abu Thalib a.s.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar