Pages

Kamis, 01 Desember 2011

sambungan imamah dan wilayah


Bagian Keempat

IV.     Pengangkatan Ali :
Jelas (eksplisit) atau Samar (implisit)

1.        Pengantar
Kita berkumpul malam ini di sini[1] dalam rangka mengenang seseorang yang telah memberikan identitas kepada kita sebagai " Muslim Syiah ". Kita merasa bangga atas gelar "Syiah Ali" yang kita sematkan pada diri kita.
Malam ini saya akan berbicara tentang Khalifah Imam Ali bin Abi Talib karena beberapa pertanyaan yang diajukan ihwal kontroversi "pengangkatan yang jelas" kedudukan Imam Ali sebagai khalifah versus "pengangkatan yang samar". Tidak hanya orang-orang dewasa, tetapi juga para pemuda datang mendekat dan bertanya kepada kami pertanyaan ini; dan sudah menjadi tugas saya untuk meyakinkan bahwa keyakinan-keyakinan kaum muda dalam masalah Imamah dan Khalifah Amirul Mukminin tetap tegar tanpa ada sedikit pun temaram keraguan yang menyelubunginya.
Kontroversi ini bermula pada ucapan seorang sarjana Syiah yang diterbitkan dalam Bio Ethics Encylopedia di bawah kepala judul (entry) "Islam". Di dalam buku itu ia menulis:
"Muhammad wafat pada tahun 632 M telah membawa seluruh bangsa Arab berada di bawah pemerintahan Madinah. Namun, ia tidak meninggalkan satu pun perintah yang jelas seputar masalah penggantian kepada orang yang berwenang secara religius-politis."[2]
Semula, ketika saya diberikan kopian dari artikel tersebut, saya tidak berpikir banyak tentang hal ini karena saya menyadari bahwa artikel itu adalah sebuah tulisan yang ditulis untuk pemirsa yang banyak. (meskipun idealnya masalah penggantian seyogyanya tidak disebutkan dalam artikel itu sama sekali, penghapusannya toh tidak akan mencederai artikel itu secara keseluruhan). Akan tetapi, jawaban penulis atas pertanyaan-pertanyaan yang dikirimkan kepadanya melalui internet oleh beberapa orang Syiah dari Inggris menjadi sebuah masalah yang perlu mendapatkan perhatian dari kami. Ia menjawab sebagai berikut::
Pertanyaan apakah tidak ada perintah yang jelas (eksplisit) tentang penggantian Nabi Saw dalam wewenang agama dan politik agar menjadi jelas bahwa ucapan yang asserting tidak ada ucapan yang eksplisit (yakni, diucapkan dengan terang, tidak hanya mengandungi) perintah dalam masalah penggantian peran Nabi dalam urusan agama dan politik, ditegaskan oleh implikasi adanya ucapan yang makna implisit (yakni, perlu dilibatkan meskipun tidak jelas diucapkan) dalam masalah ini. Arahan tersirat Nabi ini disampaikan pada beberapa peristiwa selama masa hidupnya, termasuk, akhirnya pada peristiwa al-Ghadir sebagai arahan Nabi.
"Juga karena tidak adanya ucapan yang tersirat pada peristiwa ini bahwa Imam Ali tidak pernah digunakan untuknya dalam peristiwa-peristiwa ini, termasuk pada peristiwa al-Ghadir, ia diajukan sebagai calon Nabi hanya sebagai penggantinya yang sah. "[3]
Setelah 21 Ramadan 1418, tokoh kita ini mengeluarkan komentar yang lain yang didalamnya ia menegaskan kembali keyakinannya tentang tidak adanya ucapan yang tersurat atas pengangakatan Imam Ali dalam tulisannya: "Asas dari keimanan kita, adalah bahwa keyakinan Syiah berlandaskan pada pengangkatan tersirat ini.  Menurut sejarah (satu-satunya kedudukan yang dapat diambil dari artikel ini) sumber-sumber perpecahan umat  pada masa-masa awal adalah tidak adanya arahan tersurat dari Nabi ihwal suksesi di dalam umat."
"Ucapan Wilayah(man kuntu mawla[hu] fa hadza Aliyyun mawla[hu], yang merupakan dokumentasi bagi aklamasi Syiah dalam mendukung Imamah Imam Ali adalah dipandang sebagai sebuah ucapan yang tersirat ketimbang sebuah ucapan yang tersurat tentang masalah penggantian wewenang yang komprehensif." Alasannya adalah kata mawla dalam bahasa Arab bersifat kabur sepanjang berhubungan dengan "suksesi" itu sendiri."[4]

2.        Tersurat  vs Tersirat (eksplisit vs implisit)
Pertama-tama mari kita amati apakah pembagian kalimat pengangakatan khalifah ini dibagi menjadi "implisit dan eksplisit " memiliki latar belakang sejarah dalam sejarah ilmu kalam Islam atau tidak. Mengingat terbatasnya waktu, kami hanya akan menyebut beberapa fakta sejarah berikut ini :
1.        Dalam masalah khalifah, kaum muslimin memiliki pandangan yang berbeda. Ahli Sunnah tidak meyakini bahwa Nabi Saw telah menunjuk seseorang sebagai penggantinya, baik tersurat maupun tersirat; dan masalah ini diserahkan kepada umat untuk memilih siapa yang mereka kehendaki. Sebaliknya, Syiah berkeyakinan bahwa Nabi telah menunjuk Ali sebagai khalifah dan pengganti beliau setelah wafatnya.
2.        Seluruh mazhab dalam Syiah (Imamiyah Itsna Asyariyya dan dua mazhab Ismai'liyyah : Bohras dan Agha Khan) meyakini bahwa Nabi Saw secara tersurat (jelas) menunjuk Imam Ali dalam berbagai kesempatan sebagai khalifahnya dan penggantinya.
3.        Mazhab Zaidiyyah memiliki keyakinan yang berbeda dengan Ahli Sunnah dan Syiah. Meskipun mereka percaya bahwa Ali adalah yang terbaik dan yang paling pantas untuk menjadi khalifah, mereka masih menerima Abu Bakar dan Umar bin Khattab sebagai khalifah Rasulullah yang pertama dan kedua, namun mereka tidak menerima Ustman sebagai khalifah ketiga.
4.        Menurut sejarah, Jarudiyyah (sekte didalam mazhab Zaidiyyah) meyakini bahwa Nabi Saw telah menunjuk Ali tidak dengan menyebutkan namanya tapi hanya menjelaskan keutamaanya: "nassa bil wasf duna tasmiyya " (Dia [Nabi] menunjuk dengan penjelasan tanpa menyebut namanya."[5]
Berangkat dari keyakinan ini bahwa nass (petunjuk pengangkatan) dibagi kedalam "an-nass al-jali – petunjuk yang jelas/eksplisit – dan "an-nass al-khafi – tersembunyi dan implisit."
Namun Syiah Imamiyah Itsna Asyariyyah tidak pernah mengabulkan pendapat ini bahwa " azas keyakinan kami dibangun di atas pengertian yang tersirat." Mereka percaya sepenuhnya bahwa Nabi Muhammad Saw dalam beberapa kesempatan, secara jelas dan terbuka mengangkat Ali bin Abi Talib sebagai pengganti, khalifah dan imam kaum muslimin selepas beliau.[6] Hanya bila para ahli kalam Syiah berdebat melawan musuh-musuhnya (termasuk Zaidiyyyah), mereka menggunakan istilah "an-nass al-jali" dalam prinsip berhadapan dengan musuh-musuhnya dengan istilah mereka sendiri.[7]
Jadi, menurut catatan sejarah, tidak ada ahli kalam Syiah Imamayiah yang menggunakan cara implisit atau ekplisit dalam pengangakatan Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib As sebagai "azas keimanan kami " dan tidak satu pun dari mereka yang menganggap bahwa hadis al-Ghadir sebagai sebuah pengangkatan yang tersirat.
5.        Mengapa Zaidiyyah bersikeras dalam mengimplisitkan pengangakatan Ali sebagai khalifah? Karena beberapa sekte di dalamnnya menerima kekhalifaan Abu Bakar dan Umar, meyakini pengangkatan Ali dengan menggunakan ungkapan eksplisit (tersurat) akan memberikan gambaran negatif terhadap dua khalifah ini – akan berarti bahwa dua khalifah ini menentang perkataan jelas Nabi Saw. Sehingga untuk menjaga wibawa kedua khalifah ini, pengangkatan Ali terselubung dan bersifat kabur dengan mengatakan bahwa sabda Nabi tersebut tidak tersurat melainkan tersirat. Dan karena sabda Nabi tersebut tidak jelas, kedua khalifah ini tidak akan disalahkan karena merampas kekhalifaan dari Amirul Mukminin!
Ini menunjukkan implikasi serius terhadap keyakinan bahwa pengangkatan imam hanya pengangkatan yang bersifat tersirat, berarti kesalahan yang terjadi setelah Nabi wafat dipulangkan kepada Nabi sendiri, tidak kepada khalifah. Ini akan bermakna bahwa kedua khalifah itu tidak merampas kekhalifaan dari Imam Ali karena apa yang mereka lakukan berdasarkan pikiran mereka, karena tidak ada perintah tersurat, dan inilah yang terbaik bagi Islam.
Jadi ketika keberatan-keberatan Syiah terhadap cendekia ini semakin bertambah, pada hari-hari terakhir Ramadan 1418, ia mengeluarkan sebuah surat edaran umum yang ditujukan kepada seluruh pengikut Syiah di seluruh dunia melalui internet :
        "Saya dalam kesempatan ini menyampaikan dalam istilah yang paling mutlak bahwa saya tidak hanya meyakini kebenaran dari peristiwa al-Ghadir yang terjadi pada 18 Dzulhijjah 11 H/632 M; tetapi juga saya meyakini bahwa sabda Nabi "Barang siapa yang menjadikan aku mawlanya, maka Ali adalah mawlanya" adalah penunjukan yang jelas, tersurat (eskplisit) bagi Imam Ali sebagai pemimpin kaum muslimin, sebagaimana ditopang oleh keyakinan Syiah Imamiyah Itsna Asayariyyah."[8]




3.        Penunjukan Eksplisit Pertama
Islam bermula ketika Nabi Muhammad Saw berusia empat puluh tahun. Sebelumnya dakwah Rasulullah Saw bersifat sembunyi-sembunyi. Kemudian  tiga tahun selepas kemunculan Islam, Nabi Saw diperintahkan supaya memulai dakwah terbuka untuk  menyampaikan pesan-pesan samawi. Kejadian ini berlangsung ketika Allah Swt mewahyukan ayat: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (Qs. Asy-Syu'araa:214)
Ketika ayat ini turun, Rasulullah Saw mengadakan sebuah perjamuan yang dikenal dalam sejarah sebagai " Da'wat dzu 'l Asyira". Rasulullah Saw mengundang sekitar empat puluh laki-laki kerabatnya dari Bani Hasyim dan meminta Ali bin Abi Thalib untuk menyiapkan jamuan makan malam. Setelah menjamu tamu-tamunya dengan makanan dan minuman, Rasulullah Saw bermaksud untuk berbicara kepada mereka tentang Islam, Abu Lahab mendahuluinya sambil berkata kepada para tamu ketika itu, katanya: "Tuan rumahnya telah lama menyihir Anda". Seluruh tamu membubarkan diri sebelum Rasulullah Saw menyampaikan pesannya.
Rasulullah Saw kemudian mengundang mereka lagi pada hari berikutnya. Setelah perjamuan, ia berkata kepada mereka: "Wahai Bani Abdul Muttalib, Demi Allah, Aku tidak kenal seseorang pun dari bangsa Arab yang datang kepada umatnya lebih baik dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku datang membawa sesuatu untuk kebaikan kalian dunia dan akhirat. Aku telah diperintahkan oleh Allah Swt untuk mengajak kalian kepada-Nya. Oleh karena itu, siapa di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusan ini sehingga ia akan menjadi saudaraku (akhi), penggantiku (wasiyyi) dan khalifah sepeninggalku?
Nabi Saw menggunakan kata "saudaraku, penggantiku, khalifahku." Sabda Nabi ini adalah sabda yang jelas karena digunakan sebagai ajakan pertama untuk memeluk Islam! Tidak ada yang menjawab seruan itu, kecuali Ali bin Abi Thalib yang ketika itu hanya berusia lima belas tahun. Nabi Saw meminta Ali untuk mendekat kepadanya, menepuk leher Ali dan berkata:
"Sesungguhnya ia ini adalah saudaraku, penggantiku, khalifahku di antara kalian. Oleh karena itu, dengarkan dan taati ia."[9]
Proklamasi ini merupakan perkataan yang terang karena hadirin memahami penunjukan Ali sangat jelas. Beberapa di antara hadirin, termasuk Abu Lahab, bahkan dengan bercanda ia berkata kepada Abu Talib bahwa kemenakanmu, Muhammad, memerintahkanmu untuk mendengarkan anakmu dan mentaatinya! Setidaknya, seloroh Abu Lahab ini menunjukkan bahwa pengangkatan Ali bin Abi Talib adalah masalah yang terang dan jelas (eksplisit), tidak samar (implisit).
Bukti yang paling nyata atas kewajaran tersuratnya pengangkatan ini pada masa-masa awal misi Nabi Saw adalah upaya penulis Ahli Sunnah menyembunyikan kalimat yang digunakan oleh Nabi Saw. Sebagai contoh, sejarawan Islam yang terkenal, Ibnu Jarir at-Tabari (wafat 310 Setelah Hijrah), telah mencatat peristiwa ini dengan kalimat krusial yang utuh dan lengkap dalam Târikhul Umam wal Muluk-nya. Edisi 1879 dari Târikh-nya yang diterbitkan di Leiden (Belanda) dengan kalimat: "....inilah saudaraku, penggantiku dan khalifahku...." Namun sewaktu melangkah kepada Tafsir Tabari, ketika ia sampai pada tafsir "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat " (Qs Asy Syu'araa:214), barangkali Tabari sendiri atau editornya yang melakukan perubahan di dalamnya dengan kalimat: "Inilah saudaraku, demikian dan demikian.."
        Seluruh upaya untuk menghilangkan peristiwa ini secara keseluruhan dari halaman sejarah atau merubah kata-kata pentingnya "penggantiku dan khalifahku" menjadi "demikian dan demikian" secara nyata menunjukkan bahwa istilah yang digunakan dalam hadis itu adalah bersifat tersurat yang mendukung pengangkatan Imam Ali sebagai pengganti Nabi Saw. Jika sebaliknya, maka tidak perlu bagi musuh-musuh Syiah menyembunyikan atau merubah kata-kata tersebut.

4.        Abu Sufyan Mengerti, Yang Lain Tidak?                                               
Bersikeras terhadap anggapan bahwa pengangkatan Imam Ali tersebut adalah pengangkatan yang bersifat implisit demi menjaga dua khalifah pertama. Alih-alih mencari kebenaran atas cerita ini dan kemudian memberikan penilaian terhadapnya, sebaliknya mereka memutarbalikkan kebenaran untuk menjaga kedudukan kedua orang tersebut.
Sulit untuk dipahami bahwa para sahabat Nabi tidak mendengar Nabi mengangkat Ali As dalam beberapa kesempatan yang berlainan, dan tahu bahwa mereka adalah suku Quraisy yang berbahasa Arab, tidak dapat diterima oleh akal bahwa mereka tidak memahami secara jelas pengangkatan ini. Satu cara untuk mengetahui kebohongan ini adalah mengambil jalur menarik terhadap peristiwa yang terjadi setelah wafatnya Nabi Saw.
Ketika Ali dan Bani Hasyim sibuk dengan urusan pemakaman Nabi Saw, seseorang datang mengetuk pintu dan menawarkan bantuan untuk menjaga kursi khalifah. Orang itu adalah Abu Sufyan. Iya, Abu Sufyan musuh besar Nabi yang berperang melawan Islam dan kaum muslimin   dan hanya menyerah ketika ia tidak dapat lagi memberikan perlawanan. Ia menyerah selang dua tahun sebelum wafatnya Nabi.
Ia datang ke rumah Ali dan mendendangkan sajak yang memuji keluarga Nabi. Ia berkata: "Wahai Bani Hasyim! Wahai Bani Abdul Manaf! Apakah kalian menerima Abu Fasil memerintah kalian? Demi Allah, jika kalian ingin, aku bersedia memenuhi kota Madinah ini dengan kuda-kuda dan pasukan.
Ali bin Abi Thalib kenal siapa Abu Sufyan. Ia tahu bahwa niat Abu Sufyan  itu tidak tulus, ia hanya mengambil manfaat dari perseteruan tentang masalah pengganti setelah Nabi. Abu Sufyan menginginkan Bani Hasyim dan kelompok Abu Bakar/Umar berperang dan melemahkan satu sama lainnya sehingga Bani Umayya dapat meraih supremasinya kembali atas bangsa Arab.  Dan Imam Ali menjawab: "Pergilah, Wahai Abu Sufyan! Demi Allah engkau tidak sungguh-sungguh dengan apa yang engkau katakan! Engkau selalu memperdaya Islam dan umatnya dan kami sedang sibuk dengan [pemakaman] Rasulullah Saw. Dan [mereka yang berkomplot untuk merebut kursi khalifah], mereka bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan."[10]
 Memang tidak dapat dipercaya bahwa Abu Sufyan, dengan latar belakangnya, tahu bahwa Ali memiliki hak untuk menjabat sebagai khalifah umat sementara sahabat-sahabat "besar" lainnya tidak tahu atau tidak mengerti sabda Nabi dengan jelas.
Nampaknya Abu Sufyan bermaksud menghasut Ali untuk angkat senjata demi merebut kembali haknya sebagai khalifah. Pada saat itu, Ali menanggapinya dengan berkata: "Jika aku berbicara [demi menuntut hakku], mereka berkata, ia haus kekuasaan." Dan bila aku berdiam diri, mereka berkata, "Ia takut mati." Tidak, tidak sama sekali; setelah kekisruhan itu. Demi Allah, ini putra Abu Talib lebih bergembira terhadap kematian melebihi kegemibraan seorang anak yang menyusu pada ibunya!"[11]

5.        Mengapa Ali tidak menggunakan Dalil-dalil ini?
Apakah  Imam Ali tidak menggunakan dalil Da'wat dzil 'Asyira atau hadis al-Ghadir segera setelah wafatnya Nabi Saw karena ucapan-ucapan Nabi tersebut hanyalah sebuah ucapan yang tersirat? Seorang Ulama Syiah menulis: "Juga karena tidak adanya ucapan yang tersurat yang digunakan oleh Imam Ali dari peristiwa-peristiwa  ini, termasuk al-Ghadir, untuk ia ajukan sebagai satu-satunya orang yang berhak untuk menjadi khalifah Rasulullah Saw."[12] Perkataan ini benar-benar sebuah cara novel dalam melihat perseteruan tentang masalah khalifah. Ahli Sunnah akan melebarkan masalah ini sedikit lebih jauh dan berkata bahwa Ali tidak menggunakan dalil-dalil ini karena memang tidak dapat dijadikan sebagai dalil sama sekali.
Untuk dapat memahami mengapa Ali tidak menggunakan dalil-dalil ini pada waktu itu, kita harus mengerti keadaan yang sebenarnya, musuh-musuhnya, dan akibat-akibat dari tindakan Imam Ali ini.


Keadaan-keadaan
Ketika Nabi Saw wafat, dalam komunitas muslim saat itu terdapat beberapa orang yang berlainan satu sama lain.
Pertama, ada beberapa so-called pengadu domba dalam diri kaum muslimin yang menantikan perang saudara untuk memadamkan cahaya Islam dan meraih kekuasaan atas bangsa-bangsa Arab. Abu Sufyan dan sukunya termasuk dalam kategori ini. Mereka tidak berada di Saqifah (bersama Abu Bakar, 'Umar dll, AK.) juga tidak berada di pihak Ali bin Abi Thalib. Al-Quran juga mengatakan ihwal wujudnya orang-orang munafik di antara kaum muslimin: "Orang-orang Arab Badui itu lebih sangat kekafirannya dan kemunafikannya dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah dan Rasulnuya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. " (Qs. at-Taubah [9]:97) Lalu ada Musalyma al-Kadzdzab dan Sajjah bint al-Harats yang mengklaim sebagai Nabi dan mendapatkan beberapa pengikut dari orang-orang Badui.
Setelah melakukan tinjauan atas peristiwa-peristiwa ini, apa yang dapat dilakukan oleh Ali?
Sebagai sebuah contoh, mari kita gambarkan keputusan Imam Ali dalam benak kita. Selama masa khalifah Umar, ada sebuah cerita tentang dua orang ibu yang bertengkar tentang siapa sebenarnya ibu dari bayi itu.  Keputusannya diserahkan kepada Imam Ali. Ketika Imam Ali melihat kedua ibu ini sama-sama ngotot untuk mendapatkan bayi itu, ia memutuskan untuk membelah bayi tersebut dan dibagikan masing-masing kepada kedua ibu tersebut. Bagaiamana reaksi kedua ibu (yang sebenarnya dan yang gadungan) tadi? Ibu gadungan mengusulkan agar bayi itu dibelah dua saja, sementara ibu yang sebenarnya memutuskan untuk merelakan bayi itu diambil olehnya.
Islam adalah ibarat bayi dalam pembahasan kita kali ini; para penjarah itu akan melakukan apa saja untuk menjaga kekuasaan, hatta kalau bisa Islam dikorbankan. Ali –di sisi lain– rela untuk melepaskan haknya demi menyelamatkan Islam dari kehancuran total. Inilah filsafat mengapa Imam Ali tidak mengakhiri kisah ini dengan pedang atau memberikan kesempatan kepada Abu Sufyan dan yang lainnya untuk angkat senjata. Ia rela haknya dikebiri demi menjaga Islam dari kehancuran.
Ali rela disingkirkan, tapi ia tidak berhenti memprotes dimana dan bilamana saja ada kesempatan. Ketika ia disingkirkan lagi setelah kematian Umar, ia menyampaikan pidato kepada dewan musyawarah yang telah memilih Utsman, ia berkata: "Kalian pasti mengetahui bahwa akulah yang paling pantas untuk menjadi khalifah daripada yang lain. Demi Allah, sepanjang keutuhan dan persatuan kaum muslimin tetap terjaga dan tidak ada kezaliman di dalamnya kecuali diriku yang terzalimi, maka Aku akan diam...."[13]

Musuh-musuh  
Berkenaan dengan musuh-musuh Syiah, mereka tidak bersedia mendengarkan sepatah-kata pun alasan tentangnya. Ketika anda mengetahui bahwa musuh anda tidak menentang anda karena keawamannya – dan bahkan mereka bersedia untuk membunuh anda – maka tidak ada gunanya untuk menyebutkan seluruh bukti yang ada kepada mereka. Anda boleh bertanya-tanya mengapa saya berkata seperti ini.
Anda mengingat kembali Da'wat dzul Asyira, Nabi Saw menggunakan tiga kata untuk Imam Ali. " Saudaraku, penggantiku, dan khalifahku ." Kedua kata terakhir bersifat krusial dan penting atas klaim Ali sebagai khalifah. Kata yang pertama " saudaraku " tidak begitu berbahaya dan mengancam pihak musuh-musuh. Atas alasan ini mengapa, bahkan, penulis Ahli Sunnah menyembunyikan hadis Nabi Saw, mereka membiarkan kata "saudaraku" utuh tapi mengganti kata-kata "penggantiku, khalifahku" dengan kata "demikian dan demikian."
Kini, untuk dapat mengerti sikap keras kepala musuh-musuh Ali, mari kita satu bagian saja dari obrolan sengit antara Imam Ali dan Umar bin Khattab selama hari-hari pertama khalifah.
Saya hanya akan meringkaskan apa yang terjadi sebelum obrolan yang sebenarnya: Setelah Umar dan kelompoknya yang memaksa kaum Ansar (Penduduk Madinah) untuk membai'at Abu Bakar di Saqifah, mereka datang ke Masjid Nabi dan mengumumkan bahwa Abu Bakar telah dipilih sebagai khalifah dan meminta semua orang untuk membaiatnya. Mereka diberitahu bahwa Ali dan anggota lain dari Bani Hasyim dan beberapa sahabat utama Nabi berkumpul di rumah Fatimah, menolak untuk membaiat Abu Bakar. Abu Bakar mengirim pesan tapi tidak ada satu pun dari mereka (orang-orang yang berkumpul di rumah Fatimah, -AK.) yang membaiatnya. Lalu Umar dengan orang-orangnya mendatangi mereka dan bahkan mengancam akan membakar rumah itu jika tidak ada yang mau keluar! Mereka akhirnya mendobrak pintu, mencederai Fatimah yang saat itu lagi hamil, dan memaksa orang-orang yang ada di rumah itu ke masjid dan membaiat Abu Bakar.
Imam Ali juga ditawan dan dibawa ke masjid. Di sini terjadi obrolan antara Imam dan Abu Bakar  yang isinya Imam Ali hanya digunakan oleh Quraisy Mekkah terhadap orang Ansar. Quraisy memiliki keutamaan  daripada Ansar karena Nabi berasal dari suku mereka, oleh karena itu, mereka lebih berhak untuk menjabat sebagai khalifah; Imam Ali melebarkan adu argumen itu dengan mengatakan bahwa kami berasal dari keluarga Nabi, oleh karena itu, kami lebih berhak atas khalifah daripada engkau.[14]
Ibnu Qutayba ad-Dinwari, seorang sejarawan Sunni tentang masalah khalifah, melanjutkan cerita ini :
Mereka berkata kepada Ali: Nyatakan Baiat!
Ali menjawab: "Jika aku tidak mau, lalu apa?
Mereka berkata: "Kalau begitu, Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, kami akan menggorok lehermu!"
Ali berkata: "Kalau begitu, kalian ingin membunuh seorang hamba Allah dan saudara Nabi-Nya!"
'Umar berkata: "Sebagai hamba Allah, iya; tapi sebagai saudara Nabi-Nya, tidak!"[15]
Apa yang dikatakan oleh Umar ini? Di luar dari ketiga hal yang disabdakan oleh Nabi tentang Ali, ancaman terakhir adalah "saudaraku " namun hari itu, 'Umar bahkan tidak bersedia menerima Ali sebagai "saudara Nabi"! Sekarang katakan kepadaku mengapa Ali tidak berkata: " Aku juga adalah wasiy Nabi dan khalifahnya"?
Ibnu Qutaybah meneruskan ceritanya: Selagi percakapan antara Imam Ali dan 'Umar berlangsung, " Abu Bakar tutup mulut, dan tidak berkata sepatah-kata pun. Lalu Umar berbalik padanya dan berkata : "Mengapa engkau tidak mengeluarkan perintah untuk menghukumnya? Abu Bakar berkata : " Aku tidak ingin memaksakan segala sesuatunya selagi Fatimah berada di sisinya."
Iya, Fatimahlah yang melindungi Ali selama hari kelabu itu dalam sejarah Islam. Ali dalam ketertindasannya, ia pergi ke pusara Nabi dan mengeluhkan dukanya kepada Nabi: "Wahai putra ibuku! Orang-orang menindasku dan hampir saja membunuhku." Ucapan ini adalah ucapan yang sama yang digunakan oleh Harun ketika ia mengeluhkan Bani Israil kala Nabi Musa kembali dengan Taurat sesuai dengan firman Allah Swt: "Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah ia: "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?" Dan Musa pun melemparkan luh-luh (Taurat)itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata: " Duhai putra ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim."  (Qs. al-A'raaf [7]:150) Ingatlah Rasulullah Saw sendiri bersabda: "Wahai Ali, engkau bagiku seperti Harun bagi Musa; hanya saja tidak ada nabi setelahku."[16]
6.        Apakah Ali Menggunakan Dalil-dalil Ini?
Ali tidak menggunakan dalil-dalil ini pada hari-hari awal khalifah ini berkuasa karena dua alasan : 1. Demi menjaga keselamatan dan kelestarian Islam, 2. Karena tahu sikap keras kepala musuh-musuhnya. Sikap Ali ini tidak ada hubungannya dengan implisit vs eksplisit sama sekali. Yang benar adalah bahwa kapan saja ada kesempatan, Imam Ali selalu membicarakan haknya sebagai Khalifah Rasulullah Saw.
Tidak seorang pun yang menyalahkan Ali karena klaim atau menyodorkan bukti-buktinya hingga hari ini. Ia sendiri berkata: "Tidak seorang pun yang dapat disalahkan atas terlambatnya (menjaga) ia meraih haknya, namun kesalahan terletak pada orang yang mengambil sesuatu yang bukan haknya."[17]
Pada tahun 35 SH, sewaktu Imam berada di Kufah, ia mendengar bawha orang-orang sangsi atas klaimnya sebagai lebih utama dan lebih prioritas atas ketiga khalifah sebelumnya. Oleh karena itu, ia mendatangi majelis di Masjid dan memohon kepada saksi-saksi yang hadir di Ghadir Khum  untuk menyatakan kebenaran deklarasi Nabi Saw tentang dirinya sebagai "mawla (tuan, pemimpin, junjungan) bagi mereka yang menjadikan Nabi sebagai mawlanya sendiri. Dalam banyak kitab, kita mempunyai dua puluh empat sahabat Nabi yang menyatakan kesaksian akan kebenaran klaim Imam Ali ini. Sumber-sumber lain seperti Musnad Ahmad bin Hanbal dan Majmâ az-Zawâid karya al-Haytami menyebutkan sebanyak tiga puluh.[18]
Anda harus ingat bahwa peristiwa ini terjadi dua puluh lima tahun setelah peristiwa Ghadir Khum, dan selama berabad-abad saksi-saksi sejarah telah meninggal dunia atau gugur dalam medan perang. Dan sebagai tambahan bahwa kejadian ini terjadi di Kufa yang jauh dari Madinah, pusat para sahabat.[]



























Bagian Kelima

V.       Konsep Ahlul Bait: Islami  atawa Kesukuan?

1.         Definisi Ahlulbait
"Ahlulbait" secara lughawi (literal) bermakna ahli sebuah rumah dan makna ini merujuk kepada anak-anak atau keturunan seseorang. Dalam terminologi Islam, Ahlulbait bermakna keluarga Nabi Muhammad Saw.
Azas apa yang terpenting yang dimiliki oleh Ahlulbait ini? Apakah perkataan Ahlulbait terdapat dalam al-Quran dan hadits-hadits Nabi? Ataukah ini sebuah konsep kuno kesukuan Arab yang tidak memiliki dasar sama sekali dalam Islam? Al-Quran  dan Hadits telah banyak bercerita tentang Ahlulbait ini. Betapapun, bahkan sebelum kita membuka al-Quran, kita memerlukan sebuah sebuah penjelasan tentang konsep Ahlulbait.
Istilah "keluarga Nabi" dapat diterapkan dalam tiga macam hubungan :
·          Mereka yang memiliki hubungan dengan Nabi lewat hubungan darah dan pertalian perkawinan saja.
·          Mereka yang memiliki hubungan dengan Nabi dengan jiwa dan ruhnya saja.
·          Mereka yang memiliki hubungan dengan Nabi lewat hubungan darah dan ikatan perkawinan sekaligus pertalian jiwa dan ruh.

Ketika al-Quran atau Nabi menggunakan istilah "Ahlulbait", tidak bisa termasuk ke dalam kelompok yang pertama atau yang kedua dari tiga kelompok yang diuraikan di atas.
Kelompok yang pertama hubungannya dengan Nabi hanya bersifat hubungan fisik tetapi tidak bersifat ruhani, seperti putra Nabi Nuh atau istri Nabi Luth atau Abu Lahab, paman Nabi. Allah Swt berfirman kepada Nabi Nuh tentang nasib putranya "Innahu laisa min ahlik – ia bukan ahlimu (keluarga) – "Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya." Dan " Allah Berfirman : " Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan) sesungguhnya (perbuatannya), perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu mohon kepadaku permohonan yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." (Qs. Hudd [11] 45&46) Yakni, ia tidak terikat hubungan ruhani denganmu, ia hanya terikat hubungan fisik denganmu. Istri Nabi Luth dan paman Nabi, Abu Lahab, keduanya digolongkan sebagai penghuni neraka jahannam.
Kelompok yang kedua dipandang "Ahlulbait" hanya dalam istilah metaforis, tidak dalam artian yang sesungguhnya, seperti, Salman al-Farsi yang tentangnya Nabi bersabda: "Salman dari kami, Ahlulbait." Dan ini yang tersisa adalah kelompok yang ketiga.

2.        Siapakah "Ahlulbait" itu?
Banyak orang yang memiliki hubungan dengan Nabi melalui pertalian darah dan ikatan perkawinan sekaligus ikatan jiwa dan ruhani. Tetapi, istilah "Ahlulbait" sebagaimana yang disinggung dalam al-Qurandan Hadits tidak diterapkan untuk semuanya. Kita melihat bahwa Nabi Muhammad Saw secara jelas menggunakan istilah Quran " Ahlulbait" kepada empat orang: Fatimah, Ali, Hasan dan Husain Salamullahi ajmain.
Ayat yang pertama (Qs. al-Ahzab [33]:33) adalah ayat tathir:
"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahul Bayt dan membersihkankamu  sebersih-bersihnya"
Tidak seorang pun dari kaum muslimin yang akan menyangsikan bahwa yang dimaksud Ahlulbait Nabi Saw adalah Fatimah, Ali, Hasan dan Husain. Perbedaan kemudian menyeruak kepermukaan ketika memasukkan istri-istri dan kerabat Bani Hasyim yang lain sebagai Ahlulbait. Sebagai contoh, pada abad kita ini, sebuah buku yang diterbitkan oleh pemerintah Arab Saudi yang berjudul: "Allimu Awladukum Hubb Âli Baytin Nabi (Ajarkan kepada anak-anakmu kecintaan terhadap Ahlulbait Nabi) yang ditulis oleh Dr. Muhammad Abduh Yamani pada tahun 1991.[19] Susunan kalimat yang dibuat oleh Yamani tentang keluarga Nabi sangat menarik untuk dicermati: ia pertama menyebut Khadijah, lalu Fatimah, Ali, Hasan, Husain, Zainal Abidin, dan kemudian terakhir para istri-istri Nabi.
Wilfred Madelung, membuat observasi ihwal ayat tathir ini sebagai berikut: "Siapakah "Ahlulbait" di sini? Pronomina (damir) merujuk kepada arti jamak maskulin (pria), sementara bagian pendahuluan ayat ini adalah jamak feminin (perempuan). Ini perubahan gender dalam ayat ini secara nyata memberikan kontribusi terhadap kelahiran yang beragam dari sebuah karakter yang menjadi tokoh legendaris, menempelkan bagian terakhir dari ayat ini kepada lima ahl kisa: Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Meskipun jelasnya signifikansi Syiah, mayoritas riwayat-riwayat ini dikutip oleh at-Tabari dalam tafsirnya tentang ayat yang dimaksud membantu penafsiran ini."[20]
Dari banyak riwayat Ahli Sunnah, di sini saya hanya akan menukil satu riwayat sebagai contoh. Abu Said al-Khudri meriwayatkan dari Ummu Salama, istri Nabi yang rumahnya tempat terjadinya peristiwa Kisa ini. Ummu Salama berkata: Jibrail As datang dengan ayat tathir; Nabi Saw memanggil Hasan, Husain, Fatimah dan Ali, dan beliau mengumpulkan mereka bersama dan menutupinya dengan kain tebal. Lalu berkata: "Wahai Allah, mereka ini adalah Ahlulbaitku, jauhkanlah kenistaan dari Ahlulbait, dan sucikan mereka sesuci-sucinya." Ummu Salamah Ra berkata: "Apakah aku tergolong juga bersama mereka, wahai Rasulullah?" Nabi berkata: "Tetaplah di tempatmu, engkau adalah orang yang memiliki keutamaan."[21]
Karena ayat ini bertempat tepat di tengah-tengah ayat yang dialamatkan untuk istri-istri Nabi, beberapa ulama Ahli Sunnah menggunakan kedudukan ayat ini dengan memasukkan istri-istri Nabi sebagai "Ahlulbait." Namun masalahnya adalah penafsiran mereka berbeda dalam pronominanya (dhamir): redaksi ayat sebelumnya dan sesudah ayat tathir ini memiliki makna pronomina feminim jamak (dhamir muannats jamak) padahal redaksi ayat tathir ini sendiri memiliki makna dhamir mudzakkar jamak. Hal ini merupakan bukti bahwa redaksi ayat tathir ini merupakan ayat yang berdiri sendiri yang diturunkan  pada waktu yang berbeda dan tidak melibatkan istri-istri Nabi.    
Meskipun mayoritas riwayat tentang ayat ini bersumber dari riwayat-riwayat Ahli Sunnah yang menopang pandangan bahwa bagian ayat ini merupakan bagian yang terpisah dengan ayat yang kemudian dilekatkan terakhir.  Madelung tidak dapat menerima pandangan ini. Dalam tafsirnya, ia mencoba untuk menerapkan istilah Ahlulbait pertama kepada Bani Hasyim dan kemudian, pada tempat yang kedua, kepada istri-istri Nabi Saw. Namun ia tidak dapat menjelaskan perbedaan gender dalam pronomina-pronomina yang digunakan dalam seluruh ayat ini.
Syiah dan Ahli Sunnah meriwayatkan secara jelas penggunaan istilah "Ahlulbait" dalam redaksi ayat tathir ditujukan untuk Ahlul Kisa, tidak tertuju untuk istri-istri Nabi. Dan perbedaan gender dalam pronomina-pronomina tersebut menunjukkan perbedaan antra "Ahlulbait" dan istri-istri. Meminjam istilah Mirza Mahdi Puya "Pada bagian awal dari ayat ini digunakan gender muannats (feminim) – terdapat sebuah transisi di sini dalam alamat dari muannats ke mudzakkar (maskulin). Dengan merujuk kepada istri-istri Nabi Saw, pronomina-pronomina yang ada juga secara konsisten bersifat muannats. Karena percampuran antara pria dan wanita, secara umum yang biasa dipakai adalah gender pria. Transisi ini dalam penggunaan tata-bahasa, menjelaskan bahwa anak kalimat (klausul) ini  berbeda dengan yang digunakan dalam sebuah kelompok yang berbeda dengan yang pertama, dan uraian ini layak dijadikan sebagai bahan perbandingan antara Ahlulbaitdan istri-istri Nabi. "[22]
Ayat lain yang penting dari al-Quran yang berbicara tentang Ahlulbait adalah surah asy-Syuura:23. Dalam surat ini, Allah Swt berfirman: "(Wahai Muhammad) katakanlah, aku tidak memintah upah dari kalian (dalam kapasitasnya sebagai pembawa risalah Allah) kecuali kecintaan kepada keluargaku."
Kenyataan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ahlulbait, keluarga Nabi, tidak dapat disangsikan lagi. Imam Syafii, pendiri mazhab Sunni Syafi'i, menjelaskan makna ayat ini dengan sebuah syair :
Wahai Ahlulbait Rasulullah, kecintaan padamu,
Adalah fardu dari Allah, disebut dalam Qur'an
Dalam kehormatanmu, memadai untuk salat seseorang
Tidak ada salat tanpa salawat padamu[23]
Ahli Sunnah telah mencoba untuk menangkis pandangan Syiah dengan beberapa dalil berikut ini :
1.        Ayat ini diturunkan di Mekkah ketika Hasan dan Husain belum lahir, jadi bagaimana mungkin dapat ayat ini berkenaan dengan Ahlulbait seperti makna Ahlul Kisa?
2.        Karena diturunkan di Mekkah, ayat ini ditujukan kepada suku Quraisy dengan meminta mereka untuk mencintai Muhammad karena ia masih kerabat mereka sendiri.
3.        Beberapa orang yang berkata bahwa ayat ini berkenaan dengan seluruh Bani Hasyim, dan tidak semata merujuk kepada Ahlulbait dalam definisi orang-orang Syiah.

Pertama-tama, para mufassir al-Quran secara massif menyebutkan bahwa meskipun surat asy-Syuura merupakan surat Makkiyah, ayat 23-25 & 27 di turunkan di Madinah. Pernyataan para mufassir membuat dalil pertama dan kedua yang disebutkan di atas menjadi tidak berdasar sama sekali.
Yang kedua, perintah untuk "mencintai keluarga Nabi" tidak dapat dikenakan kepada seluruh kerabat beliau karena di antara mereka ada orang-orang baik dan juga orang-orang jahat; dan seseorang harus membatasi makna ayat ini kepada mereka yang disamping memiliki pertalian fisik juga memiliki pertalian   ruhani dengan Rasulullah.  Dan tidak seorang pun yang membantah bahwa Ali, Fatimah, Hasan dan Husain bukanlah orang yang memiliki hubungan raga (fisik) dan juga spritual dengan Nabi, meskipun ia melebarkan gelar ini kepada anak keturunan Bani Hasyim yang lain.
  Yang terakhir, banyak riwayat Ahli Sunnah yang meriwayatkan bahwa Nabi menggunakan ayat ini kepada Ahlu Kisa. Misalnya, ketika ayat ini diturunkan, orang-orang bertanya kepada Nabi: "Siapakah Qurbah, yang kecintaan kepada mereka wajib bagi kami?" Nabi menjawab, "Ali, Fatimah, dan kedua anak-anak mereka." Nabi mengulangi jawabannya ini tiga kali.[24]

3.        "Ahlulbait" Bukan Sebuah Konsep Kesukuan
Apa yang saya sebutkan di atas bukan merupakan sebuah penafsiran baru; Saya hanya menyebutkannya sebagai ringkasan dalil-dalil keyakinan Syiah yang didukung oleh riwayat-riwayat Ahli Sunnah yang telah hadir selama berabad-abad. Dan saya sangat terkejut melihat apa yang telah ditulis oleh seorang alim Syiah tentang konsep Ahlulbait:
"Syiah mengambil manfaat hubungan intim sejarah Ali dengan Nabi dan konsep kuno kesukuan Arab yakni Ahlulbait (anggota rumah tangga) – keluarga yang kepala keluarganya dipilih – dan dengan bersemangat mendukung pencalonan keluarga Ali..."[25]
Memang tidak dapat dimengerti seorang yang memiliki latar belakang Syiah berkata bahwa Syiah mengambil manfaat dari konsep kuno kesukuan Arab tentang Ahlulbait"! Sehingga kini konsep Ahlulbait menjadi sebuah konsep masa pra-Islam/Jahiliyyah yang digunakan oleh orang-orang Syiah untuk menopang klaim mereka tentang Imamah Ali dan keturunannya!
Memang menyedihkan mengingat seorang alim cendekia, berlatar belakang Syiah, tidak dapat membahas konsep Ahlulbait dalam pandangan al-Quran, berbeda dengan seorang cendekia non-Muslim, mampu membahas masalah ini dengan panjang lebar yang mengatakan bahwa konsep Ahlulbait ini adalah berhubungan dengan keluarga-keluarga Nabi sebelum kedatangan Islam dan kemudian berhubungan dengan ayat-ayat Qur'an khusus kepada Ahlulbait.[26] Walaupun kita tidak setuju dengan definisi Madelung yang terlalu luas tentang Ahlulbait. Kita setuju dengan kesimpulannya yang mengatakan : " Nasihat-nasihat al-Qurankepada orang-orang beriman untuk menyelesaikan urusan-urusan mereka dengan musyawarah, tapi tidak dalam urusan siapa yang berhak menggantikan Nabi. Yakni, merujuk kepada al-Qur'an, masalah pengganti nabi ini, ditentukan oleh Allah, dan Allah memilih pengganti nabi-nabi-Nya,  apakah mereka menjadi nabi atau tidak, berasal dari keluarga mereka sendiri."[27]
Kelihatannya, cendikia Syiah ini sedang menggemakan pandangan Marshall Hodgson dan Fazlur Rahman. Marshall Hodgson menulis, "Keturunan Ali –khususnya dari Fatimah  disebut Ahlulbait, anggota rumah tangga,  (sebuah istilah kuno yang dipakai oleh suku-suku Arab berkenaan dengan keluarga yang darinya dipilih kepala suku..."[28]
Selagi mengomentari klaim yang dibuat oleh orang-orang Syiah Kufah bahwa khalifah dikembalikan kepada keluarga Ali, Fazlur Rahman menulis: "Tujuan yang membuat klaim legitimis ini pada pihak Arab Kufah tidak jelas, kecuali...kenyataan bahwa Nabi berasal dari Bani Hasyim yang mudah diekploitasi."[29]  Fazlur Rahman bermaksud bahwa konsep Ahlulbait (Ali dan Nabi berasal dari Bani Hasyim) "dieksploitasi" oleh orang-orang Syiah Kufah untuk mempromosikan klaim mereka bahwa imamah untuk anak-keturunan Ali.
Siapa yang memanfaatkan tradisi pra-Islam dalam perseteruan masalah khalifah? Ali telah diingkari haknya atas khalifah ini oleh Quraisy dengan dalih bahwa tradisi Arab kuno, kepemimpinan seharusnya diberikan kepada orang yang lebih tua dan tidak kepada orang yang masih muda. Ali – dibandingkan dengan Abu Bakar – lebih muda dan oleh karena itu, berdasarkan tradisi Arab kuno ini, ia tidak pantas untuk mengemban kepemimpinan ini.[30] Jadi Quraisylah yang bersandar pada "tradisi kuno Arab", tradisi yang merampas kekhalifaan dari Ali bin Abi Talib.
Siapa yang " mengekploitasi " dan  " memanfaatkan " hubungannya dengan Nabi? Adalah kelompok Quraisy di Saqifah yang mengekploitasi fakta bahwa Nabi berasal dari suku mereka, dan oleh karena itu, mereka yang lebih berhak untuk menjadi khalifah daripada saingan mereka orang-orang Ansar (Penduduk Madinah).[31]
Ketika Imam Ali diberitakan ihwal perdebatan antara orang-orang Quraisy dan orang-orang Ansar di Saqifah, ia bertanya, " Apa yang diplead oleh orang-orang Quraisy?"
Orang-orang berkata, " Mereka beralasan bahwa mereka berasal dari silsilah keturunan yang sama dengan Nabi."
Ali mengomentarinya dengan berkata, " Mereka berdalih dengan pohon tapi mereka merusak buahnya."[32] Pohon di sini bermakna  "Suku Quraisy ", dan buah berarti "keluarga Nabi ."[]





Bagian Keenam

VI.       Wilâyah & Cakupannya

1.        Apa Wilâyah itu?
"Wilâyah, diambil dari kata wilâ, yang berarti kekuasaan, wewenang   atau sebuah hak atas hal-hal tertentu. Dalam teologi Syiah, wilâyah adalah wewenang yang diberikan Allah Swt kepada Nabi  dan Ahlulbait sebagai wakil Allah di muka bumi.
Menyitir almahrum Syahid Mutahhari, wilâyah memiliki empat dimensi :

1. Hak kecintaan dan ketaqwaan (wilâ-e mahabbat)
Hak ini menempatkan kaum muslimin di bawah kewajiban untuk mencintai Ahlulbait.

2. Wilâyah dalam bimbingan ruhani (wilâ-e imâmat)
Hak ini mencerminkan kekuasaan dan wewenang Ahlulbaitdalam menuntun pengikutnya dalam urusan-urusan spiritual.

3. Wilâyah dalam bimbingan sosial-politik (wilâ-e ziâmat)
Dimensi wilâyah ini mencerminkan hak bahwa Ahlulbait harus menuntun kaum muslimin dalam kehidupan sosial dan politik.






4. Wilâyah semesta (wilâyah tasarruf)
Dimensi wilâyah ini mencerminkan kekuasaan yang meliputi semesta raya yang menegaskan bahwa Nabi dan Ahlulbait telah dianugerahkan oleh Allah Swt.[33]

Dengan menggunakan pembagian dimensi-dimensi wilâyah ini, saya ingin menunjukkan area kesetujuan (pro) dan ketidaksetujuan (kontra) mereka di antara kelompok-kelompok muslim.

Dimensi pertama : Hak Cinta
Seluruh kaum muslim sepakat menerima dimensi pertama dari wilâyah Ahlulbait ini. Mencintai Ahlulbait merupakan "dharuriyat ad-din" (ushuluddin). Termasuk shalawat[34] dalam salat setiap hari adalah sebagai bukti yang cukup untuk hal ini. Lihat kitab-kitab anti-Syiah seperti as-Shawâiqul Muhriqa, Ibnu Hajar al-Makki dan Tuhfa-e Ithna Ashariyayh milik Shah 'Abdul 'Aziz Dehlawi, dan anda akan mengetahui bahwa Ahlusunnah berusaha dengan segenap kekuatan untuk menjelaskan bahwa mereka menentang orang-orang Syiah, namun tidak kepada Syiah Imamiyah karena mereka tahu bahwa mencintai Ahlulbait merupakan bagian esensial dalam keimanan.
Cinta kepada Ahlulbait seperti tercermin firman Allah Swt: "Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan". (Qs Asy Syuraa [26]:43) yang telah kita bahas bersama pada bab sebelumnya. Di sini saya hanya akan mengutip satu lagi hadis dari kitab Ahlusunnah. Imam Ali berkata, "Demi Allah Yang telah memecah butir padi, biji dan mencipta jiwa, sesungguhnya Rasulullah Saw telah berjanji bahwa tidak ada yang mencintaiku kecuali dia seorang beriman dan tidak ada yang membenciku kecuali ia seorang munafik."[35] Sebenarnya Jabir bin Abdullah al-Ansari dan Abu Sa'id al-Khudri, dua sahabat utama Nabi, pernah berkata: "Kami tidak mengenali kaum munafik kecuali kebencian mereka terhadap Ali."[36]
Sudah menjadi pandangan umum para ulama Syiah bahwa siapa pun yang menolak salah satu dari dharuriyat ad-din ini, maka dia tidak dipandang lagi sebagai seorang yang beriman.[37] Dan juga berdasarkan kepada prinsip ini, Khawarij dan Nawasib (mereka yang menyatakan secara terbuka kebencian dan permusuhannya terhadap Ahlulbait) dipandang sebagai  non-Muslim oleh para fuqaha Syiah.[38]

Dimensi Kedua : Bimbingan Ruhani
Dimensi kedua dari wilâyah ini adalah sebuah keyakinan yang disepakati secara umum oleh Syiah, demikian juga oleh sebagian besar Ahlisunnah  khususnya yang mengikuti tarekat-tarekat sufi. Tidak ada yang lebih baik merefleksikan interpretasi ini selain yang diberikan oleh Maulawi Salamat Ali, seorang ulama Sunni dari India, sehubungan dengan hadis al-Ghadir. Ia menulisnya dalam at-Tabsira, "Ahlisunnah tidak meragukan imâmah Amirul Mukminin Ali; dan hal ini merupakan esensi iman. Bagaimanapun, ini perlu, dalam mengambil hadis al-Ghadir ini, ia bermakna Imâmah Ruhani bukan politik. Hal ini merupakan makna yang diambil dari komentar ulama Ahlisunnah dan ulama Sufi, dan, akibatnya, baiat seluruh tarekat-tarekat sufi sampai ke Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib dan melalui Imam Ali mereka dapat tersambung hingga ke Rasulullah Saw."[39]
Selain dari tarekat NaqSyabandi, seluruh sufi ditelusuri mata rantai ruhani mereka sampai kepada para Imam Ahlubait, dan berakhir pada Imam Ali bin Abi Talib sebagai orang yang memegang wewenang spiritual par excellence setelah Nabi.[40] Tarekat Naqsabandi jika ditelusuri pemimpin spiritual mereka kembali kepada Imam Jafar Sadiq dan mengikut nasab dari ibunya kepada Muhammad bin Abu Bakar dan kemudian ke Abu Bakar. Pengalihan yang berasal dari Imam ash-Shadiq kepada Abu Bakar adalah, betapapun tidak sahih, karena Muhammad bin Abu Bakar tumbuh dewasa dalam bimbingan Imam Ali bin Abi Thalib yang menikahi ibunya, Asma binti Umays, setelah wafatnya Abu Bakar. Dan ustad ruhani Muhammad bin Abu Bakar hanyalah Imam Ali bin Abi Thalib As.

Dimensi Ketiga dan Keempat :
Wilâyah Sosio-politik dan Semesta
Dimensi ketiga dan keempat dari wilâyah ini merupakan wilâyah yang unik dari keyakinan Syiah, dan dipandang sebagai bagian dari dharuriyat al-mazhab, bagian asasi dari mazhab Syiah. Dan pandangan umum ulama Syiah menyatakan bahwa siapa yang menolak salah satu dari daruriyat al-mazhab, tidak dipandang sebagai seorang penganut mazhab Syiah.
Kedudukan Ahlulbait
 di antara kaum Muslimin

Sunni
Sufi
Syiah
Kecintaan Ahlulbait
Bimbingan Ruhani Ahlulbait
X
Kepemimpinan Politik Ahlulbait
X
X
Wilâyah Universal Ahlulbait
X
X

Penting untuk diperhatikan bahwa dimana saja Syiah menggunakan istilah imâmah atau imam, maka ini sudah mencakup seluruh empat dimensi dari wilâyah tersebut. Termasuk wilâyah spiritual (ruhani) dan universal demikian juga sosial dan kepemimpinan."[41]
Dalam definisi ini, istilah Syiah "imâmah" atau "imam" lebih komprehensif dari istilah Sunni "khilâfat" dan "khalifah".  Dalam kitab-kitab yang berisikan dialog antara Syiah-Sunni ihwal kepemimpinan setelah Nabi, fokus pembahasannya lebih ditekankan pada kepemimpinan sosial-politik namun tidak dalam artian yang menafikan wilâyah spiritual dan universal Imam. Sehingga ketika sedang membaca atau berdiskusi masalah suksesi Nabi Muhammad Saw, seseorang seharusnya tidak kehilangan muatan universal tentang status seorang imam menurut pandangan Syiah.

2.  Wilâyah Universal
Nampaknya perlu untuk dijelaskan keempat dimensi wilâyah secara lebih jeluk sehingga pembaca dapat mengambil manfaat darinya.
Dimensi  keempat dari wilâyah ini adalah wilâyah universal yang telah dianugerahkan kepada Nabi dan Ahlulbait. Wilâyah ini adalah sebuah wewenang yang memungkingan untuk wali untuk menggunakan kekuasaannya atas segala maujud. Dalam istilah Ayatullah Khomeini, "Merupakan sebuah khilafah yang menyangkut seluruh ciptaan, dengan keutamaannya sehingga seluruh atom-atom yang ada dalam semesta ini seluruhnya merendah  dihadapan pemegang wilâyah ini."[42]
Wilâyah dari hamba-hamba mustafa (pilihan) Allah ini bergantung sepenuhnya kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Pandangan ini tidak dapat ditinjau secara horizontal tapi secara vertikal vis-á-vis (berhadapan dengan) kekuasaan Allah Swt.  Kita dalam hal ini menggunakan hierarki vertikal bahwa Allah-lah yang memberikan kehidupan dan kematian. Allah berfirman :
"Allah memegang jiwa (orang) pada saat mereka mati " (Qs. Az Zumar [39]:42) 
Tapi pada saat yang sama, al-Qur'an juga menisbatkan kematian kepadanya malaikat-Nya dengan berfirman :
"Katakan : Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawamu) akan mematikan kamu". (Qs. as-Sajdah [32]:11)
Jika Anda menempatkan muatan-muatan kedua ayat ini secara berdampingan (bentuk horizontal), maka Anda telah berbuat syirik, politheism. Tapi jika anda menempatkannya dalam bentuk vertikalnya (dengan kekuasaan malaikat-malaikat di bawah dan bergantung kepada kekuasaan Allah Swt), maka  tauhid Anda terpelihara.
Demikian juga, jika kita menempatkan kekuasaan dan wewenang 'anbiya (para nabi) dan aimmah (para imam) dalam bentuk vertikal (dengan keyakinan bahwa kekuasaan mereka di bawah dan bergantung pada kekuasaan Allah Swt), maka kita telah memelihara tauhid juga status hamba-hamba pilihan Allah tersebut.
Al-Qur'an memberikan beragam contoh orang-orang yang telah diberikan wilâyah di alam semesta ini.
1.        Dalam menjelaskan kekuasaan bahwa Allah Swt, telah memberikan kepada Nabi 'Isa bin Maryam As, al-Qur'an mengisahkannya sebagai berikut :
        "Dan Allah akan mengajarkan kepadanya Al Kitab, Hikmah, Taurat, dan Injil." ( Qs. Al imran [3]:48)
2.        Dalam menjelaskan kekuasan-kekuasaan yang diberikan kepada Nabi Sulaiman, al-Qur'an mengisahkannya sebagai berikut :
        "Kemudian kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut apa saja yang dikehendakinya " ( Qs Shaad [38]:36)
        "Dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan semuanya ahli bangunan dan penyelam." (Qs. Shaad [38]:37)
        "Inilah anugerah Kami, maka berikanlah (kepada orang lain) atau (tahanlah untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggung jawaban. " (Qs Shaad [38]:40)
        Juga pada firman-Nya:
        "Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan Kami telah tundukkan (pula kepada Sulaiman) segolongan setan-setan yang menyelam (ke dalam laut) untuknya dan mengerjakan pekerjaan selain dari pada itu dan adalah Kami memelihara mereka itu." ( Qs. al-Anbiyaa' [21]: 81-82)
3.        Dalam menjelaskan kekuasaan Asif bin Barkhiya, perdana menteri Nabi Sulaiman, al-Qur'an menceritakan adegan detik-detik sebelum Ratu Shiba dan rombongannya datang mengujunginya :
        "Berkata Sulaiman: " Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri. Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu, sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya. Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: "Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya)." (Qs.  an-Naml [27]: 38, 39 & 40)

Pada ketiga contoh dari al-Qur'an ini, kita melihat bahwa Allah Yang Maha Kuasa telah menganugerahkan kekuasan kepada hamba-hamba pilihan-Nya, memberikan nafas kepada seekor binatang, menghidupkan orang yang telah mati, menyembuhkan orang yang buta dan yang mengidap penyakit lepra, menundukkan jin untuk menunaikan tugas mereka, membawa sesuatu dari jauh hanya dalam sekejap mata, dan sebagainya. Contoh-contoh ini memadai untuk menunjukkan bahwa kekuasaan-kekuasaan seperti itu dapat diberikan dan telah diberikan oleh Allah Swt kepada orang yang dikehendaki-Nya. Kekuasaan ini dalam teologi Syiah dikenal sebagai "al-wilâyah at-takwiniyah " (kekuasaan untuk mengatur alam semesta atau wilâyah universal)."
Allah telah memberikan peringkat-peringkat kepada para nabi dan rasul "Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain." (Qs. al-Baqarah [2]:253) dan "Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain) ."(Qs. al-Isra' [17]:55), dan kepada seluruh kaum muslimin yang meyakini bahwa Nabi Saw, Muhammad al-Mustafa, berada pada peringkat yang tertinggi dari seluruh para nabi dan rasul."[43]
 Seluruh para nabi dan rasul datang untuk menyiapkan umat mereka dalam rangka menyambut Rasulullah, Muhammad Saw, sebagai Rasul untuk seluruh alam semesta dan Rasul pamungkas. Jika para nabi seperti Nabi Sulaiman, Dawud, 'Isa dan Musa dan juga perdana menteri Nabi Sulaiman, dianugerahkan kekuasaan menundukkan alam semesta, kemudian diikuti oleh kemestian bahwa Nabi Muhammad niscaya telah dianugerahkan dengan kekuasaan yang lebih untuk menundukkan alam semesta. Dua contoh telah dengan jelas disebutkan dalam al-Qur'an. Kemampuan Nabi Saw untuk berjalan melintasi relung ruang dan waktu dengan  raga materinya. (Qs. al-Israa' [17]:1; An-Najm [53]:5-8), dan membelah bulan dengan menunjuknya dengan tangan. (Qs. al-Qamar [54]:1).[44]
Imam Ali dan para Imam Ahlulbait diyakini oleh para pengikutnya (baca: Syiah) lebih tinggi kedudukannya daripada seluruh para nabi dan rasul kecuali Rasulullah Saw.[45] Dan sebagai sebuah kemestian bahwa mereka juga telah diberikan kekuasaan oleh Allah Swt seperti yang telah diberikan kepada Rasulullah Saw.
Pada poin ini, saya hanya akan menyebutkan satu ayat dari al-Qur'an berkenaan dengan masalah ini. Selama masa awal-awal di Mekkah, ketika para penyembah berhala mengingkari seruan Nabi, Allah Swt menurunkan sebuah ayat untuk menghibur hati beliau: "Berkatalah orang-orang kafir: "Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasul." Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu dan antara orang yang mempunyai ilmu Al Kitab." (Qs. ar-Ra'd [13]:43)
Nabi Muhammad dihibur bahwa tidak menjadi masalah jika para penyembah berhala itu tidak mempercayai seruanmu itu; sudah cukup bahwa Allah dan  "Orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang al-Kitab" menjadi saksi  atas kebenaran seruanmu. Siapakah yang disebut oleh Allah menjadi saksi atas seruan Nabi ini? Siapakah yang memiliki pengetahuan atas al-Kitab ini? Menurut riwayat-riwayat Syiah, yang didukung juga oleh kitab-kitab Ahlisunnah, orang yang menjadi saksi dan memiliki ilmu pengetahuan seperti yang dimaksud di atas adalah Ali bin Abi Talib.[46] Sudah pasti tidak ada di antara sahabat-sahabat Nabi yang dapat mengklaim lebih memiliki ilmu pengetahuan daripada Ali bin Abi Talib.
Bagaimana uraian "memiliki pengetahuan tentang al-Kitab" membuktikan wilâyah universal Ali? Jika anda menyebut Asif Barkhiya, perdana menteri Nabi Sulaiman, demikian memiliki kekuasaan dapat membawa mahkota Ratu Saba dalam sekejap mata". Asif dikisahkan sebagai seseorang yang memiliki "ilmun min al-kitab" (pengetahuan tentang sebagian al-Kitab, tidak "pengetahuan tentang seluruh al-Kitab)." Sebagai perbandingan, Imam Ali dikisahkan oleh Allah sebagai seseorang yang memiliki "ilmul kitab" – pengetahuan tentang seluruh al-Kitab, tidak hanya sebagian dari al-Kitab sebagaimana Asif Barkhiya. Dengan demikian, tidak terlalu sulit untuk menyimpulkan bahwa kekuasaan Imam Ali atas alam semesta niscaya lebih unggul daripada Asif Barkhiya yang dapat membawa mahkota dari jauh sebelum "mata berkedip."
Lagi, penting untuk diingat, saya harus menyebutkan bahwa keyakinan ini harus diteliti dalam bentuk vertikal vis-á-vis (berhadapan dengan) kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa, dan hanya dalam format itu kita dapat menjaga konsep tawhid yang menyatakan bahwa Allah adalah Pemegang Kekuasaan Mutlak dan sumber segala kekuasaan. Ini juga mengingatkan kita akan kebergantungan total hamba-hamba pilihan itu kepada kehendak dan kekuasaan Allah yang memerintahkan Nabi-Nya untuk berkata. "Katakanlah : Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. " (Qs. al-A'raaf [7]:188) Perkataan Nabi ini bukanlah sebuah penafian bahwa beliau tidak memiliki kekuasaan; sebuah penegasan keyakinan bahwa kekuasaan apa saja yang beliau miliki bersumber dari kehendak dan keridaan Allah Swt.

3.        Wilâyah: Spritual vs Politik
Cendekiawan yang menulis artikel dalam Bio-Ethics Encyclopedia (di dalamnya ia menulis bahwa Nabi Saw "tidak meninggalkan arahan tersurat (eksplisit) ihwal suksesi yang menggantikan peran memegang peran wewenang (Wilâyah) agama dan politik "telah menimbulkan pembahasan yang hangat di tengah umat. Tanggapan-tanggapan  yang  ditulis  cendekiawan ini kepada umat dan komentar-komentar yang kemudian ia buat dalam sebuah majlis Muharram 1419 di Toronto, memberikan gambaran bahwa ia masih bingung tentang  konsep wilâyah ini.

a.        "Hanya Wilâyah Spiritual, bukan Politik"
Pertama, cendekiawan ini mengklaim bahwa wilâyah Nabi dan para Imam hanyalah wilâyah spiritual dan bukan politik. Ia berkata :
"Sebenarnya, Nabi Saw tidak pernah dikenal sama sekali sebagai pemimpin politik. Tidak, itu sama sekali tidak benar. Nabi dikenal sebagai Rasulullah, pembawa risalah Tuhan. Tidak ada politik, tidak ada bahasa politik yang dilekatkan padanya. Tidakkah ini yang diajarkan oleh ilmu pengatahuan moderen kepada kita; cara Iran mengatakan kepada kita berulang kali bahwa Nabi Saw adalah seorang pemimpin politik. Tidak. Beliau dikenal secara azasi dan esensial sebagai seorang Nabi Allah.[47]
"Tugas kenabian adalah membimbing umat kepada kesempurnaan. Dan kesempurnaan tidak dapat dicapai secara perorangan – ia harus dilakukan sebagai anggota dari umat. Umat bermakna sebuah komunitas di bawah seorang nabi sebagai nabi, bukan sebagai pemimpin politik.
"Kini kita ketahui mengapa "man kuntu mawlahu fa hadza Aliyun mawlahu" berarti sesuatu yang teramat-sangat penting. Nabi Saw bisa saja berkata, man kuntu khalifah fa hadza khalifa'. Dan beliau juga dapat berkata "man kuntu hakiman fa hadza hakiman."
Ia tidak menggunakan setiap istilah yang kita gunakan dalam istilah politik dalam mengemban wewenang pemimpin politik dan sebagainya.
"Lihat susunan kata yang dipilih oleh Allah Swt dalam membimbing. Lagi pula, Nabi Saw adalah "ma yantiqu 'anil hawa in huwa illa wahyun yuha." Beliau diberikan perintah-perintah. "Mawla" apa arti kata mawla ini? Allah Swt berfirman dalam al-Qur'an "wal kafirun laysa lahum mawla." Kaum kafir tidak memiliki mawla. Mereka tidak memiliki seorang mawla – mereka tidak memiliki pelindung, penjaga, mereka tidak memiliki seseorang yang memelihara mereka. Inilah arti mawla.."[48]
Cendekiawan ini berkata bahwa nubuwwat tidak termasuk kepemimpinan politik, dan kata mawla yang digunakan oleh Nabi Saw di Ghadir Khum tidak bermakna khalifah (pengganti peran politik) atau hakim (pengatur). Dengan kata lain, ia mengeluarkan dimensi ketiga dari wilâyah dari istilah "mawla" dan membatasinya kepada dimensi kedua (bimbingan ruhani). Dalam usahanya untuk meyakinkan jamaahnya, ia membuat kesalahan hipotetikal dan gramatikal kalimat-kalimat Arab yang tidak ada makna sama sekali. Sebagai contoh, kalimat "man kuntu khalifah fa hadza [lahu] – barangsiapa yang menjadikan aku sebagai penggantinya, maka ini dia penggantinya." Apakah khalifa' (pengganti) Nabi Saw adalah salah seorang hadirin ketika itu? Tentu saja tidak; dan inilah alasan mengapa beliau tidak  menggunakan istilah "khalifah" dalam hadis al-Ghadir.
Sebagaimana yang telah kita bahas pada bagian-bagian sebelumnya (bagian keempat dari buku ini), untuk dapat mengerti makna "mawla" yang digunakan oleh Nabi Saw untuk Imam Ali, Anda tidak perlu pergi terlalu jauh. Hanya menimbang pertanyaan yang beliau tanyakan kepada kaum muslimin yang hadir di hadapan Ali sebagai "mawla". Nabi Saw bertanya kepada mereka, "Apakah aku lebih memiliki wewenang atas diri kalian lebih atas wewenang kalian atas diri kalian sendiri? A lastu awla bi kum min anfusikum?"[49]
Ketika itu mereka menjawab, "Tentu saja, Wahai Rasulullah," lalu beliau bersabda: "Man kuntu mawla fa hadza Aliyun mawlahu – barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya." Nabi Muhammad Saw niscaya tengah membicarakan seorang pemimpin yang lebih memiliki wewenang (awla) atas orang-orang melebihi wewenang atas diri mereka sendiri, dan juga termasuk wewenang dalam urusan politik. Dan, oleh karena itu, Nabi tidak perlu lagi berkata "man kuntu ['alayhi] hakiman, fa hadza ['alayhi] hakiman."
Cendekiawan kita ini melanjutkan pembicaraannya :
"Nabi Saw ketika memperkenalkan wilâyah Imam Ali di tengah umat, apa yang beliau katakan? Man kuntu mawla fa hadza Aliyun mawlahu." Apa yang dimaksudkan oleh beliau adalah bahwa "Siapa saja yang memandang aku sebagai contoh teladan untuk diikuti hingga mencapai keselamatan," Ali adalah orang yang harus diikuti." Pertanyaannya adalah pertanyaan ketaatan. Mawla, adalah seseorang yang harus ditaati, seseorang yang tidak boleh dipandang enteng. Dalam istilah ini, Allah adalah mawla. Allah adalah mawla dari diin, jalan itu yang di atasnya kalian tidak mampu tebus untuk menentang Allah Swt....."[50]
Apakah kalimat di atas ini dan ketaatan dibatasi hanya kepada urusan-urusan spiritual belaka dan tidak termasuk urusan-urusan sosial-politik?

Hadis dari Abdulah bin Mas'ud       
Untuk membuktikan poinnya bahwa deklarasi al-Ghadir tidak cukup tersurat untuk menyampaikan makna "khilâfat" dalam pengertian suksesi politik, cendekiawan kita ini berkata:
"Nabi tidak pernah memaksa. Setelah ia kembali dari Ghadir ke Madinah; suatu malam ketika beliau di rumah dengan Abdullah bin Mas'ud. Beliau berkata kepada Abdullah bahwa utusan Tuhan (malaikat maut) telah datang dan menghendaki kalau aku pergi; Nabi Saw telah menerima kabar tentang kematian beliau. Abdullah berkata, sebenarnya kabar ini terjadi setelah peristiwa Ghadir, Menunjuk seorang pengganti." Iya. Inilah yang sebenarnya yang beliau katakan. Mengapa Anda tidak menunjuk Abu Bakar?" Nabi menggelengkan kepalanya dan berkata, tidak. Beliau menyebutkan satu persatu orang yang hadir di situ malam itu. (Aku tidak tahu nilai hadis ini; Syaikh Mufid menyebutkannya dan aku menukilnya dari Syaikh Mufid. Saya di sini tidak bermaksud menguji dan menilai seberapa otentik hadis ini. Tapi, saya ingin katakan kepada Anda ini menunjukkan keadaan pada suatu umat. Jika hadis ini benar, hadis ini menunjukkan keadaan umat.[51] Hadis Abdullah berlalu; dan Nabi bertanya, "Apa yang seharusnya saya lakukan?" Abdullah berkata. "Mengapa Anda tidak menunjuk 'Umar, mengapa Anda tidak menunjuk Utsman?" Dan akhirnya 'Abdullah berkata, "Mengapa Anda tidak menunjuk Ali?" Dan Nabi berkata, dan ia lemah kali ini, Duhai aku berharap, mereka mentaati. Aku berharap mereka mentaati."[52]
Pertama, percakapan antara Nabi dan Abdullah bin Mas'ud tidak terjadi di Madinah setelah deklarasi al-Ghadir sebagaimana cendekiawan ini para pendengar meyakininya ("Sebenarnya, ini setelah Ghadir). Pada permulaan dari kisah ini, Abdullah berkata, "Kami pergi keluar bersama Rasulullah Saw pada malam pengutusan jin hingga kami [tiba] tinggal beberapa saat di 'Ula." 'Ula adalah sebuah tempat Nabi berhenti dalam perjalanannya menuju Tabuk.[53]
Kedua, peristiwa yang dihubungkan dengan utusan jin terjadi ketika Nabi dalam perjalanan menuju Tabuk pada tahun 9 H.[54]  Dan peristiwa Ghadir Khum terjadi pada tahun 10 H.
Ketiga,  sesuai dengan metodologi para cendekiawan Barat, tidak akan menjadi hasil dengan nama yang diusulkan oleh Abdullah bin Mas'ud sendiri sebagai sebuah indikasi bahwa hadis ini adalah hadis yang dibuat kemudian (baca: palsu)? Mengapa para cendekiawan Barat begitu cepat menolak hadis-hadis yang dinukil oleh Syiah yang bermuatan nama-nama para imam dengan kelanjutan layak tapi tidak memberlakukan standar ketat (baca : meragukan) terhadap hadis-hadis Sunni? Jawabannya mudah. "Aku berkata bahwa aku tidak tahu nilai hadis ini....." Pertanyaan saya hanyalah , mengapa membuat umat bingung dan menciptakan keraguan dalam kejelasan sabda Nabi Saw pada deklarasi al-Ghadir dengan menukil sebuah hadis Abdullah bin Mas'ud secara tidak bertanggung jawab?
Dengan landasan rapuh ini, cendekiawan kita ini mengambil sebuah kesimpulan dengan berkata :
"Sangat terang, ada pertanyaan besar terhadap peran agama yang dimainkan oleh Nabi Saw di tengah umat. Umat melihat sendiri bahwa ia didirikan di bawah kepemimpinan Nabi Saw. Ketika ia pergi, seseorang harus menggantikan kedudukannya – dengan wewenang yang sama.   Dan hari ini adalah hari dimana kita masih mencari penafsirannya."
Alhamdulilah pengikut sejati Nabi Saw memahami tafsiran sebenarnya pada peristiwa Ghadir Khum sendiri. Dan semoga Allah Yang Maha Kuasa menolong mereka yang masih mencari penafsiran yang sebenarnya dari istilah "mawla" dan status "waliyullah" ini.

Arti imâmah
Dengan ceramah yang sama, cendekiawan kita ini lebih jauh menjelaskan arti imâmah dengan berkata :
"Sistem keyakinan berkata bahwa setiap orang yang memiliki hak untuk wajib ditaati setelah Nabi Muhammad Saw adalah Ali bin Abi Talib. Hal ini berarti imâmah. Anda buka kitab-kitab ilmu Kalam, Anda akan temukan para mutakallimin (teolog) menjelaskan Imam Ali sebagai, seseorang yang harus ditaati oleh umat. Mengapa ia harus ditaati? Karena ia duduk persis di tempat Nabi Muhammad Saw ....
"Imam Ali merupakan imam sejak Nabi Muhammad Saw wafat. Terlepas dari apakah ia menjadi khalifah atau tidak. Bagaimana ia dapat menjadi imam tanpa menjadi seorang khalifah, tanpa duduk di singgasana? Itu bukan syarat utama. Karena ketaatan sudah memadai menggantikan kedudukan  Nabi Muhammad Saw."
Untuk mempertahankan tulisannya dalam Bio-Ethics Encylopedia, cendekiawan ini telah membagi "imâmah" dan "khilâfah" menjadi dua ranah yang berbeda: "imâmah" menjadi sebuah maqam spritual sementara "khilâfah" menjadi sebuah maqam politik. Katanya, "imâmah tidak lebih dari itu", dan bahkan dengan tegas meminta orang-orang yang mendengarkan cerahmahnya (audience) untuk "membuka kitab-kitab ilmu kalam (teologi)...."
Jadi, kita buka kitab-kitab ilmu Kalam dari berbagai masa dan menemukan komentar-komentar cendekiawan ini berbanding terbalik dengan yang berlaku secara umum (mainstream) dalam keyakinan Syiah dalam makna dan cakupan "imâmah."
Syaikh Mufid (wafat 413 H/1022 M) mendefinisikan "imâm" sebagai berikut: "Imam adalah orang yang memiliki kepemimpinan komprehensif dalam urusan agama dan juga urusan dunia sebagai pengganti nabi."[55]
Allamah Hilli (wafat 726 H/1325 M) mendefiniskan imâmah sebagai berikut: "imâmah merupakan sebuah wilâyah universal (riyâsa) dalam urusan agama dan dunia yang dimiliki oleh beberapa orang dan berasal dari (niyaba) nabi."[56]
 Abdur Razzaq Lahiji (wafat 1072 H) mendefinisikan imâmah sebagai berikut: "Ketahuilah bahwa imâmah adalah sebuah wewenang atas orang-orang baligh dalam urusan duniawi sekaligus urusan agama berdasarkan kepada penggantian nabi."[57]
Allamah Tabatabai' (wafat 1401 H/1981 M) menulis, imâmah dan kepemimpinan agama dalam Islam dapat dikaji dari tiga perspektif yang berbeda: Dari perspektif pemerintahan islami, ilmu pengetahuan dan dustur-dustur islami, dan kepemimpinan serta bimbingan spiritual. Syiah meyakini bahwa karena umat Islam sangat membutuhkan bimbingan dari ketiga aspek di atas, orang yang menjalankan fungsi sebagai orang yang memberikan bimbingan dan merupakan pemimpin umat dalam ketiga aspek di atas harus diangkat oleh Allah dan Nabi."[58]
Bahkan Murtada Muthahhari menyebutkan bahwa ketika Syiah menggunakan istilah "imâm", tidak hanya mencerminkan bimbingan spiritual dan kepemimpinan, tapi juga termasuk kepemimpinan sosial dan politik.[59]
Sebagaimana yang Anda lihat, seluruh mutakallimin dan ulama-ulama besar Syiah sepakat dalam definisi Imam sebagai sebuah kedudukan yang menggabungkan kepemimpinan spiritual/religius sekaligus kepemimpinan sosio-politik/duniawi. Bagi seorang Syiah, Ali adalah Imam yang pertama sekaligus Khalifah Rasulullah yang pertama. Seorang Syiah tidak akan pernah berkata bahwa Ali adalah Imam yang pertama tapi bukan khalifah bila fasl (langsung menggantikan Nabi, karena ada tiga khalifah sebelumnya, -penj.) Nabi. Perbedaan antara Syiah dan Sunni bukan masalah kepemimpinan spiritual; tapi pada masalah kepemimpinan sosial-politik segera setelah wafatnya Nabi. Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, pandangan bahwa Ahlulbait "pembimbing spiritual saja bukan pemimpin politik" adalah keyakinan yang bisa ditemukan di kalangan Sunni secara umum dan kaum Sufi secara khusus.[60]

b.        "Politik Juga"
Lalu ceramah pada tanggal 6 Muharram 1419, cendekiawan kita ini, dengan sebuah cara, membantah komentarnya di atas. Ia berkata :
" ..Kenyataan yang masih tersisa bahwa al-Qur'an memandang Nabi Saw sebagai pemimpin umat, dan sebuah umat yang mencakup ranah agama, sosial dan politik. Dengan kata lain, mencakup kehidupan sipil, moralitas umat yang dipandu oleh seseorang, yang memiliki wewenang komprehensif, yang tidak dapat diterima oleh suku-suku Arab. Ketika peristiwa al-Ghadir terjadi, satu dimensi yang menantang dari peristiwa al-Ghadir adalah sebuah perkenalan konsep Qur'ani ihwal kepemimpinan. Wilâyah bermakna kepemimpinan, yang menggabungkan antara wewenang sipil dan akhlak dalam diri seseorang.
Artinya tidak ada pemisahan kekuasaan. Tidak ada gereja dan negara seperti ini, kecuali wewenang sipil dan akhlak tergabung dalam diri orang tersebut yang memegang pos wilâyah  ini. Apa yang baru tentang masalah ini? Hal yang baru adalah bahwa dalam budaya Arab, bangsa Arab tidak pernah melihat seorang pemuda yang mengemban tugas sebagai pemimpin. Dalam budaya Arab tidak mungkin bagi seorang pemuda berusia tiga puluh tahun menjadi seorang pemimpin, karena bangsa Arab percaya bahwa orang tua yang harus menjadi pemimpin...[61]
Lagi pada ceramahnya yang kedelapan, ia berkata :
"Pertanyaan utama adalah apakah Islam merupakan sebuah sistem politik atau sebuah sistem agama? Ada dua pendapat mengenai hal ini. Banyak ulama yang bersilang pendapat ihwal masalah ini termasuk, Ayatullah Khui, Ayatullah Mutahhari, Ayatullah Khomeini, al-Ashmawi di Mesir, al-Jabiri di Maroko...Bagiku ada masalah penting yang terkait di sini. Jika kita  mengatakan bahwa Islam bukan merupakan sebuah sistem politik, dan hanyalah sebuah sistem keagamaan yang hanya peduli pada usaha manusia kepada kesempurnaan dan menyiapkannya untuk akhirat, maka kita telah mengingkari peran utama yang dimainkan oleh Nabi dalam membentuk umat ini. ..
"Sembilan per sepuluh ajaran Islam terdiri dari muamalat, bagaimana Anda dapat berhubungan dan berinteraksi satu sama lain, bagaimana Anda mengelola urusan-urusan Anda di dunia ini karena apapun yang Anda lakukan di dunia ini memiliki implikasi pada dunia akhirat kelak. Dalam agama seperti ini, mengatakan bahwa Islam hanya sebuah agama tanpa sistem sosial adalah mengingkari kebenaran wilâyah. Sebenarnya, jika Anda mengingat kuliah saya pada malam kelima sebelumnya, karena wilâyah bermakna moral, wewenang sosial yang dapat menuntun Anda kepada tujuan utama penciptaan, dan tujuan utama penciptaan ini tidak akan diketahui hanya dengan salat lima kali sehari, berpuasa, tapi mengetahui bagaimana dapat hidup sebagai manusia dalam sebuah masyarakat. Sebaliknya, tidak akan ada otoritas sipil, Nabi Saw hanya dapat kita sebut sebagai an-nabi ar-ruhi..."[62]
Pernyataan ini memang benar. Mengapa cendekiawan kita ini pada ceramah keduanya berkata: "Nabi tidak pernah dikenali sebagai pemimpin politik"? Baguslah ia telah membuat klarifikasi dan berkata bahwa Nabi Saw tidak hanya sebagai pemimpin agama, tapi juga sebagai pemimpin politik. Setelah perang dunia pertama, ada sebuah debat yang hangat di Mesir tentang Westernization melawan Islam, mencoba mensekulerkan Islam dengan membatasi khilafat pada masalah-masalah spiritual dan memisahkannya dengan sistem politik ummat. Ali Abdur Raziq menulis al-Islam wa Usuluhul Hukm (1925) mengajukan usul pemisahan sempurna antara agama dan negara dalam Islam.[63] Gagasan-gagasan yang sama mencuat ke permukaan akhir-akhir ini dalam tulisan-tulisan intelektual muslim yang terpengaruh oleh gagasan-gagasan liberal/sekuler Barat.

4. Peran Para Imam di mata Ulama Najaf dan Qum
 Lalu pada ceramahnya yang kesembilan, cendekiawan kita ini menimbang peran spiritual dan politik Nabi Saw dan para Imam As. Dan kini secara mengejutkan ia mengklaim bahwa bahkan ulama-ulama besar di Qum dan Najaf memiliki pandangan yang berbeda tentang masalah ini. Ia berkata :
" ...Najaf dan Qum terbagi dalam perdebatan hangat tentang peran politik Nabi. Najaf sebagai salah satu pusat pengkajian Syiah, dan Qum, kini pusat terpenting pengkajian Syiah terbagi menjadi dua pandangan tentang peran Imam...Najaf memegang sikap konservatif terhadap peran Imam. Mereka meyakini bahwa agama memiliki sebuah fungsi moral (akhlak), sebuah fungsi etis bukan sebuah fungsi politik, termasuk Ayatullah Khui, yang pendapatnya banyak dinukil orang. Ia tidak meyakini bahwa wilâyah Imam Ali bin Abi Talib As perlu untuk mewujudkan dirinya secara politis karena Imam As tetap sebagai pemimpin secara spiritual, moral, etis tanpa memandang apakah orang-orang membai'atnya atau tidak. Pendapat ini dibantah oleh Ayatullah Khomeini sendiri."[64]
Cendekiawan ini ingin meninggalkan kesan dibenak para pendengarnya bahwa bahkan ulama Qum dan Najaf pun memiliki pendapat yang berbeda ihwal peranan Imam dalam pandangan orang-orang Najaf terbatas pada ranah spiritual (an-sich), sementara Qum melebarkannya dan juga memasukkan ranah politik ke dalamnya.
Tidak ada yang dapat diajukan sebagai kebenaran. Ulama Syiah Najaf (yang dicontohkan oleh almahrum al-Khu'i) dan Qum (yang dicontohkan oleh almahrum al-Khomeini) memiliki pandangan yang sama tentang Wilâyah Nabi dan para Imam. Perbedaan yang mengemuka di antara mereka bukan pada masalah wilâyah para Imam, namun pada perluasan wilayat-e faqih, otoritas seorang faqih. Lagi pula, dalam masalah wilâyat-e faqih pembagian bukan antara Qum dan Najaf; ulama di antara dua kubu dalam masalah ini, di Qum dan juga di Najaf.
Sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya, seluruh empat dimensi wilâyah Nabi dan para Imam adalah termasuk daruriyat al-mazhab (usul aqidah Syiah), sehingga bagaimana bisa ulama-ulama besar Syiah memiliki pandangan yang berbeda ihwal masalah in?
Berkenaan dengan pandangan almahrum Ayatullah al-Khomeini tentang Wilâyah Nabi dan Ahlulbaitnya, saya akan mengutip ceramahnya tentang wilâyat-e faqih. Ia berkata :
"Untuk membuktikan bahwa pemerintah dan otoritas dimiliki oleh Imam tidak hanya bermakna bahwa Imam tidak memiliki kedudukan spiritual. Imam tentu saja memiliki dimensi-dimensi spiritual yang tidak bersambung dengan fungsinya sebagai penguasa. Kedudukan spirtual Imam adalah khilâfah universal Ilahi  yang kadang-kadang disebut oleh para Imam As. Khilâfah yang berkenaan dengan seluruh penciptaan, dengan keutamaan yang seluruh partikel-partikel atom di alam semesta merendahkan diri mereka di hadapan pemegang otoritas ini. Ini adalah salah satu usul aqidah mazhab Syiah bahwa  tidak ada seorang pun dapat mencapai kedudukan para imam tersebut, bahkan tidak juga oleh para malaikat dan para nabi. Kenyataanya, sesuai dengan hadis-hadis yang sampai ke tangan kita, Nabi Saw dan para Imam As – dalam  bentuk cahaya – telah   ada sebelum penciptaan semesta ini, mereka bersemayam di bawah arsy Ilahi; kedudukan mereka jauh lebih unggul dari manusia-manusia lain dalam sperma yang kemudian tumbuh dan berkembang dalam susunan fisik mereka. Kedudukan agung mereka ini hanya dibatasi oleh kehendak Ilahi, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Jibril terekam dalam hadis-hadis tentang mi'râj: "Jika aku mendekat seujung jari, niscaya aku akan binasa."[65]
Ayatullah Khomeini, ketika menegaskan kepemimpinan politik Nabi dan para Imam, ia tidak mengingkari atau mendemistifikasi wilâyah universal mereka.
Kini tiba giliran pandangan Ayatullah al-Khu'i tentang wilâyah Nabi Saw dan Ahlulbait As yang saya nukil dari transkrip kuliah-kuliahnya. Ia berkata :
"Tentang dimensi pertama dari wilâyah [takviniyah, universal], secara jelas tidak ada keraguan terhadap otoritas mereka atas seluruh penciptaan sebagaimana telah jelas dalam hadis karena mereka dalam mata rantai penciptaan, melalui mereka [berlanjut] eksistensi, dan mereka adalah hujjah [sebab] diciptakannya alam semesta ini; jika bukan karena mereka, Allah tidak akan menciptakan manusia seluruhnya, manusia telah diciptakan untuk berkhidmat kepada mereka, melalui mereka manusia wujud, dan mereka adalah wahana tercurahnya anugerah Tuhan.
"Sebenarnya, mereka memiliki otoritas (wilâyah) universal persis di bawah Sang Pencipta sendiri; otoritas mereka ini adalah sama dengan otoritas Allah Yang Maha Kuasa pada penciptaan, namun, masih di bawah otoritas Tuhan dalam penciptaan."[66]
 Kemudian, al-Khui juga berbicara tentang otoritas sipil/politik Nabi As dan para Imam As, katanya:  
"Berkenaan dengan dimensi kedua dari wilâyah at-tashri'iyya dalam pengertian bahwa mereka memiliki otoritas untuk secara mandiri mengatur kekayaan dan kehidupan manusia – secara jelas, tidak ada perdebatan ihwal otoritas ini...Ini dibuktikan dari hadis-hadis yang telah diuji kebenarnya, dan dalam hajjatul wida' [Nabi bersabda], "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya. Apakah aku lebih memiliki otoritas terhadap kalian melebihi otoritas atas diri kalian sendiri?" Mereka berkata: " Ya..."[67]
Ayatullah al-Khui, dalam menegaskan wilâyah universal Nabi Saw dan para Imam As,  ia tidak mengingkari otoritas politik mereka. Pada hakikatnya, ia lebih jauh menjelaskan :
"Dan anggapan bahwa sejarah bertentangan dengan ini [dalam artian bahwa para Imam secara historis tidak menunjukkan otoritas politik mereka] .....tidak sahih."
Lalu ia menyimpulkan,
"Jadi jangan menggunakan [otoritas dalam artian sejarah] tidak membuktikan  tidak adanya otoritas ini karena hal ini sudah jelas."[68]
Hakikatnya, dua faqih besar kontemporer dunia Syiah yang mewakili Qum dan Najaf memilki pandangan yang serupa tentang wilâyah para Imam Ahlulbait As. Keduanya meyakini empat dimensi wilayat tersebut – spritual, sosio-politik, dan universal – Nabi dan para Imam. Ikhtilaf yang ada di antara mereka hanya pada batasan wilâyah seorang faqih (mujtahid) selama masa ghaIbnuya Imam Zaman Ajf.
Bagaimana mungkin seorang cendekiawan, yang menulis buku The Just Ruler (Sang Penguasa Adil) pada otoritas faqih, tidak tahu perbedaan antara wilâyah para Imam (yang disepakati oleh fuqaha Syiah) dan wilâyah faqih (dengan ikhtilaf tentang batasan wilâyah di kalangan fuqaha Syiah)?

5. Wilâyah  dan Aqidah?
Dengan merujuk kepada kontroversi seputar artikelnya dalam Bio-Ethics Encyclopedia, cendekiawan ini membuat komentar dalam ceramahnya yang keempat pada bulan Muharram 1419 :
"Bagaimana mungkin hal seperti itu memecah-belah umat bila ini bukanlah sebuah masalah yang penting, dan bahkan bukan bagian dari aqidah."
Merujuk pada peristiwa Ghadir Khum, ia berkata :
"Peristiwa itu adalah peristiwa sejarah: Apa hubungannya dengan aqidah kita? Jadi jika saya berkata dalam artikel bahwa Nabi tidak meninggalkan arahan tersurat tentang penggantinya, apakah saya menyusuri jalan berbahaya bagi keselamatan agama Ahlulbait? Ataukah saya tengah memenuhi hak saya sebagai seorang peneliti untuk melihat apa yang tertera pada kitab-kitab sejarah?"
Apakah masalah wilâyah dan imâmah ini adalah sebuah bagian sepele dan "bahkan bukan merupakan bagian dari aqidah?"
Sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya pada awal-awal bagian keenam dari buku ini, dalam Islam tersebut sebuah istilah yang dikenal sebagai "dharuriya, jamak dari dharuriyah" yang berkenaan dengan masalah-masalah penting dari agama kita. Dharuriyah terbagi menjadi dua bagian:
"Dharuriyat ad-din" – bagian esensial dari aqidah Islam dan "dharuriyah mazhab" – bagian esensial dalam mazhab Syiah." Sudah menjadi pendapat umum bahwa siapa saja yang mengingkari salah satu dari dharuriyat ad-din, maka ia tidak lagi dipandang sebagai seorang muslim; dan siapa saja yang mengingkari salah satu bagian dari dharuriyah al-mazhab, maka ia tidak lagi dipandang sebagai pemeluk mazhab Syiah.
Bagaimanakah kedudukan aqidah dalam Wilâyah Ahlulbait: Apakah ia salah satu bagian dari daruriyat atau tidak? Ketika mendiskusikan kedudukan kaum muslimin di luar Syiah, Ayatullah Khui mendefinisikan wilâyah (dalam pengertian kecintaan terhadap Ahlulbait) sebagai salah satu bagian daruriyat ad-din, dan wilâyah (dalam pengertian khilafah dan kepemimpinan politik) sebagai salah satu bagian daruriyah al-mazhab. Almarhum Ayatullah al-Khui berkata :
"Dimensi wilâyah yang esensial adalah wilâyah dalam pengertian kecintaan dan ketaatan, dan mereka [Sunni] tidak mengingkari Ahlulbait dengan pengertian ini bahkan mereka menyatakan kecintaan mereka terhadap Ahlulbait As....
"Tentu saja, wilâyah dalam pengertian suksesi (khilâfah) merupakan bagian penting dalam mazhab [Syiah], tapi bukan merupakan bagian terpenting dari agama."[69]
Jadi sesuai dengan Ayatullah al-Khui, wilâyah dan imâmah dalam pengertian suksesi (khilâfah) adalah sebuah bagian esensial (dharuri) dalam mazhab Syiah, siapa saja yang mengingkari dimensi wilâyah ini tidak termasuk dalam mazhab Syiah. Ia masih dianggap sebagai muslim bukan sebagai seorang Syiah.
Berkenaan dengan pertanyaan bahwa dengan mengingkari eksplisitnya (jelas) penunjukkan Imam Ali, apakah cendekiawan kita ini "sedang menyusuri jalan yang berbahaya bagi hidupnya agama Ahlulbait?"
Baiklah, agama Ahlulbait akan senantiasa hidup karena ia memiliki Imam yang menjaganya meskipun dalam masa ghaib; tapi komentar-komentar seperti ini sudah tentu akan melemahkan aqidah orang-orang awam kita. Anda harus melihat apa akibat dari komentar ini: akan meminimalisir kesalahan terhadap Ahlulbait dan memberikan bentuk pengesahan (legitimasi) terhadap pandangan Sunni.  Seorang Sunni akan melebarkan argumen ini lebih jauh bahwa karena Nabi Saw tidak membuat masalah wilâyah ini cukup jelas, maka sahabat telah melakukan yang terbaik untuk Islam! Seorang Syiah yang telah menghadiri ceramah-ceramah ini berkata "Apa masalahnya jika kita meyakini bahwa Ali adalah Imam yang pertama (dalam pengertian spiritual) dan keempat khalifah (dalam pengertian sosio-politik)!" Dengan sikap bersahabat seperti ini, kita tidak akan lagi memiliki musuh.

6. Koreksi  Akhir
Selang beberapa saat sebelum datang ke Toronto pada tahun 1988 yakni untuk mengisi acara Muharram (1419), cendekiawan kita ini mengirim koreksi atas ceramah-ceramahnya kepada penerbit buku Bio-Ethics Enclyopedia. Koreksi tersebut sebagai berikut :
"Muhammad wafat pada tahun 632 M, setelah membawa bangsa Arab di bawah pemerintahan Madinah. Namun, meskipun ia secara tersurat mengangkat sepupu dan anak-mantunya, Ali untuk menggantikannya, ia tidak meninggalkan petunjuk tertulis ihwal proses politik selanjutnya."
Pernyataan ini ia kirim ke beberapa ikhwân di Toronto dan juga menyinggungnya pada salah satu ceramahnya pada Muharram 1419.
Kami memiliki komentar-komentar berikut ini berkenaan dengan perbaikan yang telah dibuat: Pertama, perbaikan yang telah dibuatnya pun masih tetap bermasalah. Ia telah mencoba untuk membagi suksesi ke dalam dua bagian: agama dan politik. Pada masalah suksesi agama, ia menulis bahwa Nabi Saw secara tersurat mengangkat Imam Ali As untuk menggantikannya. Kemudian ia secara terburu-buru mengkualifikasikan pengangkatan tersurat ini dan mengeluarkan suksesi politik dari pengangkatan ini dengan menulis :  "Ia (Nabi) tidak menulis petunjuk tertulis tentang proses politik selanjutnya." Pada ceramah Muharram-nya (1419) yang keempat, ia berkata: "Iya, al-Ghadir adalah sebuah pengangkatan tersurat (ekplisit), namun itu tidak berarti petunjuk tersurat tentang proses politik. Tidak ada catatan sejarah yang mendukung hal tersebut."
Sejak kapan "petunjuk tertulis" menjadi hal yang penting dalam mengerangka ajaran-ajaran Islam? Apakah seluruh struktur sistem Islam berdasarkan pada perkataan: al-Qur'an dan Sunnah? Tentu saja tidak ada petunjuk "tertulis" yang ditinggalkan oleh Nabi untuk segala hal, sehingga mengapa menciptakan bantal (landasan) yang baru untuk Sunni dalam mempertahankan argumennya dan balik menyerang Syiah dengan berharap pada sebuah petunjuk "tertulis" ihwal masalah khalifah? Bagaimana tentang seluruh sabda Nabi tentang pengangkatan Imam Ali bin Abi Talib sebagai khalifah?
Akankah petunjuk "tertulis" lebih bernilai daripada  petunjuk "lisan" Nabi? Apakah menentang petunjuk "lisan" Nabi Saw kurang mendapat azab dari petunjuk "tertulis"beliau? Allah Swt berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi "(Qs. al-Hujurat [49]:2)
Jika cendekiawan kita ini bermaksud untuk menyebut kisah tentang qirtas yang diminta oleh Nabi berupa sebuah pena dan kertas, lalu ia harus menulis seluruh kisah dan menunjuk orang yang bertanggung jawab karena tidak memberikan kesempatan pada Nabi Saw untuk meninggalkan apapun dengan tertulis.
Kedua, permainan dengan kata-kata seperti "pengangkatan" dan "petunjuk" sangat mengganggu. Pada hari Ghadir, Nabi Saw berbicara tentang semakin dekatnya ajal Nabi  Saw dan mendapatkan pengakuan dari kaum muslimin tentang tingkatan otoritas Nabi Saw terhadap mereka, dan lalu beliau mendeklarasikan bahwa: "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya." Lalu ia bersabda: "Aku tinggalkan dua hal kepada kalian: Kitâbullâh dan Itrahti, kalian tidak akan tersesat selagi kalian berpegang teguh kepadanya."
Dan kemudian ia memerintahkan para sahabat untuk datang dan memberikan selamat kepada Imam Ali dengan memanggilnya sebagai  "Amir" (pemimpin)." Ketika Anda mengamati seluruh qarînah (konteks) peristiwa al-Ghadir, bukankah petunjuk, pengangkatan, indikasi, kecendrungan (inklinasi), pelantikan – atau  apa saja yang Anda suka untuk menyebutnya – yang ada sebagai dalil kepemimpinan Ali bin Abi Thalib setelah wafatnya Nabi?
Untuk meyakini bahwa Nabi Saw tidak meninggalkan arahan tersurat  tentang pengganti kepemimpinan politiknya memberikan legitimasi  kepada khalifah Ahlisunnah. Jika sekiranya Nabi Saw tidak berkata tentang masalah ini dengan jelas, lalu bagaimana mungkin Syiah mengklaim bahwa Abu Bakar telah merampas haknya Ali bin Abi Thalib As? Perkataan seperti ini hanya akan menolong Ahli Sunnah, tidak lain.
Ketiga, dalam menyoroti komentar cendekiawan kita ini, siapa pun dapat berkata bahwa Ali adalah Imam (pengganti kepemimpinan agama dan spiritual) tapi bukan sebagai Khalifah (pengganti kepemimpinan politik)! Saya tidak tahu bagaimana nantinya cendekiawan ini berbicara tentang deklarasi Nabi pada Da'wat dzul 'Ashira yang menopang bahwa Ali adalah "penggantiku" (khalifati)
Dalam ilmu Kalam Syiah, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, tidak ada perbedaan antara "imâmah" dan "khilâfah". Implikasi dari dua hal ini adalah sederhana: Ali – dalam hubungannya dengan Nabi – adalah Khalifah dan penggantinya; dan Ali – dalam hubungannya dengan ummat – adalah Imâm dan pemimpin mereka. Jadi dalam mendefinisikan "imâmah" sebagai sebuah pergantian peran pemimpin agama dan "khilafah" sebagai sebuah pergantian peran pemimpin politik bertentangan dengan implikasi-implikasasi Imâm dan Khalifah. Ali merupakan Imâm kaum muslimin dalam urusan agama sekaligus dalam urusan politik, dan demikian juga, Ali adalah Khalifah Rasulullah dalam urusan agama sekaligus dalam urusan politik.  Karena didepak dari kedudukan politiknya tidak akan mengurangi hakikat kebenaran. Dalam bahasa Sayyid al-Khui, "Tidak menggunakan [wilâyah] tidak dapat dijadikan  bukti bahwa wilâyah tidak ada."
Pemisahan kepemimpinan menjadi dua, agama dan politik sejatinya telah menjadi sejarah tersendiri versi Ahlisunnah. Keempat khalifah pertama mengemban kepemimpinan politik dan agama yang pada masa itu disebut sebagai "al-Khalifatu ar-Rasyida" (khalifah yang dibimbing secara hak)". Setelah itu, para khalifah tersebut mengemban kepemimpinan politik tapi kepemimpinan agama diemban oleh orang lain. Dalam  dunia fiqih, sebagai misal, keempat Imam (Sunni) muncul sebagai pemimpin padahal pada saat yang sama ada beberapa khalifah yang memerintah. Dalam ilmu Kalam, Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi muncul sebagai pemimpin. Dalam tasawuf, beberapa ustadz (dan bahkan beberapa Imam Syiah) diterima sebagai mursyid dan pemimpin mereka.
Syiah tidak menganut paham pemisahan kepemimpinan politik dan agama (baca; sekularisme, -AK.) para Imam As merupakan pembimbing dan pemimpin puncak dalam seluruh aspek kehidupan: dalam urusan agama, politik, hukum dan ilmu kalam. Oleh karena itu, sebagai contoh, Imam Ja'far Sadiq As tidak hanya merupakan pembimbing hukum orang-orang Syiah, tapi ia juga adalah pemimpin puncak dalam seluruh arti, bahkan jika beberapa dimensi dari kepemimpinannya tidak mengejewantah.[]
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar