Pages

Senin, 28 November 2011

Mencari Tuhan


MENCARI TUHAN,

Mengapa dan Bagaimana

KATA PENGANTAR PENERBIT

Agama (baca: Islam) tentu saja bukan cuma mengajarkan tatacara beribadah atau incnyci bukan segenap kebaikan moral. Agamajuga berbicara tentang keharusan untuk memahami segala sesuatu secara rasional (masuk akal).
Dalam sejumlah ayat al-Quran, kita acapkali menjumpai pernyataan yang dimaksudkan untuk mengingatkan manusia tentang kemampuan rasio yang dimilikinya; afalâ ta’qilûn, afalâ yatafakkarûn, dsb.
Keharusan semacam ini tentunya tanpa kecuali, termasuk terhadap keberadaan agama itu sendiri. Dengan kata lain, suatu agama belum tentu bisa dibenarkan sepenuhnya (sekalipun memiliki ajaran moral-etis yang begitu menyentuh) kalau tidak memiliki pembenaran logis bagi keberadaannya.
Acapkali kita begitu terpengaruh terhadap kebenaran sebuah agama (Islam ataupun bukan) hanya lantaran seruan moralnya yang begitu mengharu biru. Atau lantaran sejarahnya yang begitu mengagumkan. Padahal, di balik semua itu, boleh jadi terpendam kekeliruan yang sudah sedemikian busuk ihwal keabsahan dirinya secara logis. Dengan kata lain, pesona moral dan sosial yang ditampakkan lebih sebagai upaya untuk menyelubungi irasionalitas keberadaannya.
Pertanyaan-pertanyaan seperti; dari mana asal-usul kehidupan; apa sesungguhnya kenyataan itu; bagaimana kesudahan hidup itu; dan seterusnya jelas harus dijawab oleh agama, yang dalam hal ini mengklaim dirinya mutlak benar dan memiliki pengetahuan absolut dan transenden (melampaui kenyataan profan dan imanen di dunia). Dan persoalan terpenting lagi adalah tentang apa atau siapa sebenamya Tuhan itu.
Sebab, dalam kacamata agama apapun (tentunya terlepas dari penamaannya secara harfiah), Tuhan merupakan konsep dasar yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Tanpa konsep ketuhanan, dengan sendirinya agama akan kehilangan legitimasi superiornya. Agama menjadi tak ubahnya sekumpulan norma-norma sosial belaka, tanpa orientasi spiritual apapun.
Dengan begitu, pengenalan terhadap Tuhan secara masuk akal menjadi kemestian yang tak bisa ditolak. “Apakah Tuhan itu ada? Di manakah Tuhan bersemayam? Tunggalkah Tuhan? Adilkah? Mungkinkah kita mengenal Tuhan kita?” Jawaban atas seluruh pertanyaan tersebut pada gilirannya tentu akan menjadi tolok ukur kedalaman keyakinan serta keagamaan kita. Dalam Islam, segenap persoalan yang menyangkut Pernahaman rasional tentang eksistensi Tuhan ditelaah dalam pembahasan aqidah (ihwal keyakinan secara ilmiah).
Untuk itu, dalam kesempatan berbahagia ini kami menyajikan salah satu buah karya penting seorang ulama besar Islam, Prof. Muhsin Qaraati. Dalam buku ini, beliau menguraikan secara memikat dan dengan panjarig lebar, topik yang berkenaan dengan eksistensi Tuhan; ketauhidan dan keadilan. Mungkin bagi sebagian pembaca, topik semacam ini (khususnya tentang keadilan Tuhan) masih terasa asing. Kami tentu maklum. Namun, tak ada salahnya kalau "gagasan asing" ini kita telaah Dengan seksama. Barangkali di dalamnya terkandung banyak manfaat yang bisa kita petik.
Paling tidak, membiasakan diri kita untuk bersikap terbuka dan jujur terhadap sesuatu yang asing, yang boleh jadi akan membongkar dan meluruskan pelbagai kekeliruan serta kebusukan pola pikir dan keyakinan keagamaan kita selama ini. Wallahu a’lam.
Bogor, November 2001, Penerbit Cahaya.

KETAUHIDAN

 

Pandangan Dunia (ar-ru`yah al-kauniah)
Kita semua acapkali mendengar istilah “Pandangan Dunia” (world view). Pandangan Dunia merupakan sebuah tafsiran universal terhadap keberadaan jagat alam (macrocosmos). Adapun Pandangan Dunia yang menyertakan kesadaran bahwa keberadaan alam ini memiliki tujuan, bersandar pada wujud yang memiliki perasaan, dan berdasarkan pada sebuah rancangan, sistem, serta perhitungan yang pasti, disehut Dengan "Pandangan Dunia Ilahiah". Sementara, pandangan semesti yang mengedepankan asumsi bahwa jagad alam ini tidak didasari oleh rancangan sebelumnya, tidak memiliki perancang yang berperasaan, tanpa tujuan, dan tanpa perhitungan, disebut dengan "Pandangan Dunia Materialisme."
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa "Pandangan Dunia" tak lain dari bentuk tafsiran serta perspektif universal seseorang terhadap universum keberadaan alam dan manusia.
Manfaat Pembahasan Pandangan Dunia
Tak diragukan lagi, pembahasan terhadap kedua bentuk pandangan tersebut pasti memiliki manfaat, serta keuntungan yang khas. Seumpama, rumah yang besar (alam) ini ada pemiliknya, dibangun dengan perhitungan, serta memiliki tujuan, di mana saya menjadi salah satu bagian di dalamnya, tentunya sikap serta perbuatan saya harus berdasar pada kerelaan pemilik rumah (Allah).
Selain itu, saya juga mesti mengamalkan berbagai aturan yang telah diberikan saya (dengan perantaraan wahyu dan para nabi). Adapun seandainya seluruh alam ini tercipta tanpa suatu rancangan apapun, tidak bertujuan, dan tanpa perhitungan, maka bagi saya tak ada alasan untuk menaati berbagai aturan serta tidak harus petuh pada berbagai ikatan dan larangan.
Pada masa sekarang, kalimat "manusia yang konsisten dan bertanggung jawah" acapkali didengung-dengungkan. Padahal, masalah pertanggungjawaban, adanya pengawasan, dipertanyakannya segala perbuatan, dan keyakinan bahwa alam ini tercipta berdasarkan perhitungan, sistem, serta tujuan, merupakan masalah yang tercakup dalam topik "Pandangan Dunia Ilahiah".
Dan melalui pandangan semacam inilah, kita dapat menjadi manusia yang konsisten dan bertanggung jawab. Akan tetapi, berbanding terbalik Dengan itu, dalam sudut pandang materialisme, seluruh jagat alam terwujud tanpa rancangan sebelumnya.
Menurut pandangan ini, semua keberadaan tercipta sesuai dengan berlalunya waktu. Dikatakan pula bahwa seluruh manusia berjalan menuju kemusnahan diri. Dengan kematian, mereka akan menjadi musnah. Sementara tujuan dari kehidupan ini tak lebih dari sekadar meraih kesenangan (dunia), untuk kemudian segera musnah dan binasa. Bentuk pemikiran semacam ini niscaya akan menjadikan seseorang berkata kepada dirinya sendiri, "Mengapa saya mesti ada (hidup) dan tidak melakukan bunuh diri? Bertahun-tahun saya hidup menderita, toh akhirnya saya juga akan binasa.
Lalu mengapa saya tidak segera mengakhiri hidup saya ini?" Benar, kehidupan yang bermakna hanyalah kehidupan yang berada di bawah naungan "Pandangan Dunia Ilahiah", tidak pada yang lain.
Fungsi Pandangan Dunia
Ketika di tengah malam buta, rumah Anda tiba-tiba diketuk seseorang yang belum Anda kenal betul dan tidak dapat terlihat secara jelas, tentu Anda tidak akan segera membuka pintu.
Ketika tidak mengetahui bagaimana cuaca kota yang akan kita tuju, pasti kita tidak akan mengetahui jenis pakaian apakah yang harus dibawa. Pabila kita tidak mengetahui apakah undangan yang ditujukan untuk kita berupa undangan dukacita atau pernikahan, jelas kita tidak akan bisa memutuskan pakaian maLam apakah yang mesti kita kenakan.
Dengan demikian, agar tugas-tugas yang akan kita laksanakan menjadi jelas, kita terlebih dahulu harus memiliki pandangan serta pengenalan yang jelas terhadapnya.
Karena itu, akidah bentuk pemikiran, serta pengenalan (yang keseluruhannya bisa di istilahkan dengan ("Pandangan Dunia") yang ada pada diri kita akan berpengaruh terhadap seluruh perilaku serta pilihan-pilihan kita.
Memilih Pandangan Dunia
Telah saya kemukakan bahwasannya terdapat dua bentuk pandangan terhadap keberadaan alam semesta dan manusia.
1. Pandangan Ilahiah: Sebuah pandangan yang menerima prinsip tentang adanya pemilik, perhitungan yang pasti, rancangan yang sistematis, serta perancang dari keberadaan jagat alam ini.
2. Pandangan Materialis: Sebuah pandangan yang meyakini bahwa semesti alam ini bukan milik siapa-siapa, tak ada perancangnya, tercipta tanpa tujuan, dan bergerak menuju titik kemusnahan. Dengan memperhatikan manfaat serta fungsi "Pandangan Dunia" sebagaimana yang saya singgung pada awal pembahasan, setiap orang mau tidak mau harus memilih salah satu dari kedua bentuk pandangan tersebut.

Ciri-ciri pandangan yang baik mengandungi sejumlah hal:
1. Pandangan Dunia senantiasa berpijak di atas  berbagai argumen akal (logika).
2. Pandangan serta proses penafsirannya harus sesuai dengan fitrah penciptaan alam.
3. Selain memiliki nilai, Pandangan Dunia juga mengobarkan semangat, harapan. serta rasa bertanggung jawab.
Dengan memperhatikan ciri-ciri di atas, kita akan memulai pembahasan dan kajian ini.
Tauhid: Poros "Pandangan Dunia Ilahiah" (ar-ru`yah al-kauniah al-ilâhiah)
Sesuai Dengan prinsip penalaran, kita mengetahui bahwasannya keberadaan sesuatu pasti memiliki sebab-musababnya. Keyakinan dan ketentuan ini sedemikian jelas sampai-sampai jika Anda meniup wajah seorang bayi, sekalipun secara perlahan, ia akan segera membuka matanya serta menengok ke kanan dan ke kiri demi mencari sebab munculnya angin yang menerpa wajah mungilnya.
la mengetahui bahwa hembusan angin tersebut berasal dari suatu sumber tertentu. Ya, masalah adanya bekas atau jejak yang menunjukkan adanya sesuatu yang membuat bekas atau jejak tersebut, merupakan suatu masalah yang teramat jelas dalam kehidupan kita. Di seluruh pengadilan, keberadaan bekas atau jejak acapkali mampu mengungkap fakta suatu kasus. Apabila terdapat lukisan seekor burung merak atau ayam jantan, kita bisa memastikan bahwa untuk itu ada yang menggambar atau melukisnya.
Akan tetapi, mungkinkah bagi kita untuk membayangkan bahwasanya keberadaan burung merak dan ayam jantan itu sendiri tidak memiliki perancang dan penciptanya? Bagaimana kita dapat meyakinkan akal kita kalau sebuah kamera saja ada yang membuatnya, sementara mata manusia tidak dibuat oleh pencipta yang memiliki perasaan?
Padahal, kita mengetahui dengan pasti bahwa dalam hal pengambilan gambar, kemampuan mata kita jauh lebih sempurna daripada sebuah kamera. Setelah beberapa kali melakukan pengambilan gambar, sebuah kamera harus mengganti negatif filmnya dengan negatif film yang baru.
Sementara mata kita tiada henti-hentinya mengambil gambar tanpa perlu mengganti negatif film. Sebuah kamera biasanya hanya bisa mengambil gambar hitam-putih atau berwarna, sedangkan mata kita dapat mengambil gambar berbagai benda dalam berbagai wama, hitam-putih, berwama, dari jarak dekat maupun jauh, di bawah pancaran sinar matahari atau terlindung darinya.
Dengan demikian, mungkinkah akal kita dapat menerima pandangan bahwa anggota tubuh bagian permukaan diciptakan oleh sang pencipta, sementara bagian organ pencernaan tidak?! Kita meyakini bahwa keteraturan yang terdapat pada diri seseorang mencerminkan adanya perasaan dalam dirinya. Lalu, apakah keteraturan yang berlangsung di alam semesti ini tidak merefleksikan adanya (pencipta yang memiliki) perasaan? Bagaimanakah mereka bisa menggantikan (pencipta alam ini) dengan berbagai sebab-sebab serta hukum-hukum alam? Padahal kita mengetahui bahwa hanya untuk mengetahui hakikat keberadaan dari salah satu saja dari hukum-hukum alam tersebut, seorang cendekiawan sampai harus menghabiskan waktunya selama berpuluh-puluh tahun!
Ringkasnya, apabila ciri-ciri utama yang melekat pada "Pandangan Alam" terbaik selaras dengan pendapat akal, maka sejak kali yang pertama, akal kita telah menyaksikan adanya sistem (keteraturan) serta perhitungan yang rinci di jagat alam ini, sekaligus memberi keyakinan bahwa alam semesti merupakan hasil ciptaan suatu kekuatan yang memiliki perasaan. Melalui rumus akal itulah, Allah memberikan sederet jawaban atas berbagai keraguan yang mendera. Setelah melakukan observasi terhadap alam semesti dan mengetahui adanya berbagai keteraturan serta perhitungan yang amat rinci di dalamnya, kita niscaya akan terbawa ke dalam pandangan Ilahiah. Inilah suatu pertanda adanya kebenaran dalam cara memandang dan berpikir.
Pertanda lain yang menunjukkan kebenaran "Pandangan Dunia Ilahiah" adalah kesesuaiannya dengan keberadaan fitrah. Dalam hal ini, saya akan menjelaskan terlebih dahulu kepada saudara-saudara sekalian, makna dari fitrah, sehingga ketika saya menyinggung masalah pengenalan tuhan secara fitriah, kita sudah memiliki bekal pengetahuan yang memadai.
Penafsiran Fitrah
Istilah fitrah identik dengan kata khilqahi, yang memiliki arti "ciptaan"; suatu bentuk perasaan yang terdapat dalam diri manusia yang dalam perwujudannya tidak memerlukan latihan serta pengajaran dari seorang pendidik atau pengajar, dan perasaan tersebut senantiasa bersemayam dalam jiwa seluruh manusia di pelbagai tempat dan masa. Perasaan tersebut terkadang disebut fitrah, dan terkadang pula disebut gharîzah (insting).
Alhasil, insting merupakan perasaan serta berbagai kecenderungan yang Selain terdapat dalam diri manusia, juga terdapat pada hewan. Tentunya jelas bahwa salah satu pertanda bahwa sesuatu hal bersifat fitriah ialah apabila keberadaannya bersifat universal.
Misalnya, kecintaan seorang ibu terhadap anaknya yang merupakan sesuatu yang bersifat fitriah; perasaan kasih sudah tertanam dalam jiwa sang ibu, sehingga untuknya tidak diperlukan bimbingan atau pengajaran. Dan hal itu juga bersifat universal.
Dalam arti, apabila Anda rnenelusuri pelbagai tempat dan masa, pelbagai bentuk dan sistem pemerintahan, Anda tentu akan menjumpai kecintaan seorang ibu terhadap anaknya. Akan tetapi, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan kuat dan lemahnya perasaan (fitrah) tersebut.
Boleh jadi suatu perasaan yang terdapat dalam jiwa seseorang berhasil mengalahkan perasaan yang lain. Misalnya saja dalam diri manusia terdapat rasa cinta terhadap harta, kesenangan, atau keselamatan. Akan tetapi, bobot dan masing-masing bentuk perasaan yang terkandung dalam diri setiap individu tersebut tidaklah sama persis.
Sebagian orang akan rela mengorbankan nyawa demi hartanya, sementara sebagian lainnya akan rela mengorbankan harta demi nyawanya. Sebagaimana pernah terjadi pada suatu masa, seorang ayah yang demi mempertahankan harga diri (dikarenakan anggapan yang berkembang waktu itu bahwa memiliki anak perempuan merupakan suatu kehinaan dan cela) sampai-sampai harus memutuskan rasa cintanya kepada anak (perempuan)nya.
Kemudian dengan tangannya sendiri, ia tega mengubur hidup-hidup anak itu. Karena itu, keberadaan fitrah tidak meniscayakan semua manusia memiliki sikap yang sama. Sebabnya, banyak sekali fitrah yang tertutupi fitrah yang lain. Salah satu hal yang dihasilkan fitrah ialah rasa bangga diri. Seseorang yang berjalan di garis fitrah, akan memiliki jiwa yang tenang. Seorang ibu yang menggendong putranya akan merasa bangga, sampai-sampai ia akan marah ketika menyaksikan seorang ibu yang tidak mengasihi anaknya sendiri. Ya, rasa bangga dan marah tersebut merupakan bentuk sikap yang dihasilkan oleh fitrah.
Sekarang, marilah kita saksikan bersama, apakah pengenalan terhadap Tuhan merupakan sesuatu hal yang bersifat filrah ataukah bukan?
Kita akan bertanya kepada setiap manusia yang ada di setiap tempat, masa, serta pemerintahan, "Apa yang kalian rasakan dalam kehidupan di alam semesti ini?" Apakah kalian merasa bahwa diri kalian benar-benar bebas? Ataukah kalian merasakan bahwadalam diri terdapat suatu keterikatan?
Tak seorangpun yang mengatakan, "Di alam semesti ini saya benar-benar merasa bebas." Setiap orang pasti akan merasakan bahwa di dalam dirinya terdapat suatu ikatan. Namun, perasaan yang benar semacam ini bisa terpenuhi dalam dua bentuk:
1. Perasaan yang henar dan dipenuhi dengan cara yang benar.
2. Perasaan yang benar dan dipenuhi dengan cara yang keliru (kebohongan).
Seumpama, seorang bayi yang menangis karena merasa lapar. Perasaan lapar tersebut merupakan sesuatu yang benar. Namun terkadang, pemenuhan tuntutan perasaan tersebut dilakukan dengan cara menghisap susu ibunya yang penuh dengan air susu.
Tentunya, pemenuhan semacam ini dilakukan dengan cara yang benar. Namun, terkadang pemenuhan perasaan tersebut dipenuhi dengan cara menghisap puting susu plastik tiruan (dot). Sebagaimana dikemukakan bahwa dalam diri manusia benar-benar terdapat rasa keterikatan. Akan tetapi, keterikatan pada apa?
1. Pada kekuatan Allah?
2. Pada kekuatan alam?
Keberadaan alam sendiri memiliki keterikatan terhadap ratusan sebab dan akibat. Dengan demikian, kita mesti mengikatkan diri kita dengan suatu kekuatan yang tidak lagi terikat sebagaimana diri kita.
Misi Para Nabi
Misi para nabi ditujukan untuk menjaga agar perasaan manusia yang pada hakikatnya bersifat lembut tidak sampai dijejali berbagai modus kebohongan (kekeliruan). Sebagaimana seorang ibu atau seorang pengasuh yang tidak akan pernah membiarkan seorang anak yang lapar—demi menghilangkan rasa laparnya—menyantap makanan secara sembarangan. Sejarah menunjukkan bahwa mereka yang tidak berada di bawah bimbingan para nabi akan terjerumus ke dalam berbagai macam khurafat (penyelewengan).
Apakah Perbudakan Bertentangan dengan Kebebasan Manusia?
Kadang kala, terbayang dalam benak kita bahwa ajakan pari nabi serta berbagai mazhab samawi untuk menyembah Allah semata merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kebebasan manusia.
Namun, perlu diperhatikan bahwa susunan tubuh manusia telah diciptakan sedemikian rupa, sehingga manusia tidak dapat hidup tanpa cinta, kasih, peribadahan, serta harapan. Rasa cinta dan kegemaran dalam beribadah telah tertanam dalam jiwa manusia. Dan, jika perasaan tersebut tidak ditundukkan di bawah bimbingan para nabi, akibatnya manusia akan menjadi penyembah patung berhala, benda-benda langit, sesamanya, serta para pemimpin yang zalim.
Karena itu, perbudakan dan peribadahan kepada Allah merupakan suatu cara pemuasan yang benar, yang menghalangi berbagai bentuk pemuasan semu (keliru), sekaligus menyelamatkan jalur cinta dan peribadahan dari pelbagai penyimpangan.
Pandangan Alam Ilahiah dan iman kepada Allah berakar pada keberadaan fitrah. Perasaan serta keterikatan pada kekuatan adikodrati yang tidak terbatas, sudah tentu terdapat dalam jiwa setiap manusia. Namun demikian, sekalipun seseorang bisa memastikan adanya kekuatan tidak terbatas itu, ia boleh jadi mengalami kekeliruan dalam hal menentukan kekuatan manakah yang bersifat llahi dan mana yang bersifat alamiah.
Alhasil, perasaan dan huhungan semacam itu benar-benar ada. Karena itu, Pandangan Dunia Ilahiah meyakini bahwa seluruh keberadaan di jagat alam terikat dengan suatu kekuatan adikodrati tanpa batas dan memiliki perasaan, dan ini sesuai dengan fitrah manusia. lnilah bukti lain yang berkenaan dengan kebenaran.
Pandangan Dunia Ilahiah
Tanda ketiga yang melekat pada suatu pandangan yang paling komprehensif ialah melahirkan rasacinta, harapan, serta tanggungjawab dalam diri manusia.
Pabila seorang pelajar yang ada di sebuah sekolah mengetahui bahwa berbagai usahanya tidak akan sia-sia, seperseratus dari nilainya akan diperhitungkan, dan seluruh alasan yang masuk akal akan diterima, tentu akan terus belajar dengan semangat yang luar biasa.
Berkat Pandangan Dunia Ilahiah, manusia akan memiliki keyakinan bahwa setiap detik dari kehidupannya senantiasa berada di bawah pengawasan Allah. Dengan pandangan tersebut, setiap alasan keberadaannya juga akan diterima, perbuatan baik dan buruknya sekecil apapun—tidak akan diabaikan bahkan perbuatan baiknya akan dibeli Allah, harga dari nyawa dan hartanya akan dibayar oleh kenikmatan surgawi, dan memiliki keyakinan bahwa pada satu sisi dirinya acapkali memperoleh pertolongan gaib, sementara pada sisi yang lain memperoleh sarana pendidikan yang bebas dari keraguan, kekeliruan, serta kealpaan.
Ala kulli ha, semua itu merupakan pelita harapan yang paling benderang yang menerangi hati manusia.
Bagaimanakah Bentuk Iman dan Kecenderungan yang Berharga?
Dalam al-Quran terdapat berbagai kritikan atas berbagai bentuk iman serta kecenderungan yang dimiliki manusia:
1. Berbagai kecenderungan yang bersifat musiman (angin-anginan). Sebagai contoh. seseorang yang pada suatu ketika merasakan dirinya tengah berada dalam bahaya, di mana kapal yang ditumpanginya akan tenggelam.
Pada saat itu, ia segera menyebut, "Yaa Allah." Akan tetapi, begitu terlepas dari kesulitan tersebut, dan dirinya melihat bahwa kapal yang ditumpanginya tengah mendekati pantai, seketika itu pula ia kembali menyerahkan dirinya kepada Selain Allah; berbuat syirik.
2. Dalam Al-Quran kita membaca ayat ini: “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan niat ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelematkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka kembali mempersekutukan (Allah)” (al-Ankabût: 65)
3. Keimanan serta kecenderungan ikut-ikutan terhadap keyakinan urang tua dan para pendahulu. Kecenderungan semacam ini biasanya tidak didasari argumentasi atau dalil yangrasional.
Keimanan ini mirip dengan keimanan yang dimiliki para penyembah berhala. Tatkala menjawab pertanyaan para nabi, mereka mengatakan, "Keyakinan kami dalam menyembah berhala ini diwarisi dari para pendahulu kami." Berkenaan dengan ini, al-Quran mengatakan, “Mereka menjawab, ‘(Bukan karena itu), sebenarnya kami mendapati nenek moyang berbuat demikian” (asy-Syu’arâ`: 74)
4. Keimanan dan kecenderungan yang hanya bersifat kulit belaka dan belum menembus ke dalam lubuk hati, ruh, serta jiwa.
Al-Quran mengatakan, "Sekelompok orang-orang Arab datang menemui Rasul saww dan mengatakan, “Kami semua telah beriman”.
Kemudian Allah berfirman kepada Nahi saww, “Katakanlah kepada mereka, “Keimanan kalian sekarang ini masih belum membekas dalam hati kalian. Kalian hanya sekedar mengungkapkan rasa keimanan saja’. Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘kami telah beriman’, Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk’, karena iman itu berlum masuk ke dalam hatimu”. (al-Hujurât: 14)
5. Keimanan yang kosong dari amal perbuatan yang baik. Orang yang memiliki keimanan ini adalah orang yang berpengetahuan namun enggan mengamalkannya. Dalam al-Quran, terdapat banyak sekali kecaman terhadap orang-orang semacam ini.
Manakah Bentuk Keimanan yang Bernilai?
Dalam al-Quran disebutkan bahwa iman yang bernilai dan berharga harus didasari pada pemikiran serta pertimbangan rasional terhadap berbagai ciptaan. Kita membaca dalam al-Quran; “... dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia” (Ali Imrân: 191)



Hasil-hasil Keimanan Terhadap Allah
1. Munculnya perasaan cinta dan semangat.
Seseorang akan mengetahui secara pasti bahwa seluruh perbuatannya senantiasa berada di bawah pengawasan Allah, sembari meyakini pula bahwa tak satupun dari amal perbuatannya akan musnah, dan semua usahanya akan diganjar Allah dengan surga dan ridhwân (kerelaan Allah).
Bahkan, sekalipun ia hanya memiliki niat semata dan tidak berusaha, Allah tetap akan menganugerahkan paHala dan ganjaran kepadanya. Seseorang yang mengetahui semua itu pasti akan menjalani kehidupan yang penuh dengan semangat dan cinta.
2. Menjauhkan diri dari tipu muslihat, kehinaan moral, dan pelecehan hak.
Seseorang yang menyadari bahwa diri serta perbuatannya berada di bawah pengawasan serta kekuasan Allah, tidak akan melakukan berhagai bentuk penipuan.
3. Keagungan.
Seseorang yang bersedia menjadi hamba-Nya, tidak akan bersedia tunduk pada kekuatan lain. la akan memandang seluruh kebciadaan Selain-Nya sama seperti dirinya yaku hanya sebagai hamba.
4. Tidak akan melakukan pekerjaan yang merugikan.
Dikarenakan setiap perbuatan baik yang dikerjakannya akan mendapat pahala serta ganjaran yang kekal dan abadi, ia tidak akan pernah bersandar kecuali kepada-Nya, dan senantiasa menjauhkan diri dari berbagai kecenderungan kepada Selain-Nya.
5. Merasakan ketenangan jiwa.
Di sini kita akan melihat berbagai faktor penyebab munculnya rasa gelisah dan guncanganjiwa. Darinya, kita dapat menyaksikan dengan jelas bagaimana keimanan kepada Allah mampu menciptakan ketenangan dalam jiwa.
Faktor-faktor Penyebab Guncangan Jiwa
1. Adakalanya guncanganjiwa dan rasa gelisah timbul akibat keadaan yang dialami di masa lalu. Pada umumnya, hal itu berkaitan dengan berbagai kekeliruan yang dilakukan pada masa silam.
Akan tetapi, dengan mengingat serta menyebut nama AllahYang Mahapengasih lagi Mahapemurah, keadaan jiwa semacam itu niscaya akan berubah. Dari serba gelisah menjadi penuh dengan ketenangan. Sebabnya. Dia maha mengampuni berbagai kekeliruan dan perbuatan dosa, dan Dia juga Mahapenerima tobat.
2. Adakalanya guncangan jiwa serta kegelisahan bersumber dan rasa terasing (kesendirian). Dalam hal ini, keimanan kepada Allah Yang Maha Ada dan Maha Menyaksikan, akan mengubah semua itu menjadi penuh ketenangan den ketenteraman. la menyenangkan dan disenangi; la mendengar suaraku; la menyaksikan segenap perbuatanku; la mengasihi dan menyayangi diriku.
3. Adakalanya guncangan jiwa terjadi akibat adanya anggapan bahwa kehidupan dirinya tidak memiliki arti apa-apa serta nihil dari tujuan. Akan tetapi, dengan keimanan kepada Allah yang Mahabijaksana, yang telah menciptakan segala sesuatu di jagat alam ini berdasarkan pada kebijakan dan masing-masingnya memiliki tujuan, kadar, dan masa yang telah diperhitungkan secara cermat dan rinci, berbagai bentuk guncangan jiwa semacam itu niscaya akan lenyap.
4. Adakalanya rasa gelisah dan guncangan jiwa tersebut muncul dikarenakan seseorang tidak berhasil menyenangkan semua orang. la merasa sedih, "Mengapa si fulan atau golongan fulan merasa kecewa kepadaku?" Akan tetapi, sesuai dengan prinsip keimanan bahwa kita hanya diharuskan untuk membuat Allah rela dan senang, di mana keagungan serta kehinaan hanya berada dalam genggaman-Nya, seluruh kegelisahan dan guncangan tersebut akan pudar.
Berkenaan dengan itu, al-Quran mengatakan, “... Ingatlahm hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram”. (ar-Ra’d: 28) (ketahuilah, dengan mengingatdan menyebut nama Allah, hati akan menjadi tenteram). Semua itu merupakan suatu kenyataan yang tak bisa dipungkiri.
Berbagai Dampak dari Kekosongan Iman
Seseorang yang tidak beriman kepada Pencipta alam, Tuhan Yang Mahabijaksana, pada dasarnya:
1. Tidak memiliki prinsip dan tujuan hidup. Baginya, kehidupan hanyalah ditujukan untuk meraih kebahagiaan yang bersifat material. Keberadaan orang semacam ini tak ubahnya seekor hewan!!
2. Setiap aktivitas yang dilakukannya diyakini bersifat paksaan belaka (baik oleh masyarakat maupun kasta).
3. Rumah masa depannya adalah kebmasaan. Sebabnya, ia tidak meyakini adanya kehidupan pasca kematian serta adanya kekekalan ruh.
4. Para pembimbingnya terdiri dari orang-orang zalim. Selain itu, ia tunduk di bawah kemauan hawa nafsu.
5. Ruang kehidupannya (dikarenakan tidak meyakini adanya wahyu dan keberadaan para nabi yang maksum) sarat dengan berbagai keragu-raguan, keterbatasan, kekurangan, dan kekeliruan.
6. Mengalami kebingungan yang luar biasa dalam upayanya memahami eksistensi alam ini. la sama sekali tidak mengetahui, kenapa dirinya terlahir ke alam ini? Mengapa kemudian setelah itu dirinya pergi entah ke mana? Dan apa sebenarnya tujuan kehidupan ini?
Seluruh pemikirannya hanya tertumpu pada, "Bagaimanakah cara meraih kehidupan duniawi yang lebih baik." Bukannya pada, "Apakah tujuan kehidupan ini?" Ya, demikianlah sejumlah karakter khas dari seseorang yang nihil dari Pandangan Dunia Ilahiah dan akidah Islam. Dengan membandingkan wajah orang beriman kepada Allah dengan wajah orang tidak beriman kepada Allah, Anda dapat mengetahui dengan jelas fungsi penting dari sebuah keimanan.
Penjelasan Kaum Materialis Tentang Mazhab
Setelah kita mengetahui sebab-sebab serta akar keimanan kepada Allah, terdapat dua hal yang terkait dengannya:
1. Akal
2. Fitrah
Akal manusia akan mengatakan bahwa setiap sesuatu yang eksis harus ada yang meneiptakan (mengeksiskan). Di mana dan kapan saja kita menyaksikan adanya keteraturan dan kerapihan, kita pasti akan mengetahui bahwa untuk itu terdapat sesuatu yang mengatur serta merapihkan.
Demikian juga, fitrah mengatakan bahwa setiap jiwa manusia memiliki hubungan dengan sebuah kekuatan adi-kodrati. Namun, terdapat. pula sekelompok orang yang tidak menghiraukan kedua faktor tersebut. Dan berkenaan dengan keberadaan mazhab, mereka memberikan berbagai penjelasan yang menggelikan.
Sejumlah argumentasi yang mereka lontarkan telah saya kemukakan di celah-celah pembahasan ini, meskipun masih bersifat global. Sementara untuk lebih mengetahuinya secara lebih mendetail, saya persilahkan Anda merujuk buku Ushûl al-Falsafah jilid V atau juga sejumlah buku lainya yang membahas topik "Mengenal Allah" (ma’rifatullâh).
Kekeliruan Pandangan Kelompok Marxisme
Dengan berlalunya waktu, berbagai pandangan Marxisme semakin jelas menampakkan kekeliruannya sehingga mencoreng muka mereka sendiri. Umpama, berkaitan dengan peristiwa revolusi Islam di Iran. Meletusnya revolusi yang menggegerkan tersebut telah menudirig hidung masyarakat kita yang telah melakukan kesalahan dan kekeliruan dalam memandang keberadaan agama serta proses perubahan sosial.
Di antaranya, Marxisme mengatakan bahwa keberadaan agama tak lebih sebagai candu masyarakat. Agama telah menjadikan masyarakat lunglai, lesu, hina, pasrah, dan kecanduan. Akan tetapi, di negeri Iran ini kita memiliki tiga puluh limajuta saksi yang bisa mengatakan bahwa alih-alih membuat lesu, agamajustru telah menghembuskan semangat dan menginspirasikan pergerakan kepada masyarakatani merupakan salah satu bentuk pandangan mereka yang keliru dan amat memalukan.
Kekeliruan yang kedua dari pandangan Marxisme adalah ketika mereka mengatakan, "Kerusakan moral merupakan akibat dari kelemahan ekonomi." Berdasarkan itu, bisa dikatakan bahwa apabila ada seseorang yang rnencuri, umpamanya, maka tindakannya itu lebih disebabkan oleh tekanan kemiskinan!
Untuk itu, kita juga memiliki tiga puluh limajuta orang yang menyaksikan bahwa Syah Iran, si pengkhianat, adalah gembong para perampok. Kondisi kehidupan ekonomi dirinya tidaklah miskin. Demikian pula halnya dengan status ekonomi dari berbagai pencuri kelas kakap lainnya di seantero sejarah. Kekeliruan ketiga Marxisme terjadi dalam perkataannya, "Yang mencetuskan revolusi adalah gerakan orang-orang miskin dan perlawanan kaum yang kelaparan melawan para pengeruk keuntungan!"
Lagi-lagi kita semua yang ada di Iran menyaksikan bahwa revolusi Islam Iran diledakkan demi mewujudkan kebebasan serta kemerdekaan dalam melaksanakan hukum-hukum Ilahi, bukan demi roti dan air, juga bukan dikarenakan tinggi rendahnya harga barang-barang! Jika benar bahwa revolusi tersebut merupakan bentuk perlawanan orang-orang miskin (vis a vis segelintir pengeruk keuntungan—pent.), tentunya mereka yang pertama kali akan menggelar revolusi adalah para penduduk yang tinggal di daerah Kurdistan, Sistan, atau Baluchistan.
Namun, api revolusi yang disulut dari Madrasah Fadhiah dan dipimpin para ulama, dengan mengumandangkan slogan Allahu Akbar, justru terjadi pada hari-hari ‘Asyura (10 Muharam—pent.).
Dan pergerakan tersebut mencapai puncaknya tatkala tiba hari Arba’in (hari keempat puluh dari kesyahidan Imam Husain as di medan Karbala, tanggal 20 Safar—pent.). Semua itu merupakan bukti nyata bahwa yang menggerakkan revolusi tak lain dan spirit keyakinan (ideologi), bukannya perut. Revolusi tersebut menggelegar tak lain demi menghidupkan undang-undang Ilahi dan menpampakkan undang-undang penguasa zalim.
Revolusi tersebut bukanlah buah dari pergerakan orang-orang miskin. Tentu saja kita tidak mengingkari peran dari tekanan kondisi ekonomi serta keberadaan kaum miskin. Namun, faktor manakah yang menjadi lokomotif serta penggerak utama revolusi tersebut? Perut ataukah mazhab? Betapa banyak mereka yang hidup serba berkecukupan namun kemudian menyerahkan apa yang mereka miliki demi kemenangan revolusi.
Kekeliruan keempat—dan ini merupakan pembahasan kita pada bab "Pandangan dunia Materialisme"—dari pandangan Marxisme malah lebih menggelikan lagi. Kali ini komentar mereka berkaitan dongan keberadaan mazhah dan agama. Mereka menyatakan, "Kaum kapitalis dengan perantaraan suatu sarana pemberi harapan yang mereka sebut dengan mazhab, berusaha menenangkan dan membungkam suara orang-orang miskin! Mereka mengatakan kepada kaum miskin, "Bersabarlah, Tuhan menyukai orang-orang yang sabar. Jika hak kalian dilanggar, tabahkanlah hati kalian." Atau dikatakan, "Dunia tidak memiliki nilai, yang utama adalah akhirat." Atau, "Janganlah kalian melakukan revolusi, tunggulah kedatangan Imam Zaman (Mahdi) as. Dia sendirilah yang akan membuat perbaikan. "Juga dikatakan, "Lakukanlah taqiah. Apapun yang kalian saksikan,janganlah bersuara."
Seruan-seruan semacam itulah yang didengungkan kaum kapitalis melalui perantaraan sarana pemberi harapan yang diriamakan dengan mazhab. Pada akhirnya, seruan-seruan tersebut dibenarkan kelas pekerja, yang karenanya mereka (kaum kapitalis) berhasil mencegah dan menghalangi kelas pekerja untuk melakukan perlawanan serta penggugatan terhadap hak-haknya."
Perhatikanlah dengan cermat, betapa pernyataan semacam itu amat sulit diterima akal sehat. Pandangan tersebut sungguh amat memalukan.
Alhamdullah, kita hidup dalam sebuah masa, di mana para pemudanya telah memiliki kemajuan berpikir yang sangat mencengangkan sehingga sanggup menjawab berbagai pandangan Marxisme yang irasional dan primitif semacam itu. Dalam sekejap saja, para pemuda Muslim akan mengajukan berbagai bantahan kepada para pendukung Marxisme, di antaranya:
1. Jika yang menjadi pencipta mazhab adalah kaum kapitalis, dan itupun ditujukan untuk menenangkan kaum miskin, lantas mengapa dalam mazhab itu sendiri termaktub undang-undang yang justru menggerogoti modal kaum kapitalis, dan bahkan menyita harta mereka?
Berbagai keuntungan yang diperoleh kaum kapitalis melalui proses kezaliman, suap, pelambungan harga, pengurangan penjualan, riba, penumpukkan harta, penipuan dan sehagainya, dengan kata lain, seluruh kekayaan tersebut dihasilkan melalui cara-cara yang ilegal, akan serta merta disita oleh Islam dan mazhabnya.
Kalau memang demikian adanya, bisakah dibenarkan bahwasannya kaum kapitalislah yang menciptakan agama dan mazhab? Mungkinkah mereka menciptakan sesuatu yang justru pada akhirnya akan merampas seluruh harta yang dimilikinya?
Uraian ini baru ditinjau dai i satu sisi. Sementara pada sisi yang lain, berkenaan dengan berbagai peristilahan yang maknanya bisa diselewengkan sedemikian rupa. Padahal, agama sendiri telah memaknai berbagai peristilahan tersebut secara jitu dan benar.
Umpama, istilah intizhâr (penantian), yang artinya bukan semata-mata diam dan berpangku tangan. Ketika menanti terbitnya matahari, tentunya pada malam hari kita tidak hanya berdiam diri dan tidak menyalakan pelita atau lampu. Makna dari menunggu musim panas bukan berarti pada saat musim dirigin kita tidak mempersiapkan berbagai sarana pemanas ruangan.
Benar, dalam menunggu kedatangan Imam Zaman as demi mengharap terjadiriya perbaikan, tidak berarti kemudian kita tidak melakukan aktivitas apapun, berdiam diri, bahkan tunduk di bawah tekanan kezaliman. Makna dari idiom "dunia ini tidak memiliki nilai" bukan melepaskan dunia secara total. Akan tetapi, maksudnya adalah bahwa eksistensi manusia yang merupakan khalifah Allah di muka bumi jauh lebih bernilai dari keberadaan dunia itu sendiri. Sehingga, jangan sampai keberadaan dunia menjadi tujuan utama seseorang. Pendek kata, dalam pandangan Islam, istilah kesabaran, penantian, dan kerelaan bukanlah dimaksudkan bahwa kaum miskin harus pasrah dan berdiam diri terhadap berbagai kebijakan para pengeruk keuntungan.
Selain menyita harta yang telah dikumpulkan kaum kapitalis dengan cara yang tidak absah, Islam juga menyeru kepada orang-orang miskin:
1. Tidak dibenarkan tunduk dan merendahkan diri di hadapan para pemilik modal. Barangsiapa yang merendahkan dirinya di hadapan seseorang karena hartanya, maka sepertiga dari agamanya telah lenyap.
2. Imam Ridha as bersabda, “Barangsiapa yng lebih bersemangat dalam memberi salam kepada orang-orang kaya, pada hari kiamat kelak Allah akan murka kepadanya”
3. Memperingatkan manusia agar jangan mengistimewakan seseorang dikarenakan hartanya.
4. Tidak dibenarkan duduk dalam sebuah hidangan yang hanya dihadiri orang-orang kaya.
5. Imam Ridha as sendiri senantiasa duduk dan bersantap bersama dengan budaknya. Nabi Sulaiman as dengan berbagai keagungannya, senantiasa hidup bersama dengan orang-orang miskin. Imam Ali bin Abi Thalib as senantiasa duduk beralaskan tanah, dan nabi-nabi as kita pada umumnya menjadi penggembala ternak. Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang menganggur, dan mengutuk seseorang yang membebankan kebutuhan hidupnya kepada orang lain. Dari perintah-perintah tersebut, kita mengetahui dengan jelas bahwa keberadaan Islam bukunlah hasil rekayasa kaum kapitalis. Islam tidak mendukung kebijakan mereka, dan bukan penyebab kelesuan masyarakat serta tidak menganjurkan seseorang untuk berdiam diri. Semua ini merupakan kajian singkat terhadap pandangan Marxisme seputar munculnya agama dan mazhab. Kesimpulannya, pandangan Marxisme merupakan pandangan yang menyimpang jauh dari kebenaran dan isinya amat menggelikan.
Penjelasan Lain yang Menggelikan
Sebagian kalangan Materialis tidak memiliki kesanggupan untuk memahami prinsip bahwa Pandangan Dunia Ilahiah bersumber dari akal dan fitrah. Acapkali mereka mengklaim dirinya sebagai cendekiawan yang kemudian berlagak memberikan berbagai penjelasan mengenai keimanan terhadap Sang Pencipta yang bersemayam dalam lubuk hati orang-orang mukmin.
Mereka umpamanya mengatakan, "Asal muasal keimanan kepada Allah adalah rasa takut". Maksud yang terkandung dari ucapan tersebut analog dengan keadaan seorang anak kecil yang butuh perlindungan kepada kedua orang tuanya. Namun, tatkala ia tumhuh dewasa, perlindungan tersebut tetap dibutuhkannya. Oleh karena itu, ia yang kini telah menjadi orang dewasa akan menciptakan sosok pelindung bagi dirinya yang kemudian diriamakan dengan Allah.
Pada saat menghadapi berbagai malapetaka seperti gempa bumi, sambaran petir dan guntur, serangan binatang buas, dan sejenisnya, seseorang akan segera membayangkan (mengharapkan—pent.) adanya sesosok pelindung bagi dirinya. Sehingga, setiap kali dirinya merasa ketakutan, (sosok pelindung itu) akan menenangkan jiwanya. Dengan demikian, disimpulkan bahwa asal muasal keimanan kepada Allah adalah rasa takut!
Jawab:
1. Apabila ketakutan merupakan asal muasal keimanan kepada Allah, maka itu berarti mereka yang paling penakutlah yang paling beriman. Andaikata keimanan kepada Allah berakar pada rasa takut. niscaya yang akan pertama kali beriman adalah orang-orang yang penakut.
2. Kalau memang demikian adanya bisa dikatakan bahwa tatkala seseorang tidak merasa takut, sesungguhnya ia tidak sedang mengingat Allah. Padahal, hakikatnya tidaklah demikian. Benar memang, ketika merasa takut, kita akan segera menghadap Allah. Namun, itu bukan berarti keimanan semata-mata bersumber dari rasa takut. Acapkali kita jumpai dalarn suatu kondisi tertentu, seseorang yang tidak memiliki rasa takut tetap beriman kepada Allah. Tatkala ia melihat adanya berbagai ciptaan yang sempuma, tertata, dan serba teliti, segera saja nalarnya mengenal keberadaanAllah Yang Mahatinggi.
la memiliki kepekaan fitriah sehingga rnampu merasakan aidanya sebuah kekuatan yang agung. Setiap kali ia bertafakur dan berbincang-bincang dengan dirinya sendiri. "Aku ada, dan keberadaanku bukan karena aku yang menciptakan. Seandainya akulah yang menciptakan diriku sendiri, tentu aku akan menciptakan sosok yang lebih kuat dan lebih bagus. Minimal, aku akan membuat perubahan pada diriku. Orang lain tentunya juga sama seperti diriku. Kita semua ada bukannya tanpa perhitungan. Masing-masing anggota tubuh dan sel memiliki perhitungan dan aturan yang pasti. Kalau memang demikian adanya, bisa dipastikan bahwa aku diciptakan Allah Yang Mahakuasa."
Logika semacam itu bersumber dari seseorang yang memikirkan dan menelaah kebenaran secara sungguh-sungguh, bukan oleh seseorang yang dirinya dihantui rasa takut dan kegelisahan.
Fitrah serta akallah yang telah membimbing dirinya ke arah pengetahuan tentang keberadaan Allah Yang Mahatinggi. Dengan demikian, pandangan yang menyatakan bahwa keimanan kepada Allah bersumber dari rasa takut tak lebih dari sekadar ungkapan yang asal-asalan belaka.
Pandangan semacam itu mengingatkan kita pada pandangan seseorang (yang menganggap pendapatnya sebagai sebuah argumen) mengenai suhu udara kota Kasyan pada saat musnn panas.
Dalam hal ini, ia mengatakan, "Tahukah Anda, mengapa suhu udara Kasyan sangat tinggi pada saat musim panas? Karena pada nami "Kasyan" terdapat huruf syîn, dan udara di padang Karbala amatlah panas sewaktu Syimr (pembunuh Imam Husain as—pent.) berada di situ.
Dengan demikian, kota Kasyan memiliki udara yang panas pula! "Pandangan tentang keimanan (yang bersumber dari rasa takut—pent.) tersebut sebenamya berasal dari salah seorang ahli psikologi. Ya, para cendekiawan ternyata dapat pula melakukan berbagai kesalahan yang fatal. Ini terhitung wajar, sebab, semakin tinggi sebuah gunung, semakin bahaya pula puncaknya.
Jangan sampai kita menjadi orang yang kagum dan fanatik buta terhadap ilmu pengetahuan sehingga kita akan menelan mentah-mentah satu atau dua penjelasan rasional salah seorang cendekiawan terkemuka berkenaan dengan masalah tertentu.
Salah satunya adalah (seorang cendekia dari Inggris—pent.) [Bertrand] Russel. la mengatakan, "Pertama-tama saya meyakini keberadaan Tuhan, lalu saya mulai berpikir bahwa apabila semua keberadaan ini merupakan hasil ciptaan Tuhan, lantas siapakah yang menciptakan Tuhan? Saya tidak berhasil menemukan jawabannya, sampai pada akhirnya saya memutuskan untuk tidak mengakui adanya Tuhan!"
Jawaban saya terhadapnya ialah, "Hai Russel, jika sekarang kau tidak lagi mengakui adanya Tuhan, lalu apa yang kau yakini?" Ia menjawab, "Sekarang saya berkeyakinan bahwa asal muasal seluruh keberadaan di jagat alam ini adalah materi, bukan Tuhan!''
Kita akan menjawah, "Baiklah, sebagaimana ketika kau bertanya kepada dirimu sendiri dari manakah Tuhan dan kemudian kau melepaskan keyakinan itu, sekarang tanyakanlah kepada dirimu juga, dari manakah asal muasal materi?" la akan menjawab, "Materi sudah ada sejak dahulu kala." Kita juga akan menjawab, "Allah juga telah ada sejak dahulu kala. Wahai Russel, mengapa engkau tidak meyakini Allah yang keberadaannya memiliki perasaan dan telah eksis sejak dahulu kala. Malah, kau meyakini keberadaan berjuta-juta materi yang telah ada sejak dahulu kala dan semua itu tidak memiliki perasaan?!!
Sebuah Contoh yang Lain
Para pendukung Marxisme mengatakan, "Selama tidak dapat dirasakan dan dieksperimentasikan, maka sesuatu tersebut tidak dapat kami terima. Dengan demikian, kami tidak dapat mempercayai keberadaan Tuhan, malaikat, ruh, dan sejenisnya.
Sebabnya, kami hanya mengenal dan mengetahui segala sesuatu hanya melalui perantaraan panca indera dan uji coba (eksperimen)!!"
Jawaban kita yang kita berikan kepada mereka, "Kalian mampu meneliti dan mengambil sebuah kesimpulan bahwa dalam ratusan abad yang silam, manusia hidup secara bersama-sama dalam berburu binatang dan memakan, juga hidup bersama dalam kondisi ketiadaan kepemilikan serta pemerintahan. Kemudian tibalah masa perbudakan, dan beberapa lama kemudian muncul kepemimpinan kepala suku dan seterusnya."
Bentuk pertanyaan kita ialah, "Sekarang ini, kalau memang kalian mampu mengetahui adanya kehidupan bersama pada ratusan abad yang lalu, apakah semua itu dapat kalian sentuh dan diujicobakan (eksperimen)?" Mereka menjawab, "Tidak, tetapi kami mengetahui semua itu dari berbagai jejak serta tanda-tanda yang ada."
Kita akan mengatakan, "Sebagaimana kalian mengetahui sejarah kehidupan manusia purbakala melalui perantaraan jejak dan tanda-tandanya, kami juga mengetahui jejak dan tanda-tanda Allah. Kalau saja berkat jejak dan tanda-tanda Kita pada akhirnya dapat menerima adanya suatu kenyataan, tentu tak ada beda antara jejak serta tanda-tanda yang menunjukkan adanya kehidupan manusia purbakala dengan jejak dan tanda-tanda yang menunjukkan adanya Allah Yang Mahaagung. Apakah sarana serta instrumen untuk mengetahui keberadaan segala sesuatu hanyalah panca indera dan pengujicobaan semata? Apakah hanya dengan mengetahui jejak dan tanda-tanda keberadaan, kita tidak akan mengetahui berbagai permasalahan?
Apabila kita benar-benar cermat dalam berpikir, kita akan mengakui bahwasannya sebagian besar dan pengenalan kita terhadap berbagai hal merupakan hasil dari penelaahan terhadap berbagai jejak dan tanda-tanda.
Sebuah Penjelasan yang Lain
Sebagian pihak enggan mengakui keberadaan akal dan fitrah sebagai salah satu sarana untuk mengenal Allah. Mereka melontarkan berbagai alasan serta pandangan tentang asal muasal munculnya keimanan. Pada intinya, mereka berkeyakinan bahwa Keimanan bersumber dari kebodohan!
Penjelasannya sebagai berikut: Pada saat tertimpa berbagai musibah dan bencana yang tidak diketahui sebab-musababnya, seseorang segera berkhayal bahwa memang ada sesuatu yang disebut dengan Tuhan. Karenanya, di mana dan kapan saja seseorang menghadapi permasalahan yang secara ilmiah tidak dapat diketahui, segera saja akan mengatakan, "Ini merupakan perbuatan Allah."
Dari sinilah munculnya keyakinan terhadap adanya Tuhan. Jujur saja, ungkapan-ungkapan semacam ini sesungguhnya telah sedemikian lama lenyap di telan masa. Bahkan sejiak awal dirumuskan, tak seorangpun yang sudi mendengarnya. Sebab:
1. Seandainya asal muasal keimanan kepada Allah merupakan sebuah kebodohan, tentu dengan semakin bertambahnya ilmu, iman seseorang akan semakin berkurang! Dan begitu mengetahui faktor penyebab terjadiriya sebagian bencana alam, ia tidak akan lagi beriman kepada Allah. Padahal kita mengetahui bagaimana para ilmuwan semacam Galileo (Galilei), (Albert) Enstein, atau Ibnu Sina yang berhasil mengungkap sebab-sebab kejadian alam tetap memiliki keimanan kepada Allah. Benarkah ketika sebagian hukum alam berhasil disingkapkan, kita tidak lagi butuh kepada pencipta hukum tersebut.
Umpama, kita berhasil menyingkap sebuah hukum alam yang disebut dialektika (formula perjalanan sejarah yang terdiri dari unsur tesis, antitesis, dan sintesis). Lantas, apakah dengan temuan semacam itu kita tidak lagi menyakini keberadaan pembuatnya?
Jika memang demikian, ketika menemukan sejumlah uang di tengah jalan, janganlah kalian bertanya, "Uang ini jatuh dari kantong siapa?" Apakah hanya dengan menyingkap dan menemukan (berbagai hukum alam), lalu habis perkara?!
Mengapa Timbul Kelompok Anti-Allah dan Anti-Mazhab?
Jawaban:
1. Seseorang tentunya bisa memperuleh pengetahuan serta kejelasan tentang keberadaan Allah hanya dengan cara memperhatikan sebuah sel, atom, ataupun sehelai daun. Asalkan, ia memang benar-benar memiliki keinginan untuk mengenal Allah. Adapun seseorang yang tidak berkeinginan untuk mengenal Allah, sekalipun sering menyaksikan jejak dan tanda-tanda keberadaan-Nya, tidak akan pernah mengenal dan merasakan keberadaan-Nya.
Agar mempermudah Pernahaman kita, perhatikanlah beberapa contoh di bawah ini.
a).  Seorang penjual hati (hewan sembelihan), setiap harinya memotong dan mengiris-iris berpuluh-puluh potong hati, untuk kemudian dijual ke pasar. Namun, sesungguhnya ia tidak mengetahui adanya urat halus yang melekat pada jaringan hati tersebut. Wajar, ia memang tidak berminat untuk meneliti keberadaan urat halus tersebut.
b).  Seorang penjual cermin yang rambutnya acak-acakan. Sekalipun sejak pagi sampai petang sudah ratusan kali memandangi cermin jualannya, tetap saja ia tidak merapikan rambutnya yang acak-acakan tersebut. Dalam keadaan itu, ia tidak akan sempat memikirkan kerapihan rambutnya, lantaran terlampau sibuk menjual cermin-cermin itu.
c).  Cobalah Anda bertanya kepada seseorang yang tengah mengelap kaca sebuah jam, "Waktu azan dhuhur tinggal berapa menit lagi?" Tentu ia terlebih dahulu akan menengok kepada jam tersebut. Mengapa? Sebab, sampai saat itu, ia begitu sibuk membersihkan kaca jam tersebut dan tidak memiliki tujuan untuk mengetahui waktu yang ditunjukkannya.
d).  Seorang tukang kayu yang senantiasa membuat tangga, belum tentu pernah memanjat tangga yang dibuatnya. Sementara boleh jadi, seorang tukang batu yang membeli tangga tersebut justru telah ribuan kali memanjatnya.
Dari contoh-contoh di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa bila seseorang tidak berkeinginan untuk mengenal atau mengetahui sesuatu, mustahil ia dapat mengenal dan mengetahuinya.
Pabila seseorang telah menyaksikan jejak dan tanda-tanda Allah, namun tetap saja tidak memiliki keimanan, itu tak lain dikarenakan tujuan atas kajian serta penelitiannya bukanlah untuk mengenal Allah.
2. Anda pasti telah mengetahui bahwa jika kehidupan kita sejak awal telah dipenuhi berbagai kenikmatan, tentu kita tidak akan Pernah merasakan adanya sesuatu yang baru (berkenaan dengan jenis kenikmatan—pent.).
Dalam kehidupan ini, kita senantiasa melihat berbagai jejak dan tanda-tanda Allah. Namun, justru karena itulah kita tidak mengingat dan bersyukur kepada-Nya. Sebabnya, sudah sejak awal kita telah hidup dalam dan dengan berbagai kenikmatan. Sebagai contoh:
Sampai detik ini, Anda belum bersyukur kepada Allah atas keberadaan ibu jari Anda, dikarenakan sejak awal, ibu jari tersebut telah menyertai Anda. Namun, seandainya dalam beberapa saat ibu jari tersebut tidak berfungsi, atau terpotong, Anda tentu akan segera menyadari bahwa tanpanya, Anda tidak dapat memasukkan kancing baju ke dalam lubangnya (sekarang ini juga Anda dapat mencoba dan membuktikan kebenaran ungkapan tersebut).
Ya, lantaran terus tenggelam dalam samudera berbagai kenikmatan, kita menjadi lalai terhadap keberadaan Allah. Salah satu filosofi dari terjadiriya bencana adalah sebagai wahana peringatan serta penyadaran.
Al-Quran mengatakan bahwa terkadang Tuhan menimpakan berhagai kejadian yang tidak menyenangkan kepada sekelompok orang, “....supaya mereka tunduk merendahkan diri,” (la’allahum yatadharra’ûn) (al-A'raf: 94), yakni agar mereka sadar dan merendahkan diri.
Al-Quran senantiasa memerintahkan manusia untuk senantiasa mengingat berbagai kenikmatan dan pertolongan llahi. Kita sendiri menyaksikan bagaimana dalam memanjatkan doanya, para wali Allah senantiasa mengungkapkan secara satu persatu berbagai kenikmatan yang telah  dianugerahkan Allah kepada mereka. Misalnya dikatakan, "Engkaulah Yang mengubah kami dari kecil menjadi besar, bodoh menjadi pintar, sedikit menjadi banyak, miskin menjadi kaya, sakit menjadi sehat, dan...."
Sebelumnya telah dikemukakan sekitas pembahasan berkenaan dengan mengingat Allah. Karenanya, dalam kesempatan ini saya tidak akan mengulanginya kembali.
3. Penyebab larinya sebagian pihak dari agama dan mazhah adalah adanya berbagai khurafat yang dijejalkan ke dalam agama oleh sejumlah sahabat yang bodoh dan culas. Sebagai contoh, jika kita memberi segelas air yang ada lalatnya kepada seseorang yang sedang kehausan, tentu ia tidak akan bersedia meminum air tersebut, hahkan mungkin langsung membuangnya.
Begitu pula halnya dengan keberadaan agama. Apabila sebuah agama dipenuhi khurafat, tentu orang akan enggan menganut dan mengikutinya. Karena itu, Janganlah kita sampai lengah terhadap segenap ulah sebagian Muslimin yang menyusupkan pelbagai khurafat ke dalam agama. Sebab, semua itu akan menyebabkan masyarakat kabur dari agama.
4. Pengaruh lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab terjadiriya penyimpangan manusia dari ajaran agama. Secara fitriah, manusia tidak menyukai, bahkan amat membenci, tindak pencurian. Selain pula memandang buruk berbagai bentuk pengkhianatan. Namun, jika seseorang hidup dalam sebuah lingkungan atau habitat di mana masyarakat sekelilingnya rata-rata “berprofesi” sebagai maling dan suka berkhianat, niscaya ia akan terpengaruh juga.
5. Lari dari tanggung jawah. Adakalanya ketidakpedulian seseorang terhadap agama disebabkan adanya keinginan untuk menghindar dari tanggungjawab. Hal ini memang masuk akal.
Sebab, tatkala menerima dan memeluk agama, seseorang juga mesti menerima sederetan ikatan dan kekangan. Konsekuensi semacam ini tentu bertolak-belakang dengan keinginan orang-orang yang tergila-gila pada  prinsip kebebasan mutlak dalam menjalani kehidupannya. Orang semacam itu tentu tidak akan mau peduli dan bersikap curiga terhadap agama.
Padahal, mereka tidak menyadari bahwa dengan tidak mengindahkan berbagai perintah Allah, berarti mereka telah menerima bentuk lain dari pengekangan dan perbudakan. Seseorang yang enggan menjadi hamba-Nya, pada saat yang sama akan menjadi hamba sesuatu yang lain. “Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung...” (al-Hajj: 31)
Seseorang yang bergerak menuju kepada Selain Allah diibaratkan seolah-olah terhempas dari tahta langit ke permukaan bumi, untuk kemudian dikelilingi burung pemakan bangkai yang masing-masingnya mencabik-cabik tubuhnya dan membawanya terbang jauh.
6. Pembangkangan. Dorongan fanatisme, nafsu, dan egosime yang berkobar-kobar dan menghanguskan jiwa, akan menjadikan seseorang gemar melancarkan penolakan, pembangkangan, serta meremehkan ajaran agama samawi.
7. Tidak adanya penyampaian (tablîgh) secara benar. Pelbagai bentuk penyampaian yang keliru atau sesat menjadi salah satu faktor kuat yang bisa mendorong orang-orang tidak bersimpati kepada agama.
Keharusan Adanya Agama
Kehidupan yang dijalani manusia tentu akan senantiasa disertai dengan program tertentu. Namun darimanakah asal muasal program, rancangan hidup, kebahagiaan, serta perkembangannya?
Di sini terdapat tiga cara yang bisa ditempuh:
1.  Memilih dan menentukan program menurut selera kita.
2.  Kita menyusun berbagai program tersebut menurut tuntutan dan desakan masyarakat.
3.  Dengan berprinsip pada penyerahan diri secara total kopada Allah, program kehidupan yang kita rancang semata-mata bersumber dari-Nya.
Evaluasi terhadap Cara Pertama
Cara pertama jelas keliru. Sebabnya, pengetahuan manusia amatlah terbatas. Dikarenakan keterbatasan itulah, dirinya menyaksikan ratusan kekeliruan yang telah diperbuatnya sendiri di masa silam. Selain itu. setiap saat, hawa nafsu yang bersemayam dalam diri seseorang akan senantiasa mendorongnya ke suatu arah tertentu.
Dalam kondisi semacam ini, apakah layak jika seseorang menentukan cara yang akan ditempuhnya—cara mana yang akan menjadi faktor penentu apakah dirinya akan meraih kebahagiaan ataukah kesengsaraan abadi—semata-mata berdasarkan akal pikiran yang tidak sempurna dan persediaan ilmu yang sangat terbatas?!
Evaluasi terhadap Cara Kedua
Sebagaimana cara pertama, seseorang yang menempuh cara kedua juga tidak akan pernah bisa meniti jalan kehidupannya dengan stabil. Sebabnya, keberadaan masyarakat terdiri dari kumpulan individu-individu yang berbeda-beda keinginan serta selera. Selain itu pula, keinginan atau selera masing-masing individu masyarakat pasti mengandungi kekeliruan, kelalaian, dan keterbatasan.
Berkenaan dengan selera atau keinginan saya, inisalnya, tak ada satupun argumen meyakinkan yang mengharuskan saya untuk menanggalkan atau mengabaikannya. Atau tak ada keharusan untuk menyerahkan kebebasan saya, untuk kemudian menjadi budak orang lain yang tidak saya kenal. Sebabnya, mereka tidak mengetahui konsepsi kebahagiaan abadi saya, dan juga tidak jelas mengetahui kebahagiaan apa yang saya inginkan.
Evaluasi terhadap Cara Ketiga
Hanya inilah cara yang benar. Kalau kita, umpamanya, memiliki sebuah mobil, tentu kita akan menyerahkan seluk-beluk mobil tersebut kepada seorang ahli otomotif. Atau terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan tubuh kita, pasti kita akan mempercayakannya kepada seorang dokter.
Semua itu didasari alasan bahwa mereka lebih tahu ketimbang kita. Dengan demikian, segenap program kehidupan yang kita jalani ini harus kita serahkan sepenuhnya kepada Allah. Sebab, Dialah yang paling mengetahui serta paling menyayangi diri kita.
Program dan Rancangan Umum Agama
Rancangan umum yang terkandung dalam agama dapat diungkapkan dalam beberapa kalimat. Menurut ungkapan salah seorang teman, "Sebagaimana kita yang mengerahkan segenap daya upaya kita terhadap sebuah mobil, demikian pula halnya dengan agama dalam memperlakukan manusia."
Maksudnya, dalam memproduksi sebuah mobil, kita mesti melewati beberapa fase berikut:
1. Mencari dan menemukan lokasi barang tambang.
2. Menggali dan mengeluarkan barang tambang tersebut.
3. Membuat bagian-bagian mobil.
4. Memasang dan merakit bagian-bagian tersebut.
5. Mobil jadi tersebut dioperasikan seorang sopir yang mahir berkendara.
Rancangan umum dan peran agama terhadap diri manusia pada dasarnya mirip dengan kelima poin di atas:
1. Menemukan (jati diri) manusia. Seseorang yang lupa pada jati dirinya niscaya akan kehilangan jalan, pembimbing, dan tujuan hidupnya. Dalam keadaan demikian, ia telah menjelma menjadi seekor binatang. Tujuan hidup yang ada dalam pikirannya hanyalah mencari dan memenuhi kesenangan dan kenikmatan duniawi serta materi. la tak ubahnya seonggok mayat. Kebenaran apapun tidak akan sanggup menggoreskan pengaruh pada dirinya. la menjadi begitu buas bak seekor serigala, licik seperti seekor rubah, maling layaknya seekor tikus, sementara hatinya membatu. Karenanya, jati diri yang hilang harus segera dicari dan ditemukan kembali, sehingga seseorang mampu menemukan dan mengenali dirinya sendiri.
Salah satu upaya agama berkenaan dengan kondisi semacam itu adalah memberi penjelasan kepada manusia tentang potensi dan kemampuan yang bersemayam dalam dirinya. Selain itu, agama juga akan mengenalkan seseorang pada hakikat keberadaannya sendiri. Dalam al-Quran, kita dapat menjumpai penjelasan Islam tentang hakikat manusia. Al-Quran mengatakan:
a.  Engkau adalah khalilah (wakil) Allah di jagat alam ini. “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. (al-Baqarah: 30)
b. Segenap yang ada di langit dan di bumi diciptakan demi kepentinganmu. “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang dilangit dan apa yang di bumi?” (Luqman: 20)
c. Engkau (manusia) adalah pemegang amanat Ilahi. “Dan dipikullah amanat itu oleh manusia”. (al-Ahzab: 72)
d. Dalam dirimu bersemayam ruh Allah yang ditiiupkan-Nya. “Dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaab)-Ku”. (al-Hijr: 29)
e.  Kami memuliakan manusia. “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam”. (al-Isra`: 70)
f.  Kami menganugerahkan manusia berbagai kelebihan. “Dam Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (al-Isra': 70)
Dalam al-Quran juga tercantum peringatan yang menyatakan janganlah sekali-kali engkau lupa pada dirimu sendiri, menghilangkannya, merugi, tidak memperoleh keuntungan dalam perdaganganmu, engkau jual dirimu dengan harga yang begitu murah, engkau gadaikan dirimu kepada pembeli yang tidak layak.
Melalui perumpamaan berbagai burung dan nasib yang menimpa orang-orang yang merugi, al-Quran hendak memberi contoh dan teladan agar manusia mampu mengetahui adanya sejumlah potensi dan kemampuan terpendam dalam dirinya sehingga ia bisa berpikir jernih dan bertanya kepada dirinya sendiri: "Jika kehidupan saya ini hanya demi mengejar materi, berfoya-foya, dan memenuhi tuntutan nafsu kebinatangan semata, lantas apa gunanya berbagai kecerdasan, potensi, dan harapan yang terdapat dalam diri saya?"
2. Usaha agama yang kedua adalah mengeluarkan barang tambang (jati diri manusia) yang telah ditemukan tersebut. Setiap manusia harus dibebaskan dari berbagai belenggu kelaliman, kebodohan, penyimpangan, syirik, dan....."Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)."(al-Baqarah: 257)
3. Sementara itu usaha agama yang ketiga berkisar pada pembentukan kepribadian serta penyusunan berbagai program peribadahan, ketakwaan, pengembangan sifat-sifat mulia, dan penyempumaan manusia.
4. Adapun usaha agama yang keempat adalah merakit dan menghubung-hubungkan berbagai bagian yang sudah jadi tersebut sehingga terbentuk sebuah pemerintahan Ilahi yang memiliki undang-undang yang lengkap dan jelas dalam berhagai aspek. Upaya semacam ini yang dijalankan Rasulullah saww di Madinah. Pemerintahan yang sudah terbentuk itu pada gilirannya menggabungkan segenap individu demi menggalang kekuatan dan menyiapkan rancangan kehidupan bersama. Dalam membentuk masyarakat yang Islami, agama menentukan berbagai standar, tujuan, simbol, dan slogan yang khas.
5. Sedangkan usaha agama yang kelima atau yang terakhir adalah menyerahkan masyarakat yang telah terbentuk tersebut kepada seorang pemimpin yang layak. Sembari itu, (agama) memerintahkan agar manusia segera memutuskan berbagai bentuk belenggu keterikatan.
Selain itu, agama juga bersumpah untuk tidak menyantuni berbagai individu atau kelompok yang rusak (fâsid), gemar berfoya-foya, bersikap congkak, berperilaku lalim, bodoh, dan sejenisnya.
Menyerahkan sebuah masyarakat untuk hidup di bawah kepemimpinan seseorang yang tidak maksum (terjaga dari berbagai kesalahan) sesungguhnya sama dengan bertindak zalim dan menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan.
Kesimpulannya, agama merupakan subjck yang menentukan program universal yang terdiri dari "pandangan", "usaha" serta "sistem" yang layak dan sesuai dengan standar khusus ketuhanan bagi kehidupan manusia, baik secara individual maupun secara sosial.
Hakikat dan Dimensi-Dimensi Ketauhidan
Dalam wawasan Islam, istilah "tauhid" memiliki makna yang sangat agung dan luas. Kalangan cendekiawan Muslim pada umumnya menggolongkan jenis-jenis ketauhidan menjadi "tauhid dalam zat" (dzati), "tauhid dalam sifat" (sifati), dan "tauhid dalam perbuatan" (fi’li). Namun, sayang, ternyata ada sebagian pihak yang justru menyalahgunakan istilah yang suci ini -sebagaimana mereka juga sering melakukannya terhadap pelbagai hal suci lainnya. Mereka menjadikan istilah tauhid sebagai slogan semata, seperti masyarakat yang tauhid, tentara yang tauhid dan sehagainya. Padahal, sesungguhnya mereka hendak menggunakan semua itu sebagai pembenaran terhadap sistem sosial komunisme yang mereka junjung tinggi-tinggi berupa kepemilikan bersama dan penghapusan kasta (penyamarataan).
Akan tetapi, berkat perjuangan ilmiah Imam Khomeini— yang merupakan pemimpin revolusi— dan kalangan cendekiawan lainnya, mereka berhasil menyingkap hakikat kelompok minoritas tersebut dan menyelamatkan istilah suci ini dari penyalahgunaan dan pemutarbalikan yang mereka upayakan.
Dalam pembahasan kali ini —seraya tidak menyertakan sebagian istilah yang berhubungan dengan ketauhidan— saya akan menyampaikan semua itu kepada para pembaca yang budiman. Dengannya, kita hendak mengaca diri agar kita mengetahui dengan jelas seberapa jauh sebenarnya diri kita berada dalam lingkup ketauhidan.
Arti tauhid adalah mengakui hanya Allahlah "Yang merupakan Raja bagi manusia", beriman kepada ketunggalan Allah dan meyakini Allah itu Esa. Dalam maknanya yang lain, tauhid berarti menafikan berbagai nafsu. Seseorang yang memuja nafsunya berarti telah keluar dari lingkup ketauhidan, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya”. (al-Jâtsiyah: 23)
Orang-orang yang tunduk pada desakan hawa nafsunya (yang keliru) pada hakikatnya telah menuhankan hawa nafsu itu sendiri.Tauhid berani pula penolakan dan penentangan terhadap kepemimpinan tiran dan lalim. Slogan dan tujuan para nabi adalah; “Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Semabhlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut’”. (a]-Nahl: 36)
Dalam riwayat dituturkan bahwa setelah Imam Ali Ridha menerima dengan penuh keterpaksaan jabatan waliy al-ahd (pewaris kerajaan) dari Makmun, beliau menyampaikan sebuah pernyataan yang sangat tegas dalam suatu pertemuan yang diadakan secara terang-terangan dan dihadiri seluruh masyarakat. Pernyataan terebut pada intinya menegaskan bahwa dalam tubuh pemerintahan Makmun, beliau tidak mau ikut campur tangan dalam urusan pengangkatan atau pemecatan seseorang.
Tauhid juga bermakna tidak mengakui berbagai hal yang digariskan pihak Barat maupun Timur, dan menghalangi serta menolak mentah-mentah keberadaan sistem yang dibangun berdasarkan konsep pemikiran orang-orang serakah.
Makna tauhid lainnya adalah merobek dan memutus seluruh jalinan berbagai faktor yang menyebabkan kaum Muslimin terpinggirkan dan jatuh di bawah penguasaan orang lain. Tauhid juga bisa dimaknai dengan tidak mengamini segenap perintah yang bertentangan dengan perintah Allah.
Makna lain dari tauhid adalah menenma kepemimpinan para individu yang disepakati dan diabsahkan Allah. Dalam pengertian lain, tauhid berarti tidak melanggar segenap perintah Allah; menyerahkan diri secara total dan menjadi hamba-Nya. Tauhid juga bisa diartikan sebagai upaya merontokkan seluruh berhala yang bersemayam di dalam dan di luar diri; berhala gelar, titel, kedudukan, harta, harta (yang mana semua itu berpotensi untuk menglealangi kita menerima dan berada dalam kebenaran).
Dan akhirnya, tauhid adalah tidak adanya hubungan dan keterikatan dengan berbagai pihak yang memaksa kita untuk meniti jalan kebatilan dan kerusakan. Hubungan dan keterikatan yang dijalin hanya dilakukan terhadap mereka yang membimbing manusia di atas jalan dan kerelaan Allah.
Sistem ekonomi bernuansa tauhid akan senantiasa menyandarkan proses produksi, pemasaran, pengkonsumsian, dan pengelolaan kepada syariat Allah semata. Barisan tentara beratribut tauhid akan selalu konsisten dalam menjaga dan mempertahankan berbagai ilmu pengetahuan, berpengalaman, memiliki kemahiran dalam menyerang, serta ahli taktik dan strategi perang.
Di samping itu, tentara tauhid senantiasa memperhatikan tuntunan dan tuntutan Ilahi dalam berbagai kondisi, baik ketika marah atau gusar, maupun dalam keadaan tenang. Prinsip dan tujuan yang mendasari gerak-gerik tentara tauhid bukanlah egoisme, balas dendam, perluasan negeri, ataupun pengerukan keuntungan.
Namun, semata-mata demi menegakkan kalimat yang hak (benar) dan memperluas pengamalan ajaran-ajaran Ilahi. Tujuannya hanyalah menjadikan orang-orang yang tadiriya lalim untuk melaksanakan hukum-hukum Allah. Selain pula bertujuan untuk menolong kaum yang tertindas, mempertahankan kehomratan, harta,jiwa, dan raga, diri sendiri serta keluarga, dan berusaha keras menjaga wilayah perbatasan (negara).
Seorang komandan tentara tauhid memiliki hubungan dengan wakil Imam yang ma’shum (suci dari dosa), berorientasi pada tujuan yang benar, serta menjadikan pasukannya rela mati syahid. Karir ketentaraan orang semacam itu jelas merupakan sebuah ibadah. Makna sesungguhnya dari tentara tauhid bukanlah dengan menghapus dan meniadakan hierarki kepangkatan dan kelebihan masing-masing serdadu (umpama dalam hal pengalaman, keahlian, kecakapan, dan ketangkasan bertempur) atau bahkan berani membangkang perintah atasan. Memang kita tak bisa menutup mata terhadap adanya sejumlah pihak yang berniat jahat dengan mengatasnamakan tentara taulnd. Pada hakikatnya, mereka bertujuan hendak melunturkan wibawa dirias ketentaraan itu sendiri. Dan berkat pertolongan Allah serta kecakapan pemimpin revolusi yang agung (Imam Khomeini),semua itu berhasil digagalkan.
Masyarakat bertauhid merupakan masyarakat yang dipimpin seseorang yang memang telah memenuhi pelbagai syarat dan standar Ilahi (ilmu, takwa, jihad, pengalaman. amanat, kecakapan, dan kemampuan). Dengan kata lain, figur pemimpin masyarakat bertauhid tidak boleh mengacu pada pelbagai kriteria non-llahi (seperti paksaan, kesukuan, teman dekat, dan sejenisnya)
Dalam masyarakat bertauhid, undang-undang yang diberlakukan hanyalah undang-undang yang bersumbei dari Allah semata. Semua masyarakat tentu wajib mematuhi dari melaksanakannya. Dalam pada itu, semua orang, tanpa pandang bulu, memiliki kedudukan yang sama di mala hukum. Pemberlakuan undang-undang tersebut pada gilirannya akan melenyapkan segenap tujuan yang sia-sia. Selain mencegah terjadiriya perpecahan di tengah-tengah masyarakat.
Nampaknya, pelbagai bentuk pengertian tauhid di atas sudah melingkupi, sempurna, luas, dan benar. Persoalannva sekarang, siapakah orang atau masyarakat yang telah mencapai peringkat tauhid semacam itu? Juga, bagaimana cara mencapai puncaknya?
Kita tentu tidak bisa menganggap enteng sabda Rasul saww, “Ucapkanlah, tiada Tuhan selain Allah, maka kalian akan mendapatkan kemenangan”. Sebabnya, hasil yang akan dipetik dari menggaungkan dan mewujudkan slogan tersebut adalah tuflihû (maka kalian akan mendapatkan kemenangan).
Al-Quran menegaskan bahwa hasil akhir dari semua upaya tersebut tak ada lain kecuali kemenangan. Karenanya, kita dapat memahami bahwa tujuan seluruh peribadahan adalah demi menggapai ketakwaan sejati, “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”. (al-Baqarah: 21)
Wahai masyarakat, beribadahlah kepada Tuhan yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. Akan tetapi, ketakwaan itu sendiri bukanlah sebuah fase perjalanan paling akhir.
Ketakwaan tak lebih dari sebuah pintu gerbang yang harus dilalui demi meraih kemenangan akhir. Semua itu sesuai dengan pernyataan yang termaktub dalam al-Quran; “Maka bartakwalah kepada Allah, hai orang-orang yang berakal, agar kalian mendapatkan kemenangan”. (al-Maidah: 100)
Wahai para pemilik akal, bertakwalah kalian kepada Allah agar buah kemangan dapat diraih. Pada dasarnya, jagat alam ini dianugrahkan untuk kita (manusia), sebagaimana penegasan al-Qur’an, sakhkhara lakum (Dia telah menundukkan bagi kalian), atau khalaqa lakum (Dia telah menciptakan bagi kalian).
Sementara itu, kita diciptakan hanya untuk beribadah dan menapaki jalan Allah. Adapun ibadah itu sendiri dipraktikan demi menggapai ketakwaan. Dan ketakwaan tak lebih dan gerbang atau mukadimah dalam meraih falâh (yang secara harfiah berarti zhafar atau kemenangan/keberhasilan).
Dengan demikian, alur kehidupan kita menjadi begitu gamblang: jagat raya ini untuk kita; kita untuk beribadah; beribadah untuk ketakwaan; dan ketakwaan demi meraih kemenangan. Darinya kita pun menjadi tahu, apa arti penting dari falâh (kemenangan). Kemenangan yang dimaksud adalah keterbebasan dari pelbagai belenggu dan ikatan, baik dari musuh luan maupun dalam. Tatkala menjelaskan arti kalimat 'tiada Tulmn selain Allah' dalam suatu kesempatan di dalam kelas, saya membuat sebuah itustrasi. Saya menggambar sebutir biji yang di atasnya ditaburi tanah. Setelah itu, ia pun tumbuh dan menghijau. Berdasarkan itu, saya mengatakan bahwa demi membebaskan diri dari timbunan tanah, biji tersebut harus melewati tiga tahap perjalanan:
1.  Mengikatkan dan menghujamkan akar-akarnya ke dalam tanah.
2.  Menghisap sari-sari makanan dari dalam tanah.
3.  Mendorong dan menyibakkan serpihan-serpihan tanah yang menutupi dirinya.
Kemudian, saya menyatakan bahwa jika manusia berkeinginan untuk tumbuh, ia juga harus melintasi tiga fase yang tidak dipisahkan antara satu sama lain:
1.  Pertama-tama, ia mesti memiliki akidah dan ideologi fundamental yang ditopang oleh pelbagai argumen yang masuk akal.
2.  la harus memiliki sejumlah sarana dan tenaga yang memadai untuk mendorong dan mendukung kemajuan serta perkembangan dirinya.
3.  la juga harus menyingkirkan pelbagai rintangan yang melintang di tengah jalan yang sedang dilaluinya sehingga dirinya menjadi leluasa dalam meraih ketauhidan.
Apabila salah satu dari ketiga fase perjalanan tersebut tidak kita lampaui, maka kita tidak akan pernah mengalami perkembangan, kalau bukan malah akan celaka.
Seandainya akidah kita begitu rapuh dan tidak disangga oleh ilmu dan argumen yang tepat, serta tidak memiliki sarana dan tenaga yang memadai untuk itu, niscaya diri kita perlahan-lahan akan rusak, kcropos, dan kemudian mati membusuk. Ini sebagaimana nasib sebutir biji-bijian yang ditanam di dalam tanah: menjadi busuk ketika salah satu dari tiga fase perajalanan hidupnya luput dilewati.
Sebab-sebab Penyimpangan dari Ketauhidan
Penyebab seseorang menyreleweng dari garis Allah dan ketauhidan antara lain:
1. Tirani dan penindasan. Kedua bentuk perilaku tersebut merupakan faktor pemicu terjadiriya pengalihan rasa takut dalam diri masyarakat (yang tadiriya harus semata-mala ditujukan kepada Allah, kini beralih kepada para tiran dan pihak penindas—pent.). Al-Quran menukil ucapan Fir'aun yang menyatakan bahwa siapa saja yang mengakui dan menerima adanya Tuhan dan kekuatan selain dirinya, maka ia akan menjebloskannya ke dalam penjara.[1] Lantaran rasa takut yang begitu mencekam, akhirnya masyarakat bersikap pasrah dan menyerahkan dirinya menjadi budak dan hamba Fir'aun.
2. Cinta dan kesukaan. Terkadang, proses mencintai dan menyukai sesuatu dapat menyebabkan seseorang lupa kepada Allah. Dalam keadaan demikian, orang tersebut hanya mencurahkan perhatiannya kepada sesuatu atau seseorang yang dicintai dan disukainya. Bahkan tak jarang, sesuatu tersebut menjadi garis orbit aktivitas kecintaan dan kebenciannya.
Kasus semacam itu diituslrasikan dengan begitu indah oleh al-Quran. Dikatakan bahwa orang-orang Yahudi kerap menjadikan para rahibnya sehagai tuhan mereka, seraya mengesampingkan keberadaan Allah. Disebabkan kecintaan serta kesukaan, mereka menjadi begitu patuh pada perintah dan larangan para rahibnya yang berpura-pura cerdik dan pandai. Padahal, para rahib te'sebut menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah.[2]
3. Berpengharapan tidak pada tempatnya. Kondisi demikian akan menyebabkan seseorang menjadikan sesuatu selain Allah sebagai tumpuan harapan demi memperoleh bantuan, pertolongan, atau kemuliaan.
Dalam al-Quran diriyatakan bahwa sebagian orang sesungguhnya tengah berjalan menuju kepada Selain Allah, seraya berharap akan mendapat pertolongan.[3] Dan dalam ayat lainnya dikatakan bahwa mereka berharap kepada selain Allah dalam menginginkan kemuliaan!![4]

Peringatan
Dalam usahanya membelokkan manusia dari garis lurus dan lingkaran ketauhidan, mereka (musuh-musuh ketauhidan) senantiasa menggembar-gemborkan berbagai propaganda dan slogan yang sedemikian memikat, sembari pula menebar janji-janji membuai. Akan tetapi, al-Quran mengatakan bahwa semua itu pada hakikatnya nihil, tidak memiliki arti, dan hanya sebentuk istilah-istilah belaka.[5] Pada masa sekarang, kita bisa menjumpai berbagai istilah yang pada dasarnya membalut usaha diam-diam dalam menyelewengkan umat manusia dari garis perjalanan Islam. Beberapa di antaranya adalah kebebasan, demokrasi, hak asasi, undang-undang internasional, majelis permusyawaratan dan sejenisnya. Padahal, semua itu tak lain hanyalah peristilahan yang tidak memiliki fungsi sama sekali kecuali untuk menjadikan kita sibuk dan terlena.
Bukti Ketauhidan
1. Keserasian
Bukti termudah dan tergamblang tentang ketauhidan adalah keserasian dan keteraturan yang terjalin di antara berbagai ciptaan yang tersebar di jagat alam. Umpama, keserasian yang tercetak pada sebuah bangunan, tulisan dalam sebuah buku atau surat. Semua itu merupakan bukti nyata yang menunjukkan bahwa masing-masing darinya pasti disusun atau ditulis oleh satu orang. Dengan kata lain, semua itu mustahil dilakukan oleh lebih dari satu orang. Ambil contoh, tiga orang pelukis yang masing-masing hendak melukis bagian-bagian dari tubuh seekor ayam jantan yang sama. Sang pelukis pertama melukiskan bagian kepalanya. Sedangkan pelukis kedua melukis kakinya. Dan pelukis ketiga melukiskan potongan tubuhnya.
Setelah itu, ketiga lembar lukisan tersebut kita gabungkan. Pastilah ketiga bagian lukisan ayam tersebut tidak harmonis dan tidak beraturan. Dengan begitu, keserasian, keteraturan, serta keseimbangan yang jalin-menjalin dalam pelbagai ciptaan ini merupakan bukti terbaik dan termudah bagi ketunggalan Sang Pencipta.
Kelemahan dan kekuatan, penyerangan dan pertahanan, kekerasan dan kelembutan, semuanya memang terjalin dalam suatu kesatuan yang membingungkan. Biarpun begitu, kesemuanya ternyata merangkai sebuah sistem yang betul-betul harmonis.
Kita bisa saksikan bagaimana seorang bayi yang lemah dan rapuh dilindungi kekuatan kedua orang tua. Juga kita saksikan bersama, bagaimana batu besar meteor yang jatuh mengarah ke permukaan bumi, namun disebabkan adanya lapisan kuat dan panas yang mengelilingi bumi, menjadikannya tertahan dan terbakar sejak masih di lapisan atmosfer!
Atau juga, bagaimana manusia mengeluarkan karbondioksida (CO2) yang kemudian dibisap tetumbuhan, yang pada gilirannya menghembuskan oksigen (02). Pada prinsipnya, seluruh keberadaan dalam kehidupan ini pasti tak luput dari harmoni dan keteraturan.
Dalam hal penglihatan, mata seseorang harus bekerja sama dengan cahaya yang memancar. Ketika menghadapi berkas cahaya yang begitu kuat, lensa mata seseorang dengan serta merta akan mengecil. Sedangkan kalau pancaran cahaya yang diterima sede






PELBAGAI DAMPAK KESYIRIKAN

Kesyirikan kepada Allah menimbulkan pelbagai dampak buruk. Dalam kesempatan ini, saya akan mengemukakan sebagian saja darinya.

Dampak terhadap Perbuatan

Perbuatan syirik akan merontokkan dan menyapu bersih seluruh amal kebajikan. Dalam ungkapan al-Qur’an, segenap perbuatan baik manusia akan menjadi sia-sia belaka. Tak jarang terjadi, suatu kekeliruan kecil yang dilakukan dalam kehidupan sanggup meruntuhkan dan nenghancurkan berbagai usaha yang dibangun manusia dengan susah payah. Berkenaan dengan itu, beberapa contoh berikut ini kiranya bisa dijadikan bahan renungan bersama.
a). Apabila seorang pelajar yang selalu mengikuti pelajaran dengan tertib dan teratur, namun pada saat ujian dirinya tidak hadir, maka dirinya tidak akan memperoleh ijazah (kelulusan). Dengan demikian, sekalipun memiliki wawasan ilmu pengetahuan yang luas, namun dirinya tidak mendapat pengakuan masyarakat.
b). Atau tentang seseorang yang sepanjang hidupnya senantiasa menjaga kesehatan dirinya. Sekali saja ia menelan racun —kendati dalam kadar yang kecil, maka segenap keperihan usahanya dalam menjaga kesehatan tubuh dengan serta merta menjadi sia-sia.
c). Juga tentang seorang pelajar yang selalu berkhidiriat dan bekerja untuk gurunya. Hanya dikarenakan suatu perbuatan saja -umpama membunuh anak gurunya, seluruh perbuatan baiknya selaina ini menguap dan lenyap begitu saja.
Berbuat syirik kepada Allah laksana meminumracun dan membunuh anak guru. Semua itu sanggup memporak-porandakan seluruh perbuatan baik yang telah dibangun sepanjang hayat. Marilah kita merujuk ayat al-Quran yang mengatakan; “Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”.[1] (Jika mereka berbuat syirik kepada Allah, maka seluruh perbuatan mereka akan sia-sia dan musnah).

Dampak terhadap Jiwa

Tidak diragukan lagi, salah satu penyebab terguncangnya jiwa seseorang adalah perasaan tidak mampu untuk menjadikan seluruh masyarakat rela dan suka terhadap dirinya. Suatu entitas masyarakat terdiri dari berbagai indvidu yang jumlahnya cukup banyak. Masing-masing darinya tentu memiliki keinginan, kebutuhan, dan tuntutan yang berbeda satu sama lain. Karenanya, orang yang hidup di tengah-tengah lalu lintas beragam keinginan dan tuntutan tersebut tak ayal akan mengalaini semacam tekanan dan guncangan kejiwaan. Dirinya akan senantiasa dihantui dilema yang berkepanjangan. Segenap upayanya untuk memenuhi keinginan dan tuntutan suatu individu atau kelompok, mau tak mau, akan menyebabkan ketidaksenangan atau antipati dari individu atau kelompok lain. Dari semua itu, kita kiranya bisa memperoleh pengertian yang cukup mengena tentang bagaimana sebenarnya posisi ketauhidan dan kesyirikan itu sendiri. Seorang muwahhid (percaya kepada Tuhan Yang Esa) hanya melulu memikirkan bagaimana caranya membuat Allah senang dan rela.
Pada saat bersamaan, dirinya tidak memperdulikan sama sekali keinginan serta tuntutan individu atau kelompok. Kalau memang demikian adanya, ia tentu akan memperoleh ketenangan jiwa. Al-Quran, dengan indahnya menyajikan dua contoh berikut:
1. "Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa?"[2] (Apakah dengan memiliki bermacam-macam Tuhan, menjadikan manusia lebih baik ketimbang hanya memiliki Allah Yang Esa, Yang Mahaperkasa?) Dalam keadaan bagaimana jiwa manusia akan diliputi ketenteraman: tatkala hanya memikirkan keridhaan Tuhan Yang Esa semata, ataukah ketika memikirkan kerelaan berbagai individu yang pada hakikatnya memiliki beragam selera dan keinginan?
2. "Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); adakah kedua budak itu sama halnya?" (az-Zumar 29) Contoh ini nyaris mirip—kendati tetap memiliki perbedaan tipis sekalipun—dengan contoh sebelumnya. Akankah ketenangan jiwa dialaini seseorang yang berserah diri kepada satu prang saja? Ataukah ia juga bisa diperoleh oleh orang yang berada di bawah pemeliharaan sejumlah individu yang saling bertikai dan bermusuhan?
Selain itu, harus diakui, kesukaan atau kerelaan orang lain amatlah sulit didapatkan. Sebaliknya, sangatlah mudah mendapatkan kerelaan Allah. Ini sebagaimana yang sering kita lantunkan dalam doa Kumail, “Wahai yang cepat kerelaan-Nya”, wahai Zat Yang cepat merelakan. Satu hal lagi, sekalipun rela atas diri kita, namun orang lain tidak akan begitu saja mengabaikan kelemahan yang melekat pada diri kita.
Hanya Allahlah yang tidak memperdulikan sama sekali berbagai sisi lemah yang menyertai diri kita; sebagaimana kita baca dalam doa, “Wahai Yang menampakkan keindahan dan menutupi kejelekan”, wahai Tuhan, Engkau menampakkan berbagai kebaikan dan menutupi berbagai aib (cela).
Kalau memang demikian, apa gunanya membuat masyarakat rela dan senang kalau semua itu justru menjadikan kita "berjarak dengan ketauhidan" (berada di luar orbit tauhid), bahkan sampai mendorong kita menentang kerelaan Allah?
Apa yang diperbuat masyarakat kepada saya? Selain bertepuk tangan, mengabadikan nama saya menjadi sebuah nama jalan tertentu, menghamburkan berbagai kata pujian dan sanjungan, yang semuanya itu cepat berlalu dan tidak bermakna apapun, apakah mereka mampu melakukan hal lain yang lebih berbobot?
Adakah Selain Allah yang memperhatikan diri saya ketika masih berada dalam perut ibu saya? Tidakkah sekarang ini—detik demi detik—saya berada di bawah tatapan dan perhatian-Nya? Apakah pada hari kiamat kelak saya tidak akan berhadapan dengan-Nya? Lantas, kalau memang demikian, mengapa saya harus mengesampingkan sumber kehidupan (Tuhan) itu sendiri seraya menuruti keinginan Selain-Nya?!!
Ringkasnya, membuat rela (ridha atau senang) dan selalu berhubungan dengan Tuhan Yang Esa—yang cepat merelakan dan sanggup membelokkan hati orang lain kepada diri kita—serta menyerahkan secara total segenap urusan kita mulai dari awal sampai akhir, jelas lebih hakiki ketimbang menjadikan masyarakat (yang jumlahnya teramat banyak dan masing-masing memiliki selera tertentu) merasa rela dan senang. Toh, kerelaan dan rasa senang masyarakat tidak akan memberikan efek yang berarti pada kehidupan kita di masa silain maupun di masa datang.
Al-Quran mengatakan, “Janganlah kamu mengadakan Tuhan lain di samping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah)”.[3]
Dengan adanya Allah, janganlah kalian memuja Tuhan lain. Sebab, itu hanya akan menyebabkan kemunduran, kehinaan, dan keburukan diri belaka. Sepanjang hidup, kita hanya terus berusaha menarik perhatian si anu dan anu. Dan akhirnya kita sadar bahwa mereka hanya mencari manfaat bagi dirinya sendiri.
Sementara, hanya Allah sajalah yang menginginkan agar masing-masing orang mencari dan mengambil manfaat bagi dirinya sendiri.
Tatkala seorang teman kita menjalin pcrsahabatan dengan orang lain (yang lebih bermanfaat bugi dirinya), atau mendapat jabatan pekerjaan yang lebih tinggi (dari kita), maka dengan segera ia akan meninggalkan dan mengabaikan kita yang tengah berkubang dalam kehinaan serta kesengsaraan. Gejala semacam itu ternyata tak cuma terjadi di lingkungan sosial, melainkan juga dalam ruang kehidupan keluarga. Al-Quran mengingatkan bahwa dalam kenyataan, sebagian isteri dan anak-anak justru menjadi musuh yang paling mengancam; “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu”.[4]
Alasannya, mereka (isteri atau anak-anak kita) hanya berambisi mengejar kebahagiaan diri sendiri, dan tidak peduli sama sekali bahwa hasrat dan tindakannya tersebut akan berujung pada kesengsaraan dan kehancuran diri kita.

Dampak terhadap Masyarakat

Dalam kehidupan masyarakat tauhidi (meyakini ketauhidan), segenap kepentingan dan undang-undang yang diberlakukan seyogianya berada dalam satu koridor.
Hukum, undang-undang, dan peraturan hanyalah tunggal; bersumber dari hukum dan undang-undang Allah, sementara seluruh komponen masyarakat tunduk di bawah pemelihara yang tunggal saja. Adapun kehidupan masyarakat musyrik tidak hanya berlangsung di bawah satu bentuk undang-undang. Mereka hidup dan menciptakan ratusan undang-undang.
Dalam keadaan demikian, masing-masing individu akan berusaha mati-matian mempertahankan gagasan (hukum) atau sesuatu yang telah dikemukakannya. Dalam ungkapan al-Quran, “Masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya”.[5]
Dalam masyarakat semacam itu (musyrik), proses penghambaan yang berlangsung terfokus kepada selain Allah, "Sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami."[6] Akibatnya, mereka senantiasa berhasrat untuk saling bersaing satu sama lain, "...dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain."[7]
Lebih dari itu, masing-masing kelompok atau golongan akan berbangga hati terhadap segenap apa yang dimiliki dan dikuasai, seraya tidak mengacuhkan nilai-nilai kebenaran dan kebatilan yang mungkin terkandung di dalamnya. Mereka juga tidak menghargai keberadaan lawan-lawannya (kendatipun lawan-lawan tersebut memiliki tandasan berpikir yang logis dan cerdas).
Dalam henak mereka, yang layak dihargai dan diperhatikan hanyalah tujuan, pendukung, serta simbol yang dijunjungnya. Al-Quran menyatakan, “Tiap-tiap golongan mereka bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”.[8]
Pelbagai perselisihan, pertikaian, propaganda yang tidak pada tempatnya, serta perpecahan merupakan serangkaian gejala (dampak) yang niscaya muncul dalam proses kehidupan masyarakat musyrik.
Al-Quran mengatakan, “Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka danmereka menjadi beberapa golongan”. (ar-Rum: 32)
Janganlah kalian bertindak seperti orang-orang musyrik. Jangan pula kalian menduga bahwa kaum musyrik hanya menyembah berhala. Mereka acapkali menciptakan perpecahan dalam kehidupan agama. Mereka juga sering menjejalkan berbagai kepentingan dan pandangan pribadi ke dalam agama (dengan cara paksa, yang akhirnya akan melunturkan nilai keotentikan serta kesucian agama). Sikap serta tingkah laku yang jelas-jelas bemuansa kemusyrikan semacam itu telah menjadikan hukum Allah sedemikian keruh dan bercampur baur dengan pelbagai kepentingan pribadi.

Akibat Ukhrawi

Buah kesyirikan yang akan dipetik di akhirat kelak adalah kehinaan dan siksa neraka. Kita tentu sering mendengar dan membaca pernyataan al-Quran tentang seruan yang bergaung di hari kiamat yang ditujukan kepada orang-orang musyrik; “Selaina di dunia kalian mengikuti selalin Allah, dan kalian mengira bahwa mereka mampu menyembuhkan yang sakit. Sekarang, kalian tengah berada dalam kesulitan, mintalah kepada mereka agar memberikan jalan keluar”. Dalam surah al-Isra (ayat ke-39) difirmankan, “Dan janganlah kamumengadakan Tuhan lain di samping Allah yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah)”.
Jangan sampai kalian berjalan menuju kepada selain Allah. Sebab, kalau itu dilakukan, kalian akan dilemparkan dengan penuh hina ke dalam kobaran api neraka.

Berbagai Figur Ketauhidan

Di antara pelbagai ciri khusus pernyataan al-Quran yang cukup menarik ditelaah, selain memerintah dan melarang, adalah memperkenalkan figur, sosok panutan, atau model. Umpama, pernyataan tentang isteri Fir'aun yang merupakan figur sekaligus teladan orang-orang yang beriman.
Sebagaimana diketahui, isteri Fir'aun sanggup bertahan hidup (dalam kebajikan) sekalipun dikepung oleh situasi yang penuh tipu daya dan marabahaya. Dirinya tetap tegar dan tidak sampai terpengaruh harta dan kedudukan sang suami (Fir'aun). Bahkan, imannya justru menjadi semakin kokoh. la senantiasa memohon kepada Allah agar dirinya terbebaskan dari keadaan yang menghimpitnya.[9]
Contoh lain yang juga bisa dijumpai dalam al-Quran adalah pernyataan yang berkenaan dengan sosok orang kafir. Salah satunya, isteri Nabi Nuh as. Sungguh, betapa keras pembangkangan dan perlawanan yang dilakukannya terhadap Kebenaran. Dalam pada itu, hawa nafsu telah betul-betul menaklukan dirinya sehingga menghalangi jalan masuk bagi hidayah (petunjuk).[10] Sekalipun mendiami rumah tempat turunnya wahyu, dan senantiasa berada di bawah pemeliharaan Nahi Nuh as, namun dirinya tetap berkubang dalam kekafiran.

Pahlawan Ketauhidan

Dalam kesempatan lain, al-Quran menampilkan sosok Nabi Ibrahim as dengan mengatakan, “Dan bukanlah ia termasuk orang-orang musyrik”.[11] Nabi Ibrahim bukanlah seorang musyrik. Sekarang, tengoklah kisah dan sejarah Nahi Ibrahim as, kemudian bukalah satu per satu lembaran hidup beliau. Sungguh, kita akan mengetahui dengan jelas, betapa beliau hidup sebagai pahlawan ketauhidan.
Nabi Ibrahim as senantiasa berserah diri kepada Allah. Beliau tak pernah gentar dalam menghadapi pelhagai rintangan yang menghadang. Bahkan, beliau senantiasa berhasil melainpaui dan mengatasi ujian-ujian Ilahi.[12]
1. Berkenaan dengan putera kecintaannya, Ismail, yang lahir setelah menunggu selaina seratus tahun. Pada suatu ketiku Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih Ismail yang kala itu masih belia. Disertai kepasrahan diri yang total kepada Allah, beliau (Nabi Ibrahim) langsung melaksanakan perintah tersebut tanpa pikir panjang lagi.
Dalam hal ini, beliau lebih mengutamakan pelaksanaan tugas dan amanat di pundaknya, ketimbang orang yang dicintainya. Inilah salah satu hukti bahwa beliau berhasil menghancurkan berhala hawa nafsu yang bersemayam dalam dirinya.
Dengan hati yang tegar, beliau membaringkan Ismail, seraya menempelkan sebilah belati yang tajam di leher puteranya tersebut. Sebelum belati itu mengoyak leher Ismail, mendadak Allah mewahyukan, "Hentikan! Semua itu hanyalah ujian." Dengan demikian, dalam upayanya menghancurkan berhala dalam diri, beliau sukses menggapai kemenangan.[13]
2. Dalam upayanya melawan pemimpin yang zalim, Nabi Ibrahim berhasil menjatuhkan raja Namrud dengan menggunakan senjata argumen dan hujjah.[14]
3. Dalam upayanya menghancurkan pelbagai patung dan berhala fisik, beliau tanpa diliputi rasa takut menghadapi para penyembah bulan, matahari, dan bintang. Saat itu, argumentasi yang dilontarkan beliau adalah, "Saya tidak suka kepada yang tenggelain (innî lâ uhibbul âfilîn)." Berkat argumen tersebut, beliau berhasil menyingkirkan debu-debu tebal yang menyelubungi fitrah mereka selaina ini.[15]
4. Beliau juga memutuskan hubungan dengan kaum kerabat dekat dikarenakan Allah.[16]
5. Demi keagungan agama Allah, beliau rela mengorbankan Isteri dan anaknya yang masih menyusui.[17]
6. Dirinya tak pernah merasa putus asa (tatkala dilemparkan ke dalam kobaran api).[18]
Seluruh topik di atas yang berkenaan dengan pribadi agung tersebut telah diuraikan secara rinci dan gamblang dalam berbagai ayat al-Quran. Karena itu, untuk mempersingkat pembahasan, saya rasa cukup menyebutkan nama serta nomor surat-surat tersebut pada catatan kaki buku ini.

Suka Pamer (Riya')

Dalam hadis Nabi saww disabdakan, “Segala bentuk riya` adalah syirik”. Kesyirikan memiliki tingkatan-tingkatan. Kadangkala, ia nampak dalam suasana yang terang benderang, sebagaimana yang melekat pada diri para penyembah berhala, matahari, dan bulan.
Kadangkala pula, ia begitu tersembunyi, sampai-sampai seseorang tidak menyadari keberadaannya. Dalam hadis Nabi saww yang berkenaan dengan masaeah kesyirikan dan keikhlasan, terselip penjelasan yang amat mengagumkan seputar bentuk-bentuk kesyirikan. Bentuk kesyirikan yang paling halus tentu sulit dideteksi. Kehalusannya diibaratkan dengan seekor semut yang merayap di atas batu yang berwama hitam legam di malain yang gelap gulita. Karena itujelas teramat sulit untuk membebaskan diri dari kesyirikan semacam ini. Semua itu baru berhasil dilenyapkan apabila pengidapnya berusaha mati-matian menjaga dirinya dan terus-menerus meminta pertolongan Ilahi.

Ciri-ciri Keikhlasan

1. Tanpa pamrih
Al-Quran menegaskan bahwa ciri orang ikhlas adalah memberikan makanan (yang telah disiapkan untuk berbuka puasa) secara terus-menerus kepada Orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang. Disertai dengan itu, orang tersebut juga menyatakan bahwa dirinya tidak mengharap balasan apa-apa, sekalipun ucap terimakasih, (dari si penerima).[19]
Oleh sebab itu, seseorang yang mengharap pujian, sanjungan, imbalan, dan bayaran dari masyarakat terhadap segenap amal perbuatan yang dilakukannya, niscaya akan merasa kecewa dan getir tatkala m6ngctahui bahwa dirinya tidak memiliki keikhlasan. Dengan begitu, berusahalah mati-matian agar diri kita senantiasa dibayang-bayangi niat yang ikhlas.
2. Terjaga dari dorongan hawa nafsu
Orang yang ikhlas tidak akan terpengaruh sedikitpun oleh perasaan dan kecenderungan pribadinya. Boleh jadi semua orang pernah mendengar kisah mengagumkan dari pribadi besar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Dalam suatu peperangan, setelah beliau berhasil menjatuhkan musuh dan hendak membunuhnya, dari mulut musuh tersebut tersembur hinaan kepada Imam Ali (dengan meludahi wajah suci beliau). Imam Ali tentu merasa gusar karenanya. Kemudian beliau berdiam dan bersabar sejenak guna meredam amarahnya. Ketika keadaannya telah kembali pulih, beliau langsung membunuh musuh tersebut. Setelah itu beliau berkata, "Aku bersabar agar dalam melaksanakan perintah Allah diriku tidak sampai terpengaruh perasaan dan amarah yang bersifat pribadi, yakni dikarenakan ia telah menghina diriku."
3. Tidak kecewa dan merasa kekurangan
Orang ikhlas akan mengarahkan segenap amal perbuatannya semata-mata kepada Allah. Karena itu, pahala bagi dirinya akan tetap terjaga. Dirinya sama sekali tidak mengurusi soal menang-kalah, untung-rugi, ataupun berhasil-gagal. Dengan begitu, sebagaimana telah saya kemukakan sebelumnya, ia tidak pernah didera stres atau depresi mental. Timbulnya depresi dipicu oleh berbagai harapan yang buyar dan tak terjangkau, selain pula oleh sikap putus asa seseorang. Orang-orang ikhlas sama sekali tidak pernah bersikap putus asa lantaran dirinya hanya mengharapkan keridhaan dan pahala Allah semata. Kehidupan yang diarunginya senantiasa dibalut kedamaian dan ketenteraman.

Menjauhkan Kesyirikan

Dalam al-Quran, terdapat banyak ayat yang memerintahkan kita untuk menjauhi kesyirikan. Apabila kita benar-benar sanggup membebaskan diri dari ikatan dan belenggu setan (keluar sebagai pemenang ketika berjuang melawan hawa nafsu [perjuangan dalam diri] dan ketika berjuang menumbangkan kekuasaan pemimpim yang zalim [perjuangan di luar diri], niscaya kehidupan kita akan mengalir dengan lancar dan baik.
Seluruh kesengsaraan yang menimpa dan kendala yang merintangi perjalanan hidup kita, pada dasarnya berporos pada berbagai tindak kesyirikan, bisikan setan dalam jiwa, serta keberadaan para pemimpin yang zalim (thaghut). Karena itu pula, pembersihan jiwa dan kesyirikan, lebih diutamakan ketimbang pengisian jiwa dengan ketauhidan (pengesaan Tuhan): bila belum dibersihkan dari makanan yang busuk, sebuah cawan tidak bisa diisi kembali oleh makanan yang baik dan segar. Karena itulah, dalam slogan ketauhidan, kalimat 'tiada Tuhan' lebih didahulukan ketimbang kalimat 'selain Allah'.
Berkenaan dengan akar-akar kesyirikan yang menghujam jiwa, al-Quran menyatakan, wahai manusia, berbagai tempat berlindung yang kalian pilih itu, dan kalian berharap akan mendapatkan manfaat dari semua itu serta hasil dari semua itu, sebenarnya hanyalah sebentuk rumah laba-laba.[20]
Pada ayat lain dikatakan bahwa tak satupun selain Allah yang mampu memberikan manfaat ataupun kerugian pada dirinya sendiri. Karenanya, bagaimana mungkin mereka sanggup menolong dirimu.'[21]
Selain itu, kita juga menjumpai dalam al-Quran sebuah pernyataan bahwa sekiranya seluruh kekuatan yang ada di muka bumi saling bekerja sama (bersekutu), mereka tetap tidak akan mampu menciptakan seekor lalat.[22] Apakah kalian benar-benar menginginkan kemuliaan dari selain Allah?![23] Di tempat lain, dikemukakan pula sejumlah contoh mengenai kekuatan Karun, Fir'aun, serta Namrud yang pada kenyataannya tidak sanggup membendung arus kekuatan Allah. Pada masa sekarang, kita juga dapat menyaksikan dengan gamblang bagaimana seluruh kekuatan besar di dunia berusaha mati-matian melindungi Syah (raja Iran sebelum revulusi Islain pada 1978—pent.) dan bernafsu melenyapkan seruan Imam Khomeini.
Namun, sebagaimana kita saksikan, semua upaya tersebut pada akhirnya gagal dan patah di tengah jalan. Berkenaan dengan kiat-kiat membersihkan kesyirikan, al-Quran mengemukakan:
1. Penjelasan mengenai hakikat segenap kesyirikan. Al-Quran mempertanyakan, bagaimana mungkin kekuatan (selain Allah) dijadikan tumpuan harapan apabila ia tidak sanggup memberikan manfaat atau kerugian, tidak mampu menciptakan, tidak memuliakan, dan seterusnya?!
2. Pelbagai contoh yang ada diluar. Seperti, bagaimana mereka yang bersandar kepada selain Allah tidak memperoleh hasil dan manfaat secuilpun, sementara Allah menjaga dan melindungi; (a) Nabi Ibrahim as ketika dilemparkan ke dalam kobaran api; (b) Nabi Yusuf as tatkala dicampakkan ke dalam sumur; (c) Nabi Yunus as saat berada dalam perut ikan, (d) Nabi Muhammad saww tatkala rumah beliau dikepung kaum musyrikin Quraisy; (e) serta Imam Khomeini dari serangan para adikuasa yang zalim.
3. Perbandingan. Salah satu modus al-Quran dalam upaya mengenyahkan kesyirikan adalah memperbandirigkan antara Allah dan selain Allah. Lewat modus ini, al-Quran berusaha menyadarkan manusia agar tidak sampai jatuh tersungkur, seraya memaparkan hakikat dari pengganti Yang Mahakuasa (tuhan-tuhan Selain Allah)?! Untuk lebih memperjelas, saya akan menunjukkan sejumlah ayatnya;
a) “Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)”.[24]
Tidakkah kalian sadar bahwa sesuatu Zat yang memiliki kemampuan untuk menciptakan sama dengan mereka yang tidak memiliki kesanggupan semacam itu?!
b)  “Sesungguhnya berhal-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga denganmu”.[25]
Sesungguhnya segenap berhala yang dijadikan sandaran dan tempat memohon kalian, tak ubahnya seonggok hamba yang sama dengan diri kalian sendiri; lemah, tidak mampu, memerlukan kepada selainnya, dan seterusnya.
Lalu mengapa kalian sampai menjatuhkan harga diri kalian di hadapan sesuatu yang serupa dengan kalian? Lenyapnya kemuliaan manusia akan terjadi seiring dengan sirnanya keimanan kepada Allah. Pada saat itulah, manusia menjadi budak dari (makhluk) yang lain. Pada kesempatan ini, tentu tak ada salahnya bila saya menukil salah satu syair seorang cendekiawan asal Pakistan, Muhammad lqbal, berkenaan dengan kehinaan serta pemujaan yang tidak pada tempatnya. Manusia tak memiliki penglihatan menjadi budak manusia. Memiliki permata namun diserahkan kepada Qubad dan Jam.[26] Yakni bahkan lebih rendah dari kehidupan seorang budak Aku tak melihat anjing menundukkan kepala di hadapan anjing lain.
c) “Katakanlah, ‘Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?’”[27]
Dari seluruh sekutu selain Allah yang kalian pilih, adakah di antaranya yang sanggup menunjukkan jalan kebenaran kepada kalian?!
4. Berbagai praktik ritual seperti salat, doa, dan zikir. Setiap kata-kata yang tercantum di dalamnya, apabila benar-benar diperhatikan dan dihayati, tentu pada gilirannya akan mengembangkan jiwa ketauhidan dalam diri seseorang.
Coba saja kita renungkan sungguh-sungguh, dalam satu menit saja, makna kalimat Allahu AKbar (Allah Mahabesar), bihaulillah (dengan daya upaya Allah), serta iyyâka na’budu (hanya kepada-Mu aku menyembah).
Secara harfiah, kata Allahu Akbar memiliki arti 'lebih besar'. Secara maknawi, kata tersebut bermakna 'lebih besar dari yang dapat disifati atau dikhayalkan'; ‘lebih besar dari gambaran dalam benak manusia', 'lebih besar dari segenap keberadaan yang yang dapat dijangkau penglihatan, pendengaran, pengucapan, dan penulisan'; serta 'lebih besar dari para adikuasa, para pcinimpin yang zalim (thaghut).
Sedangkan kata bihaulillah (dengan daya upaya Allah aku berdiri dan duduk) bermakna, bangkit dan duduknya saya di suatu tempat dan waktu berasal dari dan ditopang oleh kekuasaan-Nya.
Adapun kata iyyâka na’budu wa iyyâka nast’în (hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan) dimaksudkan bahwa penghambaan hanya semata-semata diarahkan kepada-Nya: Kami tidak menghamba Timur maupun Barat. Kami hanya memohon pertolongan kepada-Mu. Sebab, kekuatan-Mu sungguh tidak terbatas dan seluruh keberadaan di permukaan bumi ini tak lain dari pasukan-Mu. Engkau (Allah) sanggup menolong manusia dengan perantaraan angin, batu kerikil, awan, dan air. Engkau mampu menurunkan pertolongan dengan mengerahkan para malaikat serta menciptakan rasa takut dalam hati musuh, menjatuhkan bebatuan dan langit, sekonyong-konyong menumpahkan air hujan kepada musuh, dan menghembuskan ketenteraman serta memberi bantuan kepada orang-orang beriman.[28]
Kami hanya memohon kepada Tuhan; Zat yang seluruh keberadaan dijagat raya ini berasal dan berpulang. Melihat tu, tak bisa disangsikan lagi bahwa setiap kata dalam doa dan zikir merupakan gelombang energi yang akan menghidupkan jiwa ketauhidan, sekaligus memutuskan keterikatan dengan selain Allah. Namun, ini bukan berarti kita mesti mengabaikan usaha, aktivitas, serta pemanfaatan berbagai sarana material.
Alhasil, pembahasan mengenai hal itu saya cukupkan dulu sampai di sini. Saya khawatir, pembahasan yang terlainpau panjang lebar akan semakin menjauhkan kita dari tujuan penulisan buku ini. Akan tetapi, dengan hanya menyebutkan adanya empat modus atau cara dalam mengembangkan jiwa ketauhidan serta mencabut akar-akar kesyirikan bukan berarti tidak ada lagi cara altematif lain (kelima, keenam, dst.). Seluruh paparan yang saya kemukakan dalam pelbagai pelajaran akidah ini tak lebih sebagai pengetahuan yang dicurahkan Allah kepada saya.

Tanda-tanda Kemusyrikan

Al-Quran mengungkapkan, “Dan apabila hanya nama Allah saja yang disebut, kesallah orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, dan apabila nama sesembahan-sesembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati”.[29]
Tatkala nama Allah disebut-sebut secara sendirian, hati orang yang tidak beriman kepada akhirat tentu merasa kegerahan dan tidak senang. Lain hal apabila nama selain Allah yang disebut-sebut. Mereka tentu akan senang, gembira, dan saling melempar senyum satu sama lain.
Sebagai contoh, kalau kita mengatakan, "Sesuai perintah Allah,kita harus memerangi tindakan pribadi atau kelompok anu. Ini adalah perintah Allah, tugas Ilahi," niscaya wajah-wajah mereka akan mendadak suram dan muram.
Sebaliknya, ketika kita katakan bahwa semua ini merupakan perintah si fulan atau undang-undang internasional, segera saja wajah mereka berseri-seri. Atau kalau kita mengatakan, "Allah yang menghendaki," mereka dengan serta merta bermuka masam.
Lain halnya bila kita mengatakan, "Masyarakatlah yang menghendaki ini," tentu mereka akan bergembira dan bersenang hati. Semua itu mengindikasikan bahwa umat tersebut telah terjerumus dalam kemusyrikan dan penyelewengan.
Dalam berhagai persoalan, mereka tidak mendasarkan tindakannya pada wahyu llahi. Sebaliknya, mereka malah mengikuti aturan Barat dan Timur, tunduk dan patuh pada selain Allah, dan hatinya condong pada undang-undang yang bukan bersumber dari Allah.

Kondisi Pelarangan Menaati Orang Tua

Al-Quran mencantumkan lima buah penegasan tentang keharusan berbuat baik kepada kedua orang tua[30], serta empat topik persoalan yang berkenaan dengan penghormatan kepada kedua orang tua. Pemhahasan tersebut dikemukakan seraya menyinggung pula persoalan ketauhidan atau penghambaan kepada Allah secara murni. Sebabnya, pada tingkat yang pertama, keberadaan manusia hanya bergantung kepada Allah semata. Sementara pada tingkat kedua, ia bergantung kepada kedua orang tua. Ini baru dari satu sisi. Pada sisi yang lain, berkhidmat kepada kedua orang tua amat dianjurkan dan selalu disebutkan berdampingan dengan masalah ketauhidan, keimanan, serta penghambaan kepada Allah.
Dalam pelbagai riwayat, seringkali dijumpai himbauan agar seseorang menghormati ayah dan ibunya. Sampai-sampai dalam sejumlah riwayat dikatakan bahwa memandang keduanya terbilang sebagai ibadah.
Kendati didukung berbagai penegasan semacam itu, siapapun orang tua yang berusaha menyimpangkan anaknya dari jalan Allah, tidak diperbolehkan ditaati (anak-anaknya). Seorang anak bahkan wajib menolaknya. Masalah penolakan ini termaktub dalam dua buah ayat yang memiliki arti sama satu dengan yang lainnya.
1.  “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya”. (al-Ankabut: 8)
2. “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya”. (Luqman: 15)
Makna yang terkandung dalam kedua ayat di atas jelas identik satu sama lain; jika ayah dan ibumu berusaha mengeluarkan dirimu dari bingkai tauhid dan menggiringmu pada suatu perbuatan buruk yang tidak kamu ketahui, maka engkau harus menampiknya. Upaya orang tua semacam ku tak jarang disampaikan dalam bentuk yang amat menyentuh hati. Umpama, "Wahai anakku jika kita tidak patuh pada perintah thaghut, tentu kita bakal kehilangan sumber makanan dan minuman.
Ketahuilah, harta, kedudukan, dan kemuliaan kita amat bergantung pada ungkapan: 'Ya, kami siap melaksanakan.'" Namun terkadang pula, upaya tersebut dilakukan dalam bentuk hinaan dan lecehan. Misal, "Kau tidak tahu apa-apa. Mereka lebih tua darimu dan telah melintasi perjalanan ini. Mereka patuh dan taat, serta memiliki kehidupan yang menyenangkan.
Para pendahulu, masyafakat, dan bangsa kita menuntut agar kita berjalan di jalur ini, mengamalkan ajaran anu, menyerahkan diri kepada si fulan, dan memiliki selera semacam itu."
Alhasil, di samping kedua bentuk gaya dan cara di atas, masih tersedia ratusan bentuk gaya dan cara lainnya. Namun, biar bagaimanapun, sebagaimana diungkapkan al-Quran, bila kedua orang tua berusaha memaksa kita keluar dari jalan Allah—dengan memerintahkan sesuatu yapg berhubungan dengan kesyirikan serta pembangkangan terhadap perintah Allah—, maka kita harus menolaknya mentah-mentah.

Dosa Tak Terampuni

Kesyirikan akan membuahkan dosa yang tidak terampuni. Dalam al-Quran, kita dapat menjumpai ayat yang berkenaan dengan itu, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Ia mengampuni segala dosa selalin itu, bagi siapa yang dikehendakinya”.[31]
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa kesyirikan (sampai orang tersebut meyakini keesaan Allah). Sementara dosa-dosa selain itu masih mungkin diampuni-Nya. Jelas, pengampunan Allah terhadap mereka yang dikehendaki dan diinginkan-Nya, tetap bergantung pada kesiapan serta kelayakan diri manusia itu sendiri.

Perlawanan Terhadap Orang-orang Musyrik

Kita tidak dibenarkan untuk berdiam diri menyaksikan orang-orang yang mengupayakan sesuatu bukan demi Allah, tidak melaksanakan tugas Ilahi, dan hanya demi memperkokoh posisi serta kedudukan pribadi belaka.
Kalau saja kita tidak memiliki prinsip yang benar, tentu semua kelompok dan golongan besar maupun kecil bakal merongrong kita. Dengan begitu, tentu kita akan menjadi tak ubahnya seonggok mayat yang tidak berdaya dalam menghadapi para pemangsa bangkai.
Setiap hari, kita (yang sudah jadi mayat—pent.) akan diseret ke sana dan ke mari. Dan setelah mereka menyelesaikan upayanya, kita akan ditinggalkan tergeletak begitu saja, untuk kemudian mencari mangsa yang lain.
Almarhum Syahid Muthahhari berpesan agar kita senantiasa memanjatkan doa ini, “Sia-sialah mereka yang mendatangi selain-Mu dan merugilah mereka yang tidak menghadap kepada-Mu”. Sia-sialah orang-orang yang mendatangi rumah selain rumah Allah, dan benar-benar merugi orang-orang yang merujuk kepada selain Allah.
Para pembaca yang budiman, perhatikanlah baik-baik beberapa altematif jalan di bawah ini. Setiap manusia niscaya akan menempuh salah satu dari jalan-jalan tersebut.
1. Jalan yang ditentukan berdasarkan keinginan pribadi seseorang.
2. Jalan yang ditentukan orang lain.
3. Jalan yang ditentukan Allah.
Jalan serta dasar penentuan yang pertama jelas keliru. Sebabnya, ketika hari ini saya mengambil keputusan tertentu, keesokan harinya boleh jadi saya menyadari bahwa keputusan tersebut salah.
Mungkinkah saya yang dilingkupi berbagai keterbatasan dan acapkali dikuasai hawa nafsu, mampu memilih jalan yang baik di antara ratusan altematif jalan yang ada?!
Jalan serta asas penentuan yang kedua juga tidak benar. Hal ini sesuai dengan ungkapan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, bahwasannya aku dilahirkan ibuku dalam keadaan merdeka, lalu mengapa aku mesti menjadi budak orang lain. Ketaatan serta kepatuhan secara membabi buta merupakan perbuatan syirik.
“Dan jika kamu menuruti mereka, tentulah kamu menjadi orang-orang yang musyrik”. (al-An'am: 121)
Terakhir adalah jalan ketiga. Inilah jalan Allah, “sabilillah”[32], jalan yang lurus, “... ini adalah jalan-Ku yang lurus”[33], dan tidak terdapat penyimpangan,  “... dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya”.[34]
Jalan lurus yang membentang ini merupakan kebalikan dari segenap jalan yang dilintasi orang lain; “yang dimurkai” dan “yang sesat”.[35] Rentang jalan ini ditempuh para syuhada, para nabi, serta orang-orang jujur dan saleh.[36]
Ringkasnya, jalan tersebut merupakan jalan peribadahan, berasal dari wahyu, bersumber dari ilmu Allah yang tidak terbatas, dan disampaikan kepada kita melalui perantaraan nabi-Nya yang mulia, yang kemudian dilanjutkan para fukaha yang adil dan tidak dikuasai hawa nafsu. Inilah jalan yang harus kita tempuh.[37]
Tatkala jalan ketauhidan sudah terhampar secara gamblang di hadapan kita, jelas kita harus membangun perlawanan terhadap pelbagai jalan lainnya. Kalau tidak, mereka (yang menempuh jalan lain selain jalan Allah—pent.) tentu akan memanfaatkan sikap acuh tak acuh kita untuk mendongkel diri kita keluar dari bingkai ketauhidan.
Allah berfirman kepada nabi-Nya agar menjauhkan diri dari orang-orang musyrik[38] yang tidak berhak memakmurkan masjid-masjid.[39] Allah juga menegaskan bahwa nabi-Nya tidak boleh mendoakan orang-orang musyrik.[40]
Nabi-Nya juga diperintahkan untuk tetap tegardan penuh semangat dalam menempuh jalan (kebenaran). Seraya dikatakan pula oleh-Nya agar nabi-Nya berlepas diri dari pelbagai jalan lain serta dari para penyerunya.[41]


[1] Al-An'am:88
[2] Yusuf: 39.
[3] Isra’: 22.
[4] At-Taghabun: 14.
[5] Al-Mu’minun: 91.
[6] Al-Ahzab: 67.
[7] Al-Mu’minun: 91.
[8] Ar-Rum: 32.
[9] “Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang beriman”. (at-Tahrim: 11)
[10] “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir”. (at-Tahrim: 10)
[11] Ali-Imran: 95.
[12] Diisyaratkan dalam surah al-Baqarah: 124.
[13] Ash-Shaffat: 105.
[14] Al-Baqarah: 258.
[15] Al-An’am: 76.
[16] At-Taubah: 104.
[17] Ibrahim: 37.
[18] Al-Anbiya’: 69.
[19] Diisyaratkan dalam deretan ayat yang termaktub dalam surah al-Insan.
[20] Al-Ankabut: 41.
[21] Ar-Ra’d: 16.
[22] Al-Hajj: 73.
[23] An-Nisa’.
[24] An-Nahl: 17.
[25] Al-A’raf: 194.
[26] Yang dimaksud dengan qubad adalah Kiqubad yang merupakan salah satu raja Iran kuno. Ada pun yang dimaksud dengan Jam adalah Jamsyid, juga raja Iran kuno.
[27] Yunus: 35.
[28] Semua itu tercantum dalam berbagai ayat al-Qur’an.
[29] Az-Zumar: 45.
[30] Al-Baqarah: 83; an-Nisa’: 36; al-An’am: 151; al-Isra’: 23; al-Ahqaf: 15.
[31] Yang pertama disebutkan dalam ayat ke-48, sementara yang kedua disebutkan dalam ayat ke-116.
[32] Dalam al-Qur’an, ungkapan sabilillah (jalan Allah) dapat dijumpai lebih dari lima puluh kali, khususnya dalam pelbagai topik yang berkenaan dengan jihad, pembunuhab dan hijrah, yang semestinya ditempuh di atas jalan Allah (fi sabilillah).
[33] Al-An’am: 153.
[34] Al-Kahf: 1.
[35] Yasin: 4.
[36] Al-Fatihah.
[37] An-Nisa’: 68.
Ini merupakan perintah Imam Mahdi. Beliau pernah berpesan bahwa semasa kegaibannya, para pengikutnya harus merujuk kepada para fukaha (ulama) yang adil (tidak melakukan perbuatan maksiat) dan tidak mengikuti hawa nafsu.
[38] Al-An’am: 106.
[39] At-Taubah: 17.
[40] At-Taubah: 113.
[41] Al-Mumtahanah: 4.

KEADILAN (al-‘Adl)

Dengan menyebut nama Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Salawat dan salam atas Muhammad dan keluarganya yang suci dan mulia.
Pada pembahasan tauhid, saya telah menguraikan topik yang berkenaan dengan "Pandangan Dunia Ilahiah" secara panjang lebar. Selain itu, saya juga menyinggung sejumlah problem yang berkaitan dengan ketauhidan dan kesyirikan.
Kali ini, saya akan mengkaji dan memaparkan poros kedua dari akidah Islam yakni al-‘adl (keadilan). Allah Swt telah menganugerAbi kekuatan akal kepada manusia. Lewat kekuatan itu, manusia dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Lebih khusus lagi, seseorang akan sanggup mengetahui bahwa perbuatan zalim merupakan keburukan, sedangkan perbuatan adil adalah kebaikan. Kita yakin bahwa Allah mustahil berlaku buruk. Pada Zat-Nya, Allah suci dari sifat zalim dan aniaya. Sebab, berbagai kezaliman dan tindakan aniaya (sebagaimana sering kita saksikan melekat pada diri manusia) pada dasarnya bersumber dari sifat-sifat berikut ini:
1. Kebodohan (al-jahl). Tak jarang, kebodohan dan ketidaktahuan menjadi sumber kezaliman. Misalnya saja, seseorang tidak tahu bahwa ras putih dan ras hitam pada hakikatnya tidak memiliki perbedaan satu sama lainnya. Namun, entah mengapa, orang-orang dari ras putih kemudian merasa dirinya lebih unggul (superior) dari ras hitam, sehingga melegitimasi dirinya untuk memperlakukan ras hitam secara sewenang-wenang. Sumber kezaliman ini tidak lain dari ketidaktahuan atau egosentrisme. Dikarenakan menganut berbagai bentuk pemikiran serta pemahanun yang menyimpang, atau bahkan kebodohan, seseorang niscaya akan bertindak zalim. Akan tetapi, mungkinkah Allah, Tuhan Yang Mahasuci dan yang tak terbatas ilmu-Nya sehingga jauh dari kebodohan, bertindak zalim?
2. Rasa takut (al-khauf). Timbulnya tindak kezaliman bisa juga diakibatkan oleh rusa takut yang mencekam. Umpama, seseorang yang merasa tersaingi orang lain. Lantaran dirinya merasa terancam, takut dan khawatir kalau-kalau kekuatan dan kedudukannya bakal pudar, ia pun tidak segan-segan bertindak aniaya dan serba keterlaluan terhadap para pesaingnya. Dalam upaya memperkokoh kekuasaannya, para pemimpin yang zalim (thaghut) tidak akan sungkan-sungkan bertindak  zalim kepada para penuntut kebebasan dan kemerdekaan. Dalam hal ini, apakah Allah memiliki saingan? Apakah kekuasaan Allah masih harus diperkuat dan diperkukuh?
3. Memerlukan (al-ihtiyaj) dan serba kurang (an-naqsh). Adakalnya, perbuatan zalim timbul lantaran didorong oleh suatu kebutuhan. Desakan kebutuhan jasmaniah atau ruhaniah bisa saja memaksa untuk memperlakukan sesamanya secara buruk, tercela, dan zalim.
4. Acapkali pula, munculnya kezaliman bersumber dari pelbagai sifat buruk yang bersemayam dalam jiwa seseorang. Bahkan sebagian orang sedemikian menderita jiwanya (psikopatis) sampai-sampai memiliki perilaku yang begitu sadis; dirinya merasa senang dan bahagia tatkala menyakiti seseorang atau menyaksikan penderitaan orang lain.
Kini kita telah mengetahui sejumlah faktor pemicu timbulnya kezaliman. Lantas, adakah faktor-faktor semacam itu pada Zat Allah yang memungkinkan-Nya berbuat zalim? Al-Quran  menegaskan, “... dan tiadalah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya”.[1] Berdasarkan ayat tersebut, Allah sama sekali tidak berhasrat untuk bertindak zalim terhadap seluruh makhluk (ciptaan) yang menghuni jagat alam ini.
Kalau Tuhan memerintahkan kita berbuat adil[2], mungkinkah diri-Nya sendiri berbuat zalim? Apakah masuk akal apabila Allah memerintahkan manusia (yang lemah dan senantiasa dirongrong tuntutan hawa nafsu) agar jangan sampai kebenciannya terhadap suatu kaum menjadikannya bersikap tidak adil[3], sementara diri-Nya sendiri (yang memiliki kekuatan tak terbatas dan tidak terpengaruh segenap kecenderungan hawa nafsu) bakal berbuat zalim?!

Cara Mengenal Sifat-sifat Allah

Cara yang ditempuh dalam mengenal sifat-sifat Allah lebih kurang sama dengan cara mengenal Zat Allah. Ini tak ubahnya dengan sebuah tulisan yang bisa dijadikan petunjuk bagi keberadaan penulisnya. Umpamanya, dari bentuk tulisannya dapat diketahui bagaimana sebenarnya kafakter sangpenulis. Dari kalimat-kalimat yang tertera dalam tulisan tersebut, dapat pula diketahui sampai sejauh mana penguasaan sang pengarang terhadap bahasa serta topik yang diuraikannya.
Selain itu, dapat juga diketahui seberapa banyak perbendaharaan kata yang dimilikinya. Tulisan tersebut juga dapat dijadikan tolok ukur kemampuan sang pengarang dalam menyusun sebuah karya tulis (berbobot ataukah picisan belaka). Lebih dari itu, tulisan tersebut juga akan mencerminkan semangat serta tujuan pengarangnya. Kalau memang demikian halnya, tentu setiap ciptaan (makhluk) akan merefleksikan dua hal; (a) mengenal penciptanya; (b) mengetahui sifat, keadaan, dan tujuan penciptaan.[4]

Keadilan: Prinsip Agama

Sekalipun Allah memiliki cukup banyak sifat seperti MAllahijaksana, Mahakuasa, Mahatahu, dan seterusnya, lantas mengapa justru konsep keadilan, dan bukan salah satu dari sifat di atas, yang dijadikan prinsip keagamaan?
Mengapa tidak dikatakan bahwa prinsip keagamaan yang pertama adalah tauhid, sedangkan yang kedua adalah hidup (al-hayah) atau Mahamengetahui (al-'alim)? Atas dasar apa menjadikan keadilan sebagai prinsip keagamaan yang kedua setelah ketauhidan?
Salah satunya adalah untuk menanggapi sekelompok kecil masyarakat Islam-kaum 'Asy'ariyah-yang tidak beranggapan bahwa Allah senantiasa bertindak adil. Mereka (kelompok 'Asy'ariyah) mengatakan bahwa apapun yang dilakukan dan dikehendaki Allah adalah benar dan adil, sekalipun menurut akal serta pengetahuan kita, semua itu buruk, tercela, dan zalim!!
Misalnya dikatakan, "Apabila Allah hendak memasukkan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib ke dalam neraka, sementara Ibnu Muljam ke dalam surga, semua itu tentu tidak ada masalah." Jelas, kita akan menolak rumus berpikir semacam mi. Kita yakin betul bahwa keadilan merupakan bagian dari prinsip akidah.[5] Berdasarkan pikiran logis yang dikuatkan ayat-ayat al-Quran, kita akan menjumpai baliwasannya segenap perbuatan Allah benar-benar bijaksana dan ditandasi oleh perhitungan yang sangat cermat. Dia sama sekali tidak akan pernah melakukan perbuatan buruk dan tercela. Keimanan terhadap keadilan Ilahi berpengaruh besar dalam membenahi manusia:
1. Sebagai kontrol terhadap dosa-dosa. Tatkala meyakini bahwa ucapan dan perbuatannya senantiasa berada di bawah pengawasan-Nya, tentu seseorang tidak akan meremehkan perbuatannya sekecil apapun. Dirinya yakin betul bahwa kelak segenap perbuatan (baik atau buruk) yang pernah dilakukannya akan diganjar. Seraya itu, ia juga akan beranggapan bahwa mustahil dirinya dilepas begitu saja tanpa adanya ikatan atau aturan (yang dalam hal ini banyak dibahas al-Quran dalam pelbagai ayatnya).
2. Berprasangka baik. Seseorang yang mengimani keadilan Ilahi akan berprasangka baik terhadap sistem yang beroperasi dijagat alam ini. Keyakinan terhadap keadilan Allah niscaya akan menjadikan seseorang beranggapan bahwa pelbagai kejadian pahit yang menimpanya tak lain dari sesuatu yang menyenangkan. Orang semacam ini tidak akan pernah merasa getir dan berputus asa.
3. Keimanan terhadap keadilan Ilahi merupakan faktor penggerak timbulnya keadilan dalam konteks kehidupan individu maupun masyarakat. Setiap orang yang rneyakini keadilan Allah, tentu akan mudah menerima keadilan dalam hidupnya, baik secara individual maupun sosial.

Makna Keadilan

Sebenarnya, persoalan utama yang terkandung dalam topik keadilan ini terkait erat dengan bagaimana menjawab pelbagai sanggahan. Dalam menanggapi sanggahan-sanggahan tersebut, saya akan menukil dan menguraikan secara singkat sejumlah ayat al-Quran serta hadis Nabi saww.
1. Allah Mahaadil
Dalam arti, Dia tidak akan menghilangkan hak seseorang. Dia juga akan senantiasa mencurahkan karunia-Nya kepada setiap makhluk sesuai dengan ketentuan alam yang berpijak di atas kebijaksanaan-Nya. Kezaliman berarti menghilangkan atau merampas hak secara paksa. Kalau memang demikian, maka makna keadilan dan kezaliman tak lain dari sesuatu hal yang berhubungan erat dengan keberadaan hak tertentu.
Sekarang, marilah kita telaah bersama, apakah Allah memiliki tuntutan tertentu? Apakah seluruh makhluk yang ada sejak pertama kali diciptakan telah memiliki suatu hak, untuk kemudian diabaikan, dirampas, dan dilenyapkan? Apakah sejak dahulu kala kita telah memiliki sesuatu (hak) untuk kemudian lenyap oleh suatu kezaliman?
Yang jelas, di jagat alam ini, terdapat pelbagai ciptaan dalam bentuknya yang berbeda satu sama lain. Sebagian benda mati, sebagian lain benda hidup. Sebagian binatang, sebagian lainnya manusia. Akan tetapi, seluruh ciptaan tersebut sebelumnya sama sekali tidak memiliki hak eksistensial apapun, yang kemudian bisa dikatakan tidak diakui atau bahkan dirampas dan dilenyapkan. Misalnya, seseorang yang merobek-robek selembar permadani yang lebar.
Dalam hal ini, permadani yang sebelumnya memiliki ukuran yang lebar tersebut, setelah dirobek-robek, tinggal menjadi serpihan-serpihan kecil alias tidak lebar lagi (kehilangan kelebarannya). Berbeda, misalnya,ketika permadani tersebut memiliki ukuran yang kecil sejak pertama kali ditenun. Jelas, permadani kecil itu tidak memiliki alasan untuk mengatakan, "Mengapa saya kecil?"
Sebab, sebelumnya ia (permadani berukuran kecil tersebut) bukanlah sesuatu dan tidak ada (eksistensinya) sama sekali. Dan Ketika diadakan (ditenun seseorang) pun, permadani tersebut sama sekali tidak memiliki ukuran yang besar, yang kemudian seseorang merampas dan meniadakan ukurannya yang besar tersebut.
Allah menciptakan seluruh makhluk (yang sejak awal keberadaannya tidak memiliki hak serta tuntutan) dengan pelbagai perbedaan dengan mendasarkannya pada kebijaksanaan tak tertandingi.
Dalam jagat alam ini, diberlakukan sebuah sistem kausalitas atau sebab-akibat) yang menyediakan jalan tertentu bagi setiap ciptaan.
Allah juga membebankan tugas dan kewajiban kepada segenap makhluk-Nya (yang sesungguhnya semua itu diperuntukkan semata-mata begi pemenuhan kepentingan makhluk bersangkutan).
Selain itu, Allah juga sama sekali tidak membeda-bedakan (bersikap diskriminatif) ras, umat atau individu yang satu dengan ras, umat, atau individu yang lain dalam hal pemberian pahala dan siksa. Mereka semua akan diganjar pahala dan siksa secara adil dan bijaksana.
Ambil contoh sebuah pabrik yang selain membuat mur dan baut kecil juga membuat ban mobil yang berukuran besar. Dapatkah dikatakan bahwa pengelola pabrik tersebut — dikarenakan adanya perbedaan dalam memproduksi; produk yang satu kecil yakni mur dan baut, sementara produk yang lain berukuran besar yaitu ban mobil— telah bertindak zalim? Apakah mur dan baut itu sendiri berhak menggugat? Yang pasti, jawabannya adalah negatif.
Sebabnya, sistem kerja sebuah mobil memerlukan mur dan baut yang berukuran kecil, sekaligus juga beberapa buah ban yang besar. Perlu digarisbawahi bahwasannya ketiga jenis benda tersebut sebelumnya tidak eksis. Namun, lantaran adanya kegunaan tertentu, pengelola pabrik itupun lantas menciptakan ketiganya.
Di samping beberapa kemungkinan di atas (yang sudah terpatahkan), masih ada lagi satu kemungkinan bagi terjadinya tindak kezaliman; soal pembebanan fungsi mur dan baut serta roda yang besar. Apabila seluruh bagian (mobil itu) telah berhasil diproduksi, dan kemudian masing-masingnya tidak diberi beban fungsi yang melebihi kapasitasnya, tentu tidak dapat dianggap bahwa dalam hal ini telah terjadi tindak kezaliman.
Sebabnya semua produk tersebut diperlakukan secara proporsional dan sesuai dengan batas-batas fungsinya masing-masing. Mengapa hanya sedemikian saja batas-batas fungsinya?
Jelas, seluruh bagian-bagian mobil yang diproduksi itu secara prinsipil tidak berhak menuntut (agar fungsi dirinya melampaui batas-batas tertentu) kepada pengelola pabrik disebabkan sebelumnya mereka (bagian-bagian mobil itu) memang tidak eksis.
Selain itu, sang pengelola pabrik juga tidak memiliki pengharapan yang berlebihan akan fungsi masing-masing bagian tersebut. Sungguh, kalau tetap dipaksakan melampaui batas fungsi masing-masing, keadaannya tentu akan sangat menggelikan (mur dan baut berfungsi sebagai roda mobil, atau sebaliknya).
Sekarang, setelah memiliki kejelasan tentang makna yang sebenarnya dari kata ‘adil’ dan 'zalim', kita perlu memperhatikan noktah penting berikut ini: keadilan tidak selamanya identik dengan sama rata.
Apabila, misalnya, seorang guru tanpa pandang bulu memberikan nilai yang sama kepada seluruh muridnya—tanpa memperhatikan kerajinan serta usaha belajar masing-masing murid—tentu bisa dikatakan bahwa ia telah bertindak zalim. Perbuatan guru tersebut persis sama dengan perbuatan zalim seorang dokter yang memberi obat yang sama kepada seluruh pasiennya tanpa terlebih dulu memeriksa kondisi masing-masingnya (yang tentunya mengidap penyakit yang berbeda-beda sehingga meniscayakan obat yang berbeda-beda pula).
Keadilan yang niscaya bagi seorang dokter dan guru ialah ketika mereka memberi angka (sang guru) dan obat (sang dokter) yang berbeda-beda. Dan, perbedaan ini bukanlah sebuah diskriminasi. Perbedaan tersebut merupakan sesuatu yang niscaya, alamiah, wajar, dan bukan sekadar bermain-main. Segenap perbedaan yang diberlakukan dilandasi oleh suatu kebijaksanaan. Dengan demikian, perlakuan membeda-bedakan dan tidak pukul rata, selama masih berada dalam lingkup kebijaksanaan, tidak dapat dikatakan sebagai tindakan zalim.
2. Penarikan kesimpulan secara gegabah
Pada dasarnya, banyak sanggahan yang kita ajukan berpijak di atas tandas pemahaman yang serba dangkal, penilaian yang gegabah, serta pemikiran yang kurang matang. Dalam kesempatan ini, saya akan mengemukakan beberapa contoh yang dimaksudkan sebagai cermin jernih tempat kita mengaca diri:
a. Demi memenuhi kepentingan masyarakat umum, sebuah pemerintahan Islam membuat kebijakan untuk membuat jalan raya yang lebarnya 45 meter. Dibuatnya jalan tersebut disebabkan oleh terjadinya lonjakan jumlah mobil dan penduduk.
Dalam proses pembuatannya, sudah barang tentu akan menyulitkan segelintir warga penduduk yang rumahnya digusur; mesti mengambil uang ganti rugi tanah dan rumah masing-masing dari pihak pemerintah, untuk kemudian mencari tempat tinggal baru di kawasan lain. Alhasil, mereka harus menanggung berbagai kesulitan.
Namun, kenyataan itu tidak meniscayakan usaha pemerintah (membangun jalan raya publik) yang akan bermanfaat dan memberi kenyamanan bagi masyarakat luas harus dihentikan. Islam lebih menitikberatkan pemenuhan hak-hak sosial ketimbang hak-hak pribadi. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepada Malik al-Asytar, "Temuilah mereka yang menimbun berbagai hal yang dibutuhkan masyarakat, dan nasihatilah mereka serta sampaikanlah amar ma’ruf dan nahi munkar. Jika mereka tetap menjalankan kegiatannya, tindaklah mereka dengan keras.”[6]
Kemudian beliau berkata, "Penimbunan, sekalipun mendatangkan manfaat pada individu, akan merugikan masyarakat."[7] Pada kesempatan lain, beliau juga berkata, “Dalam mengelola pemerintahan, hendaklah senantiasa diperhatikan kerelaan masyarakat sekalipun menyebabkan ketidaksenangan orang-orang dekat”.
b. Konon, pernah hidup seseorang yang memelihara seekor anjing dalam rumahnya. Pada suatu hari, demi suatu keperluan yang mendesak, ia pergi keluar rumah dan meninggalkan bayinya yang masih menyusui bersama anjingnya itu. Dalam perkiraannya, ia bakal cepat kembali ke rumah. Namun, tatkala pulang ke rumah, dirinya disambut sang anjing dengan mulut yang berlumuran darah. la langsung beranggapan, jangan-jangan anjing ini telah menerkam dan membunuh si bayi.
Dengan rasa marah, ia lantas mengangkat senapannya dan menembak anjing tersebut. Setelah itu, ia bergegas masuk ke dalam rumah. Namun, kejadian yang sesungguhnya ternyata amat jauh berbeda. la menjumpai anaknya yang masih bayi itu tidak mengalami cedera apapun.
Kejadian sebenarnya begini. Sewaktu pergi, ia meninggalkan pintu rumahnya yang berlokasi di pinggiran kota itu dalam keadaan terbuka. Tak urung, seekor serigala pun datang dan dengan mudah masuk ke dalamnya.
Kemudian, dengan leluasa pula ia bisa memasuki kamar tidur si bayi mungil itu dan berusaha menyerangnya. Adapun anjing yang bertugas melindungi bayi tersebut berusaha mati-matian melindungi si bayi dan mengusir serigala tersebut keluar dari rumah. Dengan mengunakan kuku serta taringnya yang tajam, anjing itu menyerang balik sang serigala. Dalam perkelahian itu, sang serigala akhirnya menderita luka-luka yang mengeluarkan darah, untuk kemudian lari terbirit-birit keluar dari rumah. Namun sayang, akibat penilaian sang pemilik rumah yang tergesa-gesa itu, alih-alih ungkapan terima kasih yang diterimanya, anjing yang telah berjuang sekuat tenaga menyelamatkan si bayi tersebut, malah harus meregang nyawa dan mati dibunuh tuannya sendiri!
Sang pemilik rumah segera saja menyesali perbuatannya itu dan menghampiri tubuh anjingnya yang telah terkapar. la berharap bisa menyelamatkannya dari kematian. Namun nasi telah menjadi bubur, anjing tersebut telah mati dengan meninggalkan rasa sesal yang begitu getir.
Orang tersebut kemudian berkata, "Aku mcnatap bola mata anjingku yang ketika itu sedang dalam keadaan terbuka dan hatiku mendengar suara jeritannya yang parau, 'Wahai manusia, betapa engkau amat tergesa-gesa! Mengapa engkau memberikan penilaian secara gegahah? Mengapa engkau terlebih dulu tidak masuk ke dalam rumah? Engkau telah membunuhku tanpa disertai alasan yang jelas."
Setelah melakukan tindakan yang amat disesalinya itu, sang pemilik rumah menulis sebuah artikel yang bertajuk "Wahai Manusia, Betapa Cepatnya Engkau Menilai".
Dalam sejumlah kisah lain, kita juga acapkali menyaksikan bagaimana sejumlah orang yang memanjatkan doa, namun tidak dikabukan Tuhan, pada akhirnya justru menyadari kebaikan dari tidak terkabulnya doa tersebut.
Dari segenap contoh yang berkenaan dengan ketergesa-gesaan penilaian yang acapkali berakibat fatal tersebut, al-Quran mengajukan berbagai sanggahan yang sangat jitu. Dalam hal ini, al-Quran senantiasa memperingatkan, "Wahai manusia, sebagian besar dari dugaan dan sangkaan yang muncul dari dalam dirimu sama sekali tidak berdasar.
Betapa banyak hal yang menurut pandanganmu buruk dan engkau amat membencinya, pada hakikatnya merupakan kebaikan bagimu. Dan betapa banyak hal yang engkau sukai namun pada hakikatnya merupakan keburukan bagi engkau,"
Umpama berkenaan dengan masalah jihad. Al-Quran menyatakan bahwa mungkin untuk kali yang pertama, kalian akan beranggapan bahwa itu adalah sesuatu yang buruk. Padahal, secara hakiki, semua itu merupakan kebaikan bagi kalian.[8] Jihad dan peperangan pada gilirannya akan mengembangkan pelbagai potensi dan menumbuhkan kemampuan yang ada dalam diri manusia. Dalam ungkapan Imam Khomeini;
“Dalam peperangan, esensi manusia menjadi tumbuh dan berkembang”.
Dalam setiap peperangan dan pertempuran, terjadi pemisahan dan kontras antara barisan-barisan (manusia) yang hanya meneriakkan slogan belaka, dengan barisan lain yang benar-benar berjuang dan tekun bekerja.
Peperangan mengharmonisasikan pelbagai kekuatan dan tujuan. Peperangan menganugerahkan kemuliaan serta kehormatan diri seseorang. Dan terakhir, peperangan pada dasarnya menjadi cermin jernih yang memantulkan kenyataan tentang adanya sebuah masyarakat yang hidup di bawah telapak kaki kezaliman. Dalam surat an-Nisa' ayat ke-19, kita membaca bahwa betapa sering orang-orang menganggap suatu kejadian bersifat tidak menyenangkan, padahal darinya Allah hendak mencurahkan kebaikan yang amat banyak.[9]
Apabila kata hisban (mengira) ditelaah dan ditelusuri dalam al-Quran, kita akan segera mengetahui dengan gamblang bahwasanya al-Quran yang senantiasa memperingatkan kita melalui ungkapan, “jangan kau menyangka demikian...”, “jangan kamu berfikir demikian...”, “jangan kamu berprasangka semacam itu”, serta berbagai ungkapan senada lainnya, sesungguhnya tengah melontarkan sanggahan terhadap pelbagai bentuk pandangan serta penilaian yang serba gegabah dan tergesa-gesa.
Ada lagi contoh lain yang berkenaan dengan persoalan melakukan penilaian yang serba terburu-buru. Dalam al-Quran, kita jumpai bagaimana para malaikat (dikarenakan tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hakikat manusia) menyatakan kepada Allah, “Kami senantiasa bertasbih kepada-Mu dan senantiasa beribadah kepada-Mu, lalu kenapa Engkau ciptakan manusia yang akan berbuat kerusakan?!”
Akan tetapi, Allah tetap berkeinginan untuk memiliki khalifah (wakil) yang layak di muka bumi ini. Untuk itu, Allah menganugerahkan pelbagai ilmu pcngelaleuan (wa ‘allama Adamal-asma`a kullaha) kepada khalifahnya tersebut. Semua itu jelas merupakan bukti yang tak bisu disangkal bahwa penilaian mereka (para malaikat) muncul dari ketergesa-gesaan.
Ringkasnya, keragu-raguan serta kebimbangan yang muncul ketika kita mengkaji keadilan Allah (mengapa Allah begini dan begitu?), pada dasarnya menghendaki agar kita mengakui bahwa cuma sebagian kecil saja penilaian dan penentuan kita yang benar. Sebaliknya, masih banyak rahasia-rahasia serta misteri di sekitar jagat alam ini yang masih belum tersingkap dan diketahui dengan jelas.
Dari sisi ini, ilmu pengetahuan serta pengalaman kita sungguh amat terbatas. Kendati telah melewati hidup selama bertahun-tahun, kita masih saja beranggapan bahwa keberadaan hutan sama sekali tidak bermanfaat.
Namun, dengan berlalunya waktu, baru diketahui dengan jelas bahwa ternyata manfaat dari keberadaan hutan sangat besar sekali bagi kehidupan manusia. Banyak barang-barang berharga yang bisa dihasilkan darinya.
Bukankah selama bertahun-tahun, banyak orang yang mengatakan bahwa 'amandei’ (sejenis daging tumbuh yang menempel di pangkal tenggorokan manusia) tidak ada manfaatnya. Malah ada yang mengatakan sangat berbahaya bagi kesehatan seseorang. Namun ternyata, baru-baru ini diketahui bahwa setiap harinya, amandel tersebut bekerja memproduksi sel-sel darah putih yang berfungsi sebagai pasukan pelindung tubuh dari serangan berbagai jenis mikroba. Selama bertahun tahun pula, banyak orang yang yakin bahwa usus buntu (appendix) tidak memiliki faedah apapun bagi tubuh seseorang. Sekarang, mereka justru mengatakan bahwa usus (buntu) kecil ini memiliki peranan yang cukup penting dalam melawan penyakit kanker.
Apabila dalam membaca atau mengkaji sebuah buku yang berbobot dan menarik, dijumpai satu atau dua kata yang tidak diketahui artinya dengan jelas, janganlah kita terburu-buru memaknainya. Termasuk pula, jangan buru-buru memunculkan dalam benak kita, prasangka negatif terhadap sang penulisnya.
Kini, setelah memahami makna sebenarnya dari kata 'adii’, serta mengetahui pula sebab-sebab kemunculannya yang bersumber dari penilaian serba dangkal dan tergesa-gesa, kita akan menapaki topik pembahasan berikutnya seputar pelbagai unsur pemicu kegelisahan manusia.
3. Sebab-sebab Kegelisahan Diri
Acapkali kita tidak menyadari bahwa pada dasarnya pelaku utama yang memicu terjadinya pelbagai derita hidup tak lain dari diri kita sendiri. Lebih menggelikan lagi, tuduhan sebagai penyebab munculnya seluruh kejadian pahit tersebut justru diarahkan kepada Allah. Karenanya, sadar atau tidak, kita sering melontarkan p&lbagai sanggahan dan protes seperti, "Wahai Tuhan, jika Engkau adalah Zat Yang Mahaadil, lalu mengapa musibah dan bencana ini menimpa diri kami?"
Tak diragukan lagi, sebagian besar musibah dan bencana itu terjadi akibat ulah kita sendiri. Misalnya, kalau kesehatan dan kebugaran fisik tidak dirawat, tentu tubuh kita akan digerogoti berbagai macam penyakit. Atau, tatkala kita menyaksikan timbulnya berbagai kerusakan (fasad), namum kita tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar (sesuai dengan kapasitas diri), tentu kejahatan-kejahatan tersebut akan segera menguasai diri kita.
Dan pada gilirannya, jangan heran, kalau doa yang kita panjatkan tidak akan pernah terkabulkan. Atau jika di halaman rumah kita terdapat sebuah kolam yang cukup dalam, namum tidak ditutupi pagar pembatas yang layak di sekelilingnya, jangan salahkan siapa pun kalau nanti ada seorang anak yang dekat leluasa mendekat, untuk kemudian tercebut dan tenggelam di dalamnya.
Dalam menghadapi deret permasalahan ini, sebagaimana biasanya, kita akan segera memanfaatkan bimbingan serta petunjuk al-Quran. Dalam hal ini, saya akan memaparkan sebagian darinya:
a.   “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan perbuatan tanganmu sendiri”.[10] Segenap musibah dan bencana yang menimpa kalian lebih dikarenakan perbuatan kalian sendiri. Kalian sendirilah yang memicu terjadinya penderitaan tersebut!
b.   “... dan apabila mereka ditimpa suatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu berputus-asa”.[11]
c.   “Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka ia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku”.[12] Tatkala Allah menurunkan ujian sehingga mereka terjebak dalam kesulitan dan kekurangan, dengan segera mereka akan mengatakan, “Allah telah menghinakan diri saya”. Padahal mereka sendirilah yang sebenarnya harus mencari asal-muasal terjadinya penderitaan yang menyengat itu. Ayat itu kemudian melanjutkan, “Sesekali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim dan kamu tidak mengajak memberi makan orang miskin”.
Sesungguhnya, Allah tidak akan menyumbat aliran rezeki seseorang. Kalaupun mereka berada dalam kesulitan dan kesusahan, ketahuilah bahwa semua itu merupakan akibat dari ulah mereka yang enggan menyantuni anak-anak yatim dan tidak menyerukan masyarakat agar membantu orang-orang miskin. Sikap mereka yang tidak mau perduli itulah yang memicu kemarahan dan kemurkaan Allah.
Ayat ini menjelaskan bahwa penyebab munculnya perbeduan perolehan karunia Allah tak lain dari perilaku manusia itu sendiri.
d. “... tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu, Allah mengenakan mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”.[13]
Pada ayat ini, Allah menyebutkan adanya sebuah desa yang diliputi pelbagai kenikmatan. Namun, dikarenakan mereka (penduduknya) bersikap ingkar (kufur)[14] terhadap segenap kenikmatan itu, Allah pada akhirnya menumpahkan bencana ketakutan dan kelaparan dalam kehidupan mereka. Dari paparan ayat tersebut, kita jelas mengetahui bahwa penyebab timbulnya gelombang bencana itu tak lain dari kekufuran dan keengganan mensyukuri nikmat Allah.
Berdasarkan pembahasan (poin ketiga) di atas, kita menyadari bahwa terjadinya sebagian besar musibah dan bencana yang menimpa lebih diakibatkan oleh tangan kita sendiri. Segenap perbuatan manusia yang tidak pantas dilakukan, pada hakikatnya menjadi sarana penyamhut kedatangan murka Allah dan segala macam bencana.
Sekaitan dengan itu, muncul sejumlah keberatan. Salah satunya, dalam kehidupan ini, acapkali kita menyaksikan adanya segelintir orang yang berbuat zalim dan aniaya. Namun, yang sangat mengherankan, mereka justru hidup bahagia!
Kalau dikatakan bahwa timbulnya segenap bencana yang melanda, lebih diakibatkan perbuatan manusia sendiri, lantas mengapa si fulan yang senantiasa berbuat buruk serta memiliki riwayat hidup yang kelam, tidak dihantam bencana dan musibah sebagaimana yang dialami orang lain?
Dalam hal ini, sesuai dengan pernyataan yang tercantum dalam sejumlah ayat dan riwayat, masing-masing manusia tidaklah memiliki posisi yang sama di hadapan Allah (dalam hal ini dilanda musibah atau bencana).
a.        Ada kelompok/golongan yang cepat mengalaminya.
b.        Ada kelompok/golongan yang diberi tenggang waktu.
c.        Sedangkan kelompok lain sekalipun seumur hidupnya senantiasa berbuat zalim namum tetap menjalani kehidupan bahagia memang sengaja tidak diberi bencana dan musibah. Keadaan semacam itu tetap bertahan dan ditangguhkan hingga harikiamat tiba. Sesuai dengan konsep “Pandangan Dunia” yang kita yakini, kehidupan ini tidak akan terlepas dari hari kiamat.
Perlakuan seorang pengajar (guru) terhadap masing-masing muridnya tentu akan berbeda-beda. Sebagian darinya ada yang dididik dengan cara dibentak atau dimarahai. Sementara kepada sebagian lainnya diberi kesempatan/tenggang waktu.
Adapun terhadap mereka yang sering bertindak keterlaluan, sang guru biasanya tidak langsung memperlihatkan tindak apapun. Dirinya lebih memilih untuk mendiamkan seraya menanti kesempatan untuk memberi nilai di akhir tahun ajaran nanti. Perbedaan sikap Allah tersebut jelas merupakan suatu Kebijaksanaan. Masing-masing alasan dan penyebab dilakukannya suatu perbuatan buruk dan keliru tentunya tidak serupa.
Karenanya, orang-orang yang melakukannya juga tidak akan dijatuhi hukuman yang sama. Adakalanya dalam menghadapi sejumlah kesalahan yang dtlakukan seorang murid teladan, seorang pendidik akan menunjukkan reaksi yang sangat berlebihan; sebabnya, ia sama sekali tidak mengharapkan itu dilakukan sang murid teladan tersebut. Lain hal jika itu dilakukan murid yang biasa-biasa saja atau bahkan yang berperangai buruk, tentu ia tidak akan bersikap sekeras itu.
Dalam al-Quran, kita dapat menyaksikan bagaimana Allah bisa sedemikian murka dan marah terhadap para wali dan nabi hanya lantaran mereka melakukan suatu perbuatan (yang terkadang bukan suatu dosa); pasalnya, seseorang yang mulia dan agung semacam mereka sama sekali tidak layak melakukan perbuatan semacam itu.
Namun terhadap orang lain, al-Quran mengatakan, “... dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka”.[15]
Pembinasaan yang Kami lakukan tak lain diakibatkan oleh perbuatan zalim penduduk desa bersangkutan. Semua itu tentunya sesuai dengan ketentuan serta batas-batas yang berlaku. Dengan kata lain, Kami tidak langsung menjatuhkan bencana dan musibah pada saat suatu kekeliruan atau keburukan dilakukan. Dalam membinasakan dan membalas tindakan buruk suatu kaum, Kami senantiasa bersabar dan menyediakan kesempatan. Tentunya bersamaan dengan itu, Kami tidak henti-hentinya melontarkan ancaman.
“Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan. padahal Allah sekali-kali tidak akan sekali-kali menyalahi janji-Nya”.[16]
Kami telah mengemukakan kepada masyarakat tentang sejarah kebinasaan  suatu  kaum. Orang-orang kafir ini mengatakan, “Lalu kenapa kita tidak diazah, sedangkan kita rnelakukan berbagai kezaliman dan penganiayaan, namun kita telap hidup bahagia?"
Mereka begitu bernafsu hendak merasakan siksaan Allah. Sementara Allah sendiri memastikan bahwa janji-Nva itu akan ditepati apabila memang sudah tiba waktunya.
Dengan demikianm adakalanya Allah tidak langsung membalas kezaliman dan penganiyaan yang dilakukan sebagian orang. Difirmankan, “... maka Aku beri tangguh kepada orang-orang kafir itu, kemudian Aku binasakan mereka itu”.[17] (Pertama-tama, Kami akan memberi kesempatan kepada orang-orang kafir itu untuk kemudian Kami menghancurleburkannya) Allah juga menjelaskan tentang masalah kesempatan yang diberikan kepada orang-orang kafir, “Danjanganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya dosa mereka bertambah; dan bagi mereka azab yang menghinakan”.[18]
Orang-urang kafir (yang tindakannya melampui batas) mengira bahwa penangguhan dan kesempatan (hidup) yang Kami berikan hanya akan menguntungkan mereka. Pemberian kesempatan tersebut tak lain ditujukan agar dosa-dosa mereka kian menumpuk dan timbangannya menjadi semakin berat. Dengan begitu, Kami akan menyiksa mereka dengan siksaan yang amat pedih dan menghinakan.
Setelah peristiwa pembantaian Imam Husain hin Ali bin Abi Thalib, Yazid beranggapan bahwa dirinya telah berhasil meraih kemenangan. Akan tetapi, sayidah Zaenab al-Kubra segera melantunkan ayat tersebut seraya menyatakan bahwa kebebasan, kemenangan, kebahagiaan, dan kekuasaan yang sekarang digenggam Yazid justru hanya akan makin memperberat timbangan dosa-dosanya. Pada dasarnya, kebahagiaan yang bersifat sementara ini merupakan sebaik-baiknya cara untuk menyiksa (Yazid atau orang kafir ada umumnya).
Sekaitan dengan itu, al-Quran mengatakan bahwa Allah mencurahkan kebahagiaan hidup kepada orang-orang tertentu agar mereka benar-benar terbuai dan merasa terikat (dengan kenikmatan itu).
Baru setelah itu, sekonyong-konyong Kami akan menenggelamkan mereka ke dalam kobaran api neraka. “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pinti-pinti kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”.[19]
Dikarenakan mengabaikan peringatan dan anjuran Kami, serta secara terang-terangan tidak menghiraukan segenap ketentuan Kami, maka Kami membukakan mereka berbagai pintu (kenikmatan). Kami mengalirkan berbagai macam kenikmatan agar mereka bersenang-senang dan merasa terikat dengannya.
Sesudah itu, secara mendadak Kami akan mencabut berbagai kenikmatan hidup mereka tersebut, sehingga jiwa mereka dicekam kebingungan, kegetiran, dan rasa putus asa. Mereka yang mengalami nasib semacam ini tak ubahnya seseorang yang memanjat sebatang pohon. Semakin tinggi panjatannya, semakin ia menyangka dirinya berhasil.
Namun, saat ia terjatuh dari puncak yang paling tinggi, barulah menjadi jelas baginya bahwa semua itu justru hanya menunjukkan tingkat siksaan yang akan diterimanya (semakin tinggi kejatuhan seseorang, semakin nyeri penderitaan yang akan ditanggungnya).
Alhasil, Allah memperlakukan sebagian orang dengan perlakuan semacam itu. Adapun terhadap seseorang yang memiliki keinginan dan harapan untukmemperbaiki diri, Allah berfirman, “... supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang lurus”.[20]
Kami memberikan balasan yang pedih terhadap segenap perbuatan buruk yang telah dilakukan agar mereka kembali (kejalan yang benar) dan memperbaiki diri. Sampai titik ini, kiranya terjawab sudah pertanyaan di atas tentang mengapa orang yang sering berbuat zalim tetap memiliki kehidupan yang menyenangkan dan bahagia, sementara sebagian lain yang begitu melakukan kesalahan, langsung mendapat balasannya.
Dalam hal ini, kita harus senantiasa memanfaatkan sebaik-baiknya, sekaligus juga mengukir dalam-dalam di benak dan sanubari kita, peringatan bahaya yang terkandung dalam pelbagai riwayat; yakni apabila kita terus-menerus berbuat dosa, sementara dalam kehidupan ini kita tidak menjumpai dan merasakan adanya kemurkaan dan kegusaran Allah, semestinya kita benar-benar merasa takut dan khawatir terhadapnya.
Sebab, besar kemungkinan kita sudah tidak lagi diberi peringatan oleh Allah, sehingga menjadikan siksa neraka menjadi satu-satunya jalan untuk menebus dosa-dosa tersebut. Keadaan semacam itu bisa kita sejajarkan dengan keadaan seorang pasien yang dibiarkan dokternya untuk berbuat apa saja.
Dokter itu tidak akan memberikan anjuran atau perintah apapun kepadanya dengan mengatakan, "Biarkan saja ia memakan makanan apapun yang diinginkannya." Allah, layaknya seseorang yang sedang muak, akan membiarkan sebagian orang untuk berbuat dosa sebanyak mungkin, “... perbuatlah apa yang kamu kehendaki...”.[21] Lakukanlah perbuatan apapun yang kalian inginkan. Para nabi yang merasa tidak mendapat tanggapan lagi dari kaumnya akan mengatakan,  “Dan (dia berkata), “Hai kaumku, beruatlah menurut kemampuanmu”.[22]
Wahai orang-orang yang senantiasa berbuat kebatilan, lakukanlan apa yang kalian kehendaki! Kita juga seringkali membaca dalam berbagai doa, “Wahai Tuhanku, janganlah Engkau serahkan diri kami pada diri kami sendiri”. “Wahai Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan kami sendiri”.
Singkat kata, amarah dan murka Allah kadangkala mengalir diam-diam bersama kebahagiaan dan kesenangan (duniawi), sehingga luput dari pandangan orang-orang yang berbuat zalim. Akibatnya, mereka menjadi lupa terhadap siksa hari kiamat yang tengah menanti.
4. Problema bencana dalam sudut pandang al-Quran
Ternyata, ada juga manusia yang tidak melakukan dosa dan kesalahan namun mengalami berbagai musibah dan bencana. Lalu, bagaimana pendapat al-Quran berkenaan dengan persoalan yang seolah-olah bertolak belakang dengan keadilan Ilahi semacam itu?
Dalam al-Quran, terdapat banyak pembahasan yang berkenaan dengan ujian Ilahi. Dikatakan bahwa salah satu kemestian dan sunnah Ilahi yang mantap, pasti, dan berlaku terhadap diri manusia adalah pengujicobaan (Tuhan kepada manusia) melalui sederetan bencana dan musibah.
Pendek kata, pelbagai musibah dan bencana tak lain dari cara atau sarana untuk menguji keimanan manusia. Allah berfirman, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”.[23]
Kami menguji kalian dengan rasa takut, kelaparan, paceklik, berkurangnya harta, nyawa, buah-buahan, serta segenap sumber penghasilan. Namun, Kami juga menyampaikan kabar gembira bagi mereka yang senantiasa tegar dan sabar dalam menghadapi himpitan situasi serta kondisi semacam itu.
Sekarang, kita akan menelaah sejumlah persoalan yang berkaitan dengannya.
a. Apakah dengan memberikan ujian berupa bencana dan musibah berarti Allah tidak mengetahui kepribadian serta perilaku seseorang secara hakiki?
Tidak diragukan lagi bahwa pengujian yang dilakukan-Nya bukan dimaksudkan untuk mengetahui keadaan jiwa dan reaksi manusia. Dia justru mengetahui secara hakiki segenap pemikiran dan perbuatan manusia. Dia mengetahui apa yang dipikirkan dan apa yang hendak diperbuat seseorang.
Pengujian tersebut semata-mata dimaksudkan agar manusia melakukan perbuatan tertentu sehingga menjadikannya layak diganjar pahala atau siksa. Dengan kata lain, Allah tidak akan mengganjar seseorang dengan pahala atau siksa apabila orang lersehul belum melakukan suatu perbuatan apapun. Sekalipun dalam hal ini, Dia mengetahui kebaikan dan keburukan seluruh umat manusia.[24]
b. Sarana macam apa saja yang digunakan dalam proses pengujian?
Berkenaan dengan soal kedua, saya telah mengungkapkan sebelumnya bahwa seluruh musibah dan penderitaan yang menimpa tak lain dimaksudkan sebagai sarana ujian bagi manusia.
Al-Quran mengatakan, “... Kami menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan...”.[25] Harta dan jiwa juga bisa menjadi sarana ujian, “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan dirimu”.[26] Yang terang, kita pasti bakal diuji dengan perantaraan harta dan jiwa kita.
c. Bagaimana reaksi masyarakat terhadap kejadian pahit yang dialaminya?
Salah seorang sahabat pernah mengatakan bahwa dalam menghadapi pelbagai kejadian, keberadaan manusia terbagi ke dalam empat kelompok:
Kelompo pertama terdiri dari orang-orang yang kontan menjerit seraya mempertanyakan keadilan Allah, mencaci-maki kebijakan dan anugerah-Nya (serta sistem yang berlaku di jagat alam ini), tatkala menghadapi suatu peristiwa getir dan tidak menyenangkan.
Sekaitan dengan sikap semacam itu, al-Quran menyatakan, “Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh-kesah”.[27] Ya, begitu didera kesulitan dan musibah yang berkecamuk, mereka langsung galau, berteriak, dan berkeluh kesah.
Sementara kelompok kedua, memiliki ketegaran jiwa dan sanggup bertahan dalam badai kesulitan yang menerpa kencang. Mereka senantiasa berucap dalam hati, “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami akan kembali). "[28]
Sedangkan kelompok yang ebih tinggi kualitasnya dari kelompok kedua. Sebabnya, dalam menghadapi sederet penderitaan dan musibah, mereka tidak hanya bersabar dan menahan diri, namun juga bersyukur kepada Ilahi. Dalam doa Asyura', kita membaca kalimat sebagai berikut, “Ya Allah, bagi-Mu segala puja-puji orang-orang yang bersyukur kepada-Mu atas musibah yang menimpa diri mereka...”.[29]
Ya Allah, rasa syukur yang kami panjaekan kepada-Mu sama dengan rasa syukur para pengikut Imam Husain tatkala didera musibah. Alhasil, orang-orang yang menghadapi rangkaian kesulitan demi menggapai citanya menegakkan ajaran Allah dan menjemput kesyahidan di jalan-Nya, kemudian berhasil, dengan serta merta akan bersyukur kepada Allah.
Adapun kelompok terakhir atau yang keempat, yang boleh jadi memiliki kualitas lebih tinggi dari tiga kelompok sebelumnya terdiri dari orang-orang yang tidak hanya selalu berprasangka baik pada keadilan dan anugerah Allah, dan juga bukan hanya bersabar dan bersyukur atas musibah yang dialaminya. Lebih dari itu, mereka malah dengan senang hati akan berlari dan menceburkan diri ke dalam telaga penderitaan dan musibah.
Dalam al-Quran, disebutkan tentang sejumlah sahabat yang menemui Nabi saww guna meminta bantuan serta perlengkapan perang. Nabi saww kemudian bersabda, “Saya tidak memiliki perlengkapan perang (kuda dan pedang) yang dapat diberikan kepada kalian”.
Akhirnya, mereka semua pun pulang dengan hati masygul dan tangisan seraya bergumam, “Kenapa kita tidak dapat ikut menyusul dan bergabung bersama pasukan Islam lainnya demi mengorbankan jiwa dan raga di jalan Islam?”[30]
Dengan begitu, terdapat bentuk penyikapan yang beraneka ragam dari masing-masing individu atau masyarakat dalam menghadapi rentetan kesulitan. Apabila Anda memberikan sebutir bawang merah kepada seorang anak kecil, yang kemudian menggigitnya, apa yang akan terjadi?
Tentu seketika itu pula si anak tersebut akan berteriak, menjerit, meneteskan air mata (lantaran merasa pedas), dan langsung mencampakkan bawang tersebut. Sebaliknya, seseorang yang sudah dewasa justru amat menggemari dan bahkan membeli bawang merah pedas tersebut setiap hari.
Demikianlah ilustrasi yang mengena tentang pelbagai kesulitan dan musibah yang mungkin terjadi dalam kehidupan ini; sebagian orang berusaha berlari dan menjauh darinya; sebagian lainnya justru mendatangi dan menyambutnya.
d. Bagaimana cara memperoleh kemenangan dalam menghadapi pelbagai kesulitan?
Kita telah meyakini bahwa Allah Mahaadil. Adapun rentetan bencana dan musibah yang mengguncang, akan dipahami sebagai lahan uji-coba bagi manusia agar segenap potensi yang bersemayam dalam dirinya bertumbuh dan berkembang.
Lantas, apakah yang mesti kita lakukan dalam menghadapi rangkaian musibah dan ujian tersebut sehingga pada akhirnya kita berhasil keluar sebagai pemenang?
Untuk memecahkan problem itu, seperti biasa, saya akan berpedoman kepada al-Quran. Sebagaimana diperlihatkan al-Quran, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar kita sanggup menggapai keberhasilan dalam menghadapi serangkaian penderitaan, pertama, memiliki "Pandangan Dunia Ilahiah". Seraya memuji orang-orang yang bersabar, al-Quran mengungkapkan bahwa semua itu dikarenakan mereka memiliki Pandangan Dunia Ilahiah.
Tatkala diterkam musibah, pada satu sisi mereka akan mengatakan, "Kita adalah untuk Allah, kita tidak dapat berdiri sendiri dan tidak memiliki tuntutan apapun kepada-Nya. Kehadiran dan keberadaan kita, serta seluruh kenikmatan yang terhampar ini semata-mata berasal dari-Nya. Kita tak lain hanyalah pemegang amanat."
Sementara pada sisi yang lain, mereka juga akan mengatakan, "Dunia hanyalah tempat lintasan belaka, bukan tempat yang kekal dan abadi yang menjadikan kita mengatakan, 'Mengapa kita harus meninggalkan (kehidupan) dunia ini?’
Berkat kematian, kita akan pergi menuju kepada-Nya, dan kita sama sekali tidak akan musnah. Sekarang kita ada dan setelah mati pun akan tetap ada. Semua itu tak ada bedanya; tempat kehidupan memang berbeda, namun diri kita tidak akan musnah."
Pandangan Dunia semacam inilah yang mengalirkan energi yang luar biasa besar ke dalam diri manusia sehingga menjadikannya begitu tegar dalam menghadapi pelbagai derita dan musibah.
Pandangan Dunia yang menitis dalam kesadaran mereka tak lain dari, “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un”.[31]
Syarat kedua adalah mengetahui rangkaian sunah Ilahiah. Dalam sejumlah ayatnya, al-Quran mengatakan bahwa manusia tidak akan mungkin bisa memasuki surga tanpa diiringi usaha dan kesusahpayahan.
Kita, sebagaimana umat-umat sebelumnya, harus terlebih dahulu mengarungi telaga kesulitan dan penderitaan. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang beriman yang bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”.[32]
Apakah kalian mengira bakal masuk surga tanpa terlebih dulu menghadapi rentetan kejadian pahit sebagaimana yang menimpa umat-umat terdahulu? Orang-orang mukmin sebelum kalian telah ditimpakan pelbagai kesulitan sampai-sampai jiwa mereka terguncang dan bertanya-tanya kepada Rasul saww serta para pengikut setia beliau, "Manakah pertolongan Allah?" Namun, ketahuilah, pertolongan Allah akan dihembuskan dalam waktu dekat.
Pada dasarnya, ayat ini hendak menyatakan bahwa sepanjang sejarah, orang-orang mukmin tidak pernah luput dari pelbagai rintangan hidup yang sangat menyulitkan dan menyusahkan. Dan, sekarang, giliran kalian yang harus menghadapinya!
Peristiwa getir yang kalian hadapi itu bukanlah yang pertama kali terjadi. Selain itu, kalian juga bukanlah orang pertama yang menghadapinya. Semua itu merupakan tatanan dan lintasan sejarah yang mesti kalian lampaui. Al-Quran berulang-kali mengatakan kepada Rasul saww untuk senantiasa memperhatikan sejarah kehidupan pribadi si fulan atau kelompok fulan, agar tidak sampai muncul dugaan kalau-kalau kejadian pahit tersebut hanya menimpa dirinya.[33]
Ketika memperoleh pemahaman yang penuh tentang munculnya kesulitan serta derita hidup yang pada dasarnya bersumber semata-mata dari ketentuan dan sunnah Ilahiah yang berlaku umum dan menjangkau setiap individu manusia, tentu seseorang akan lebih siap menghadapi kesulitan dan penderitaan.
Sebagai contoh, seseorang yang melaksanakan ibadah puasa. Tentunya ibadah puasa di bulan Ramadhan akan lebih mudah ditunaikan seseorang mengingat pada saat bersamaan hamplr semua orang (Muslim) juga berpuasa. Lain hal jika ibadah puasa dijalankan di luar bulan Ramadhan. Jelas, tingkat kesulitannya akan jauh lebih tinggi.
Dalam memerintahkan pelaksanaan ibadah puasa, al-Quran menyatakan, wahai orang-orang beriman, janganlah kalian mengira bahwa keharusan (berpuasa) ini hanya khusus untuk kalian saja. Seluruh umat yang terdahulu juga menjalankan ibadah puasa, “... sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”. (al-Baqarah: 183)
Pengetahuan tentang sejarah masa lalu, sebagaimana juga pengetahuan tentang masa depan, sangat berpengaruh terhadap kesabaran dan ketcgaran hati manusia.
Nabi Hidhr as pernah berkata kepada Nabi Musa as, bahwa dikarenakan tidak mengetahui rahasia perbuatannya (Nabi Hidhr), maka Nabi Musa tidak mampu menahan diri. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang itu”.[34]
Suatu hal yang dapat memupuk kesabaran diri seseorang adalah mengenal orang-orang yang sabar sekaligus mengetahui pelbagai bentuk kesabaran. Pengetahuan tentang sejarah para pendahulu merupakan kunci keberhasilan kita dalam menghadapi dan memahami segenap peristiwa. Dalam pelbagai ayatnya, al-Quran acapkali mencantumkan contoh serta teladan berbagai individu atau umat yang sabar serta tegar dalam mengarungi samudera kehidupan.Tatkala menghadapi para penentangnya yang cukup keras, para nabi Allah selalu menyatakan, “... dan kami sungguh-sungguh akan bersabar atas gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami”.[35]
Kami akan tetap bertahan dalam menghadapi berbagai bentuk gangguan yang kalian lancarkan terhadap diri kami. Para penyihir yang datang memenuhi undangan Fir'aun demi mengalahkan Nabi Musa as, begitu menyaksikan kebenaran Nabi Musa as, langsung menyatakan beriman kepadanya.
Sedangkan dalam menghadapi ancaman Fir’aun, mereka mengatakan, “... maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja”.[36]
Lakukanlah apa yang engkau kehendaki terhadap kami. Toh, kami telah menemukan kebenaran dan tidak akan mungkin melepaskannya.
Sementara syarat yang efea adalah memiliki kesadaran bahwasannya Allah pasti mendengar segenap ucapan, melihat setiap perbuatan, dan meringankan kesulitan yang dihadapi manusia.
Dalam salah satu firman-Nya, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menemui Fir'aun, seraya menyampaikan ajaran-ajaran kebenaran. Allah juga menegaskan bahwa diri-Nya senantiasa bersama dan mendengar pembicaraan mereka berdua, “... sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat”.[37]
Allah Juga telah memerintahkan Nabi Nuh as untuk membuat sebuah bahtera, Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami”.[38]
Pada saat Nabi Nuh as mulai membuat bahtera tersebut, setiap orang kafir yang melintas di dekatnya langsung mengolok-olok dan mencemooh dirinya, seraya mengatakan, “Tampaknya dengan menjadi nabi engkau tidak memperoleh hasil, sehingga pada akhirnya engkau menjadi tukang kayu!”
Dalam keadaan demikian, yang menjadikan hati Nabi Nuh as diliputi kesabaran dan daya tahan yang luar biasa tak lain dari firman Allah yang menyebutkan, “Aku senantiasa melihatmu” dan “engkau selalu dalam pengawasan-Ku”. Kekuatan iman semacam inilah yang sanggup menghidupkan tekad manusia untuk bersabar dan bertahan.
Syarat Keempat, yang berkenaan dengan kesanggupan untuk menghidupkan semangat kesabaran dalam diri manusia adalah memiliki perhatian terhadap ganjaran pahala dan kebaikan. Seseorang yang bersedia menanggung beban penderitaan di kehidupan dunia ini akan memperoleh kucuran pahala yang cukup besar di kehidupan akhirat kelak. Al-Quran banyak menyajikan contoh-contoh menarik yang berkenaan dengan hal itu.
Adapun syarat kelima adalah senantiasa meminta pertolongan kepada Allah melalui shalat, doa, dan kesabaran, “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat...”.[39]
Kesimpulannya, Allah memang Mahaadil. Segenap musibah dan derita yang melanda kita tak lebih dari rangkaian ujian Ilahi. Dalam menghadapi pelbagai ujian tersebut, keberadaan masyarakat terbagi ke dalam empat golongan. Selain itu, telah dijelaskan pula sejumlah cara jitu untuk menggapai keberhasilan dalam mengarungi samudera ujian dan cobaan hidup.

Masalah Kelima

Berbagai kebimbangan yang muncul dalam benak sekaitan dengan keadilan Ilahi, pada dasarnya bersumber dari proses pemahaman yang menyimpang dan penarikan kesimpulan yang keliru. Akibatnya, sering tanpa disadari, seseorang akan melontarkan keberatan serta kritikan (yang menggelikan) kepada Allah. Sebagai contoh, jika dianggap bahwa kematian itu tak lebih dari kemusnahan, tentu kita akan melancarkan sanggahan bernada sinis, "Wahai Tuhan, mengapa si fulan mati?"
Juga pada saat kita menyangka bahwa keberadaan dunia ini merupakan tempat tinggal yang bersifat abadi, tentunya kita dengan lirih akan mengeluh, "Mengapa mereka mesti tewas mengenaskan diterjang gempa bumi, banjir, dan penyakit...?"
Kita sering menduga kalau dunia ini merupakan sebuah tempat yang menyenangkan dan membahagiakan sampai-sampai kita mempertanyakan, "Mengapa mesti terjadi malapetaka?" Sikap semacam itu menjadikan kita tak ubahnya se

KEADILAN (al-‘Adl)

Dengan menyebut nama Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Salawat dan salam atas Muhammad dan keluarganya yang suci dan mulia.
Pada pembahasan tauhid, saya telah menguraikan topik yang berkenaan dengan "Pandangan Dunia Ilahiah" secara panjang lebar. Selain itu, saya juga menyinggung sejumlah problem yang berkaitan dengan ketauhidan dan kesyirikan.
Kali ini, saya akan mengkaji dan memaparkan poros kedua dari akidah Islam yakni al-‘adl (keadilan). Allah Swt telah menganugerAbi kekuatan akal kepada manusia. Lewat kekuatan itu, manusia dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Lebih khusus lagi, seseorang akan sanggup mengetahui bahwa perbuatan zalim merupakan keburukan, sedangkan perbuatan adil adalah kebaikan. Kita yakin bahwa Allah mustahil berlaku buruk. Pada Zat-Nya, Allah suci dari sifat zalim dan aniaya. Sebab, berbagai kezaliman dan tindakan aniaya (sebagaimana sering kita saksikan melekat pada diri manusia) pada dasarnya bersumber dari sifat-sifat berikut ini:
1. Kebodohan (al-jahl). Tak jarang, kebodohan dan ketidaktahuan menjadi sumber kezaliman. Misalnya saja, seseorang tidak tahu bahwa ras putih dan ras hitam pada hakikatnya tidak memiliki perbedaan satu sama lainnya. Namun, entah mengapa, orang-orang dari ras putih kemudian merasa dirinya lebih unggul (superior) dari ras hitam, sehingga melegitimasi dirinya untuk memperlakukan ras hitam secara sewenang-wenang. Sumber kezaliman ini tidak lain dari ketidaktahuan atau egosentrisme. Dikarenakan menganut berbagai bentuk pemikiran serta pemahanun yang menyimpang, atau bahkan kebodohan, seseorang niscaya akan bertindak zalim. Akan tetapi, mungkinkah Allah, Tuhan Yang Mahasuci dan yang tak terbatas ilmu-Nya sehingga jauh dari kebodohan, bertindak zalim?
2. Rasa takut (al-khauf). Timbulnya tindak kezaliman bisa juga diakibatkan oleh rusa takut yang mencekam. Umpama, seseorang yang merasa tersaingi orang lain. Lantaran dirinya merasa terancam, takut dan khawatir kalau-kalau kekuatan dan kedudukannya bakal pudar, ia pun tidak segan-segan bertindak aniaya dan serba keterlaluan terhadap para pesaingnya. Dalam upaya memperkokoh kekuasaannya, para pemimpin yang zalim (thaghut) tidak akan sungkan-sungkan bertindak  zalim kepada para penuntut kebebasan dan kemerdekaan. Dalam hal ini, apakah Allah memiliki saingan? Apakah kekuasaan Allah masih harus diperkuat dan diperkukuh?
3. Memerlukan (al-ihtiyaj) dan serba kurang (an-naqsh). Adakalnya, perbuatan zalim timbul lantaran didorong oleh suatu kebutuhan. Desakan kebutuhan jasmaniah atau ruhaniah bisa saja memaksa untuk memperlakukan sesamanya secara buruk, tercela, dan zalim.
4. Acapkali pula, munculnya kezaliman bersumber dari pelbagai sifat buruk yang bersemayam dalam jiwa seseorang. Bahkan sebagian orang sedemikian menderita jiwanya (psikopatis) sampai-sampai memiliki perilaku yang begitu sadis; dirinya merasa senang dan bahagia tatkala menyakiti seseorang atau menyaksikan penderitaan orang lain.
Kini kita telah mengetahui sejumlah faktor pemicu timbulnya kezaliman. Lantas, adakah faktor-faktor semacam itu pada Zat Allah yang memungkinkan-Nya berbuat zalim? Al-Quran  menegaskan, “... dan tiadalah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya”.[1] Berdasarkan ayat tersebut, Allah sama sekali tidak berhasrat untuk bertindak zalim terhadap seluruh makhluk (ciptaan) yang menghuni jagat alam ini.
Kalau Tuhan memerintahkan kita berbuat adil[2], mungkinkah diri-Nya sendiri berbuat zalim? Apakah masuk akal apabila Allah memerintahkan manusia (yang lemah dan senantiasa dirongrong tuntutan hawa nafsu) agar jangan sampai kebenciannya terhadap suatu kaum menjadikannya bersikap tidak adil[3], sementara diri-Nya sendiri (yang memiliki kekuatan tak terbatas dan tidak terpengaruh segenap kecenderungan hawa nafsu) bakal berbuat zalim?!

Cara Mengenal Sifat-sifat Allah

Cara yang ditempuh dalam mengenal sifat-sifat Allah lebih kurang sama dengan cara mengenal Zat Allah. Ini tak ubahnya dengan sebuah tulisan yang bisa dijadikan petunjuk bagi keberadaan penulisnya. Umpamanya, dari bentuk tulisannya dapat diketahui bagaimana sebenarnya kafakter sangpenulis. Dari kalimat-kalimat yang tertera dalam tulisan tersebut, dapat pula diketahui sampai sejauh mana penguasaan sang pengarang terhadap bahasa serta topik yang diuraikannya.
Selain itu, dapat juga diketahui seberapa banyak perbendaharaan kata yang dimilikinya. Tulisan tersebut juga dapat dijadikan tolok ukur kemampuan sang pengarang dalam menyusun sebuah karya tulis (berbobot ataukah picisan belaka). Lebih dari itu, tulisan tersebut juga akan mencerminkan semangat serta tujuan pengarangnya. Kalau memang demikian halnya, tentu setiap ciptaan (makhluk) akan merefleksikan dua hal; (a) mengenal penciptanya; (b) mengetahui sifat, keadaan, dan tujuan penciptaan.[4]

Keadilan: Prinsip Agama

Sekalipun Allah memiliki cukup banyak sifat seperti MAllahijaksana, Mahakuasa, Mahatahu, dan seterusnya, lantas mengapa justru konsep keadilan, dan bukan salah satu dari sifat di atas, yang dijadikan prinsip keagamaan?
Mengapa tidak dikatakan bahwa prinsip keagamaan yang pertama adalah tauhid, sedangkan yang kedua adalah hidup (al-hayah) atau Mahamengetahui (al-'alim)? Atas dasar apa menjadikan keadilan sebagai prinsip keagamaan yang kedua setelah ketauhidan?
Salah satunya adalah untuk menanggapi sekelompok kecil masyarakat Islam-kaum 'Asy'ariyah-yang tidak beranggapan bahwa Allah senantiasa bertindak adil. Mereka (kelompok 'Asy'ariyah) mengatakan bahwa apapun yang dilakukan dan dikehendaki Allah adalah benar dan adil, sekalipun menurut akal serta pengetahuan kita, semua itu buruk, tercela, dan zalim!!
Misalnya dikatakan, "Apabila Allah hendak memasukkan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib ke dalam neraka, sementara Ibnu Muljam ke dalam surga, semua itu tentu tidak ada masalah." Jelas, kita akan menolak rumus berpikir semacam mi. Kita yakin betul bahwa keadilan merupakan bagian dari prinsip akidah.[5] Berdasarkan pikiran logis yang dikuatkan ayat-ayat al-Quran, kita akan menjumpai baliwasannya segenap perbuatan Allah benar-benar bijaksana dan ditandasi oleh perhitungan yang sangat cermat. Dia sama sekali tidak akan pernah melakukan perbuatan buruk dan tercela. Keimanan terhadap keadilan Ilahi berpengaruh besar dalam membenahi manusia:
1. Sebagai kontrol terhadap dosa-dosa. Tatkala meyakini bahwa ucapan dan perbuatannya senantiasa berada di bawah pengawasan-Nya, tentu seseorang tidak akan meremehkan perbuatannya sekecil apapun. Dirinya yakin betul bahwa kelak segenap perbuatan (baik atau buruk) yang pernah dilakukannya akan diganjar. Seraya itu, ia juga akan beranggapan bahwa mustahil dirinya dilepas begitu saja tanpa adanya ikatan atau aturan (yang dalam hal ini banyak dibahas al-Quran dalam pelbagai ayatnya).
2. Berprasangka baik. Seseorang yang mengimani keadilan Ilahi akan berprasangka baik terhadap sistem yang beroperasi dijagat alam ini. Keyakinan terhadap keadilan Allah niscaya akan menjadikan seseorang beranggapan bahwa pelbagai kejadian pahit yang menimpanya tak lain dari sesuatu yang menyenangkan. Orang semacam ini tidak akan pernah merasa getir dan berputus asa.
3. Keimanan terhadap keadilan Ilahi merupakan faktor penggerak timbulnya keadilan dalam konteks kehidupan individu maupun masyarakat. Setiap orang yang rneyakini keadilan Allah, tentu akan mudah menerima keadilan dalam hidupnya, baik secara individual maupun sosial.

Makna Keadilan

Sebenarnya, persoalan utama yang terkandung dalam topik keadilan ini terkait erat dengan bagaimana menjawab pelbagai sanggahan. Dalam menanggapi sanggahan-sanggahan tersebut, saya akan menukil dan menguraikan secara singkat sejumlah ayat al-Quran serta hadis Nabi saww.
1. Allah Mahaadil
Dalam arti, Dia tidak akan menghilangkan hak seseorang. Dia juga akan senantiasa mencurahkan karunia-Nya kepada setiap makhluk sesuai dengan ketentuan alam yang berpijak di atas kebijaksanaan-Nya. Kezaliman berarti menghilangkan atau merampas hak secara paksa. Kalau memang demikian, maka makna keadilan dan kezaliman tak lain dari sesuatu hal yang berhubungan erat dengan keberadaan hak tertentu.
Sekarang, marilah kita telaah bersama, apakah Allah memiliki tuntutan tertentu? Apakah seluruh makhluk yang ada sejak pertama kali diciptakan telah memiliki suatu hak, untuk kemudian diabaikan, dirampas, dan dilenyapkan? Apakah sejak dahulu kala kita telah memiliki sesuatu (hak) untuk kemudian lenyap oleh suatu kezaliman?
Yang jelas, di jagat alam ini, terdapat pelbagai ciptaan dalam bentuknya yang berbeda satu sama lain. Sebagian benda mati, sebagian lain benda hidup. Sebagian binatang, sebagian lainnya manusia. Akan tetapi, seluruh ciptaan tersebut sebelumnya sama sekali tidak memiliki hak eksistensial apapun, yang kemudian bisa dikatakan tidak diakui atau bahkan dirampas dan dilenyapkan. Misalnya, seseorang yang merobek-robek selembar permadani yang lebar.
Dalam hal ini, permadani yang sebelumnya memiliki ukuran yang lebar tersebut, setelah dirobek-robek, tinggal menjadi serpihan-serpihan kecil alias tidak lebar lagi (kehilangan kelebarannya). Berbeda, misalnya,ketika permadani tersebut memiliki ukuran yang kecil sejak pertama kali ditenun. Jelas, permadani kecil itu tidak memiliki alasan untuk mengatakan, "Mengapa saya kecil?"
Sebab, sebelumnya ia (permadani berukuran kecil tersebut) bukanlah sesuatu dan tidak ada (eksistensinya) sama sekali. Dan Ketika diadakan (ditenun seseorang) pun, permadani tersebut sama sekali tidak memiliki ukuran yang besar, yang kemudian seseorang merampas dan meniadakan ukurannya yang besar tersebut.
Allah menciptakan seluruh makhluk (yang sejak awal keberadaannya tidak memiliki hak serta tuntutan) dengan pelbagai perbedaan dengan mendasarkannya pada kebijaksanaan tak tertandingi.
Dalam jagat alam ini, diberlakukan sebuah sistem kausalitas atau sebab-akibat) yang menyediakan jalan tertentu bagi setiap ciptaan.
Allah juga membebankan tugas dan kewajiban kepada segenap makhluk-Nya (yang sesungguhnya semua itu diperuntukkan semata-mata begi pemenuhan kepentingan makhluk bersangkutan).
Selain itu, Allah juga sama sekali tidak membeda-bedakan (bersikap diskriminatif) ras, umat atau individu yang satu dengan ras, umat, atau individu yang lain dalam hal pemberian pahala dan siksa. Mereka semua akan diganjar pahala dan siksa secara adil dan bijaksana.
Ambil contoh sebuah pabrik yang selain membuat mur dan baut kecil juga membuat ban mobil yang berukuran besar. Dapatkah dikatakan bahwa pengelola pabrik tersebut — dikarenakan adanya perbedaan dalam memproduksi; produk yang satu kecil yakni mur dan baut, sementara produk yang lain berukuran besar yaitu ban mobil— telah bertindak zalim? Apakah mur dan baut itu sendiri berhak menggugat? Yang pasti, jawabannya adalah negatif.
Sebabnya, sistem kerja sebuah mobil memerlukan mur dan baut yang berukuran kecil, sekaligus juga beberapa buah ban yang besar. Perlu digarisbawahi bahwasannya ketiga jenis benda tersebut sebelumnya tidak eksis. Namun, lantaran adanya kegunaan tertentu, pengelola pabrik itupun lantas menciptakan ketiganya.
Di samping beberapa kemungkinan di atas (yang sudah terpatahkan), masih ada lagi satu kemungkinan bagi terjadinya tindak kezaliman; soal pembebanan fungsi mur dan baut serta roda yang besar. Apabila seluruh bagian (mobil itu) telah berhasil diproduksi, dan kemudian masing-masingnya tidak diberi beban fungsi yang melebihi kapasitasnya, tentu tidak dapat dianggap bahwa dalam hal ini telah terjadi tindak kezaliman.
Sebabnya semua produk tersebut diperlakukan secara proporsional dan sesuai dengan batas-batas fungsinya masing-masing. Mengapa hanya sedemikian saja batas-batas fungsinya?
Jelas, seluruh bagian-bagian mobil yang diproduksi itu secara prinsipil tidak berhak menuntut (agar fungsi dirinya melampaui batas-batas tertentu) kepada pengelola pabrik disebabkan sebelumnya mereka (bagian-bagian mobil itu) memang tidak eksis.
Selain itu, sang pengelola pabrik juga tidak memiliki pengharapan yang berlebihan akan fungsi masing-masing bagian tersebut. Sungguh, kalau tetap dipaksakan melampaui batas fungsi masing-masing, keadaannya tentu akan sangat menggelikan (mur dan baut berfungsi sebagai roda mobil, atau sebaliknya).
Sekarang, setelah memiliki kejelasan tentang makna yang sebenarnya dari kata ‘adil’ dan 'zalim', kita perlu memperhatikan noktah penting berikut ini: keadilan tidak selamanya identik dengan sama rata.
Apabila, misalnya, seorang guru tanpa pandang bulu memberikan nilai yang sama kepada seluruh muridnya—tanpa memperhatikan kerajinan serta usaha belajar masing-masing murid—tentu bisa dikatakan bahwa ia telah bertindak zalim. Perbuatan guru tersebut persis sama dengan perbuatan zalim seorang dokter yang memberi obat yang sama kepada seluruh pasiennya tanpa terlebih dulu memeriksa kondisi masing-masingnya (yang tentunya mengidap penyakit yang berbeda-beda sehingga meniscayakan obat yang berbeda-beda pula).
Keadilan yang niscaya bagi seorang dokter dan guru ialah ketika mereka memberi angka (sang guru) dan obat (sang dokter) yang berbeda-beda. Dan, perbedaan ini bukanlah sebuah diskriminasi. Perbedaan tersebut merupakan sesuatu yang niscaya, alamiah, wajar, dan bukan sekadar bermain-main. Segenap perbedaan yang diberlakukan dilandasi oleh suatu kebijaksanaan. Dengan demikian, perlakuan membeda-bedakan dan tidak pukul rata, selama masih berada dalam lingkup kebijaksanaan, tidak dapat dikatakan sebagai tindakan zalim.
2. Penarikan kesimpulan secara gegabah
Pada dasarnya, banyak sanggahan yang kita ajukan berpijak di atas tandas pemahaman yang serba dangkal, penilaian yang gegabah, serta pemikiran yang kurang matang. Dalam kesempatan ini, saya akan mengemukakan beberapa contoh yang dimaksudkan sebagai cermin jernih tempat kita mengaca diri:
a. Demi memenuhi kepentingan masyarakat umum, sebuah pemerintahan Islam membuat kebijakan untuk membuat jalan raya yang lebarnya 45 meter. Dibuatnya jalan tersebut disebabkan oleh terjadinya lonjakan jumlah mobil dan penduduk.
Dalam proses pembuatannya, sudah barang tentu akan menyulitkan segelintir warga penduduk yang rumahnya digusur; mesti mengambil uang ganti rugi tanah dan rumah masing-masing dari pihak pemerintah, untuk kemudian mencari tempat tinggal baru di kawasan lain. Alhasil, mereka harus menanggung berbagai kesulitan.
Namun, kenyataan itu tidak meniscayakan usaha pemerintah (membangun jalan raya publik) yang akan bermanfaat dan memberi kenyamanan bagi masyarakat luas harus dihentikan. Islam lebih menitikberatkan pemenuhan hak-hak sosial ketimbang hak-hak pribadi. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepada Malik al-Asytar, "Temuilah mereka yang menimbun berbagai hal yang dibutuhkan masyarakat, dan nasihatilah mereka serta sampaikanlah amar ma’ruf dan nahi munkar. Jika mereka tetap menjalankan kegiatannya, tindaklah mereka dengan keras.”[6]
Kemudian beliau berkata, "Penimbunan, sekalipun mendatangkan manfaat pada individu, akan merugikan masyarakat."[7] Pada kesempatan lain, beliau juga berkata, “Dalam mengelola pemerintahan, hendaklah senantiasa diperhatikan kerelaan masyarakat sekalipun menyebabkan ketidaksenangan orang-orang dekat”.
b. Konon, pernah hidup seseorang yang memelihara seekor anjing dalam rumahnya. Pada suatu hari, demi suatu keperluan yang mendesak, ia pergi keluar rumah dan meninggalkan bayinya yang masih menyusui bersama anjingnya itu. Dalam perkiraannya, ia bakal cepat kembali ke rumah. Namun, tatkala pulang ke rumah, dirinya disambut sang anjing dengan mulut yang berlumuran darah. la langsung beranggapan, jangan-jangan anjing ini telah menerkam dan membunuh si bayi.
Dengan rasa marah, ia lantas mengangkat senapannya dan menembak anjing tersebut. Setelah itu, ia bergegas masuk ke dalam rumah. Namun, kejadian yang sesungguhnya ternyata amat jauh berbeda. la menjumpai anaknya yang masih bayi itu tidak mengalami cedera apapun.
Kejadian sebenarnya begini. Sewaktu pergi, ia meninggalkan pintu rumahnya yang berlokasi di pinggiran kota itu dalam keadaan terbuka. Tak urung, seekor serigala pun datang dan dengan mudah masuk ke dalamnya.
Kemudian, dengan leluasa pula ia bisa memasuki kamar tidur si bayi mungil itu dan berusaha menyerangnya. Adapun anjing yang bertugas melindungi bayi tersebut berusaha mati-matian melindungi si bayi dan mengusir serigala tersebut keluar dari rumah. Dengan mengunakan kuku serta taringnya yang tajam, anjing itu menyerang balik sang serigala. Dalam perkelahian itu, sang serigala akhirnya menderita luka-luka yang mengeluarkan darah, untuk kemudian lari terbirit-birit keluar dari rumah. Namun sayang, akibat penilaian sang pemilik rumah yang tergesa-gesa itu, alih-alih ungkapan terima kasih yang diterimanya, anjing yang telah berjuang sekuat tenaga menyelamatkan si bayi tersebut, malah harus meregang nyawa dan mati dibunuh tuannya sendiri!
Sang pemilik rumah segera saja menyesali perbuatannya itu dan menghampiri tubuh anjingnya yang telah terkapar. la berharap bisa menyelamatkannya dari kematian. Namun nasi telah menjadi bubur, anjing tersebut telah mati dengan meninggalkan rasa sesal yang begitu getir.
Orang tersebut kemudian berkata, "Aku mcnatap bola mata anjingku yang ketika itu sedang dalam keadaan terbuka dan hatiku mendengar suara jeritannya yang parau, 'Wahai manusia, betapa engkau amat tergesa-gesa! Mengapa engkau memberikan penilaian secara gegahah? Mengapa engkau terlebih dulu tidak masuk ke dalam rumah? Engkau telah membunuhku tanpa disertai alasan yang jelas."
Setelah melakukan tindakan yang amat disesalinya itu, sang pemilik rumah menulis sebuah artikel yang bertajuk "Wahai Manusia, Betapa Cepatnya Engkau Menilai".
Dalam sejumlah kisah lain, kita juga acapkali menyaksikan bagaimana sejumlah orang yang memanjatkan doa, namun tidak dikabukan Tuhan, pada akhirnya justru menyadari kebaikan dari tidak terkabulnya doa tersebut.
Dari segenap contoh yang berkenaan dengan ketergesa-gesaan penilaian yang acapkali berakibat fatal tersebut, al-Quran mengajukan berbagai sanggahan yang sangat jitu. Dalam hal ini, al-Quran senantiasa memperingatkan, "Wahai manusia, sebagian besar dari dugaan dan sangkaan yang muncul dari dalam dirimu sama sekali tidak berdasar.
Betapa banyak hal yang menurut pandanganmu buruk dan engkau amat membencinya, pada hakikatnya merupakan kebaikan bagimu. Dan betapa banyak hal yang engkau sukai namun pada hakikatnya merupakan keburukan bagi engkau,"
Umpama berkenaan dengan masalah jihad. Al-Quran menyatakan bahwa mungkin untuk kali yang pertama, kalian akan beranggapan bahwa itu adalah sesuatu yang buruk. Padahal, secara hakiki, semua itu merupakan kebaikan bagi kalian.[8] Jihad dan peperangan pada gilirannya akan mengembangkan pelbagai potensi dan menumbuhkan kemampuan yang ada dalam diri manusia. Dalam ungkapan Imam Khomeini;
“Dalam peperangan, esensi manusia menjadi tumbuh dan berkembang”.
Dalam setiap peperangan dan pertempuran, terjadi pemisahan dan kontras antara barisan-barisan (manusia) yang hanya meneriakkan slogan belaka, dengan barisan lain yang benar-benar berjuang dan tekun bekerja.
Peperangan mengharmonisasikan pelbagai kekuatan dan tujuan. Peperangan menganugerahkan kemuliaan serta kehormatan diri seseorang. Dan terakhir, peperangan pada dasarnya menjadi cermin jernih yang memantulkan kenyataan tentang adanya sebuah masyarakat yang hidup di bawah telapak kaki kezaliman. Dalam surat an-Nisa' ayat ke-19, kita membaca bahwa betapa sering orang-orang menganggap suatu kejadian bersifat tidak menyenangkan, padahal darinya Allah hendak mencurahkan kebaikan yang amat banyak.[9]
Apabila kata hisban (mengira) ditelaah dan ditelusuri dalam al-Quran, kita akan segera mengetahui dengan gamblang bahwasanya al-Quran yang senantiasa memperingatkan kita melalui ungkapan, “jangan kau menyangka demikian...”, “jangan kamu berfikir demikian...”, “jangan kamu berprasangka semacam itu”, serta berbagai ungkapan senada lainnya, sesungguhnya tengah melontarkan sanggahan terhadap pelbagai bentuk pandangan serta penilaian yang serba gegabah dan tergesa-gesa.
Ada lagi contoh lain yang berkenaan dengan persoalan melakukan penilaian yang serba terburu-buru. Dalam al-Quran, kita jumpai bagaimana para malaikat (dikarenakan tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hakikat manusia) menyatakan kepada Allah, “Kami senantiasa bertasbih kepada-Mu dan senantiasa beribadah kepada-Mu, lalu kenapa Engkau ciptakan manusia yang akan berbuat kerusakan?!”
Akan tetapi, Allah tetap berkeinginan untuk memiliki khalifah (wakil) yang layak di muka bumi ini. Untuk itu, Allah menganugerahkan pelbagai ilmu pcngelaleuan (wa ‘allama Adamal-asma`a kullaha) kepada khalifahnya tersebut. Semua itu jelas merupakan bukti yang tak bisu disangkal bahwa penilaian mereka (para malaikat) muncul dari ketergesa-gesaan.
Ringkasnya, keragu-raguan serta kebimbangan yang muncul ketika kita mengkaji keadilan Allah (mengapa Allah begini dan begitu?), pada dasarnya menghendaki agar kita mengakui bahwa cuma sebagian kecil saja penilaian dan penentuan kita yang benar. Sebaliknya, masih banyak rahasia-rahasia serta misteri di sekitar jagat alam ini yang masih belum tersingkap dan diketahui dengan jelas.
Dari sisi ini, ilmu pengetahuan serta pengalaman kita sungguh amat terbatas. Kendati telah melewati hidup selama bertahun-tahun, kita masih saja beranggapan bahwa keberadaan hutan sama sekali tidak bermanfaat.
Namun, dengan berlalunya waktu, baru diketahui dengan jelas bahwa ternyata manfaat dari keberadaan hutan sangat besar sekali bagi kehidupan manusia. Banyak barang-barang berharga yang bisa dihasilkan darinya.
Bukankah selama bertahun-tahun, banyak orang yang mengatakan bahwa 'amandei’ (sejenis daging tumbuh yang menempel di pangkal tenggorokan manusia) tidak ada manfaatnya. Malah ada yang mengatakan sangat berbahaya bagi kesehatan seseorang. Namun ternyata, baru-baru ini diketahui bahwa setiap harinya, amandel tersebut bekerja memproduksi sel-sel darah putih yang berfungsi sebagai pasukan pelindung tubuh dari serangan berbagai jenis mikroba. Selama bertahun tahun pula, banyak orang yang yakin bahwa usus buntu (appendix) tidak memiliki faedah apapun bagi tubuh seseorang. Sekarang, mereka justru mengatakan bahwa usus (buntu) kecil ini memiliki peranan yang cukup penting dalam melawan penyakit kanker.
Apabila dalam membaca atau mengkaji sebuah buku yang berbobot dan menarik, dijumpai satu atau dua kata yang tidak diketahui artinya dengan jelas, janganlah kita terburu-buru memaknainya. Termasuk pula, jangan buru-buru memunculkan dalam benak kita, prasangka negatif terhadap sang penulisnya.
Kini, setelah memahami makna sebenarnya dari kata 'adii’, serta mengetahui pula sebab-sebab kemunculannya yang bersumber dari penilaian serba dangkal dan tergesa-gesa, kita akan menapaki topik pembahasan berikutnya seputar pelbagai unsur pemicu kegelisahan manusia.
3. Sebab-sebab Kegelisahan Diri
Acapkali kita tidak menyadari bahwa pada dasarnya pelaku utama yang memicu terjadinya pelbagai derita hidup tak lain dari diri kita sendiri. Lebih menggelikan lagi, tuduhan sebagai penyebab munculnya seluruh kejadian pahit tersebut justru diarahkan kepada Allah. Karenanya, sadar atau tidak, kita sering melontarkan p&lbagai sanggahan dan protes seperti, "Wahai Tuhan, jika Engkau adalah Zat Yang Mahaadil, lalu mengapa musibah dan bencana ini menimpa diri kami?"
Tak diragukan lagi, sebagian besar musibah dan bencana itu terjadi akibat ulah kita sendiri. Misalnya, kalau kesehatan dan kebugaran fisik tidak dirawat, tentu tubuh kita akan digerogoti berbagai macam penyakit. Atau, tatkala kita menyaksikan timbulnya berbagai kerusakan (fasad), namum kita tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar (sesuai dengan kapasitas diri), tentu kejahatan-kejahatan tersebut akan segera menguasai diri kita.
Dan pada gilirannya, jangan heran, kalau doa yang kita panjatkan tidak akan pernah terkabulkan. Atau jika di halaman rumah kita terdapat sebuah kolam yang cukup dalam, namum tidak ditutupi pagar pembatas yang layak di sekelilingnya, jangan salahkan siapa pun kalau nanti ada seorang anak yang dekat leluasa mendekat, untuk kemudian tercebut dan tenggelam di dalamnya.
Dalam menghadapi deret permasalahan ini, sebagaimana biasanya, kita akan segera memanfaatkan bimbingan serta petunjuk al-Quran. Dalam hal ini, saya akan memaparkan sebagian darinya:
a.   “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan perbuatan tanganmu sendiri”.[10] Segenap musibah dan bencana yang menimpa kalian lebih dikarenakan perbuatan kalian sendiri. Kalian sendirilah yang memicu terjadinya penderitaan tersebut!
b.   “... dan apabila mereka ditimpa suatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu berputus-asa”.[11]
c.   “Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka ia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku”.[12] Tatkala Allah menurunkan ujian sehingga mereka terjebak dalam kesulitan dan kekurangan, dengan segera mereka akan mengatakan, “Allah telah menghinakan diri saya”. Padahal mereka sendirilah yang sebenarnya harus mencari asal-muasal terjadinya penderitaan yang menyengat itu. Ayat itu kemudian melanjutkan, “Sesekali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim dan kamu tidak mengajak memberi makan orang miskin”.
Sesungguhnya, Allah tidak akan menyumbat aliran rezeki seseorang. Kalaupun mereka berada dalam kesulitan dan kesusahan, ketahuilah bahwa semua itu merupakan akibat dari ulah mereka yang enggan menyantuni anak-anak yatim dan tidak menyerukan masyarakat agar membantu orang-orang miskin. Sikap mereka yang tidak mau perduli itulah yang memicu kemarahan dan kemurkaan Allah.
Ayat ini menjelaskan bahwa penyebab munculnya perbeduan perolehan karunia Allah tak lain dari perilaku manusia itu sendiri.
d. “... tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu, Allah mengenakan mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”.[13]
Pada ayat ini, Allah menyebutkan adanya sebuah desa yang diliputi pelbagai kenikmatan. Namun, dikarenakan mereka (penduduknya) bersikap ingkar (kufur)[14] terhadap segenap kenikmatan itu, Allah pada akhirnya menumpahkan bencana ketakutan dan kelaparan dalam kehidupan mereka. Dari paparan ayat tersebut, kita jelas mengetahui bahwa penyebab timbulnya gelombang bencana itu tak lain dari kekufuran dan keengganan mensyukuri nikmat Allah.
Berdasarkan pembahasan (poin ketiga) di atas, kita menyadari bahwa terjadinya sebagian besar musibah dan bencana yang menimpa lebih diakibatkan oleh tangan kita sendiri. Segenap perbuatan manusia yang tidak pantas dilakukan, pada hakikatnya menjadi sarana penyamhut kedatangan murka Allah dan segala macam bencana.
Sekaitan dengan itu, muncul sejumlah keberatan. Salah satunya, dalam kehidupan ini, acapkali kita menyaksikan adanya segelintir orang yang berbuat zalim dan aniaya. Namun, yang sangat mengherankan, mereka justru hidup bahagia!
Kalau dikatakan bahwa timbulnya segenap bencana yang melanda, lebih diakibatkan perbuatan manusia sendiri, lantas mengapa si fulan yang senantiasa berbuat buruk serta memiliki riwayat hidup yang kelam, tidak dihantam bencana dan musibah sebagaimana yang dialami orang lain?
Dalam hal ini, sesuai dengan pernyataan yang tercantum dalam sejumlah ayat dan riwayat, masing-masing manusia tidaklah memiliki posisi yang sama di hadapan Allah (dalam hal ini dilanda musibah atau bencana).
a.        Ada kelompok/golongan yang cepat mengalaminya.
b.        Ada kelompok/golongan yang diberi tenggang waktu.
c.        Sedangkan kelompok lain sekalipun seumur hidupnya senantiasa berbuat zalim namum tetap menjalani kehidupan bahagia memang sengaja tidak diberi bencana dan musibah. Keadaan semacam itu tetap bertahan dan ditangguhkan hingga harikiamat tiba. Sesuai dengan konsep “Pandangan Dunia” yang kita yakini, kehidupan ini tidak akan terlepas dari hari kiamat.
Perlakuan seorang pengajar (guru) terhadap masing-masing muridnya tentu akan berbeda-beda. Sebagian darinya ada yang dididik dengan cara dibentak atau dimarahai. Sementara kepada sebagian lainnya diberi kesempatan/tenggang waktu.
Adapun terhadap mereka yang sering bertindak keterlaluan, sang guru biasanya tidak langsung memperlihatkan tindak apapun. Dirinya lebih memilih untuk mendiamkan seraya menanti kesempatan untuk memberi nilai di akhir tahun ajaran nanti. Perbedaan sikap Allah tersebut jelas merupakan suatu Kebijaksanaan. Masing-masing alasan dan penyebab dilakukannya suatu perbuatan buruk dan keliru tentunya tidak serupa.
Karenanya, orang-orang yang melakukannya juga tidak akan dijatuhi hukuman yang sama. Adakalanya dalam menghadapi sejumlah kesalahan yang dtlakukan seorang murid teladan, seorang pendidik akan menunjukkan reaksi yang sangat berlebihan; sebabnya, ia sama sekali tidak mengharapkan itu dilakukan sang murid teladan tersebut. Lain hal jika itu dilakukan murid yang biasa-biasa saja atau bahkan yang berperangai buruk, tentu ia tidak akan bersikap sekeras itu.
Dalam al-Quran, kita dapat menyaksikan bagaimana Allah bisa sedemikian murka dan marah terhadap para wali dan nabi hanya lantaran mereka melakukan suatu perbuatan (yang terkadang bukan suatu dosa); pasalnya, seseorang yang mulia dan agung semacam mereka sama sekali tidak layak melakukan perbuatan semacam itu.
Namun terhadap orang lain, al-Quran mengatakan, “... dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka”.[15]
Pembinasaan yang Kami lakukan tak lain diakibatkan oleh perbuatan zalim penduduk desa bersangkutan. Semua itu tentunya sesuai dengan ketentuan serta batas-batas yang berlaku. Dengan kata lain, Kami tidak langsung menjatuhkan bencana dan musibah pada saat suatu kekeliruan atau keburukan dilakukan. Dalam membinasakan dan membalas tindakan buruk suatu kaum, Kami senantiasa bersabar dan menyediakan kesempatan. Tentunya bersamaan dengan itu, Kami tidak henti-hentinya melontarkan ancaman.
“Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan. padahal Allah sekali-kali tidak akan sekali-kali menyalahi janji-Nya”.[16]
Kami telah mengemukakan kepada masyarakat tentang sejarah kebinasaan  suatu  kaum. Orang-orang kafir ini mengatakan, “Lalu kenapa kita tidak diazah, sedangkan kita rnelakukan berbagai kezaliman dan penganiayaan, namun kita telap hidup bahagia?"
Mereka begitu bernafsu hendak merasakan siksaan Allah. Sementara Allah sendiri memastikan bahwa janji-Nva itu akan ditepati apabila memang sudah tiba waktunya.
Dengan demikianm adakalanya Allah tidak langsung membalas kezaliman dan penganiyaan yang dilakukan sebagian orang. Difirmankan, “... maka Aku beri tangguh kepada orang-orang kafir itu, kemudian Aku binasakan mereka itu”.[17] (Pertama-tama, Kami akan memberi kesempatan kepada orang-orang kafir itu untuk kemudian Kami menghancurleburkannya) Allah juga menjelaskan tentang masalah kesempatan yang diberikan kepada orang-orang kafir, “Danjanganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya dosa mereka bertambah; dan bagi mereka azab yang menghinakan”.[18]
Orang-urang kafir (yang tindakannya melampui batas) mengira bahwa penangguhan dan kesempatan (hidup) yang Kami berikan hanya akan menguntungkan mereka. Pemberian kesempatan tersebut tak lain ditujukan agar dosa-dosa mereka kian menumpuk dan timbangannya menjadi semakin berat. Dengan begitu, Kami akan menyiksa mereka dengan siksaan yang amat pedih dan menghinakan.
Setelah peristiwa pembantaian Imam Husain hin Ali bin Abi Thalib, Yazid beranggapan bahwa dirinya telah berhasil meraih kemenangan. Akan tetapi, sayidah Zaenab al-Kubra segera melantunkan ayat tersebut seraya menyatakan bahwa kebebasan, kemenangan, kebahagiaan, dan kekuasaan yang sekarang digenggam Yazid justru hanya akan makin memperberat timbangan dosa-dosanya. Pada dasarnya, kebahagiaan yang bersifat sementara ini merupakan sebaik-baiknya cara untuk menyiksa (Yazid atau orang kafir ada umumnya).
Sekaitan dengan itu, al-Quran mengatakan bahwa Allah mencurahkan kebahagiaan hidup kepada orang-orang tertentu agar mereka benar-benar terbuai dan merasa terikat (dengan kenikmatan itu).
Baru setelah itu, sekonyong-konyong Kami akan menenggelamkan mereka ke dalam kobaran api neraka. “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pinti-pinti kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”.[19]
Dikarenakan mengabaikan peringatan dan anjuran Kami, serta secara terang-terangan tidak menghiraukan segenap ketentuan Kami, maka Kami membukakan mereka berbagai pintu (kenikmatan). Kami mengalirkan berbagai macam kenikmatan agar mereka bersenang-senang dan merasa terikat dengannya.
Sesudah itu, secara mendadak Kami akan mencabut berbagai kenikmatan hidup mereka tersebut, sehingga jiwa mereka dicekam kebingungan, kegetiran, dan rasa putus asa. Mereka yang mengalami nasib semacam ini tak ubahnya seseorang yang memanjat sebatang pohon. Semakin tinggi panjatannya, semakin ia menyangka dirinya berhasil.
Namun, saat ia terjatuh dari puncak yang paling tinggi, barulah menjadi jelas baginya bahwa semua itu justru hanya menunjukkan tingkat siksaan yang akan diterimanya (semakin tinggi kejatuhan seseorang, semakin nyeri penderitaan yang akan ditanggungnya).
Alhasil, Allah memperlakukan sebagian orang dengan perlakuan semacam itu. Adapun terhadap seseorang yang memiliki keinginan dan harapan untukmemperbaiki diri, Allah berfirman, “... supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang lurus”.[20]
Kami memberikan balasan yang pedih terhadap segenap perbuatan buruk yang telah dilakukan agar mereka kembali (kejalan yang benar) dan memperbaiki diri. Sampai titik ini, kiranya terjawab sudah pertanyaan di atas tentang mengapa orang yang sering berbuat zalim tetap memiliki kehidupan yang menyenangkan dan bahagia, sementara sebagian lain yang begitu melakukan kesalahan, langsung mendapat balasannya.
Dalam hal ini, kita harus senantiasa memanfaatkan sebaik-baiknya, sekaligus juga mengukir dalam-dalam di benak dan sanubari kita, peringatan bahaya yang terkandung dalam pelbagai riwayat; yakni apabila kita terus-menerus berbuat dosa, sementara dalam kehidupan ini kita tidak menjumpai dan merasakan adanya kemurkaan dan kegusaran Allah, semestinya kita benar-benar merasa takut dan khawatir terhadapnya.
Sebab, besar kemungkinan kita sudah tidak lagi diberi peringatan oleh Allah, sehingga menjadikan siksa neraka menjadi satu-satunya jalan untuk menebus dosa-dosa tersebut. Keadaan semacam itu bisa kita sejajarkan dengan keadaan seorang pasien yang dibiarkan dokternya untuk berbuat apa saja.
Dokter itu tidak akan memberikan anjuran atau perintah apapun kepadanya dengan mengatakan, "Biarkan saja ia memakan makanan apapun yang diinginkannya." Allah, layaknya seseorang yang sedang muak, akan membiarkan sebagian orang untuk berbuat dosa sebanyak mungkin, “... perbuatlah apa yang kamu kehendaki...”.[21] Lakukanlah perbuatan apapun yang kalian inginkan. Para nabi yang merasa tidak mendapat tanggapan lagi dari kaumnya akan mengatakan,  “Dan (dia berkata), “Hai kaumku, beruatlah menurut kemampuanmu”.[22]
Wahai orang-orang yang senantiasa berbuat kebatilan, lakukanlan apa yang kalian kehendaki! Kita juga seringkali membaca dalam berbagai doa, “Wahai Tuhanku, janganlah Engkau serahkan diri kami pada diri kami sendiri”. “Wahai Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan kami sendiri”.
Singkat kata, amarah dan murka Allah kadangkala mengalir diam-diam bersama kebahagiaan dan kesenangan (duniawi), sehingga luput dari pandangan orang-orang yang berbuat zalim. Akibatnya, mereka menjadi lupa terhadap siksa hari kiamat yang tengah menanti.
4. Problema bencana dalam sudut pandang al-Quran
Ternyata, ada juga manusia yang tidak melakukan dosa dan kesalahan namun mengalami berbagai musibah dan bencana. Lalu, bagaimana pendapat al-Quran berkenaan dengan persoalan yang seolah-olah bertolak belakang dengan keadilan Ilahi semacam itu?
Dalam al-Quran, terdapat banyak pembahasan yang berkenaan dengan ujian Ilahi. Dikatakan bahwa salah satu kemestian dan sunnah Ilahi yang mantap, pasti, dan berlaku terhadap diri manusia adalah pengujicobaan (Tuhan kepada manusia) melalui sederetan bencana dan musibah.
Pendek kata, pelbagai musibah dan bencana tak lain dari cara atau sarana untuk menguji keimanan manusia. Allah berfirman, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”.[23]
Kami menguji kalian dengan rasa takut, kelaparan, paceklik, berkurangnya harta, nyawa, buah-buahan, serta segenap sumber penghasilan. Namun, Kami juga menyampaikan kabar gembira bagi mereka yang senantiasa tegar dan sabar dalam menghadapi himpitan situasi serta kondisi semacam itu.
Sekarang, kita akan menelaah sejumlah persoalan yang berkaitan dengannya.
a. Apakah dengan memberikan ujian berupa bencana dan musibah berarti Allah tidak mengetahui kepribadian serta perilaku seseorang secara hakiki?
Tidak diragukan lagi bahwa pengujian yang dilakukan-Nya bukan dimaksudkan untuk mengetahui keadaan jiwa dan reaksi manusia. Dia justru mengetahui secara hakiki segenap pemikiran dan perbuatan manusia. Dia mengetahui apa yang dipikirkan dan apa yang hendak diperbuat seseorang.
Pengujian tersebut semata-mata dimaksudkan agar manusia melakukan perbuatan tertentu sehingga menjadikannya layak diganjar pahala atau siksa. Dengan kata lain, Allah tidak akan mengganjar seseorang dengan pahala atau siksa apabila orang lersehul belum melakukan suatu perbuatan apapun. Sekalipun dalam hal ini, Dia mengetahui kebaikan dan keburukan seluruh umat manusia.[24]
b. Sarana macam apa saja yang digunakan dalam proses pengujian?
Berkenaan dengan soal kedua, saya telah mengungkapkan sebelumnya bahwa seluruh musibah dan penderitaan yang menimpa tak lain dimaksudkan sebagai sarana ujian bagi manusia.
Al-Quran mengatakan, “... Kami menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan...”.[25] Harta dan jiwa juga bisa menjadi sarana ujian, “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan dirimu”.[26] Yang terang, kita pasti bakal diuji dengan perantaraan harta dan jiwa kita.
c. Bagaimana reaksi masyarakat terhadap kejadian pahit yang dialaminya?
Salah seorang sahabat pernah mengatakan bahwa dalam menghadapi pelbagai kejadian, keberadaan manusia terbagi ke dalam empat kelompok:
Kelompo pertama terdiri dari orang-orang yang kontan menjerit seraya mempertanyakan keadilan Allah, mencaci-maki kebijakan dan anugerah-Nya (serta sistem yang berlaku di jagat alam ini), tatkala menghadapi suatu peristiwa getir dan tidak menyenangkan.
Sekaitan dengan sikap semacam itu, al-Quran menyatakan, “Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh-kesah”.[27] Ya, begitu didera kesulitan dan musibah yang berkecamuk, mereka langsung galau, berteriak, dan berkeluh kesah.
Sementara kelompok kedua, memiliki ketegaran jiwa dan sanggup bertahan dalam badai kesulitan yang menerpa kencang. Mereka senantiasa berucap dalam hati, “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami akan kembali). "[28]
Sedangkan kelompok yang ebih tinggi kualitasnya dari kelompok kedua. Sebabnya, dalam menghadapi sederet penderitaan dan musibah, mereka tidak hanya bersabar dan menahan diri, namun juga bersyukur kepada Ilahi. Dalam doa Asyura', kita membaca kalimat sebagai berikut, “Ya Allah, bagi-Mu segala puja-puji orang-orang yang bersyukur kepada-Mu atas musibah yang menimpa diri mereka...”.[29]
Ya Allah, rasa syukur yang kami panjaekan kepada-Mu sama dengan rasa syukur para pengikut Imam Husain tatkala didera musibah. Alhasil, orang-orang yang menghadapi rangkaian kesulitan demi menggapai citanya menegakkan ajaran Allah dan menjemput kesyahidan di jalan-Nya, kemudian berhasil, dengan serta merta akan bersyukur kepada Allah.
Adapun kelompok terakhir atau yang keempat, yang boleh jadi memiliki kualitas lebih tinggi dari tiga kelompok sebelumnya terdiri dari orang-orang yang tidak hanya selalu berprasangka baik pada keadilan dan anugerah Allah, dan juga bukan hanya bersabar dan bersyukur atas musibah yang dialaminya. Lebih dari itu, mereka malah dengan senang hati akan berlari dan menceburkan diri ke dalam telaga penderitaan dan musibah.
Dalam al-Quran, disebutkan tentang sejumlah sahabat yang menemui Nabi saww guna meminta bantuan serta perlengkapan perang. Nabi saww kemudian bersabda, “Saya tidak memiliki perlengkapan perang (kuda dan pedang) yang dapat diberikan kepada kalian”.
Akhirnya, mereka semua pun pulang dengan hati masygul dan tangisan seraya bergumam, “Kenapa kita tidak dapat ikut menyusul dan bergabung bersama pasukan Islam lainnya demi mengorbankan jiwa dan raga di jalan Islam?”[30]
Dengan begitu, terdapat bentuk penyikapan yang beraneka ragam dari masing-masing individu atau masyarakat dalam menghadapi rentetan kesulitan. Apabila Anda memberikan sebutir bawang merah kepada seorang anak kecil, yang kemudian menggigitnya, apa yang akan terjadi?
Tentu seketika itu pula si anak tersebut akan berteriak, menjerit, meneteskan air mata (lantaran merasa pedas), dan langsung mencampakkan bawang tersebut. Sebaliknya, seseorang yang sudah dewasa justru amat menggemari dan bahkan membeli bawang merah pedas tersebut setiap hari.
Demikianlah ilustrasi yang mengena tentang pelbagai kesulitan dan musibah yang mungkin terjadi dalam kehidupan ini; sebagian orang berusaha berlari dan menjauh darinya; sebagian lainnya justru mendatangi dan menyambutnya.
d. Bagaimana cara memperoleh kemenangan dalam menghadapi pelbagai kesulitan?
Kita telah meyakini bahwa Allah Mahaadil. Adapun rentetan bencana dan musibah yang mengguncang, akan dipahami sebagai lahan uji-coba bagi manusia agar segenap potensi yang bersemayam dalam dirinya bertumbuh dan berkembang.
Lantas, apakah yang mesti kita lakukan dalam menghadapi rangkaian musibah dan ujian tersebut sehingga pada akhirnya kita berhasil keluar sebagai pemenang?
Untuk memecahkan problem itu, seperti biasa, saya akan berpedoman kepada al-Quran. Sebagaimana diperlihatkan al-Quran, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar kita sanggup menggapai keberhasilan dalam menghadapi serangkaian penderitaan, pertama, memiliki "Pandangan Dunia Ilahiah". Seraya memuji orang-orang yang bersabar, al-Quran mengungkapkan bahwa semua itu dikarenakan mereka memiliki Pandangan Dunia Ilahiah.
Tatkala diterkam musibah, pada satu sisi mereka akan mengatakan, "Kita adalah untuk Allah, kita tidak dapat berdiri sendiri dan tidak memiliki tuntutan apapun kepada-Nya. Kehadiran dan keberadaan kita, serta seluruh kenikmatan yang terhampar ini semata-mata berasal dari-Nya. Kita tak lain hanyalah pemegang amanat."
Sementara pada sisi yang lain, mereka juga akan mengatakan, "Dunia hanyalah tempat lintasan belaka, bukan tempat yang kekal dan abadi yang menjadikan kita mengatakan, 'Mengapa kita harus meninggalkan (kehidupan) dunia ini?’
Berkat kematian, kita akan pergi menuju kepada-Nya, dan kita sama sekali tidak akan musnah. Sekarang kita ada dan setelah mati pun akan tetap ada. Semua itu tak ada bedanya; tempat kehidupan memang berbeda, namun diri kita tidak akan musnah."
Pandangan Dunia semacam inilah yang mengalirkan energi yang luar biasa besar ke dalam diri manusia sehingga menjadikannya begitu tegar dalam menghadapi pelbagai derita dan musibah.
Pandangan Dunia yang menitis dalam kesadaran mereka tak lain dari, “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un”.[31]
Syarat kedua adalah mengetahui rangkaian sunah Ilahiah. Dalam sejumlah ayatnya, al-Quran mengatakan bahwa manusia tidak akan mungkin bisa memasuki surga tanpa diiringi usaha dan kesusahpayahan.
Kita, sebagaimana umat-umat sebelumnya, harus terlebih dahulu mengarungi telaga kesulitan dan penderitaan. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang beriman yang bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”.[32]
Apakah kalian mengira bakal masuk surga tanpa terlebih dulu menghadapi rentetan kejadian pahit sebagaimana yang menimpa umat-umat terdahulu? Orang-orang mukmin sebelum kalian telah ditimpakan pelbagai kesulitan sampai-sampai jiwa mereka terguncang dan bertanya-tanya kepada Rasul saww serta para pengikut setia beliau, "Manakah pertolongan Allah?" Namun, ketahuilah, pertolongan Allah akan dihembuskan dalam waktu dekat.
Pada dasarnya, ayat ini hendak menyatakan bahwa sepanjang sejarah, orang-orang mukmin tidak pernah luput dari pelbagai rintangan hidup yang sangat menyulitkan dan menyusahkan. Dan, sekarang, giliran kalian yang harus menghadapinya!
Peristiwa getir yang kalian hadapi itu bukanlah yang pertama kali terjadi. Selain itu, kalian juga bukanlah orang pertama yang menghadapinya. Semua itu merupakan tatanan dan lintasan sejarah yang mesti kalian lampaui. Al-Quran berulang-kali mengatakan kepada Rasul saww untuk senantiasa memperhatikan sejarah kehidupan pribadi si fulan atau kelompok fulan, agar tidak sampai muncul dugaan kalau-kalau kejadian pahit tersebut hanya menimpa dirinya.[33]
Ketika memperoleh pemahaman yang penuh tentang munculnya kesulitan serta derita hidup yang pada dasarnya bersumber semata-mata dari ketentuan dan sunnah Ilahiah yang berlaku umum dan menjangkau setiap individu manusia, tentu seseorang akan lebih siap menghadapi kesulitan dan penderitaan.
Sebagai contoh, seseorang yang melaksanakan ibadah puasa. Tentunya ibadah puasa di bulan Ramadhan akan lebih mudah ditunaikan seseorang mengingat pada saat bersamaan hamplr semua orang (Muslim) juga berpuasa. Lain hal jika ibadah puasa dijalankan di luar bulan Ramadhan. Jelas, tingkat kesulitannya akan jauh lebih tinggi.
Dalam memerintahkan pelaksanaan ibadah puasa, al-Quran menyatakan, wahai orang-orang beriman, janganlah kalian mengira bahwa keharusan (berpuasa) ini hanya khusus untuk kalian saja. Seluruh umat yang terdahulu juga menjalankan ibadah puasa, “... sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”. (al-Baqarah: 183)
Pengetahuan tentang sejarah masa lalu, sebagaimana juga pengetahuan tentang masa depan, sangat berpengaruh terhadap kesabaran dan ketcgaran hati manusia.
Nabi Hidhr as pernah berkata kepada Nabi Musa as, bahwa dikarenakan tidak mengetahui rahasia perbuatannya (Nabi Hidhr), maka Nabi Musa tidak mampu menahan diri. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang itu”.[34]
Suatu hal yang dapat memupuk kesabaran diri seseorang adalah mengenal orang-orang yang sabar sekaligus mengetahui pelbagai bentuk kesabaran. Pengetahuan tentang sejarah para pendahulu merupakan kunci keberhasilan kita dalam menghadapi dan memahami segenap peristiwa. Dalam pelbagai ayatnya, al-Quran acapkali mencantumkan contoh serta teladan berbagai individu atau umat yang sabar serta tegar dalam mengarungi samudera kehidupan.Tatkala menghadapi para penentangnya yang cukup keras, para nabi Allah selalu menyatakan, “... dan kami sungguh-sungguh akan bersabar atas gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami”.[35]
Kami akan tetap bertahan dalam menghadapi berbagai bentuk gangguan yang kalian lancarkan terhadap diri kami. Para penyihir yang datang memenuhi undangan Fir'aun demi mengalahkan Nabi Musa as, begitu menyaksikan kebenaran Nabi Musa as, langsung menyatakan beriman kepadanya.
Sedangkan dalam menghadapi ancaman Fir’aun, mereka mengatakan, “... maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja”.[36]
Lakukanlah apa yang engkau kehendaki terhadap kami. Toh, kami telah menemukan kebenaran dan tidak akan mungkin melepaskannya.
Sementara syarat yang efea adalah memiliki kesadaran bahwasannya Allah pasti mendengar segenap ucapan, melihat setiap perbuatan, dan meringankan kesulitan yang dihadapi manusia.
Dalam salah satu firman-Nya, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menemui Fir'aun, seraya menyampaikan ajaran-ajaran kebenaran. Allah juga menegaskan bahwa diri-Nya senantiasa bersama dan mendengar pembicaraan mereka berdua, “... sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat”.[37]
Allah Juga telah memerintahkan Nabi Nuh as untuk membuat sebuah bahtera, Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami”.[38]
Pada saat Nabi Nuh as mulai membuat bahtera tersebut, setiap orang kafir yang melintas di dekatnya langsung mengolok-olok dan mencemooh dirinya, seraya mengatakan, “Tampaknya dengan menjadi nabi engkau tidak memperoleh hasil, sehingga pada akhirnya engkau menjadi tukang kayu!”
Dalam keadaan demikian, yang menjadikan hati Nabi Nuh as diliputi kesabaran dan daya tahan yang luar biasa tak lain dari firman Allah yang menyebutkan, “Aku senantiasa melihatmu” dan “engkau selalu dalam pengawasan-Ku”. Kekuatan iman semacam inilah yang sanggup menghidupkan tekad manusia untuk bersabar dan bertahan.
Syarat Keempat, yang berkenaan dengan kesanggupan untuk menghidupkan semangat kesabaran dalam diri manusia adalah memiliki perhatian terhadap ganjaran pahala dan kebaikan. Seseorang yang bersedia menanggung beban penderitaan di kehidupan dunia ini akan memperoleh kucuran pahala yang cukup besar di kehidupan akhirat kelak. Al-Quran banyak menyajikan contoh-contoh menarik yang berkenaan dengan hal itu.
Adapun syarat kelima adalah senantiasa meminta pertolongan kepada Allah melalui shalat, doa, dan kesabaran, “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat...”.[39]
Kesimpulannya, Allah memang Mahaadil. Segenap musibah dan derita yang melanda kita tak lebih dari rangkaian ujian Ilahi. Dalam menghadapi pelbagai ujian tersebut, keberadaan masyarakat terbagi ke dalam empat golongan. Selain itu, telah dijelaskan pula sejumlah cara jitu untuk menggapai keberhasilan dalam mengarungi samudera ujian dan cobaan hidup.

Masalah Kelima

Berbagai kebimbangan yang muncul dalam benak sekaitan dengan keadilan Ilahi, pada dasarnya bersumber dari proses pemahaman yang menyimpang dan penarikan kesimpulan yang keliru. Akibatnya, sering tanpa disadari, seseorang akan melontarkan keberatan serta kritikan (yang menggelikan) kepada Allah. Sebagai contoh, jika dianggap bahwa kematian itu tak lebih dari kemusnahan, tentu kita akan melancarkan sanggahan bernada sinis, "Wahai Tuhan, mengapa si fulan mati?"
Juga pada saat kita menyangka bahwa keberadaan dunia ini merupakan tempat tinggal yang bersifat abadi, tentunya kita dengan lirih akan mengeluh, "Mengapa mereka mesti tewas mengenaskan diterjang gempa bumi, banjir, dan penyakit...?"
Kita sering menduga kalau dunia ini merupakan sebuah tempat yang menyenangkan dan membahagiakan sampai-sampai kita mempertanyakan, "Mengapa mesti terjadi malapetaka?" Sikap semacam itu menjadikan kita tak ubahnya se

MAKNA KEADILAN SOSIAL

Setelah sebelumnya membahas topik keadilan Allah, kini saya akan mengkhususkan telaahan ini pada keadilan sosial. Kendati cakupan pembahasan ini cukup luas, saya akan berupaya mengulasnya dengan secara singkat dengan menyertakan pelbagai argumentasi yang terdapat dalam al-Quran, hadis, dan Nahj al-Balaghah (seraya menjelaskan masing-masing ayat dan hadis tersebut secara sekilas).
Topik bahasan ini merupakan bagian dari mazhab kita sehingga perlu diketahui seluruh lapisan masyarakat. Tujuan membahas keadilan sosial adalah untuk mengetahui bagaimana perintah al-Quran dan para imam maksum berkenaan dengan penjagaan hak-hak, penyamarataan posisi segenap masyarakat di depan hukum, penolakan pelbagai bentuk diskriminasi, pengerukan keuntungan demi kepentingan pribadi, dan kezaliman. Selain itu juga untuk menjelaskan sekitar empat puluh peristiwa yang berhubungan dengan cara yang ditempuh Nabi mulia saww dan para imam maksum dalam mengelola baitulmal dan mengajarkan bentuk-bentuk persaudaraan Islami.

Keadilan: Program Kehidupan

Islam merupakan agama yang adil dan seimbang, sekaligus jalan yang lurus. Umat Islam merupakan umat pertengahan (yang berada di tengah-tengah). Sementara itu, sistem Islam yang diberlakukan tak lain dari wujud keadilan itu sendiri.
Dalam Islam, selain air mataJuga terdapat sebilah pedang. Islam, selain merancang program untuk menjaga kesehatan jasmani. juga memperhatikan perkembangan maknawi dan ruhani seseorang. Adanya (kewajiban) shalat pasti disertai adanya (kewajiban) zakat. Kecintaan serta hubungan dekat (tawalli) dengan para wali Allah pasti diiringi dengan keberlepasan dan penjauhan diri (tabarri) dari musuh-musuh Allah. Di samping mendukung ilmu pengetahuan, Islamjuga mengutamakan amal. Himbauan Islam kepada keimanan dan keislaman, niscaya dibarengi dengan anjuran untuk beramal saleh.
Perintah untuk bertawakal kepada Allah akan senantiasa beriringan dengan perintah untuk bekerja dan berusaha keras. Penghargaan terhadap milik pribadi pasti akan diiringi dengan pelarangan untuk membuat kerugian dan penyalahgunaan dari kepemilikan tersebut. Di dalam perintah untuk memberi rnaaf, terdapat pula perintah untuk melaksanakan hukuman (qishash) secara tegas dan tidak memperdulikan belas kasihan. Suatu ketika, serombongan orang melaporkan kepada imam bahwa si fulan mengerjakan salatnya secara acuh tak acuh. Imam bertanya, "Bagaimanakah cara berpikirnya?' Artinya, apabila ibadah individual seseorang telah sempurna, pasti dirinya akan jeli dalam berpikir.

Hubungan Keadilan Sosial dengan Pandangan Dunia Ilahiah

Sekarang ini, banyak slogan yang begitu memikat yang bergaung di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Namun, apabila slogan-slogan tersebut tidak ditopang oleh suatu prinsip yang kokoh, maka semua itu tak lebih dari "sebuah bentuk tanpa isi".
Ungkapan "keadilan sosial" adalah salah satunya. Kita menyaksikan bahwasannya hampir seluruh rezim yang berkuasa di dunia ini senantiasa menggembar-gemborkan slogan tersebut, seraya menyatakan dirinya sebagai pedukung keadilan sosial.
Namun, kita juga sering menjumpai kenyataan bahwa tak satupun dari rezim-rezim tersebut yang benar-benar menjalankan keadilan. Sebabnya, slogan-slogan tersebut tidak memiliki akar yang kokoh sehingga lebih bersifat retorik belaka.
Dalam Islam, problem persamaan dan penyamarataan memiliki akar yang cukup mendalam:
1. Seluruh keberadaan di jagat alam ini berada di bawah pengawasan Tuhan Yang Mahabijaksana, yang tidak mengandungi kerancuan dan kekacauan. Dengan begitu, saya yang merupakan salah satu bagian alam ini, dapat melakukan berbagai kegiatan dengan sesuka hati, namun tetap tidak terlepas dari ketentuan dan sistem yang berlaku.
2. Seluruh perbuatan, ucapan, dan bahkan pemikiran kita berada di bawah pengawasan-Nya. Dalam hal ini, Tuhan senantiasa memperhatikan diri kita. Kelak, semua perbuatan kita akan diadili di hadapan mahkamah-Nya yang adil.
3. Kita semua berasal dari tanah, dan akhirnya akan kembali ke tanah. Di antara butiran-butiran tanah, tidak terdapat perbedaan apapun. Kalau memang demikian, lantas mengapa saya menjadi berbeda (lebih istimewa) dari yang lain?
4. Segenap manusia merupakan hamba-hamba Allah, dan bersahabat dengan mereka merupakan sesuatu yang diridhai-Nya. Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling menggemari kebaikan.
5. Seluruh keberadaan di jagat alam ini tidak dapat melampaui batasan, ketentuan, serta hak yang telah ditetapkan sang Pencipta.
6. Ayah dan ibu kita semua adalah sama (Nabi Adam dan Sm Hawa).
Penafsiran serta pemahaman terhadap eksistensi alam dan manusia semacam inilah yang dilandasi "Pandangan Dunia Ilahiah".
Semua itu merupakan sarana yang paling kondusif dalam penciptaan keadilan. Dan faktor yang sanggup merusak dan memporakporandakan sarana tersebut tak lain dari segenap tuntutan hawa nafsu.

Keadilan: Kecenderungan Fitrah

Al-Quran menyatakan bahwa secara fitrah Kami (maksudnya, Allah) telah menganugerahi manusia pelbagai kemampuan untuk mengetahui dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, "...maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan".[1]
Sebagai contoh, seorang anak yang menmpkan sebuah apel kepada Anda. Setelah itu, ia pergi barang sejenak untuk mengambil air minum. Namun, ketika kembali dan mengetahui bahwa Anda telah memakan buah apel itu, kendati cuma secuil, tentu ia akan langsung kecewa. Raut mukanya kontan akan memperlihatkan ekpresi khusus, seolah-olah hendak mengatakan, "Aku menganggapmu seseorang yang bisa dipercaya, namun mengapa engkau berkhianat!" Kalimat semacam ini pasti terlintas dalam benak anak tersebut, diucapkan ataupun tidak.
Camkanlah, pengetahuan tentang keburukan berkhianat tidak membutuhkan pengajaran seorang guru atau pendidik. Manusia mengetahui keburukan lewat perasaan fitrah yang bersemayam dalam dirinya.
Demikian pula halnya dengan keadilan. Secara fitriah, setiap manusia pasti menyukainya. Sebagai bukti tentang kebenaran hal tersebut dapat dilihat bahkan pada kenyataan di seputar orang-orang yang zalim.
Orang-orang zalim senantiasa membuat-buat berbagai alasan demi membenarkan dan mengabsahkan keazlimannya, seraya berusaha menunjukkan perbuatannya tersebut sebagai sesuatu yang adil.
Umpama, sejumlah orang berkomplot dan menyiapkan sarana tertentu demi melakukan pencurian. Tatkala mereka berhasil mendapatkan hasil curian dan melarikan diri ke tempat yang aman dari kejaran, tentu masing-masing dari mereka menginginkan harta hasil curian itu dibagi secara adil. Dalam ungkapan mereka, "Marilah kita bagi-bagi harta ini secara adil!"
Ucapan semacam ini terlontar tanpa sadar. Sekalipun kalimat itu tidak diungkapkan, toh hati mereka tetap menyukai cara pembagian yang adil. Kalau saja salah seorang dari mereka hendak mengambil bagian lebih banyak, tentu yang lain akan marah dan tidak merelakannya.
Sejarah telah merekam dengan baik segenap hal yang berkenaan dengan itu. Seluruh masyarakat warga dunia, pasti akan mengelu-elukan seseorang yang terbunuh dalam upayanya mewujudkan keadilan sosial ataupun mempertahankan jiwa, harta, kesucian agama, dan kehormatan negaranya. Dengan begitu, setiap dukungan terhadap keadilan dan perjuangan melawan kezaliman merupakan tuntutan akal, alam, dan fitrah yang bersemayam dalam diri setiap manusia.

Para Nabi dan Undang-undang yang Adil

Jarang kita jumpai masyarakat yang tidak berbicara tentang undang-undang keadilan. Begitu pula amat sedikit sekali lembaga-lembaga sosial-polmk yang tidak menyatakan dirinya melindungi hak-hak serta kepentingan masyarakat. Sekarang, mari kita telaah bersama persoalan tersebut dengan terlebih dulu mengemukakan sejumlah pertanyaan berikut ini:
1. Undang-undang manakah yang secara seratus persen benar-benar adil dan terlepas dari paksaan individu atau golongan? Siapakah yang mampu membuat undang-undang yang steril dari pengaruh hawa nafsu pribadi? Apa dasar pembuatan undang-undang yang adil tersebut?
2. Kondisi masyarakat bagaimana yang dimaksudkan, dan kepentingan serta peringkat (strata) sosial seperti apa yang harus dilindungi dan dijaga?
3. Seandainya saja para pembuat undang-undang tidak terpengaruh hubungan kelompok, kabilah. kawasan, ras, dan sebagainya, mungkinkah pelbagai sisi kemanusiaan dapat diketahui? Selain itu. apakah ada jaminan bahwa undang-undang (yang dianggap bersifat adil) itu tidak sampai merugikan manusia?
Dikarenakan deretan pertanyaan itulah kita berkeyakinan bahwa keadilan sosial mesti terkait dengan undang-undang yang adil. Namun, undang-undang semacam itu mustahil ada kecuali diciptakan sang Pencipta yang kemudian dibawa oleh para nabi.

Keadilan: Syarat Utama

Dalam Islam, seluruh pos penting kehidupan sosial harus diletakkan di bawah tanggungjawab orang-orang yang adil; yang dalam kehidupan sosial tidak memiliki riwayat hidup yang buruk dan dikenal memiliki kelayakan serta kesucian diri.
Dalam sebuah pengadilan, seorang hakim, para saksi, dan seluruh pegawai yang bekerja di situ harus terdiri dari orang-orang yang adil dalam berbicara dan mencatat. Imam salat Jumat dan salat jamaah haruslah scseorang yang adil. Seorang marji' taqlid (ulama yang fatwanya diamalkan orang-orang awam), pemimpin revolusi, serta pihak yang bertanggung jawab mengelola baitul mal atau perceraian, harus berpijak semata-mata di atas prinsip keadilan. Sebuah berita atau intonnasi baru dapat diterima apabila disampaikan oleh orang yang adil.
Ringkasnya, Islam menjadikan prinsip keadilan sebagai syarat utama dalam kehidupan bermasyarakat serta terhadap pelbagai persoalan yang terkait dengan hukum, kehidupan sosial, keluarga, dan perekonomian.

Nilai Penting Keadilan

Dalam berbagai riwayat, Rasulullah saww pernah bersabda, "Adil satu jam lebih baik dari melakukan salat pada malam hari dan berpuasa pada siang hari selama tujuh puluh tahun."[2]
Dalam kesempatan lain. Rasulullah savvw juga menyabdakan;
"Perbuatan seorang pemimpin yang adil dalam memimpin masyarakat selama satu hari, lebih baik dari ibadahnya seorang hamba di tengah-tengah ke!uarganya selama seratus atau lima puluh tahun."
Imam Ja'far ash-Shadiq juga berkata, "Seorang pemimpin yang adil, doanya tidak akan tertolak." Amirul Mukminin, Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Keadilan merupakan kebaikan bagi masyarakat dan mengikuti sunnah Allah."
Beliau juga mengatakan bahwa keadilan identik dengan kehidupan, sedangkan kezaliman adalah kematian. Orang-orang yang menyerah dan tunduk di bawah kaki kezaliman pada hakikatnya adalah orang-orang yang inati.
Dalam menafsirkan ayat, ...dan menghidupkan bumi sesudah matinya,[3] Imam Musa al-Kazhim mengatakan, "Bumi menjadi hidup dikarenakan tegaknya keadilan dan dilaksanakannya hukum-hukum Ilahi".

Penegakkan Keadilan: Tujuan Para Nabi

Al-Quran menjelaskan pelbagai tugas yang harus diemban para nabi. Salah satu di antaranya adalah menegakkan keadilan dalam kehidupan masyarakat. Dalam kesempatan ini, saya akan memaparkan sejumlah tugas para pemimpin maksum tersebut:
1. Mengajak masyarakat menjadi hamba Allah dan menjauhkan diri dari penghambaan kepada taghut (pemimpin yang zalim). "... 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah laghut itu.'" Seruan seluruh nabi kepada umat manusia adalah. " Dekatlah kepada Allah dan jauhilah taghut "[4]
2. Memberi peringatan dan kabar gembira, "Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. " Kami mengutus kalian dengan benar agar kalian menakut-nakuti masyarakat dengan dosa dan siksaan akhirat. Dan dari sisi yang lain, berilah kabar gembira atas janji Allah yang diberikan kepada mereka.[5]<><>
3. Pengajaran dan pendidikan, "...mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah (as-sunah)." Dia mengutus para nabi untuk mendidik serta mengajarkan berbagai hal yang diperlukan umat manusia.[6]
4.Memerangi berbagai bentuk keterikatan dan menghancurkan pelbagai belenggu dan mata rantai kebiasaan atau tradisi yang mengikat kuat kedua tangan dan kaki manusia, "...dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka."[7] Nabi mulia saww diutus untuk melepaskan dan membebaskan beban dan mata rantai yang mengikat manusia.
5. Menjelaskan dan menyingkapkan berbagai jalan yang menyimpang serta mengungkap hakikat pemimpin-pemimpin yang zalim pada masa itu (Fir'aun, Karun, dan berbagai bentuk pemikiran menyimpang), "...dan supaya jelas pula jalan orang-orang yang berdosa."[8]
Tujuan para nabi adalah membentuk masyarakat yang diliputi keadilan; baik dalam lingkungan keluarga, sosial, ekonomi, bahkan juga bersikap adil terhadap kawan maupun lawan. Selain itu, para nabi juga bertujuan menghidupkan keimanan kepada Allah dan hari akhir dalam sanubari masyarakat.
Pada saat setiap individu masyarakat berakhlak dan berpola pikir Ilahiah, maka masyarakat itu sendirilah yang nantinya bangkit menegakkan keadilan serta membentuk tatanan kehidupan yang adil.
"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan".[9]
Kami telah mengutus para nabi Kami dengan membawa argumen-argumen yang jelas dan Kitab dari langit, serta neraca yang berfungsi menimbang mana hak dan mana batil. Semua itu dilakukan agar manusia yang hidup di bawah bimbingan para pemimpin dan undang-undang langit ini, memiliki wawasan luas dan bangkit mewujudkan keadilan. Namun, perwujudan sebuah masyarakat yang adil memerlukan kekuatan makna, juga kekuatan material.
Karena itu, ayat di atas menyebutkan pula keharusan dimilikinya kedua kekuatan tersebut. Kata al-bayyinat, al-Kitab, dan al-mizan merupakan bentuk kekuatan maknawi yang berfungsi sebagai tiang penyangga tegaknya keadilan. Sedangkan kalimat, "dan Kami ciptakan besi",(wa anzalna al-hadid) dalam ayat yang sama, merupakan penjelasan tentang diperlukannya kekuatan material. Kekuatan material itu juga menjadi peringatan bagi para pembangkang yang jika masih tetap keras kepala dan melakukan penentangan, akan dimusnahkan dengan menggunakan kekuatan tertentu, cepat atau lambat!
Dengan demikian, jelas kiranya bahwa salah satu tujuan diutusnya para nabi adalah menegakkan keadilan dalam masyarakat.

Argumen Imam Ali tentang Konsep Persamaan

Tatkala sejumlah orang melontarkan krmkan, "Mengapa engkau membagi baitul mal secara sama rata?". Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menjawab:
1. Kalau saja harta ini milik pribadiku, tentu aku juga akan membagikannya secara sama rata. Apalagi dalam kenyataannya harta ini milik Allah dan berhubungan erat dengan kebutuhan seluruh masyarakat. Karenanya, seluruh masyarakat berhak atas harta ini, "Jika harta ini miiikku sendiri, pasti aku akan membagi-baginya kepada mereka secara sama rata. Lantas bagaimana dengan kenyataan bahwa harta ini sesungguhunya adalah harta Allah".[10]
2. Seseorang disebut pemboros dan suka menghambur-hamburkan harta apabila sering berbelanja tidak pada tempatnya, " Ketahuilah, bahwa memberikan harta bukan kepada yang berhak, adalah pemborosan dan mubazir." Al-Quran menyebut orang-orang yang gemar menghambur-hamburkan harta sebagai teman-teman setan, "Sesungguhnya pemhoros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan."[11]
3. Pembagian tidak sama rata menyebabkan para pencinta dunia akan mengelilingi orang-orang kaya, seraya melontarkan kata pujian dan sanjungan palsu, dengan harapan mendapat bagian harta. Semua itu jelas akan menjauhkan manusia dari lingkup keadilan Ilahi, "Dan dia meninggikan temannya di dunia dan merendahkannya di akhirat. dan menghormatinya di hadapan manusia dan menghinakannya di hadapan Allah." Kemudian Imam melanjutkan bahwasannya apabila seseorang memberikan harta secara tidak semestinya atau memberikan harta kepada orang yang tidak layak menerima, Allah akan menjauhkan pujian yang dilontarkan orang yang menerima harta tidak layak tersebut. Berangsur-angsur keadaannya akan segera berubah; orang yang sebelumnya memuji-muji akan meninggalkannya dan mengalihkan perhatian kepada selainnya.
Orang semacam ini tidak memiliki harga diri di hadapan Allah. Para pecinta dunia akan senantiasa mengelilinginya, demi meraup keuntungan dari ketidakadilan dan ketidaksamarataan yang diberlakukan. Pada saat itu, para pecinta dunia tersebut amat menyukai dan menyanjung-nyanjung dirinya.
Namun, ketika pada suatu hari diri orang tersebut dihantam kesulitan yang luar biasa, segera saja mereka akan meninggalkan dan menjadi teman yang paling buruk. Sekarang saya akan menukil kata-kata langsung dari Imam, untuk kemudian akan saya beri catatan secara ringkas. "Tidak seorung pun yang meletakkan hartanya kepada yang tidak berhak dan kepada yang tidak layak, melainkan Allah akan melenyapkan rasa terima kasih mereka kepadanya, dan cinta mereka akan tertuju kepada orang lain. Maka, jika ia terjatuh dan memerlukan pertolongan mereka, ternyata mereka adalah teman yang terburuk dan sahabat yang paling kikir".[12]

Batas Terjauh Keadilan Islam

Semakin jauh kehidupan ini dari masa Nabi mulia saww, semakin jauh pula jarak antara masyarakat dengan keadilan sosial Islam. Sedikit demi sedikit, Usman membagi-bagikan harta baitul mal tanpa perhitungan lagi kepada sanak famili dan kroni-kroninya.
Selain itu, ia juga memberikan berbagai lahan dan kesempatan (untuk berkuasa) kepada mereka. Bentuk-bentuk diskriminasi semacam inilah yang memicu kekecewaan dan kegusaran masyarakat, yang kemudian membunuhnya dan membaiat Imam Ali bin Abi Thalib.
Semasa pemerintahan Imam Ali, berbagai bentuk sunah yang menyimpang segera dihapuskan, harta-harta yang berbau nepotisme ditarik kembali, proses pengangkatan dan pencopotan secara sewenang-wenang dihentikan. Semua itu merupakan program revolusi yang dilakukan Imam Ali. Oleh karenanya, dengarkanlah pernyataan beliau;
"Demi Allah jika aku menjurnpainya (harta) telah digunakan untuk pernikahan dengan para wanita, dan telah digunakan untuk memiliki budak-budak wanita, maka aku akan menariknya (harta itu) kembali...."
Demi Allah, kalau saja harta dan berbagai sarana yang telah diberikan Usman dengan tanpa perhitungan telah digunakan sebagai mahar bagi wanita atau digunakan untuk membeli budak-budak wanita, saya tetap akan menariknya kembali.[13]

Arab dan Ajam (non-Arab): Tak Beda

Alkisah, dua orang wanita mendatangi Imam Ali bin Abi Thalib demi mengambil bagiannya dari baitul mal. Wanita yang satu beretnis Arab, sementara satunya lagi non-Arab (ajam). Imam Ali kemudian memberikan hak masing-masing sesuai dengan keadilan serta kebiasaannya memberi bagian secara sama rata.
Keduanya yang masih belum tahu betul kebudayaan dan tata cara Islam ini belum sanggup menerima keadilan yang beliau praktikkan. Segera saja keduanya memprotes, "Apakah engkau memberi bagian kepada Arab dan Ajam secara sama rata?" Imam menjawab. "Aku tidak melihat adanya perbedaan (di antara keduanya)."[14]
Memang, tatkala menerapkan berbagai persamaan di pelbagai lapisan masyarakat, Imam acapkali menghadapi berbagai protes dan krmkan yang umumnya dilontarkan orang-orang egois dan zalim. Namun, segenap krmkan itu tidak menjadikan beliau bergeming sejengkal pun dari garis tauhid dan keadilan. Sebagaimana diungkapkan al-Quran. beliau termasuk sosok yang tidak terpengaruh celaan orang yang suka mencela. "... dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela."[15]

Menghitung Jumlah Orang Mati

Salah satu bentuk kebanggaan orang-orang yang hidup di zaman jahiliah ialah besarnya jumlah individu suatu kabilah. Semakin banyak kuantitasnya, semakin besar pula kebanggaan kabilah dimaksud. Kebiasaan tersebut bahkan bisa sampai menciptakan pertengkaran di antara kabilah-kabilah yang ada.
Dalam hal ini, penghitungan jumlah individu sudah sedemikian rupa. Sampai-sampai orang-orang yang telah mati juga dimasukkan dalam penghitungan. Semua itu dimaksudkan tak lain demi membuktikan kabilah mana yang paling banyak jumlahnya! Berkenaan dengan itu, turunlah ayat. "Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu rnasuk ke dalam kubur."
Sesungguhnya, kebanggaan terhadap banyaknya jumlah (individu dalam kabilah) telah menyibukkan kalian. Sampai-sampai kalian mengunjungi seluruh kuburan orang-orang yang telah mati demi menghitung jumlahnya (untuk kemudian digabungkan dengan juinlah orang yang masih hidup, — peny.).
Dari jumlah keseluruhan tersebut, lantas kalian berbangga! Dalam khotbah ke-221, seusai membacakan ayat ini, Imam Ali bin Abi Thalib dengan tegas menentang corak berpikir semacam itu.
Dalam salah satu majelis yang dipadati orang-orang yang gemar membanggakan kabilah, suku, atau keturunan masing-masing, Salman al-Farisi mendapat giliran untuk mengungkapkan asal muasal keturunannya. Para hadirin mengira bahwa Salman pasti akan malu hati lantaran dirinya berasal dari kabilah yang tidak populer.
Namun pribadi Salman yang telah terdidik dalam kebudayaan Islam yang orisinil, dengan tegas dan penuh rasa bangga menyatakan.
"Janganlah kalian memandang keluargaku, karena aku hanya mengetahui bahwa sebelumnya diriku adalah orang yang tersesat. Hanya berkat Rasulullah Muhammad saww, aku mendapatkan petunjuk. Menurutku, yang amat penting hanyalah itu."[16]<><><>
Dengan jawaban itu, beliau berhasil mematahkan kebanggaan picik yang berkobar-kobar dalam diri orang-orang yang hadir di situ. Sekaligus pula, beliau berhasil menghapus pelbagai bentuk pengistimewaan (kekabilahan, kesukuan, keturunan, dan sejenisnya) yang tidak memiliki makna sama sekali. Ungkapan yang memukau tersebut selanjutnya ditutup dengan penjelasan yang menyentak kesadaran mereka bahwa di mata agama dan Allah. seluruh manusia adalah sama.

Usulan Penyuapan

Pernah sekelompok orang mendatangi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan berkata, "Berilah kelebihan kepada para pembesar kalangan Arab dan Quraisy atas para budak dan orang-orang Ajam. Juga (berilah kelebihan) kepada orang-orang yang dikhawatirkan akan menjadi lemah dan berpihak kepada Muuwiyah." Maksudnya, Anda mesti memberi bagian yang lebih banyak kepada para pembesar Arab dan Quraisy.
Dengan itu, mereka tentu akan senantiasa mengelilingi diri Anda. Sebaliknya, kalau Anda tidak memberi kelebihan kepada mereka di atas para budak dan orang ajam, besar kemungkinan mereka akan menentang atau membelot, untuk kemudian bergabung dengan Muawiyah.
Imam Ali bersabda. "Apakah saya mesti menggunakan baitul mal untuk menarik orang-orang? Apakah saya mesti menyuap mereka? Sesungguhnya, jika ada yang mendukung saya dikarenakan harta, ataupun dikarenakan ada harta yang lebih banyak, lalu membelot kepada yang lain dan melakukan pembangkangan terhadap saya, maka ,saya akan tetap mempertahankan keadilan dan agama, serta tidak berkeinginan untuk menarik orang-orang dengan perantaraan ancaman dan harta. Saya sama sekali tidak akan melebihkan seseorang atas yang lain. Siapa yang ingin tetap tinggal, silahkan, siapa yang hendak pergi, silahkan!”
Inilah garis Imam! Dalam menarik simpati golongan tertentu, beliau tidak bersedia melakukan hal-hal yang bertentangan dengan keadilan.[17]

Bentuk-bentuk Persaudaraan

Seorang penduduk kota Balakh menceritakan bahwa pada suatu hari dirinya datang menemui Imam Ridha. Kedatangannya pada saat itu bertepatan dengan tibanya waktu makan. Lantas, keduanya pun membentangkan taplak makan. Tak lama kemudian, Imam mengundang seluruh budaknya, baik yang berkulit hitam maupun putih, untuk duduk bersama-sama di hadapan hidangan makan tersebut.
Imam sendiri duduk di antara mereka. Sama seperti yang ada di situ, beliau juga tidak mendapat pelayanan khusus.
Menyaksikan kejadian itu, orang tersebut kemudian menganjurkan Imam, "Mestinya hidangan bagi para budak Anda sediakan secara terpisah!" Imam Ridha menjawab, "Tuhan kita adalah Esa, dan kita semua berasal dari ayah dan ibu yang satu juga".[18]
Sementara itu, balasan atas kebaikan dan kejahatan terjadi pada hari kiamat. Karenanya, mengapa kita mesti menjadi seorang egois?"
Kalau kita menyaksikan orang-orang yang memiliki posisi serta kedudukan (yang tinggi) berkenan untuk duduk bersama dan berbincang-bincang dengan kalangan umum, maka sejak saat itu, revolusi kebudayaan akan terjadi dan mengalami perkembangan pesat.
Andaikata setiap Muslirn memiliki perasaan bahwa dirinya tidak memiliki kelebihan dan keistimewaan atas orang lain (dirinya dari, untuk, dan dengan masyarakat). serta senantiasa berupaya menghidupkan etika Islami dalam kehidupan pribadinya, maka siapapun yang berjumpa dengannya, secara otomatis, akan memiliki ketertarikan kepadanya, termasuk kepada agamanya.

Persamaan dalam Islam

Telah berabad-abad lamanya, sejarah menyaksikan bagaimana orang-orang kulit putih senantiasa berbuat zalim dan bertindak diskriminatif terhadap orang-orang kulit hitam; kamar mandi umum, restoran, tempat peristirahatan, rumah sakit, sekolahan, dan tempat pemakaman orang kulit hitam dipisahkan dari orang kulit putih. Islam dengan tegas menolak dan menentang bentuk pilih kasih semacam ini dengan mengatakan, "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu".[19]
Orang-orang yang termulia di sisi Allah adalah mereka yang paling bertakwa. Perbedaan bentuk fisik, ras, dan bahasa justru menunjukkan kekuasaan Allah. Di antara pelbagai tanda kekuasaan-Nya, terdapat langit, bumi, serta beragam macam bahasa dan wama kulit.[20] Pada perjalanan haji terakhirnya, Nabi mulia saww mengumpulkan para jamaah haji dan bersabda, "Seluruh umat Islam dari berbagai kabilah, suku, ras, dan bahasa adalah sama."[21]
Semasa hidupnya, Nabi mulia saww seringkali memberikan kedudukan tertentu kepada para budaknya, menikahkan orang kulit hitam dengan kulit putih, bahkan anak bibi beliau diberikan kepada seorang budak hilam. Semua itu ditujukan demi menghapus pelbagai bentuk diskriminasi (pembeda-bedaan).

Kebiasaan Keliru: Sebuah Krmk

"... Kemudian, bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang banyak (Arafah)".[22] Dalam ayat tersebut, Allah Swt menolak bentuk keistimewaan yang diyakini kaum Quraisy. Mereka berkeyakinan memiliki posisi lebih tinggi dari yang lain.
Alasannya, mereka adalah pengelola dan pemelihara Ka'bah sejak dulu kala. Berdasarkan itu pula, mereka mengabaikan salah satu kewajiban berhaji, yaitu pergi ke Padang Arafah. Sebagai gantinya, mereka malah pergi ke Muzdalifah dengan mengatakan, "Kami adalah penduduk Haram (Tanah suci) Allah, dan tidak dapat berpisah dari Haram Allah."
Kemudian turunlah ayat yang menyebutkan, kalian mesti melakukan perjalanan (ke padang Arafah) sebagaimana orang-orang lain melakukannya. Kalian juga mesti meninggalkan perasaan lebih unggul dari yang lain.

Perbedaan Kaum Agamis dan Materialis

Orang-orang kaya menganggap para pengikut Nabi Nuh terdiri dari orang-orang hina dan tidak berguna. Kemudian mereka mengusulkan kepada Nabi Nuh, "Apabila engkau menjauhkan orang-orang itu dari sekelilingmu, kami semua akan berada di Sampingmu!"
Nabi Nuh yang senantiasa melindungi orang-orang lemah, rnemberikan jawaban negatif, seraya mengatakan. "... dan aku sekali-kali tidak nkan mengusir orang-orang yang telah beriman".[23]
Aku sama sekali tidak akan mengusir orang-orang yang beriman (dikarenakan hendak mendapatkan dukungan orang-orang kaya). Hal yang paling berharga dalam kehidupan ini adalah keadilan sosial dan penjagaan terhadap keutuhan agama.
Dalam mencari pengikut, siapapun mesti berpijak di atas kedua hal tersebut. Bukannya malah meremehkan sebagian ajaran agama serta mengabaikan kebenaran dan keadilan, dengan harapan moga-moga sikap semacam itu akan menambah jumlah pengikut. Bentuk pemikiran semacam ini bukanlah bentuk pemikiran orang-orang yang agamis yang menyembah Allah. Namun, tak lain dari bentuk pemikiran orang-orang materialistis.

Pembagian Adil Sekeping Roti

Pada suatu ketika, Imam Ali menerima sejumlah harta untuk baitul mal. Masyarakat pun berbondong-bondong mendatangi beliau demi meminta bagian masing-masing. Agar tidak saling berebut, beliau memagari sekeliling harta tersebut dengan seutas tali seraya mengatakan, "Menjauhlah dari harta itu, janganlah kalian masuk ke dalam tali pembatas."
Kemudian Imam memasuki pembatas tersebut dan membagi-bagikan harta itu kepada wakil masing-masing kabilah. Di akhir pembagian, Imam melihat sebuah bakul yang berisi sepotong roti. Imam kemudian memerintahkan supaya keping roti tersebut, sebagaimana harta lainnya, dibagi potong-potong menjadi tujuh bagian. Dan tiap-tiap kabilah pun mendapat satu keping darinya.[24]
Revolusi kita akan sukses seandainya di negeri ini, kita melakukan tindakan semacam itu. Selain itu, kita juga mesti mencontohkan kepada dunia bahwa kita sendiri amat telm dan cermat dalam hal penggunaan harta baitul mal serta tidak sampai melakukan pemborosan dan kemubaziran. Darinva pula, kita bisa membuat perbandingan antara pemimpin pemerintahan Islam dan pemimpin pemerintahan lainnya.

Dilema Meraih Kebaikan

Rumah salah seorang penduduk Madinah mengalami kecurian. Dalam kasus tersebut, terdapat dua orang tertuduh; seorang Muslim dan seorang Yahudi. Kemudian keduanya dibawa menghadap Rasul saww. Orang-orang Islam merasa risau kalau-kalau si Muslim itulah pencurinya. Sebab, kalau memang benar demikian, akan habislah nama baik kaum Muslimin di mata orang-orang Yahudi.
Dengan bergegas, mereka mendatangi Rasul saww dan mengatakan, "Harga diri Muslimin tengah dalam bahaya. Usahakanlah agar orang Muslim itu terlepas dari tuduhan!" Namun Rasul saww yakin bahwa penjatuhan hukuman dengan cara tidak benar justru akan memalukan dan melecehkan Islam. Mereka mengatakan, "Selama ini, orang-orang Yahudi telah banyak berbuat zalim kepada kita.
Seandainya orang Yahudi (yang dijadikan tertuduh) ini mendapat perlakuan zalim, itu masih belum seberapa dibandingkan dengan kezaliman yang telah mereka lakukan selama ini!" Rasul saww bersabda, "Pertimbangan dalam masalah hukuman dan keadilan, berbeda dengan pertimbangan berdasarkan kekecewaan di masa lalu."
Tak lama dari itu, mulailah beliau memeriksa kedua tersangka tersebut. Dan ternyata, hasilnya bertolak belakang dengan harapan kaum Muslimin; orang Yahudi tersebut terbebas dari tuduhan! Ini merupakan contoh dari praktik keadilan yang mengagumkan. Anggapan kaum Muslimin waktu itu bahwa hasil tersebut akan menjatuhkan harga diri umat Islam terbukti keliru. Malah, ketegasan serta kejujuran tersebut akan menjadikan keadilan dan Islam kian terhormat dan berwibawa.
Karenanya, kita harus memikirkan keadaan (kehormatan dan keagungan) agama dan tidak menambah atau menguranginya (agama) demi menguntungkan seseorang atau kelompok tertentu.

Pengharapan Salah Tempat

Sekelompok orang yang melintas di depan majelis Nabi saww, melihat adanya sejumlah orang yang tidak berharta, fakir, dan miskin seperti Ammar bin Yasir dan Bilal. Dengan penuh keheranan, mereka bertanya kepada Nabi saww, "Apakah engkau merasa cukup dengan orang-orang semacam ini? Segera jauhkan mereka dari sekelilingmu, niscaya kami akan condong kepadamu!"
Setelah menukil peristiwa itu, penulis tafsir al-Manar menambahkan bahwa Umar bin Khattab menunjukkan kecondongan pada usulan orang-orang kaya Quraisy tersebut, dengan mengatakan kepada Nabi saww, ''Demi menguji kebenaran ucapan mereka, usirlah orang-orang miskin ini dari sisimu, lalu kita lihat apakah mereka akan condong atau tidak? Apakah mereka menepati ucapannya atau tidak?"
Kemudian, turunlah ayat sebagai peringatan kepada Nabi saww, "Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyembuh Tuhannya pagi dan petang, sedang mereka menginginkan keridhaan-Nya...."
Janganlah engkau mengusir mereka yang di pagi dan malam hari senantiasa memanjatkan doa kepada Tuhannya. Mereka tidak melihat yang lain kecuali Zat Yang Mahasuci. Pada akhir ayat tersebut, Allah memfirmankan bahwa seandainya engkau mengusir orang-orang mukmin tersebut, maka engkau tergolong orang-orang yang zalim; ".. sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim".[25]

Larangan Menganggap Enteng

Suatu ketika, dua orang anak kecil membuat dua bentuk tulisan. Kemudian keduanya meminta Imam Hasan menilai bentuk tulisan mereka masing-masing. Andaikata permintaan itu diajukan kepada orang biasa-biasa saja, tentu akan dianggap enteng.
Sebabnya, pertama, penilaian yang dilakukan hanya berkisar pada bentuk kedua tulisan tersebut. Kedua, keduanya (yang mengajukan permintaan) tak lain dari dua orang anak kecil. Seyogianya, pemberian nilai terhadap apapun harus dilakukan secara adil dan bijaksana.
Sekalipun terhadap (karya) anak-anak kecil, Imam Ali berpesan kepada puteranya, Imam Hasan al-Mujtaba, untuk benar-benar berhati-hati dalam memberikan penilaian. Sebab, penilaian yang diberikan sekarang ini akan diminta pertanggungjawabannya kelak di hari kiamat oleh Allah Swt." Lihatlah bagaimanakah kamu memberikan keputusan karena sesungguhnya keputusan ini, Allah akan mempertanyakannya pada hari kiamat".[26]

Seputar Perselisihan Antartamu

Pada suatu hari, seseorang bertamu ke rumah Imam Ali bin Abi Thalib. Namun, tak lama berselang, terjadilah perselisihan antara dirinya (tamu itu) dengan temannya.
Dalam keadaan demikian, ia menemui Imam Ali sendirian (tanpa disertai teman berselisihnya) dan menjelaskan peristiwa yang telah terjadi. Imam Ali berkata; "Sebelum ini engkau adalah tamuku, namun sekarang engkau menjadi salah satu pihak yang bertikai. Keluarlah dari sini karena Rasul saww bersabda, 'Janganlah engkau menerima sebagai tamu salah satu dari dua orang yang saling bertikai, melainkan yang lain pun juga ikut serta.'"
Memang, terdapat ketentuan tersendiri dalam hal penerimaan tamu, begitu pula dalam hal mengadili; menerima tamu dilandasi rasa kasih sayang, sedangkan mengadili didasari undang-undang.
Hendaklah kalian menjauhkan diri dari berbagai bentuk perasaan dan kejiwaan yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu —sekalipun hanya sekian persen saja—terhadap upaya untuk mengadili dan menegakkan keadilan.[27] Imam Ali pernah berpesan kepada para petugas pengumpul pajak agar ketika bertugas ke daerah mana saja tidak sampai memasuki rumah seseorang.
Mereka dinasihati untuk menunggu di samping atau halaman rumah (orang yang ditagih pajaknya). Sebab, kalau sampai bertamu, besar kemungkinan usaha mereka dalam menarik pajak masyarakat akan menjadi terpengaruh.[28]
Secara tegas, al-Quran menentang seseorang yang mengutamakan orang lain tanpa alasan yang jelas dan memadai. Ketika ayat al-Quran diturunkan, sedikit demi sedikit orang-orang tertarik ke arahnya (al-Quran). Pada saat bersamaan, Rasul saww dan sebagian Muslirnin senantiasa berusaha mengenalkan dan mengajak masyarakat memeluk lslam.
Pada suatu hari, terjadi sebuah pertemuan yang dihadiri para tokoh masyarakat. Tatkala perbincangan (yang dimaksudkan untuk rnengajak orang-orang agar menerima Islam itu) dimulai, datanglah seorang buta dan memotong pembicaraan. Ternyata, bukan hanya sekali saja hal itu dilakukan, melainkan berulang-kali.
Perbuatan orang buta tersebut tidak disukai orang yang tengah berbicara, yang karenanya menunjukkan muka masam (cemberut); ia tidak menyukai kedatangan orang buta itu pada saat-saat menentukan semacam itu —dan seandainya diperkenankan hadir dalam pertemuan itu, semestinya ia terlebih dahulu berdiam diri.
Sekalipun tidak begitu berbeda antara menunjukkan muka masam atau muka manis terhadap orang buta, namun dalam surah Abasa, al-Quran memperingatkan orang bermuka masam tersebut bahwa sesungguhnya ia tidak mengetahui kalau orang buta itu mungkin memiliki kesiapan yang justru melebihi para tokoh dalam hal menerima kebenaran dan kesucian diri.


[1] Asy-Syamsy: 8.
[2] Jami'us Sa’adat, jilid II, hal. 223.
[3] Ar-Rum: 19.
[4] An-Nahl: 32.
[5] Al-Baqarah: 119.
[6] Al-Jumu'ah: 2.
[7] Al-A'raf: 157.
[8] Al-An'am:55.
[9] Al-Hadid: 25.
[10] Nahj al-Balaghah, khotbah ke-126.
[11] Al-Isra': 27.
[12] Subhi Shaleh, Nahj al-Balaghah, khotbah ke-126, hal.183.
[13] Ibid., khotbah ke-15, hal. 57.
[14] Wasail asy-Syi'ah, jilid XI, hal. 81.
[15] Al-Maidah: 54.
[16] Safinah al-Bihar, jilid II, hal. 248.
[17] Bihar al-Anwar, cetakan lama, jilid XVI, hal. 108.
[18] Al-Kafi, jilid VIII.hal.230.
[19] Al-Hujurat: 13.
[20] Ar-Rum: 22.
[21] Safinah al-Bihar, jilid II, hal. 248.
[22] Al-Baqarah: 199.
[23] Hud: 29.
[24] Bihar al-Anwar, jilid XLI, hal. 136.
[25] Al-An'am: 52.
[26] Tafsir Majma' al-Bayan, jilid III, hal. 64.
[27] Wasail asy-Syi'ah, jilid XVIII, hal. 157.
[28] Nahj al-Balaghah, surat ke-25.

KEADILAN LAIN

Aqil membawa anaknya yang pucat pasi dan kelaparan menemui saudaranya, amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, guna mengharapkan tambahan bagian dari baitul mal. Jelas, siapapun yang menyaksikan anak saudaranya tengah menanggung rasa lapar, pasti hatinya akan langsung terenyuh.
Namun, sekalipun demikian, Imam Ali tetap memberikan jawaban yang negatif (menolak). Seraya mendekatkan besi yang sedang membara ke muka saudaranya itu, Imam Ali berkata; "Sebagaimana engkau takut mendekati besi membara ini, aku pun takut akan siksa hari kiamat".[1]

Mengandalkan Status-Kedudukan

Biasanya, untuk membeli sesuatu di pasar, orang-orang terkemuka dan termasyhur akan menyuruh orang lain untuk melakukannya. Orang suruhan itu lantas diperintahkan agar mengatakan pada si penjual bahwa barang yang dibelinya itu diperuntukkan bagi si fulan.
Dengan demikian, sang penjual itu akan memberikan barang dagangan yang paling berkualitas dengan harga yang jauh lebih murah! Dalam beberapa hal, perbuatan semacam ini berpotensi menjadi sarana penyuapan dan penyalahgunaan kedudukan, untuk kemudian berujung pada terjadinya tindak diskriminasi di pasar; orang-orang terkemuka akan memperoleh jenis barang yang berkualitas bagus dengan harga yang sangat murah, sementara orang-orang umum hanya memperoleh jenis barang sederhana, bahkan dengan hargajauh lebih tinggi.
Hanya sosok Imam Ali saja yang senantiasa berusaha agar si penjual barang tidak mengenalinya. Baik ketika beliau mengutus orang untuk membeli barang, maupun pada saat berbelanja sendiri, ke pasar.

Ketelitian Imam Ali

Tatkala Imam Ali sedang membagi-bagi harta baitul mal, salah seorang cucu beliau mengambil sesuatu dan langsung pergi. Pada umumnya, seorang kakek tidak akan menghiraukan sama sekali persoalan semacam itu. Lain halnya dengan Imam Ali. Beliau kontan mengejar cucunya yang masih kanak-kanak tersebut dan mengambil barang yang diambil itu. Setelah itu, beliau langsung mengembalikannya ke baitul mal. Banyak orang yang mengatakan bahwa anak tersebut seharusnya juga memperoleh bagian dari baitul mal. Namun, Imam Ali menegaskan, "Tidak, hanya ayahnya yang mendapat bagian, dan itupun harus sama dengan jumlah yang diberikan kepada Muslimin. Dia (ayahnya) yang akan mencukupi keperluan anaknya".[2]
Tentu saja keketatan semacam ini hanya berlaku pada hal-hal yang berhubungan dengan baitul mal. Sementara dalam hal memberikan serta menginfakkan harta pribadinya, beliau benar-benar figur yang sangat dermawan.
Berkenaan itu, Muawiyah sampai mengatakan bahwa kalau Imam Ali memiliki dua kamar (di mana kamar yang satu dipenuhi gandum, sedangkan kamar lainnya dipenuhi batangan emas) dan hendak memberikan isinya, tentu ia tidak akan membeda-bedakan antara keduanya.

Kritik Tak Beralasan

Talhah dan Zubair, sahabat Rasulullah saww, merasa dirinya memiliki keistimewaan. Sehingga, keduanya hobi mengkritik kebijakan Imam Ali dalam banyak hal, termasuk terhadap pembagian baitul mal. Suatu ketika, mereka memprotes Imam Ali, "Mengapa engkau tidak pernah bermusyawarah dengan kami?!"
Setelah menjelaskan kesiapan, kelayakan, dan keadilan dirinya, serta memaparkan berbagai aktivitasnya, Imam Ali berkata, "Apakah kalian mengira bahwa ketika tidak bermusyawarah dengan kalian, saya haus akan kedudukan dan bermaksud hendak menguasainya?
Demi Allah, saya tidak serakah pada kedudukan dan kepemimpinan. Kalianlah yang dulu mengelilingi serta membaiat diriku, dan menyerahkan pemerintahan ini kepadaku. Saya selalu mengedepankan al-Quran serta kebijakan Rasul saww. Saya juga senantiasa menjalankan pemerintahan ini sesuai dengan petunjuknya.
Sampai sekarang, saya tidak pernah menghadapi permasalahan (yang sulit) dan tidak disertai hukum yang jelas, sehingga mengharuskan saya bermusyawarah dengan kalian atau umat Islam. Jika suatu saat memang diperlukan, pasti saya akan bermusyawarah dengan kalian dan juga dengan yang lain. Dalam bermusyawarah juga saya tidak akan membeda-bedakan antara kalian dan Muslimin yang lain."[3]

Adil dalam Bersikap

Imam Ali menulis pesan kepada wakil beliau di Mesir, Muhammad bin Abubakar, "Dan adillah terhadap mereka dalam perhatian dan pandangan".[4]
Dalam memperhatikan dan memandang mereka, engkau mesti bersikap adil tanpa pandang bulu. Ketelitian dan keadilan ini dimaksudkan agar orang-orang lemah (miskin) tidak berputus asa terhadap kemurahanmu, sekaligus pula menutup celah bagi orang-orang kaya yang mengharap kezaliman dan ketidakadilanmu.
Dalam salah satu hadis disebutkan, "Tatkala berbicara di hadapan khalayak, pandangan Nabi saww senantiasa tertuju kepada seluruh sahabat tanpa pilih kasih".[5]
Sebegitu adilnya, sampai-sampai Islam juga menganjurkan dan menyediakan tuntunan untuk menghormati para tamu; dalam membasuh tangan para tamu yang hendak menyantap hidangan, dianjurkan untuk memulainya dari (tangan) sebelah kanan; dan sesuai menikmati hidangan, tangan mereka harus dibasuh mulai dari sebelah kiri; kita dianjurkan membasuh tangan para tamu sebelum menyantap mulai dari sebelah kanan; dan kembali membasuh tangan mereka seusai menyantap mulai dari sebelah kiri. Jujur saja, agama mana yang memiliki Ketelitian dan keadilan semacam ini!
Selain itu, Islam juga melarang pengikutnya menghambur-hamburkan kertas. Dalam surat yang ditujukan kepada para wakilnya, Imam Ali menulis, " Perunanglah pena-pena kalian." Maksudnya, runcingkanlah ujung-ujung pena kita. "Dan dekatkanlah jarak antar kalimat dalam tulisan kalian".
Artinya, antara satu kalimat dengan kalimat yang lain dalam tulisan kita jangan sampai terdapat jarak pemisah yang cukup senggang. "Hapuslah berbagai tambahan." Hapuslah berbagai kata tambahan yang tidak perlu. "Raihlah makna yang dituju."
Ketimbang menulis kalimat secara bertele-tele, hendaknya kita langsung mengemukakan inti persoalan yang termaktub di dalamnya. "Hati-hatilah terhadap penghambur-hamburan." Kita harus menghindarkan diri dari tulisan serta penggunaan kertas yang berlebih-lebihan. "Sesungguhnya, kaum Muslimin tidak boleh sampai menanggung kerugian harta."
Maksudnya, mengingat kertas untuk menulis tersebut merupakan milik baitul mal, maka kalau terjadi pemborosan terhadapnya akan mengakibatkan pelbagai kerugian yang harus ditanggung (baitul mal).[6]
Dalam khotbah ke-222, Imam Ali memberikan uraian yang sangat memukau berkenaan dengan pentingnya keadilan serta keharusan menjauhkan diri dari kezaliman.
Beliau berkata, "Demi Allah, jika tujuh wilayah[7]diberikan kepadaku dengan syarat aku harus bermaksiak kepada Allah sekalipun hanya dengan merampas sebutir gandum yang bertengger di mulut seekor semut, aku tidak akan pernah bersedia. Demi Allah, apabila sejak malam hingga pagi hari tubuhku digelindingkan di atas pisau-pisau yang sangat tajam, itu jauh lebih baik ketimbung kelak ketika di hadapan Allah dan Rasulnya yang mulia, aku digolongkan sebagai orang-orang yang zalim."

Usaha Penambah Penghasilan

Suatu ketika, Talhah dan Zubair menemui amirul mukminin Ali bin Abi Thalib. Kemudian, keduanya berkata, "Umar telah memberi bagian kepada kami melebihi pemberian kepada Muslimin lainnya."
Dengan ungkapan ini, mereka sebenarnya ingin mengisyaratkan agar Imam Ali juga memberi mereka bagian yang lebih banyak. Imam Ali bertanya, "Kalian diberi apa oleh Rasulullah?" Mendengar itu, mereka langsung terdiam. Beliau lantas melanjutkan ucapannya, "Tidakkah Rasul saww senantiasa memberi bagian kepada seluruh kaum Muslimin secara sama rata?" Mereka menjawab, "Ya." Imam kembali bertanya, "Apakah saya mesti mengikuti sunnah Rasulullah ataukah cara-cara Umar?" Mereka menjawab, "Jelas, sunnah Rasulullah." Lagi-lagi beliau mempertanyakan, "Lantas mengapa kalian mengharap bagian yang lebih banyak?"
Mereka menjawab, "Karena kami memiliki jasa yang cukup banyak dalam mengembangkan Islam dan kami juga merupakan kerabat dekat Rasul saww. Kami juga sering ikut serta dalam berbagai peristiwa sulit dan getir!"
Imam berkata, "Dalam tiga hal tersebut, saya lebih utama dari kalian. Sebabnya, saya beriman kepada Nabi saww sebelum kalian; saya menantu Rasul saww; saya kemenakannya; dalam berbagai peperangan, saya lebih banyak menghunus pedang daripada kalian.
Demi Allah, walaupun memiliki berbagai kelebihan dan juga duduk sebagai pemimpin pemerintahan, namun bagian yang saya terima sama persis dengan bagian yang diterima para pegawai yang bekerja di sudut-sudut sana."[8]

Penyalahgunaan Kedudukan

Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, dalam suatu kesempatan di Kufah—kota yang menjadi pusat pemerintahannya, menyampaikan ceramah kepada masyarakat. "Saudara-saudara sekalian, seandainya kelak saya meningglkan kota ini, sementara kalian menyaksikan kondisi (hidup) saya berubah dari sebelumnya, umpama saja dalam hal berpakaian (menjadi serba mewah), tunggangan (menjadi berlebihah), makanan (menjadi serba lezat), kepemilikan budak (menjadi banyak), dan dalam hal pengelolaan pemerintahan ini (dengan memiliki kehidupan serba kecukupan), ketahuilah bahwa selama memegang pemerintahan ini, saya telah berkhianat kepada kalian semua."
Seusai nembagi-bagikan roti yang dibaluri daging cincang kepada umat Islam, beliau kemudian mengambil bagiannya sendiri; ternyata hanya roti belaka (tanpa dibubuhi daging secuilpun)! Imam Ali berkata: "Wahai warga Kufah! Kalau aku keluar dari negeri kalian tanpa bekal, tunggangan, atau budak fulan (sebagaimana biasa), maka sesungguhnya aku telah berkhianat...".[9]

Persamaan dalam Islam

Nabi mulia saww hidup di tengah-tengah masyarakat hanya dengan mengenakan pakaian yang cukup sederhana. Pada suatu hari, ketika beliau sedang berada di masjid, seorang asing bermaksud menemuinya. Tatkala tiba di masjid, orang tersebut merasa kesulitan untuk menentukan manakah Rasul saww.
Setelah beberapa saat menatap wajah-wajah yang hadir di masjid tersebut, ia pun bertanya, "Siapakah di antara kalian yang Rasulullah?" Demikianlah. Namun, bukan cuma itu. Setiap kali duduk bersama para sahabatnya, beliau senantiasa membentuk lingkaran, sehingga tidak pernah terjadi pengistimewaan antara satu sama lain.
Dengan kata lain, semua itu dimaksudkan agar pertemuan tersebut tidak sampai memunculkan anggapan adanya seorang atau lebih sahabat yang duduk (atau didudukkan) lebih tinggi atau lebih rendah. Ya, kebersamaan, kesederhanaan, dan kebersihan merupakan ciri-ciri khusus ajaran para Nabi.

Nepotisme Tidak Dibenarkan

Seorang wanita dari bani Makhzum —salah satu kabilah terkenal— melakukan pencurian. Rasul saww mengambil keputusan untuk tetap menjatuhkan hukuman Ilahi terhadapnya. Pada saat bersamaan, keluarga si wanita tersebut menganggap pelaksanaan hukuman itu bakal merusak citra mereka. Karenanya, mereka berusaha mati-matian membatalkan pelaksanaan hukuman tersebut dengan mengutus seorang sahabat Rasul saww bemama Usamah.
Rasul saww menjadi marah dan bersabda kepada Usamah, "Apakah engkau menjadi perantara yang menghendaki agar hukum Allah tidak terlaksana?” Penyebab kesengsaraan dan kebinasaan umat-umat terdahulu adalah ketika orang-orang kaya dan terkenal melakukan kesalahan, hukum Allah tidak diberlakukan kepada mereka; sebaliknya, kalau yang berbuat salah itu orang-orang miskin dan tidak populer, segera saja hukum Ilahi diberlakukan atasnya. “Demi Allah, seandainya anakku Fatimah mencuri, saya akan memotong tangannya”.[10]

Hukum Cambuk Tanpa Pandang Bulu

Perintah agar masyarakat Islam menjaga kesuaan dirinya bersifat umum. Selain mewajibkan kaum wanita menutupi sekujur tubuhnya (dengan hijab), serta mengharuskan pelaksanaan amar ma'ruf dan nahi munkar, perintah tersebut juga membolehkan pihak-pihak tertentu untuk mencambuk orang-orang yang melakukan kesalahan dan kejahatan. Memang, hukuman cambuk akan menjatuhkan harga diri pihak yang bersalah.
Namun, mengingat orang-orang tersebut telah merusak dan mencemarkan kesuaan masyarakat, melecehkan ajaran-ajaran sua agama. dan memberi peluang bagi orang lain melakukan pelanggaran, tentunya hukuman itu harus secara tegas dijatuhkan kepada mereka (yang memang tidak bermoral) dengan disaksikan khalayak ramai! Hukuman ini merupakan ibadah yang harus dijalankan sesuai dengan ketentuan Allah, dan bukan dimaksudkan sebagai tindakan balas dendam.
Dalam sebuah hadis, dikisahkan tentang seorang wanita yang telah berbuat zina dan digiring ke pengadilan. Setelah mengusut dan meneliti kejadian yang sebenarnya, Imam Ali memerintahkan agar hukum Allah diberlakukan terhadap wanita tersebut. Qanbar, petugas pelaksana hukuman itu, dikarenakan pengaruh amarah yang meledak-ledak, menambah tiga cambukan dari jumlah yang telah ditentukan.
Ketika Imam mengetahui peristiwa itu, Imam dengan seketika mengambil alih cambuk tersebut dan memerintahkan Qanbar berbaring. Kemudian, beliau pun mencambuknya sebanyak tiga kali.
Inilah wajah pengadilan Islam yang betul-betul adil. Terhadap seseorang yang bertahun-tahun telah berkhidmat, dan sekarang ini bertugas sebagai pelaksana hukuman, Imam tetap memberlakukan hukum Allah dengan tegas dan adil.

Usulan Penyuapan

Setelah bertahun-tahim lamanya, pemerintahan (Islam) pada akhirnya diserahkan kepada ahlinya, Imam Ali bin Abi Thalib. Pada suatu hari, sejumlah orang yang masih belum mengenal Islam secara benar dan memiliki gaya berpikir layaknya para politikus dan diplomat internasional, menemui Imam Ali. Mereka menyatakan, "Pemerintanan baru saja berdiri dan Anda amat memerlukan kekuatan untuk memperkokoh sendi-sendi pemerintahan. Menurut hemat kami, usaha terbaik bagi Anda adalah membagi-bagikan harta baitul mal kepada para pemimpin, pembesar, dan sanak keluarga.
Dengan begitu, niscaya mereka tidak akan menentang Anda." Sebagai jawaban kepada para politikus yang tidak mengenal Allah dan sosok diri beliau, Imam Ali berkata, "Apakah kalian berharap orang yang seperti aku ini akan memperkokoh sendi-sendi pemerintahan dengan kezaliman dan penindasan!! Apakah dengan kaki syirik, kita dapat melangkah menuju tauhid?[11] Aku menerima kepemimpinan ini justru dimaksudkan untuk menyapu bersih ketidakadilan  (penindasan) serta pengduaran tidak pada tempatnya. Sekarang, kalian berharap agar aku melakukan perbuatan buruk yang justru harus aku lenyapkan?"

Masalah Keutamaan Diri

Imam Ja'far ash-Shadiq berkata, "Seluruh umat Islam adalah anak dari Islarn dan dalam membagi baitul mal, saya tidak akan membeda-bedakan antara satu sama lain. Berbagai keutamaun dan kesempurnaan maknawiah seperti lebih berpengalaman, lebih berilmu, lebih bertakwa, lebih banyak berjihad, dan sebagainya, berhubungan dengan hari kiamat, bukan berhubungan dengan perolehan bagian yang lebih banyak dari baitul mal".[12]
Nampaknya pernyataan ini berhubungan erat dengan pelbagai harapan atau corak pemikiran pihak-pihak tertentu yang menginginkan agar setiap orang yang memiliki kelebihan dan keutamaan diperhatikan secara khusus serta layak mendapat bagian lebih banyak dari baitul mal. Namun melalui pernyataan itu, Imam ash-Shadiq dengan tegas mengecam dan menolak harapan serta corak berpikir pemikiran semacam itu.
Anggapan bahwa keutamaan dan kelebihan tertentu meniscayakan seseorang diberi bagian lebih banyak, tentu bakal memicu dua kesalahan fatal;
1. Menilai unsur-unsur kesempurnaan tersebut dengan sesuatu yang tidak berharga.
2. Mengguncang keikhlasan orang-orang yang memiliki keutamaan dan kelebihan, sehingga dalam meraih berbagai kesempurnaan tersebut, mereka akan cenderung kepada hal-hal yang bersifat material. Tidak diragukan lagi, penilaian terhadap kesempurnaan maknawiah dan jiwa berdasarkan pada banyak-sedikitnya penerimaan bagian dari baitui mal, sesungguhnya merupakan pukulan telak bagi kesempurnaan itu sendiri serta kepada orang-orang yang memiliki kesempurnaan.

Sebuah Kritikan Tajam

Dalam mengawasi jalannya pemerintahan serta pelaksanaan tugas yang diemban para wakilnya, Imam Ali sendiri langsung terjun ke lapangan. Semua itu dilakukan dengan cara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Pada saat itu pula, masyarakat memiliki kebebasan penuh untuk mengadukan langsung kepada Imam Ali berbagai kelemahan kerja para wakil beliau. Di antara pelbagai aduan yang diajukan, salah satunya berkenaan dengan wakil beliau di Persia. Isinya menyebutkan bahwa dalam hal pembagian baitul mal, wakil tersebut membeda-bedakan antara Muslimin dan keluarganya sendiri. Ia memberi sanak saudaranya bagian yang lebih banyak dari yang diterima kaum Muslimin pada umumnya. Figur keadilan itu (Imam Ali) memberi peringatan kepada wakilnya melalui sebuah surat yang berbunyi, "Engkau tidak boleh membeda-bedakan walau sekecil apapun antara Muslimin dan sanak keluargamu."[13]

Teguran Imam kepada Umar

Dalam berbagai pesan yang ditujukan kepada Umar, Imam Ali menyatakan, "Perhatikanlah secara cermat, tiga soal penting ini; pertama, dalam melaksanakan hukum, janganlah engkau membeda-bedakan berbagai individu; kedua, dalam keadaan senang dan marah, hendaklah engkau menjalankan hukum sesuai perintah Allah; ketiga, dalam rnembagi baitul mal, janganlah engkau menjadikan ras sebagai tolok ukur."[14]
Kondisi kejiwaan (senang dan marah), kesamaan atau kecenderungan rasial, semangat kesukuan dan kabilahisme, serta segenap bentuk hubungan kekerabatan bukanlah tolok ukur untuk menjalankan hukum Ilahi.

Mengapa Imam Meninggalkan Pengadilan

Pada masa pemerintahan Umar, seseorang mengadukan Imam Ali kepada hakim setempat. Kedua orang bersengketa itu kemudian hadir di pengadilan. Hakim yang semestinya berbicara dan bahkan memandang serta memanggil keduanya secara adil dan tanpa pandang bulu, justru memberlakukan perbedaan yang tercermin dalam caranya memanggil Imam dengan sebutan yang lain; si hakim memanggil Imam dengan menyebut nama julukan beliau (Abu al-Hasan, yang sekaligus merupakan penghormatan), sementara terhadap pihak yang lain, ia hanya menyebut namanya saja.
Mendengar itu, Imam langsung gusar dan segera meninggalkan ruang pengadilan seraya berkata, "Seorang hakim yang adil tidak boleh membeda-bedakan antara dua orang yang berselisih. Engkau telah membeda-bedakan dalam memanggil kami berdua; engkau memanggil saya dengan penghormatan khusus. Pengadilan ini tidak Islami."[15]
Noktah penting yang tertera dalam kejadian ini perlu diperhatikan dengan seksama; kehadiran sosok mulia seperti Imam Ali di sisi seseorang yang tidak populer, kendati tanpa pengadilan khusus, waktu khusus, ataupun hakim khusus, akan menjadikan keadilan Islam berkilau dan terlaksana dengan benar.

Keadilan Bersikap

Sepanjang perjalanan bersama al-Quran, kita menyaksikan bahwa dalam menghadapi pelbagai persoalan penting, al-Quran senantiasa bersikap adil, bijaksana, dan netral. Dalam kesempatan ini, saya akan menguraikan secara ringkas, sejumlah contoh berikut:
1. Sebelum mengharamkan minuman keras, al-Quran terlebih dulu menyinggung persoalan yang berkenaan dengan keuntungan darinya (pembuatan minuman keras dari sisi ekonomi, kedokteran, dan sebagainya). Baru setelah itu dikatakan, "...tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." Kerugian yang diakibatkan meminum minuman keras, jauh lebih besar dari manfaatnya, yang dalam hal ini juga akan cepat berlalu.[16]
2. Meskipun memiliki pelbagai kesempurnaan serta kelebihan, al-Quran tetap tidak mengabaikan kitab-kitab Samawi lainnya. Dikatakan, "Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku..."[17] Aku mempercayai kitab-kitab (sua) yang diturunkan sebelum aku; Taurat dan Injil yang masih otentik dan tidak mengalami perubahan. Pernyataan ini sekaligus menunjukkan bahwa al-Quran telah bersikap adil.
3. Berkenaan dengan kejujuran ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), seseorang tidak akan hanya menjumpai satu-dua penjelasan saja di dalamnya. Lebih dari itu, ditegaskan bahwa sebagian dari mereka terdiri dari orang-orang yang teramat jujur. Saking jujurnya, sampai-sampai kalau ada seseorang yang menitipkan harta cukup banyak, mereka tidak akan berkhianat; mereka bakal mengembalikan secara keseluruhan harta titipan tersebut kepada si penitip.
Memang, di samping itu, ada juga sebagian darinya yang sedemikian hina dan gemar berkhianat. Kelakuannya sudah sedemikian rupa, sampai-sampai kalau kita menmpkan uang seratus rupiah saja, mereka tidak akan pernah mau mengembalikannya kepada kita.[18]
Semua itu merupakan bukti kebenaran dan keadilan ucapan serta penjelasan Rasul saww mengenai orang-orang yang menampik ajakannya. Dalam pelbagai riwayat dan kode etik Islami, dipesankan agar kalau dalam suatu perbincangan ilmiah yang bertujuan untuk mencari keadilan dan kebenaran terjadi perdebatan dan pertengkaran antar beberapa pihak, seyogianya kita menarik diri darinya. Sekalipun dalam kenyataannya, kebenaran dan keadilan tersebut berpihak kepada kita.

Adil Terhadap Orang-orang Kafir dan Musuh

Bersikap adil bukan hanya dilakukan terhadap kawan, namun juga terhadap lawan yang dihadapi di medan peperangan:
1. "Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir."[19] Kalau musuh hendak membunuhmu, maka bunuhlah mereka dengan segera. Itulah pembalasan bagi orang-orang kafir. Dalam hal ini, keadilan dipraktikkan dengan membunuh. Sementara kalau tidak dilakukan (membunuh musuh), maka kita akan dicap sebagai orang penakut dan pengecut. Namun itu bukan berarti bahwa dalam setiap penyerangan dan gempuran, kita yang harus terlebih dulu memulainya. Melainkan, kita harus menggerakan perlawanan yang seimbang dengan kekuatan musuh yang menyerang.
2. "Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Karni telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh."[20]
Siapa saja yang dibunuh secara aniaya dan tanpa alasan yang jelas, Kami akan menganugerahkan kekuasaan serta kebijakan kepada walinya (kalau mereka berniat menuntut balas, walinya tersebut sanggup melakukan balas-bunuh, sedangkan kalau tidak, maka ia dapat menuntut harga yang harus ditebus dari nyawa yang melayang).
Akan tetapi, dalam menuntut balas, para wali dan ahli waris si terbunuh tersebut tidak diperbolehkan bertindak secara berlebihan dan melampaui batas. Ini sekaligus sebagai koreksi terhadap apa yang terjadi pada masa jahiliah; masa ketika seseorang terbunuh, seluruh sanak kerabatnya bangkit mununtut balas dan tidak akan berhenti sampai berhasil membantai beberapa orang sebagai harga yang dianggap pantas untuk dibayar untuk kematian seorang dari keluarganya tersebut.
Dalam menghadapi bentuk fanatisme semacam itu, al-Quran memerintahkan untuk bertindak adil, "Tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam rnembunuh." Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam menuntut balas. Kalian hanya berhak membalas sesuai dengan batas-batas kelakuan si pembunuh bersangkutan. Tatkala sedang dalam keadaan terluka parah setelah ditikam Ibnu Muljam, Imam Ali berwasiat kepada kedua puteranya yang mulia, Imam Hasan dan Imam Husain, antara lain, "Janganlah kalian menuntut balas bunuh karenaku melainkan hanya pada pembunuhku. "
Dikarenakan kesyahidan ku janganlah kalian kemudian melakukan pembantaian massal. Hanya pembunuhku (Ibnu Muljam) sajalah yang harus kalian hukum. Kemudian beliau melanjutkan. "Maka, pukullah ia dengan satu pukulan dikarenakan satu pukulan. "
Maksudnya, ia hanya sekali saja menetak kepalaku dengan pisau belatinya. Karenanya, kalian juga mesti menetak kepalanya dengan belati itu hanya sekali saja.[21] Kendati tengah bersimbah darah, amirul mukmmm Ali bin Abi Thalib tetap tidak bergeming dari jalur keadilan.
3. Di antara pelbagai hasil yang sukses diperoleh dari perjuangan Islam ialah terbentuknya kawasan luas yang disebut al-Haram (Tanah suci). Di kawasan tersebut, siapapun tidak dibenarkan untuk mengobarkan peperangan dan saling berbantah-bantahan. Kawasan tersebut merupakan kawasan bebas-hidup; binatang yang hidup di situ tidak boleh diburu; pepohonan yang tumbuh dilarang dipetik.
Meskipun demikian, al-Quran menegaskan bahwa kalau musuh menyerang di kawasan itu, kita tetap harus mesti mempertahankan diri dan menyerukan perlawanan. Bahkan, kalau sampai mereka melakukan pembunuhan, maka kita diperintahkan untuk balas membunuh mereka semua. Pembunuhan yang kita lakukan dimaksudkan sebagai balasan bagi orang-orang yang kafir.[22]
4. Serangan balik yang kita lancarkan harus sepadan dengan kekuatan serangan para musuh. "Oleh sebab itu, barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu."[23]
5. Setiap pribadi Muslim harus bertindak adil dan bijaksana terhadap orang-orang yang tidak melakukan pengrusakan, pembunuhan, perampokan, serta pengusiran orang-orang Muslim.
"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil".[24]
6. Di tempat lain, al-Quran menyatakan, "Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu." Apabila tidak mampu bersabar dan hendak menuntut balas, maka kita dibolehkan untuk melancarkan balasan. Namun, tentunya semua itu harus sesuai dan tidak melampaui kadar dari tindakan mereka sebelumnya terhadap kita. Di atas semua itu, bersabar terhadapnya justru merupakan sikap yang jauh lebih baik. "Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih haik bagi orang-orang yang bersabar."[25]
7. Dalam surah al-Maidah juga disebutkan, "Dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil." Permusuhan dengan suatu kaum jangan sampai membuat kita bersikap tidak adil.
8. Sekalipun terdapat banyak sekali ayat yang berkenaan dengan masalah ini, namun di sini saya hendak menguraikan sebuah ayat lain beserta sedikit penjelasan. "...dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang rnengucapkan 'salam' kepadamu, 'Kamu bukan seorang mukmin , (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia...".[26]
Ayat ini diturunkan sehubungan dengan terjadinya sebuah peristiwa sebagai berikut; Rasul saww mengutus serombongan kaum Muslimin demi mengetahui sikap yang mesti diambil terhadap orang-orang Yahudi Khaibar.
Salah seorang dari mereka (orang-orang Yahudi) yang menimbun hartanya di sebuah gunung, datang menyambut kedatangan kaum Muslimin dan memperlihatkan diri telah memeluk Islam.
Saking tergesa-gesanya dalam bersikap, sebagian Muslimin mengatakan, "Keislamannya tak lebih dari tipuan dan siasat belaka. Sebabnya, ia merasa takut akan jiwa dan hartanya sehingga mengharuskannya menampakkan diri semacam ini."Akhirnya, merekapun langsung membunuhnya.
Kemudian, turunlah ayat yang menyatakan bahwa kalau ada seseorang yang menampakkan keislaman, janganlah dikatakan bahwa ia bukan seorang Muslim, sehingga dengan begitu diperoleh cara (yang tidak benar) untuk membunuhnya dan juga merampas hartanya. Hindarkanlah diri kita dari pengambilan keputusan secara tergesa-gesa.
Jelas, perintah itu bukan mengharuskan kita untuk gampang percaya dan pasrah menghadapi berbagai tipu muslihat dan siasat licik musuh. Toh, di akhir ayat ini juga disebutkan bahwa dalam menghadapi kejadian semacam itu, kita harus melakukan penelitian secara seksama; bukan buru-buru melakukan pembunuhan dan bukan pula gampang percaya terhadap bentuk lahiriah. Jalan tengah yang harus ditempuh adalah menjaga keadilan sosial dengan terlebih dulu melakukan pemeriksaan dan kajian secara cermat. Begitulah prinsip keagamaan dan keadilan sosial yang harus kita junjung dalam menghadapi orang-orang yang menolak ajaran Islam; bersikap adil dan lemah lembut kepada mereka yang tidak mengganggu, dan memberi balasan serupa kepada orang yang telah berbuat kesalahan dan bertindak kejam. Denda (diyah) dan hukum balas (gishash) merupakan jaminan bagi tegaknya keadilan sosial, "Dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu..."[27]
Secara tata bahasa, kata al-qishaash berarti 'yang datang kemudian'. Lantaran para wali dari orang terbunuh akan melancarkan pembalasan yang setimpal terhadap si pembunuh, dan itu berarti meniru perbuatan si pembunuh (karena akan membunuh), perbuatan itu disebut dengan al-qishaash.
Salah satu kebiasaan orang-orang Arab jahiliah adalah berupaya mati-matian membalas orang yang membunuh salah seorang atau lebih dari mereka. Bahkan, hanya dikarenakan terbunuhnya satu orang saja, mereka tega membunuh dan membantai seluruh sanak dan keluarga si pembunuh.
Berkenaan dengan itu, turunlah ayat di atas, yang isinya menjelaskan tentang bentuk-bentuk hukuman yang adil. Undang-undang qishash Islam sungguh teramat a

KESEIMBANGAN BERINFAK DAN BERPENGELUARAN

Sekalipun pembahasan ini masih berkisar pada masalah keadilan sosial, namun kita akan memanfaatkan pelbagai petunjuk lainnya yang termaktub dalam al-Quran dan hadis. Di antaranya yang berkenaan dengan problema keadilan dan keseimbangan dalam berinfak serta pengeluaran sehari-hari. Islam senantiasa menganjurkan agar manusia benar-benar memperhatikan masalah keseimbangan dan keadilan.
Dalam memuji orang-orang yang mulia, al-Quran mengatakan, "Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara demikian."[1]
Orang-orang dimaksud tidak boros dan tidak pelit dalam berinfak. Mereka senantiasa berdiri dalam posisi yang adil dan seimbang dalam hal pemberian. Dalam surat Bani Israil[2], Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya, "Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal."[3]Maksudnya, dalam berinfak, janganlah kita melingkarkan tangan di leher sendiri (sebuah kiasan terhadap kekikiran, mengingat tangan di leher identik dengan keengganan merogoh saku).
Namun pada sisi lain, janganlah milik kita diinfakkan seluruhnya, sebab boleh jadi kelak kita justru memerlukannya. Masalah menjaga keseimbangan —yang umumnya disebut 'berhemat dalam kehidupan'—banyak tercantum dalam pelbagai riwayat. Ini sekaligus menunjukkan betapa pentingnya persoalan tersebut.

Keadilan dalam Lingkup Keluarga

"Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja."[4] Kalau kita merasa khawatir tidak akan sanggup berbuat adil terhadap isteri-isteri kita, maka cukupkanlah diri kita dengan hanya (menikahi) satu isteri saja.
Kendatipun kehidupan Nabi mulia saww tengah menjelang hari-hari terakhirnya (di mana kondisi tubuh beliau terus menurun), namun beliau tetap memperlakukan seluruh isterinya secara adil. Setiap malam, tempat peraduan beliau dipindah-pindahkan dari kamar isteri yang satu ke kamar isteri yang lain yang mendapat giliran.[5] Aisyah, salah satu isteri Nabi saww, mengatakan: "Rasul saww sama sekali tidak pernah lebih mengutamakan satu isteri dari isteri yang lain. Beliau senantiasa bersikap adil tanpa pandang bulu. Setiap hari beliau menemui isterinya secara satu persatu dan menanyakan keadaan mereka, namun dalam menetap di rumah dilakukan secara bergilir. Jika hendak mengganti giliran, beliau terlebih dahulu akan meminta ijin dari isterinya itu."
Kemudian Aisyah melanjutkan, "Saya sendiri tidak pernah memberikan giliranku kepada yang lain."[6] Semasa memiliki dua isteri, Imam Ali bin Abi Thalib yang terbiasa berwudhu, tidak akan berwudhu di rumah isteri yang bukan gilirannya. Demikianlah. Yang pasti, sebagaimana darah, keadilan harus dialirkan ke seluruh jaringan urat-urat kehidupan masyarakat.

Keadilan Ekonomi

Sistem perekonomian Islam harus ditopang oleh keadilan. Sistem semacam ini harus disusun sedemikian mpa sehingga tidak sampai menghilangkan hak seseorang.
Dalam sistem ekonomi Islam, setiap individu masyarakat harus memperoleh penghasilan sesuai dengan jenis pekerjaannya. Dan dengan penghasilan tersebut pula, ia bisa menutupi segenap kebutuhan hidup dirinya.

Waktu Bekerja

Islam menganjurkan agar setiap orang membagi rentang waktu kehidupannya; waktu bekerja, beribadah, beristirahat, dan menikmati berbagai hal yang halal. Dengan demikian, segenap kebutuhanjasmani dan rohani manusia niscaya akan terpuaskan.[7]
Berkenaan dengan itu, seseorang yang memiliki lahan kerja secara berlebihan, sampai-sampai lahan orang lain tersita, harus diawasi langsung oleh Wilayatul Faqih atau Hakim Islami (penguasa Muslimin) —yang dalam hal ini juga dapat memberlakukan kebijakan tertentu kepada orang tersebut. Umpama saja, sejumlah orang berupaya menghidupkan (menyuburkan dan mendayagunakan) berkilo-kilo meter tanah mati (tandus atau gambut). Upaya semacam ini memang sesuai dengan undang-undang —"Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati maka tanah itu menjadi miliknya".
Namun, apabila upaya itu ternyata menyebabkan sejumlah orang lain kehilangan lahan kerja, maka pemerintah Islam berhak membatasi pengelolaan tanah tersebut secara adil.[8] Adapun sekaitan dengan jenis pekerjaan yang ditekuni, Islam melarang dan mengharamkan jenis pekerjaan yang buruk, bisa memicu kerusakan,dapat menyebabkan kecanduan, dan sebagainya.

Keadilan Membagi

Imam Ali berkata, "Sesungguhnya yang jauh sama seperti yang dekat."[9]Orang-orang yang tinggal di daerah terpenal harus mendapatkan bagian yang sama dengan orang yang hidup di kawasan dekat (kota). Dana atau kekayaan milik negara harus digunakan demi kepentingan masyarakat.
Pemerintah harus membagi-bagi pundi-pundi kekayaannya kepada masyarakat secara sama rata. Tidak pernah dibenarkan apabila pemerintah memberi bagian yang lebih banyak kepada kaum kerabat atau orang-orang dekatnya ketimbang kepada khalayak umum.
Salah satu tugas yang harus diemban para nabi adalah menyerukan umatnya ke arah keadilan. Nabi Syuaib as, misalnya. Seusai menguraikan ketauhidan dan kenabian, hal pertama yang beliau sampaikan adalah keadilan.
Seraya itu, beliau memperingatkan para pedagang yang gemar mengurangi timbangan dan ukuran (dagangannya), "Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan; dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan."[10]
Berkaitan erat dengan hak-hak masyarakat, seyogianya kita tidak menguranginya barang secuilpun. Dengan kata lain, kita harus memenuhi takarannya secara penuh. Dalam berdagang, timbanglah barang dagangan kita dengan menggunakan timbangan yang benar. Janganlah kita mengurangi kadar yang semestinya diberikan. Kalau tetap dilakukan, maka sebenarnya kita telah menciptakan kerusakan di muka bumi ini.
Dalam surah al-Muthaffifin, difirmankan, "Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang." Artinya, celakalah orang-orang yang mengurangi barang dagangannya. Orang semacam ini, secara tajam memberlakukan perbedaan antara menerima dan memberi (menjual); penuh dalam penerimaan, kurang dalam pemberian (penjualan).

Keadilan Meraup Keuntungan dan Penggunaan

Dalam mengkonsumsi sesuatu, setiap orang wajib memperhatikan keadilan. Dalam sejumlah ayatnya, al-Quran menegaskan, "Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila ia berbuah."[11]
Maksudnya, begitu pohon-pohon berbuah, segera manfaatkanlah buah-buah yang dihasilkannya. Namun jangan lupa, pada saat memetiknya, berikan juga bagian orang-orang miskin. Di tempat lain, dikatakan, "... makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan." Kita memang dibolehkan makan dan minum. Akan tetapi, kita tidak diperbolehkan berfoya-foya dengannya.[12] "Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu."
Maksudnya, makanlah jenis (makanan) yang baik, yang Allah berikan kepada kita. Namun, jangan sampai kita berlebih-lebihan dan malampaui batas dalam mengkonsumsi makanan.[13] Tatkala menjabarkan tentang sifat orang-orang bertakwa, Imam Ali menyatakan, "Dan pakaian mereka adalah kesederhanaan".[14]
Orang-orang bertakwa senantiasa mengenakan pakaian sederhana. Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, "Kalau manusia bersikap sederhana dalam hal makanan, niscaya tubuhnya akan tegap."[15]
Kalau seseorang tidak berlebih-lebihan dalam hal mengkonsumsi makanan, tentu tubuhnya akan selalu sehat dan kuat.
Di samping itu, al-Quran juga menguraikan persoalan yang berkenaan dengan kadar, kelayakan, serta kehalalan jenis makanan yang hendak dikonsumsi. Selain pula menggariskan keharusan untuk tetap memperhatikan ketakwaan dalam upaya mendapatkannya.[16]
Para nabi, imam, dan fukaha merupakan figur-figur penjaga keadilan. Dalam upaya menegakkan keadilan, kita harus benar-benar memperhatikan sabda para nabi. Sebabnya, di kehidupan ini, pasti terdapat konflik kepentingan antar individu, sehingga meniscayakan terjadinya perebutan serta pertengkaran.
Dalam keadaan demikian, masing-masing pihak yang bersengketa tentu akan mengklaim dirinya yang benar, atau minimal enggan mencabut kata-kata yang telah diucapkannya. Berdasarkan itu, Islam secara tegas memerintahkan setiap individu yang bersemangat menegakkan keadilan untuk merujuk kepada Rasul saww; "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul (al-Quran dan sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian."[17]
Kalau kita saling bertikai dalam suatu persoalan, segera merujuklah kepada Allah dan Rasul-Nya. Merujuk kepada keduanya merupakan bukti nyata bahwa kita memiliki keimanan yang sebenarnya kepada Allah dan hari akhir. Sekaitan dengan itu pula, sebuah hadis mengatakan, "Ulama adalah pewaris para nabi."[18]
Oleh karenanya, dalam menghadapi suatu pertengkaran yang dikhawaiirkan bakal melewati batas-batas keadilan sehingga menyebabkan terampasnya hak-hak orang lain, seseorang wajib merujukkan dirinya kepada para ulama yang adil -yang dalam hal ini akan mengeluarkan suatu hukum (fatwa) yang tentunya bersesuaian dengan firman Allah.

Muslim Sebatas Nama

Tatkala seseorang yang berselisih (yang mengira dirinya seorang Muslim) tidak merujuk kepada orang yang layak, malah merujuk kepada pengadilan milik penguasa zalim (thaghut), seraya berharap bakal mendapatkan keadilan darinya, jelas keimanannya harus kembali diperiksa. "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu".[19]
Tidakkah kita menyaksikan orang-orang yang menganggap dirinya Muslim dan mengimani firman Allah yang diturunkan lewat para nabi, namun dalam praktiknya, menolak menyelesaikan perselisihannya di hadapan orang-orang yang layak?
Sebaliknya, mereka malah lebih cenderung menyelesaikannya di hadapan penguasa yang zalim. Orang-orang semacam ini menyangka dirinya Muslim dan beriman, padahal tidak demikian kenyataannya. Sebab, Allah telah memerintahkan mereka untuk tidak mengadukan persoalannya kepada penguasa zalim (thaghut) dan kafir, namun semua itu tidak dihiraukan sama sekali!

Kontrol Keadilan Sosial: Tanggung Jawab Para Ahli Hukum (Fakih)

Allah Swt sang Penapta, melalui Rasul-Nya, telah menunjukkan kepada kita tman langkah menuju puncak kebahagiaan hidup yang kekal dan abadi. Rasul saww merupakan pemimpin, penjaga hak-hak, serta pembimbing masyarakat. Setelah Rasul saww (wafat), yang mendapat giliran berikutnya untuk mengemban tugas dan bertanggung jawab membimbing serta memimpin masyarakat adalah para imam.
Dari sisi kelayakan, keilmuan, kemaksuman, serta segenap sifat kebaikan lainnya, mereka identik dengan pribadi Rasul saww yang mulia. Pada masa gaib Imam Zaman Mahdi al-Muntazhar, tanggungjawab tersebut dipikul para fukaha yang betul-betul mengenal Islam. Selain harus berkeadilan, layak, dan berwawasan luas dalam hal perpolitikan dan kepemimpinan, mereka juga harus berkemampuan untuk mengeluarkan hukum-hukum Allah dalam kerangka ayat-ayat al-Quran dan segenap ucapan para imam maksum.
Dalam hal ini, mereka harus mampu, ahli, dan mahir benar sehingga layak disebut sebagai fukaha. Ini sesuai dengan perintah Imam Mahdi yang ditujukan kepada seluruh masyarakat, "Dan jika terjadi berbagai peristiwa, maka kalian mesti merujuk kepada para periwayat hadis kami...."[20]
Dalam menghadapi pelbagai peristiwa, janganlah kita membuat keputusan secara tergesa-gesa dan seenaknya sendiri. Dalam arti, kita diharuskan untuk menghubungi seorang fukaha adil yang tidak terpengaruh hawa nafsu. Dari fukaha tersebut, kita akan memperoleh penjelasan tentang hukum Allah yang berkenaan dengan permasalahan itu.

Wilayatul Faqih: Pilar Keadilan Sosial

Imam Ridha berkata, "Jika Dia tidak menjadikan bagi mereka seorang pemimpin yang senantiasa mengurusi, menjaga, dan memperhatikan, maka agama akan hancur."[21] Kalau saja Allah tidak menentukan seorang pemimpin yang senantiasa mengurusi pelbagai persoalan serta mengawasi masyarakat secara adil dan bijaksana, niscaya akan muncul berbagai kekacauan dan kegalauan. Dalam hadis lain disebutkan, "Fukaha adalah orang-orang kepercayaan para rasul."[22] Para fakih merupakan orang-orang kepercayaan para rasul. Karenanya, dalam upaya menegakkan sebuah sistem yang adil, kita wajib merujuk atau menyandarkan diri kepada mereka.
Salah seorang sahabat kepercayaan Imam Ja'far ash-Shadiq bernama Abu Khudzaifah, pada suatu hari diutus Imam untuk menyerukan masyarakat agar, ketika menghadapi berbagai perselisihan dan berupaya menegakkan keadilan, merujuk kepada para fukaha yang adil, "Jadikanlah di antara kalian seorang yang telah mengetahui halal dan haram kami (sebagai hakim) karena sesungguhnya kami telah menjadikannya sebagai hakim."[23]
Berdasarkan itu, kita wajib merujukkan segenap persoalan halal-haramnya sesuatu kepada pengadilan seseorang yang memang memiliki pengetahuan mendalam tentangnya. Ini mengingat mereka telah didaulat para imam sebagai hakim bagi kita sekalian. Adakalanya dalam kehidupan bermasyarakat muncul persoalan yang tidak jelas hukumnya dalam al-Quran maupun hadis.
Dalam hal ini, dikarenakan memiliki pengetahuan tentang pelbagai garis kebijakan, ketentuan, standar, dan kaidahnya, seorang fakih tentu mampu menyimpulkan sebuah hukum (berdasarkan al-Quran dan hadis atau ucapan para imam) yang berkenaan dengan permasalahan tersebut.
Setiap kali masyarakat mengalami guncangan dalam bidang politik, ekonomi, ataupun keamanan, seorang fakih dengan kekuasaan di tangannya, berhak mengeluarkan kebijakan hukum dalam jangka waktu tertentu demi mewujudkan kembali keseimbangan sosial. Umpama, dengan mengeluarkan larangan terhadap sejumlah transaksi, memobilisasi massa, meningkatkan pajak pendapatan, menutup sejumlah perusahaan, dan sejenisnya.
Tatkala menyaksikan perekonomian (waktu itu, Persia) telah jatuh ke tangan Inggris lewat rekayasa perdagangan tembakau, Mirza Syirazi segera melakukan tekanan terhadap pemerintahan zalim saat itu dengan cara mengharamkan tembakau!
Sedangkan Imam Khomeini- semoga Allah merahmatinya— mengeluarkan perintah kepada para serdadu militer untuk meninggalkan pos-pos rezim Syah dan mendongkel Reza Pahlevi dari tahta kepemimpinan. Imam Ali juga menentukan zakat atas kuda dan penghasilan pribadi, sehingga memunculkan pertanyaan, "Pada masa Rasulullah saww, beliau tidak menentukan pajak atas kuda; lantas mengapa Anda menentukannya?"
Beliau menjawab, "Saya memiliki kekuasaan atas Muslimin dan pada tahun ini kita menghadapi suatu kondisi yang tidak seperti biasanya. Dengan memanfaatkan kekuasaan yang ada, saya berusaha mengumpulkan harta dalam jumlah lebih banyak untuk baitul mal. Dan dikarenakan itulah saya memutuskan bahwa kudajuga harus dizakati."[24]

Kisah Seputar Hukum (Kaidah Fikih)

Di antara kebebasan yang diberikan Islam kepada manusia adalah kebebasan bertempat tinggal. Tak seorang pun dibenarkan memasuki tempat kediaman orang lain tanpa izin, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya." Al-Quran menegaskan agar jangan sampai kita memasuki rurnah orang lain tanpa izin.[25]
Alkisah, pernah hidup seseorang yang keras kepala dan suka mengganggu ketenangan tetangganya, Orang itu bernama Samurah. Acapkali, dirinya memasuki kebun milik salah seorang sahabat Rasul saww tanpa meminta izin terlebih dahulu. Bukan cuma itu, ia juga sering memandangi isteri serta anak wanita dari sahabat Rasul saww tersebut. Kebiasaannya memasuki kebun itu didukung alasan, "Saya memiliki sebatang pohon yang terletak di ujung kebun itu, dan kedatangan saya adalah untuk melihat pohon itu." Sahabat Rasul saww itu berkata, "Tak ada masalah kalau engkau bermaksud melihat pohon yang memang milikmu itu.
Namun sebelumnya hendaklah engkau meminta izin terlebih dahulu sehingga isteri dan anakku mengenakan hijabnya." Samurah kontan menjawab, "Tidak perlu." Kemudian, si pemilik kebun tersebut mengadukan si pengganggu itu kepada Rasul saww. Mendengar semua itu, beliau langsung menasihati dan memperingatkan dirinya (Samurah). Namun, dasar keras kepala, ia tidak menghiraukan sama sekali nasihat serta peringatan Rasul saww. Setelah itu, Rasul saww menawarkan, "Bagaimana kalau pohonmu itu saya ganti dengan pohon di tempat lain."
Namun, Samurah menampiknya. Rasul saww lantas melanjutkan, "Jual saja pohonmu itu kepadanya (pemilik kebun)!" Lagi-lagi, ia menolak tawaran tersebut. Beliau saww tetap memberi penawaran, "Kalau memang begitu, minimal sewaktu hendak memasuki kebun itu, engkau harus meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik kebun." Namun, kembali ia menolaknya. Dan Rasul saww masih menawar, "Biarkan saja pohon itu dan saya akan menggantinya dengan pohon di surga."
Keadaannya masih seperti semula; menolak dan bersikap keras kepala. Rasul saww mengetahui bahwasannya lelaki itu memang sengaja bermaksud menganggu, merugikan, dan bersikap keras kepala. Karenanya, beliau langsung memerintahkan si pemilik kebun untuk mencabut pohon tersebut beserta akar-akarnya.[26]

Faktor-faktor Penyebab Penyelewengan

Pada umumnya, sebagaimana dikemukakan oleh al-Quran, terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan seseorang menyeleweng dari garis keadilan. Pertama, anta diri (egoisme). Dalam hal ini,al-Quran mengatakan, "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemashlahatannya."[27]
Wahai orang-orang beriman, tegakkanlah keadilan dengan sebenar-benamya. dan kesaksian yang diberikan hendaklah semata-mata demi Allah, sekalipun itu bakal merugikan diri, kedua orang tua, dan sanak kerabat sendiri. Lagi pula jangan sampai soal kaya atau miskin mempengaruhi kesaksian tersebut, sebab hanya Allahlah yang layak menjaganya.
Orang-orang beriman ditugaskan untuk membela hak (kebenaran) tanpa pandang bulu. Ayat ini sekaligus mengisyaratkan bahwa berbagai hubungan sosial (persahabatan, kekerabatan,dan persaudaraan) mengandungi bahaya yang mampu menyelewengkan seseorang dari batas-batas keadilan.
Adapun penyebab kedua adalah kebenaan terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Sekaitan dengan itu, al-Quran menegaskan, "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu rnenegakkan (kebenaran), karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa."[28]
Wahai orang-orang beriman, hendaklah kalian benar-benar beramal secara ikhlas dan hanya demi Allah, sekaligus juga bersikap adil dalam memberikan kesaksian. Jangan lantaran permusuhan dengan suatu kaum, kalian keluar dari garis keadilan.
Danjangan pula kalian mengingkari pelbagai kesaksian yang telah diberikan. Al-Quran berkali-kali mengeluarkan perintah kepada manusia agar bersikap adil dan bijaksana. Sebabnya, semua itu akan menjadikan manusia lebih dekat pada ketakwaan (menjadi bertakwa).
Dalam ayat ini, disinggung pula persoalan kebenaan, permusuhan, dan kekecewaan. Dikatakan, apabila sampai menyelimuti jiwa seseorang, semua itu niscaya akan mempengaruhi caranya menilai dan bertindak di tengah-tengah masyarakat. Penyebab ketiga adalah memberi suap (risywah). Al-Quran jelas-jelas menentang keras tindakan tersebut; "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa padahal kamu mengetahui."[29]
Ayat ini menegaskan agarjangan sampai kita memakan harta satu sama lain dengan cara-cara yang keliru dan batil. Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, "Adapun seseorang yang memberi suap dalam hukum, maka sesungguhnya itu merupakan kufur kepada Allah Yang Mahaagung."[30]
Dalam konteks ini, melakukan suap dalam permasalahan hukum merupakan perbuatan kufur kepada Allah. Sebuah hadis Rasul saww yang cukup termasyhur menyatakan, "Allah mengutuk orang yang memberi suap dan orang yang menerima suap serta seseorang yang menjadi perantara keduanya." Allah akan menjauhkan rahmat-Nya dari orang yang memberi dan menerima suap, serta orang yang menjadi perantara keduanya. Tidak diragukan lagi, perbuatan memalukan ini tak jarang dikemas dengan sebutan hadiah, cenderamata, komisi, atau imbalan atas jerih payah. Suatu hari, Rasul saww mendapat laporan tentang salah seorang gubernurnya yang menerima suap dalam bentuk hadiah.
Seketika itu pula, Rasul saww gusar dan langsung menegurnya, "Mengapa engkau menerima yang bukan hakmu?" Ia (sang gubernur dimaksud) menjawab, "Yang saya terima adalah hadiah, bukan suap!"
Rasul saww bersabda, "Apakah kalau seseorang di antara kalian yang diam di rumah saja dan kami tidak memberinya tugas apapun, lalu orang-orang akan memberinya hadiah?" Seandainya hanya berdiam diri di mmah saja dan bukan menjadi gubernur beliau di suatu daerah, apakah masyarakat akan memberinya hadiah?!
Islam menganjurkan agar seorang hakim tidak pergi ke pasar. Alasannya, kalau dirinya sendiri yang pergi ke pasar, lalu para pedagang memberi potongan harga, besar kemungkinan itu akan mempengaruhi dirinya dalam menghakimi.
Kalau sudah demikian, jangan heran jika nantinya (dalam menghadapi dan memutuskan suatu perkara) ia akan cenderung memihak orang-orang yang telah memberi potongan harga tersebut.

Ayat yang Menjadikan Rasulullah Merasa Berusia Lanjut

Rasul saww pernah bersabda, "Dalam sufah Hud, terdapat sebuah ayat yang membuat saya merasa berusia lanjut, dan ayat itu adalah, "Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu... (Hud: 112)’”
Tetaplah engkau bertahan di atas jalan yang telah diperintahkan kepadamu. Dengan memperhatikan ayat ini secara seksama, kita akan mengetahui dengan jelas bahwa perintah bertahan dan bersabar bukan sesuatu yang baru. Sebabnya, perintah yang sama juga terdapat dalam banyak ayat yang lain. Namun, ternyata ada ari khusus yang termaktub dalam ayat ini, "... sebagaimana diperintahkan kepadamu...." (kama umirta). Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa tak jarang seseorang bertahan dan tetap berteguh hati (dalam menghadapi pelbagai problema kehidupan) bukan lantaran perintah Allah, melainkan didasari oleh sikap keras kepala dan fanatisme buta. Ataujuga lebih dikarenakan kekhawatiran terhadap omongan masyarakat (sehingga masyarakat tidak sampai mengatakan si fulan melepaskan semua itu dikarenakan rasa takut atau keletihan).
Dan tak sedikit di antaranya yang merasa terpaksa untuk bertahan demi memamerkan kekuatan dirinya. Menurut pandangan Allah, upaya untuk tetap bertahan dengan dilandasi unsur-unsur semacam itu sama sekali nihil dan tidak memiliki arti. Sebab, semua itu telah menyimpang dari jalur kebenaran dan berada di luar komando llahi.
Dalam al-Quran difirmankan, "Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Allah."[31] Orang-orang tersebut bersabar, tetap bertahan, dan berteguh hati dikarenakan mengharap kerelaan Allah. Upaya tersebut bukan didorong oleh keinginan untuK membalas dendam, mencari pengaruh,dan rasa takut terhadap hujatan orang lain.
Pendeknya, menegakkan keadilan dan melangkah di atas rel ketentuan Ilahi merupakan sesuatu yang amat sulit dan berat. Dalam melaksanakan semua itu jangankan kita, para wali Allah saja senantiasa memohon pertolongan Allah Swt. Sekaitan dengan itu, besar kemungkinan, yang dimaksud dengan sirath (jalan) yang lebih tipis dari sehelai rambut dan lebih tajam dari sebilah mata pedang itu tak lain dari jalan Ilahi di dunia ini.

Keadilan dan Kontrol Masyarakat

Dalam peraturan umum berlalu lintas, seluruh mobil diharuskan berjalan di sebelah kiri jalan. Dalam keadaan demikian, tentunya seluruh pengemudi kendaraan akan saling memperhatikan satu sama lain. Ketika mereka menyaksikan seorang pengemudi melakukan pelanggaran (berjalan di sebelah kanan jalan, —pent.), jelas semuanya akan memperingatkan dengan membunyikan klakson atau menyalakan lampu.
Kalau seorang polisi mengetahui langsung kejadian itu, tentu ia akan langsung menindak sang pelaku pelanggaran dan menjatuhkan denda kepadanya. Namun jika si polisi itu tidak mengetahui kejadiannya, tentu masyarakat akan memberikan kesaksian kepadanya. Dengan kondisi semacam itu, tentu akan sangat sedikit sekali pengemudi yang berniat melakukan pelanggaran.
Berdasarkan perumpamaan di atas kiranya keinginan agar seluruh masyarakat dalam berbagai masalah tidak sampai melanggar undang-undang dan keluar dari garis keadilan, hanya mungkin terwujud apabila secara bersama-sama, masyarakat menjalankan amar ma'ruf dan nahi munkar.
Masing-masing individu masyarakat tidak boleh menganggap remeh segenap bentuk pelanggaran dan harus segera bereaksi menentangnya (apabila pelanggaran terjadi. — pent.). Melalui cara ini, masyarakat akan mempersempit ruang gerak orang-orang yang berniat melakukan pelanggaran dan memperlakukannya secara layak. Mudah-mudahan suatu hari kelak, kita akan menyaksikan revolusi kebudayaan Islam sukses meraih kemenangan dan menyebar ke pelbagai universitas di seluruh penjuru dunia.
Suatu masa di mana, misalnya, seorang mahasiswa yang telah berhasil meraih gelar dokter, namun ketika membuka praktik, dirinya tidak mengetahui cara pengobatan jenis penyakit yang diderita seorang pasiennya, secara jujur mengatakan, "Saya tidak mengetahui cara pengobatannya."
Dengan penuh keikhlasan hati, ia juga akan mengembalikan biaya pengobatan yang telah dibenkan, dan dengan diiringi rasa persaudaraan, menunjukkan seorang dokter spesialis di bidang pengobatan penyakit dimaksud. Pada saat itulah, kita akan menyaksikan keadilan sosial benar-benar terwujud di tengah-tengah masyarakat.




Catatan-Catatan


[1] Al-Furqan: 67.
[2] Surat Bani Israil memiliki dua nama, dan nama lainnya adalah al-Isra'.
[3] Al-Isra': 29.
[4] An-Nisa': 3.
[5] Nizham-e Huquq-e Zan (Sistem Hak-hak Wanita)
[6] Ibid.
[7] Nahj al-Balaghah, "Faidh al-Islam", hal. 1271.
[8] Iqtishaduna.
[9] Shubhi Saleh, op. cit., surat untuk Malik al-Asytar, hal.438.
[10] Asy-Syu'ara': 180-183.
[11] Al-An'am: 141.
[12] Al-A'raf: 31.
[13] Thaha: 81.
[14] Ushul al-Kafi, jilid II.
[15] An-Nizham at-Tarbawi fi al-lslam, hal. 376; dinukil dari buku al-Fushul al-Muhimmah.
[16] Al-Anfal: 69.
[17] An-Nisa': 59.
[18] Imam Khomeini, Wilayah al-Faqih.
[19] An-Nisa': 60.
[20] Kitab Ikmal ad-Din; dikutip dari Imam Khomeini, Wilayah al-Faqih.
[21] 'Ilal asy-Syara’i’ jilid I hal. 172; dikutipdarilmam Khomeini, al-Hukumah al-lslamiyah.
[22] Imam Khomeini, Wilayah al-Faqih.
[23] Ibid.
[24] Wasa'il asy-Syi'ah.
[25] An-Nur: 27.
[26] Wasai 'l asy-Syi 'ah, jilid XVII, hal. 340 (Laa dharara wa laa dhirara fi al-lslam).
[27] An-Nisa': 135.
[28]Al-Maidah: 8.
[29]Al-Baqarah: 188.
[30] Wasa 'il asy-Syi’ah, jilid XII.
[31] Ar-Ra'd: 22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar