Pages

Senin, 28 November 2011


BAB I
Pendahuluan
A.     Latar belakang
Hadirnya bulan suci Ramadhan menjadi berkah bagi semua umat muslim dan tidak menutup kemungkinan yang non muslimpun mendapatkan berkah tersebut. Bagi umat muslim bulan suci ramadhan adalah bulan yang sangat mulia karena terdapat sesuatu yang sangat dinanti yakni malam Lailatul Qadr sehingga selalu menjadi perhatian bagi kaum muslim.[1](Iqbal, 2003)
Dengan melihat kaum muslim yang sangat antusias melakukan ibadah pada malam Lailatul Qadr yang kita kenal dengan malam yang memiliki kemulian yang lebih mulia dari pada serbu bulan.[2](pen.) tentunya secara psikologi memberikan efek tersendiri atas informasi yang sampai kepada kaum muslim yang berasal dari sebuah hasil intrepretasi ahli tafsir.[3](Abdul Fattah, 2006)
Hal ini menjadi pertanyaan bagi para cendikia muslim, apakah dapat diterimah informasi yang berasal dari sebagian yang menafsirkan surah al-Qadr dari kata Lailatul Qadr dari firman Allah Swt tersebut. Sehingga kaum muslim sangat menantikan malam yang telah dimuliakan itu sebagai hari yang sangat besar pengaruhnya karena dengan hari tersebut banyak dari kaum muslim menyita waktunya untuk tidak tidur dan melakukan ibadah. Hal ini tentunya harus sesuai dengan syarat yang bersesuaian dengan akal.[4](A.Athailah.2006)
Karena begitu banyak intrepretasi yang kita temukan dalam masalah ini, mengharuskan kita untuk membendingkan presfektif mereka. seperti presfektif para mufassirun, sufi dan para filusuf. Para mufassir pun kebanyakan berbeda pendapat dalam memandang yang namanya Lailatul Qadr ini. Seperti pendapat penulis tafsir Jalalain yang kita kenal dengan tafsir yang melihat secara kontekstual tersebut itu sangat berbeda pendapatnya pada tafsir Ibnu Kastir dengan tafsir bil hadisnya dan pendapat ahli tafsir lainnya.[5](Van Harskamp, 2005)
Dikalangan para mufassir pun terjadi perbedaan mengenai pendapat tentang kapan waktu lailatul qadr itu, perbedaan mengenai apakah malam mulia itu hanya untuk umat nabi Muhammad saja ataukah juga untuk seluruh manusia tanpa terkecuali dan pendapat selanjutnya adalah menyangkut pada masalah malam mulia yang dimiliki oleh para nabi-nabi sebelumnya.[6] (Muthahari, 2007)
Sedangkan para sufi sendiri dengan pengalamnya yang telah dicapai menafsirkan kata Lailatul Qadr. Mereka menafsirkannya yang tidak berasal dari hadis maupun ahli agama yang telah menulis banyak kita untuk dijadikan refrensi akan tetapi, mereka mendapatkan pengetahuan dalam menafsirkan itu berasal dari pengalaman spiritualnnya dalam menyingkap hijab-hijab kebodohannya.[7](Mulkhan, 2007)
Berbeda dengan para filusuf yang mengambil pemahaman dari teks Al-Quran dan hadis kemudian diberikan pemaknaan secara rasional. Mereka menggunakan akal untuk mengungkap sebuah makna karena mereka berpendapat akal dan wahyu itu setingkat dan tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain. Meski Ibnu Arabi berpendapat bahwa akal itu adalah anugerah  yang lebih dahulu diangerahkan kepada manusia dari pada wahyu.[8](Moh Shofan, 2010)
Dari ketiga metode penafsiran tersebut di atas antara mufassir dan filusuf tidak akan terlepas dari masalah kata atau teks, sementara antara teks dengan makna terkadang tidak sejalan dengan makna yang dipahami. Sebagai solusi yang harus kita ambil hanya menafsirkan sesuai dengan kebutuhan pada zaman tertentu atas relasi atas sebuah tindakan.[9](Ulil Abshar,2009)
Dengan begitu untuk mengetahui maksud dari suatu kata dan penggunaan kata sehigga dapat diketahui maksud yang ingin disampaikan oleh Allah Swt sebagai intrepretasi yang mendekati kebenaran dan tidak terjadi kesalahan pemaknaan atas ambiguitas sebuah kata.[10](Pateda, 2001)
Secara umum penggunaan kata yang dilakukan sesorang pada suatu zaman tertentu memiliki makna tertentu yang kadang akan mengalami perubahan makna. Menurut Sayyid Baqir Sadr dalam membahas masalah kata antara korelasi sebuah kata dan sejarah kata sehingga sesorang mengatakan sesuatu sehingga pendengarnya mampu memahami kata yang disampaikan[11](Sadr,1420H/1999M)
Belum lagi penggunaan kata ganti yang digunakan dalam bahasa arab yang terkadang membutukan banyak energi untuk mengetahui kepada siapa domir (kata ganti tersebut). Terkadang juga kata ganti yang ditemukan itu mengandung makna yang kedudukannya bukan sebagai kata ganti akan tetapi sebagai bentuk pengagungan sebagaimana dalam penggunaan kata ganti انا pada awal surah Al-Qadr.[12] (Ismail, 1421H/2000M)
Ketika beranjak dari sebuah pemikiran yang memiliki disiplin ilmu yang tinggi sehingga kita semua berharap agar pemikiran yang sampai kepada kita dapat diterima secara logis. Penulis ingin merujuk pada sorang mufassir yang hidup sezaman dengan kita sekarang yaitu Muhammad Husain Thaba’thabai dari karyanya Tafsir Al-Mizan.
Perlu diketahui bersama bahwa selain Dia adalah seorang mufassir yang hidup pada abab  Dia juga adalah seorang filusuf yang pemikirannya telah menjadi rujukan seluruh dunia dia juga seorang yang ahli dalam bidang fiqih dan berbagai karyanya yang lain mengenai ilmu agama.
Maka dari itu penulis mengambil sebuah Judul “Malam Lailatul Qadr Menurut Muhammad Husain Thaba’thabai”. Karena melihat Dia sebagai seorang mufassir kontemporer yang mampu memberikan sebuah tafsir dari disiplin ilmu yang dia miliki sebagai seorang fakih, mufassir dan seorang dilusuf.
1)      Rumusan dan Batasan Masalah
A.  Depenisi
a)      Lailatul Qadr secara etimologi
b)      Lailatul Qadr secara terminologi
B.     Pandangan tentang Lailatul Qadr
a)      Menurut para Mufassir
1.    Sunni
2.    Syiah
b)      Menurut para Sufi
c)      Menurut para Filusuf
C.     Lailatul Qadr menurut Muhammad Husain Thaba’thabai
a)      Biografi Muhammad Husain Thaba’thabai
b)      Karaya-karya Muhammad Husain Thaba’thabai
c)      Selayang pandang Muhammad Husain Thaba’thabai tentang Lailatul Qadr
D.    Tinjauan Sosiologi
a)      Siapa yang pertama kali mempertanyakan tentang kemuliaan Lailatul Qadr
b)      Kapan kaum muslim mulai menanti Lailatul Qadr
c)      Mengapa Lailatul Qadr berubah menjadi sebuah keudayaan
E.     Tinjauan Psikologi
a)      Apa hubungan manusia dengan hari-hari besar
b)      Mengapa perbuatan manusia berubah saat masuk kehari-hari besar
c)      Berapa jam waktu kaum muslim menghabiskan waktunya untuk berdoa


2)     Hipotesa Masalah
       Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka penulis mengajukan hipotesa sebagai landasan dalam membentuk prioritas kegiatan dalam penulisan, dan melalui tulisan ini akan diperoleh gambaran umum dan kesimpulan sementara sehingga dapat membantu dalam penguraian selanjutnya.       
1.      Setelah melihat beberapa kitab tafsir dan melihat pola pemikiran dari para mufassir yang memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentunya dibutuhkan sebuah tolak ukur untuk melakukan sebuah perbandingan dari beberapa intrepretasi dalam Al-Quran khususnya surah Al-Qadr.
2.      Bulan ramadhan adalah bulan yang dimuliakan dengan adanya Lailatul Qadr tentunya menjadi suatu pertanyaan yang muncul dalam benak kita sebagai orang muslim ada apa sebenarnya pada malam tersebut sehingga bulan yang ditempati pada saat Lailatul Qadr itu juga menjadi mulia dan membuat orang-orang muslim lebih antusias dalam melaksanakan ibadah khususnya ibadah malam.
Semangat beribadah orang-orang muslim pada malam Lailatul Qadr  merupakan pengondisian yang mendorong orang muslim untuk ikut serta dalam melaksanakan ibadah.
3.      Karena banyaknya penjabaran yang dilakukan oleh para ulama kita maka kita pun akan bingung dalam memaknai malam yang mulia tersebut sehingga dengan ini kita muncullah berbagai adat-adat yang dilakukan oleh masyarakat islam khususnya di Indonesia yang berdasarkan dari sebuah penafsiran yang masing-masing mereka pahami.

D. Pengertian Judul
       Berangkat dari judul “Lailatul Qadar menurut Muhammad Husain at-Thaba’thabai”. Maka penulis lebih dahulu menguraikan dan menjelaskan  pengertian judul yang dimaksud tersebut diatas, dan memberi beberapa hal yang dianggap penting untuk diberikan pengertian, yaitu:
1.      Lail adalah pergantian siang menjadi malam yang memiliki batasan dari terbenamnya matahari hingga teritnya fajar.
2.      Al-Qadr adalah buntuk masdar dari kata kerja QA, DA, RA dalam bahasa Arab yang berarti kehendak, kata qadar ini sering digunakan dalam beberapa ayat yang menyangkut tentang masalah kehendak Allah yang telah menjadi ketentuannya.
3.      Muhammad Husain at-Thaba’thabai adalah
4.      E. TINJAUAN PUSTAKA
     Berdasarkan hasil pengamatan dan pengkajian, penulis menggunakan metode library research / penelitian pustaka yaitu mengumpulkan data melalui kajian pustaka dengan membaca dan menelaah buku-buku yang ada relevansinya deengan judul yang diangkat. Tinjauan pustaka yang dimaksud dalam tulisan ini bertujuan untuk memudahkan akses informasi yang berkaitan dengan dengan penulisan ini.
     Adapun buku-buku yang penulis dapatkan dalam kaitannya dengan penulisan dalam kaitanya dengan tulisana ini antara lain.
1.   Tafsir mizan yang ditulis oleh Muhammad Husain Thaba’thabai
F.  METODE PENULISAN
     Dalam penyusunan tulisan ini, penulis menggunakan beberapa metode yang ditempuh dalam proses penyelesaiannya, antara lain:
1.   Metode Pengumpulan Data
Metode ini berhubungan dengan library research / kepustakaan, yaitu menggunakan buku yang berkenaan dengan judul tulisan ini.
Dari rizet pustaka ini, penulis  mengambil data dengan cara:
a.    Kutipan langsung, yakni penulis mengutip dari bahan-bahan yang relevan, tanpa ada perubahan kalimat dan redaksi.
b.   Kutipan tidak langsung, yakni pengutipan dalam bentuk ikhtisar, uraian sehingga terdapat perubahan kalimat aslinya, namun tidak bermaksud untuk mengurangi maksud dan tujuannya.
2.    Metode Pengelolaan Data dan Teknik Analisis Data
Data yang penulisan peroleh disusun  dengan baik dan sistematis , kemudian dikelola dengan kualitatif dengan baik dan analisis sebagai berikit:
a.    Induksi, ialah sesuatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan saat mengambil kesimpulan yang ilmiah dengan bertitik tolak pada pengamatan atas hal-hal atau masalah-masalah yang bersifat khusus, kemudian menari kesimpulan umum.[13]
b.   Deduksi ialah suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan dengan bertitik tolak pada hal-hal yang bersifat umum kemudian mengambil kesimpulan yang bersifat khusus.[14]
c.    Konfarati ialah hal yang sama dalam buku kemudian diperbandingkan dengan buku yang lain, baik menyangkut masalah hal yang mirip maupin hal yang berbeda.[15]
3.   Metode pendekatan
     Tulisan ini membahas tentang ekonomi islam sebagai sebuah alternatif bagi kerancuan ekonomi kapitalis,  pendekatan ini dikaji dengan kesejarahan dan dan humanisme. Artinya penulis banyak mengambil data-data masa lalu mengenai kejadian perekonomian  ekonomi dunia yang memiliki relepansi terhadap judul tulisan ini. Selain itu juga bersifat humanis  karena menggunakan pendekatan sosial dengan ciri khas prinsip keadilan, analisis, kritik, universal dan sistematis.

G. Tujuan dan Kegunaan
     Adapun tujuan dan kegunaan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.   Tujuan Penulisan
a.    Untuk mengetahui dan memahami hasil intrepretasi para Mufassir khususnya pada Al-Quran surah Al-Qadr dan
b.   Untuk melihat sejauh mana pengaruh pemikiran Sayid Muhammad Allamah Thaba’tabai terhadap penafsiran Al-Quran surah Al-Qadr dan perkembangan pemikirannya
2.   Kegunaan Penulisan
a.    Menambah wawasan, khususnya bagi penulis dan bagi mereka yang mempunyai minat dalam mengkaji pemahaman para mufassir tentang Lailatul Qadr.
b.    Memberikan konstribusi pemikiran baru tentang hal-hal yang berkenaan dengan         perkembangan pemikiran bagi para mufassir kususnya berkenaan dengan Lailatul Qadr.
c.    Memperkenalkan tokoh mufassir Al Quran islam dan pengaruhnya mulai dari mufassir klasik sampai kepemikir kontemporer saat ini.
d.   Sebagai syarat akademik PUSAT KAJIAN ISLAM MASYARAKAT INDIGENOUS INDONESIA.
H. garis-garis besar isi tulisan
Bab I latarbelakang dan mengenai tulisan kami
Bab II adalah depenisi dan pandangan para mufassir
Bab III Tinjauan Sosiologi dan psikologi
Bab IV adalah Lailatul Qadar dalam pandangan Muhammad Husain Thaba’thabai.
 kesimpulan dan saran-saran














Bab II
Pembahasan
A.     Konsep Lailatul Qadr  
1.  Arti al-Lail
Kata malam secara etimologi kata Lail ini tidak berasal dari sebuah kata kerja sebagaiman umumnya kata dalam bahasa arab suatu kata benda berasal dari kata kerja. Jadi untuk mengetahuai sebuah depenisi secara etiminologi maka kita cukup melihat pengggunaan kata lail yang digunakan pada orang arab sebagaimaa makna yang kita inginkan sekarang. Dari makna penggunaan kata tersebut kita dapat megetahui maka yang ingin disampaikan.[16]
Lail  adalah salah satu kata yang tidak memiliki kata dasar dari sebuah kata kerja. Dalam kamus Lisan al-Arab kata Lail secara etimologi diartikan sebagai peristiwa pergantian waktu yang diatasi dari terbenamnya mata hari sampai terbitnya pajar kembali.[17](Jamaluddin, 1426H/2005)
Penggunaan lail pada bahasa orang arab terdahulu yaitu memiliki batasan yang dimulai daritenggelamnya matahari sebagaimana perkataan Abu Zaid. “Aku melihat Al-Lailah dalam mimpiku hingga mata hari terbit.[18]
Dalam kamus Al-Qamus kata Lail dan bentuk jamaknya adalah Lailah juga diartikan malam.[19]() Dalam pendepenisian untuk memaknakan kata Lail penulis kamus merujuk pada Al-Quruan dalam penggunaan kata tersebut digunakan تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهار  yang artinya Memasukkan malam ke dalam siang.[20]
Dalam kamu Tahqiq kata lail atau bentuk kata lail yang mendapat tambahan “ya” menjadi lailî tidak memiliki perubahan makna yakni tetap bermakna malam dan adapun bentuk kata lail dan bentuk muannas (karena mendapat tambahan  “Tamarbutah”) juga tidak mengalami perubahan bentuk makna. Perubahan bentuk kata lail baik yang muzakkar maupun yang  muannas itu memiliki makna malam, sebagaimana pada kata tamar dan jamaknya tamarah juga menunjukkan makna yang sama yaitu qurmah. maksud pemaknaan ini telah mencakup semua malam yang memiliki batas dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar.[21]
Sedangkan pemaknaan yang lain yang lain dari kata lail ini adalah akibat hilang siang dan lawan dari kata siang itu sendiri secara leksikal telah dipahami oleh semua orang arab bahwa kata lail digunakan untuk makna malam.[22]
Dalam kamus Majmaah al-Bahraen didepenisikan dalam penggunaan kata lail dalam Al-Quran sebagaimana dalam surah Al-Muzammil 73: 2  قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا  نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا  أَوْ زِدْ عَلَيْه  maksud dari kata bangunlah untuk melaksanakan shalat diwaktu malam (kecuali sedikit darinya). Dahri sini kita melihat pemaknaan kata lail yang berarti malam
Dalam kamus al-Aîn, kata lail ini diartikan secara leksikal berarti malam yang sangat gelap yang menutupi cahaya matahari yang tiba ketika matahari telah tenggelam. Dalam kamus ini juga dijelaskan bahwa malam adalah lawan siang.[23]
Pada kebanyakan kamus yang telah dirujuk penulis melihat bahwa kata lail telah disepakati bahwa secara etimologi dalah malam yang secara uruf telah disepakatia batas malam tersebut yang dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar.
Sebagai penegasan dari pemaknaan kata lail penulis memaknakan kata lail sebagai lawan dari siang. Malam (Lail) dan siang (Nahar) adalah tidak dipahami sebagai sebab dan akibat, sebagaimana kita katakan siang adalah seebab terjadinya malam atau sebaliknya. Akan tetapi, malam dan siang ini adalah gejala beriringan. Sebagaiman Allah berfirman[24](Alif Sampayya,2007)
تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهارِ وَ تُولِجُ النَّهارَ فِي اللَّيْلِ
Artinya: “Allah memasukkan malam ke dalam siang....”
2.  Arti Al-Qadr
Dalam kamus Lisan al-Arab kata al-Qadr berasal dari kata kerja Qa, Da, dan Ra yang berarti berkehendak, kata al-Qadr ini sering digunakan dalam salah satu sifat dari sifat Qudusia-Nya yang orang-orang arab mengartikannya sebagai yang Maha  Mampu. Sedangkan dalam pengertian lainya kata al-Qadru diartikan sebagai ketetapan atau hukum sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surah Al-Qadr “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam Lailatul Qadr. Kata al-Qadr berarti hukum karena didalamnya dibedakan segala perkara yg menyagkut dengan masalah hukum.[25]
Dalam kamus at-Tahqiq al-Qadr secara leksikal berasal dari kata kerja Qa, Da, Ra berarti kehendak dalam artian akulitasi perbuatan, adapun kata Al-Qadr atau merupakan kata bendanya (isim) yang berarti penetapan (taqdiran).[26]
Dalam kamus al-Mufradat kata al-Qadar didepenisikan secara leksikal sesuai dengan pengunaan kata tersebut dan penyifatanya atas objek yang mengikuti kata Qadr. Dalam kamus ini dijelaskan bahwa, jika sekiranya kata Qadr ini disifatkan kepada manusia maka akan bermakna sebagai kemungkinan akan manusia (insan) melakukan sesuatu akan tetapi, jika sekiranya kata Qadr ini disifatkan kepada Allah maka akan bermakna sebagai bentuk penafian atas Allah Swt atas kelemahan-Nya (Ajuz) yang artinya Dia mampu segala sesuatu.[27]
Pemakanaan al-Qadr atau sewazan dengannya yang dilihat dari kata dasarnya yaitu Qa, Da, Ra bagaimana dalam ayat-ayat yang lain Allah menggunakan yang sewazan dengan kata ini. Maka dapat dilihat secara seksama pada beberapa ayat berikut.
إِذْ تَمْشي‏ أُخْتُكَ فَتَقُولُ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلى‏ مَنْ يَكْفُلُهُ فَرَجَعْناكَ إِلى‏ أُمِّكَ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُها وَلا تَحْزَنَ وَ قَتَلْتَ نَفْساً فَنَجَّيْناكَ مِنَ الْغَمِّ وَ فَتَنَّاكَ فُتُوناً فَلَبِثْتَ سِنينَ في‏ أَهْلِ مَدْيَنَ ثُمَّ جِئْتَ عَلى‏ قَدَرٍ يا مُوسى
Artinya: (yaitu) ketika saudara perempuanmu berjalan (di dekat istana Fira‘un), lalu ia berkata kepada (keluarga Firaun), ‘Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?’ Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita. Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan. Setelah itu kamu tinggal beberapa tahun di antara penduduk Madyan, kemudian kamu datang (ke sini) menurut waktu yang ditetapkan (untuk menerima risalah) hai Musa.(Qs. Thaha[20]:40)
أَنِ اعْمَلْ سابِغاتٍ وَ قَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَ اعْمَلُوا صالِحاً إِنِّي بِما تَعْمَلُونَ بَصيرٌ
Artinya: (Kami berfirman kepadanya), “Buatlah baju-baju besi yang besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan. (Qs. Saba:[34]11)
وَ جَعَلَ فيها رَواسِيَ مِنْ فَوْقِها وَ بارَكَ فيها وَ قَدَّرَ فيها أَقْواتَها في‏ أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَواءً لِلسَّائِلينَ
Artinya: Dia menciptakan di atas bumi itu gunung-gunung yang kokoh. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa, persis seperti kebutuhan orang-orang yang memohon.(Qs.Al-Fusilat[41]:10)
Dari beberapa ayat  di atas diantara sekian banyak ayat yang menggunaka kata qadr secara tekstual berdasarkan ayat di atas menunjukkan dua pemaknaan yaitu terkadang kata qadr itu sendiri bermakna ukuran dan ketentuan.
Menurut Jalaluddin Rakhmat ada dua pemaknaan kata “Qadr” yaitu  pertama berarti ketentuan Tuhan yang berkaitan dengan hidup dan mati kita, suka dan duka, sehat dan sakit kita. Secara rill dapat kita ketahui bahwa yang ditetapkan itu adalah berupa hal-hal yang berada di luar jangkauan akal dan pengetahuan manusia.[28](Rakhmat,2005)
3.      Arti Lailatul Qadr
Setiap kata memiliki makna leksilal yang dapat dipahami oleh setiap orang secara umum. Namun, secara umum dalam sebuah kata dalam sebuah teks dapat berbeda dengan makna leksila atau bermakna ganda (Musytarakul makna).[29](Al-Jauziah,2003) Jika kata tersebut digunakan pada sebuah makna yang sesuai dengan makna tersebut, maka kata tersebut akan memiliki makna sesuai dengan konteks. Oleh karena kita harus memiliki acuan yang berada di luar bahasa, kata tersebut hanya merupakan tanda bahasa.
Penelitian makna kontekstual dan sistem tanda bahasa dalam kata Lailatul Qadr  bertujuan agar dapat mengaitkan peranan makna kontekstual dengan makna dalam pemahaman para ahli tafsir dan hubungannya dengan kebiasaan orang-orang muslim dalam mengaktualisasikan Lailatul Qadr tesebut.[30](Lechte,2001)
Berdasarkan akan hal inilah, kita melihat bahwa pemahaman suatu teks tidak cukup dengan mengetahui makna leksikanya saja, akan tetapi kita juga haru mengetahi  makna kontekstualnya dan bagaimana kita mengkaji makna tersebut dan menghubungkannya dengan makna tekstualnya. Akan tetapi penulis disini terlebih dahulu mengungkapkan makna tekstualnya sebagai dasar untuk mengetahui hubungannya secara kontekstual.[31](Wibowo.)
Kata Lailatul Qadr tersusun oleh dua kata yaitu kata Lail dan Al-Qadr, sebagaimana depenisi sebelumnya dari beberapa kamus kata Lail itu dimaknakan sebagai malam. Sedangkan kata Al-Qadr itu sediri di dalam kamu dimaknakan secara masyhur sebagai kehendak, sedangkan pemaknaan berdasarkan Al-Quran kata Al-Qadr diartiakan sebagai ketentuan dan ukuran.[32](Azra,2005)
Dapat dilihat bentuk penggunaan kata pada Lailatul Qadr dalam ilmu nahwu disebut sebagai susunan mudaf ilaih yang secara hukum adalah menunjukkan bentuk makrifah (sesuatu yang telah diketahui). Penggunaan bentu kata tersebut menunjukkan akan adanya sesuatu yang ditetapkan secara makrifah berdasarkan pemaknaan dari kata Al-Qadr itu sendiri. Artinya apa yang telah turunkan itu telah diketahui.[33](Malik,2003)
Dari sini kita dapat melihat gambaran umum pemaknaan atas kata Lailatul Qadr  berdasarkan teks sebagaimana yang dikemukakan di atas sebagai malam yang di dalamnya terdapat pemaknaan, pertama adalah kehedak tuhan yang telah jelas dalam suatu malam tertentu, kedua adalah malam tertentu yang telah ditentukan ukuran
Menurut Muhammad B. Murtada bahwa Lailatul Qadr secara muthlak memiliki tiga makna yaitu sebagai berikut:
 Pertama adalah malam yang ditetapkan di dalamnya hingga akhir. (أحدها ليلة يقدر فيها الخ) maksudnya adalah yang ditetapkan di dalamnya seolah-olah di penetapannya seperti penetapan pada hari kiamat.
 kedua. Malam yang di dalamnya terdapat ketentuan maksudnya adalah malam dilahirkannya nabi Muhammad Saw dan keluargannya berdasarkan lafat ketetapan pada malam tersebut dan pengangkatan nabi Muhammad Saw sebagai nabi.
ketiga. Malam yang di dalamnya Allah menetapkan atas sesuatu.
Berdasarkan pendepenisian tersebut di atas kita dapat mempertanyakan bahwa kalau seandainya malam tersebut adalah malam yang telah diketahui secara teksnya maka kapankah malam itu.
Dalam surah Ad-Dukhan (44):3-4 disebutkan bahwa:
 وَ الْكِتابِ الْمُبينِ إِنَّا أَنْزَلْناهُ في‏ لَيْلَةٍ مُبارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرينَ.فيها يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكيمٍ
Artinya: Demi Kitab (Al-Qur’an) yang menjelaskan. Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah pemberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.
Ayat ini menjelaskan secara umum bahwa malam yang dimaksud adala malam dimana Al-Quran diturunkan. Secara lebih lebih terperinci dijelaskan dalam surah Al-Baqarah [2]:185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ
Artinya: Bulan ramadhan di dalamnya diturunkan Al-Quran(Al-Baqarah[2]:185)
Meski telah dijelaskan secara lebih terperinci dalam Al-Quran tentang waktu Lailatul Qadr yang terdapat dalam bulan ramadhan hanya saja tidak ada yang mengetahui secara waktunya secara tepat. Dalam hadis pun nabi Muhammad Saw hanya menggambarkan waktu Lailatul Qadr secara umum sebagaiman Dia bersabda,
Artinya: “Hendaklah kalian mencari Lailatul Qadr pada sepuluh terakhir dari Bulan ramadhan.(H.R. Bukhari-Muslim)
Rasulullah Saw hanya menjelaskan tanda-tandanya denga hadis-hadis yang mustahil terjadi sesuai dengan sunnatullah yang telah ditetapkan olehnya. Sebagaimana terdapat cerita bahwa ketika Lailatul Qadr ketika turun, maka air akan membeku, air sungan yang mengalir akan berhenti, tumbuh-tumbuhan tunduk tenang, alam raya terlihat cerah dan sebagainya.[34](Muhammad Sobari,2005)
Adapun ulama yang mengatakan Lailatul Qadr itu ada di bulan ramadhan juga terjadi perbedaan pendapat. Sebagian besar ulama mengatakan bahwa Lailatul Qadr terdapat pada sepuluh terakhir ramadhan dan sebagian yang lain berpendapat bahwa Lailatul Qadr itu terdapat  di setiap bulan ramadhan.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar, bahwa terdapat banyak sekali perbedaan pendapat dikalangan ulama dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di atas. Dari sini Dia mengemukakan bahwa sekitar 40 perbedaan pendapat berkenaan dengan masalah ini. Diantaranya adalah pendapat yang menyatakan Lailatul Qadr itu berada pada malam ke-27, dan dan ada juga yang menyatakan bahwa malam Lailatul Qadr itu berada pada malam ke-21. Akan tetapi ketika kita berlandaskan pada hadis di atas maka kita hanya akan mendapatkan informasi yang masih mubham (belum jelas).[35](Fajar,)
Dengan demikian sulit untuk kita tentukan waktu kapan Lailatul Qadr itu. Disini sebagian ulama berbeda pendapat mengenai waktu Lailatul Qadr. Sebagian ulama mengatakan bahwa Laialatul Qadr itu hanya terjadi satu kali, sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa Lailatul Qadr itu terjadi disetiap bulan suci ramadhan dan sebagian besar lainnya berpendapat bahwa Lailatul Qadr itu tidak terikat oleh waktu dan bisa saja terjadi kapan pun Allah inginkan sesuai denganketentuaanya.[36](Jarjawi,2006)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu Lailatul Qadr itu terjadi disetiap tahun di bulan ramadhan. Pendapat mereka berlandaskan dari sebuah hadis yang shahih menurut mereka, sebagaimana bunyinya.
قد روي الخاري في افرداه من حديث ابن عباس عن النبي (ص) انه قال: التمسوها في العشر الأواخر من رمضان, في تاسعة تبقي  او سابعة تبقي  او في خامسة تبقي )رواه البخار)
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Nabi Saw bersabda, “Carilah malam qadr  pada sepuluh malam terakhit bulan ramadhan. Yaitu pada malam kesembilan, ketujuh dan kelima dari sepuluh malam terakhir bulan ramdhan itu (yaitu malam ke 21,23,25,27 dan 29 bulan ramadhan.)
وفي حديث ابي بكرة قال: ما انا بملتمسها لشي سمعة من رسول الله (ص) الا في العشر الاواخر، واني سمعته  سقول:
التمسوها في تاسعة تبقين،  او سبع تبقين  او  خمس تبقين، او ثلاث يبقين، او آخر ليلة.
Artinya: Dalam sebuah riwayat Abu Bakar berkata
Mereka yang berpendapat bahwa malam Lailatul Qadr berada pada setiap malam bulan ramdhan berlandaskan pada hadis nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim. Nabi Saw bersabda,
من حديث ابي سعيد الخيدري عن النبي (ص) انه قال: ابتغوها في الوتر منها
Artinya: Hadis yang diriwayatkan oleh Abi Said al-Haidari dari Nabi Saw bersabada. Carilah malam Lailatul Qadr di malam ganjil.
       Mengenai masalah penentuan malam sebagaimana yang telah dipahami oleh berbagai intrepretasi yang telah dikemukakankan di atas, apakah Lailatul Qadr yang dimaksud adalah malam yang telah ditentukan waktu dan hanya khusus kepada nabi Muhammad saja.
       Dari literatur para mufassir inilah akan dibuktikan secara periwayatan dari riwayat yang telah disandarkan kepadanya dari hasil intrepretasi seorang mufassir. Dapat kita lihat bahwa kebanyakan dari riwayat yang kita temukan menunjukkan bahwa malam mulia itu hanya untuk nabi Muhammad saja, karena selain Dia dan sampai saat ini tidak ada lagi orang yang mererima wahyu.
       Dalam surah Ad-: 2 dijelaskan bahwa “(2) Demi Kitab (Al-Qur’an) yang menjelaskan, (3)sesungguhnya Kami Dukhan menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah pemberi peringatan.
       Akan tetapi disebutkan pula dalam sebuah riwayat mengenai waktu Lailatul Qadr  yang terdapat pada semua malam pada bulan suci ramadhan. Adapun nas yang menunjukkan hal ini dapat dilihat dari hadis berikut.
حدثنا ابو كريب, قال ثنا و كيع, عن سفيان, عن ابي اسحاق, عن سعيد بن جبير عن ابن عمر, قال: ليلة القدر في كل رمضان

Artinya: Abu Karib menceritakan kepada kami, dari Sufyan, Abi Ishaq, Said bin Jabir, dan dari Abu Amra. Berkata, Bahwa Lailatul Qadr itu ada di dalam setiap malam pada bulan ramadhan. [37](Jarir At-Thabari)
       Menurut penulis sebelum kita melihat pemaknaan yang dilakukan oleh  pada ahli tafsir terlebih dahulu kita menjelaskan bagaimana meteodologi para ahli tafir dan kritik atasnya sebagai sebuah meteodologi pendekatan yang digunakan penulis sebagai langkah untuk melanjutkan tulisan ini.
4.    Proses literatur penafsiran
Sebagai teks bahasa, Al-Quran dapat disebut sebagai sebagai wadah keilmuan dimana di dalamnya kita hanya mendapatkan teks-teks yang bermakna universal, tentunya membutuhakan interpretasi untuk mengungkap makna-makna yang bersifat khusus (partikular).[38](Nurdin,2006)
Interpretasi atas teks ini membawa kita sebagai masyarakat awam memahaminya dengan  menyakininya sebagai sebuah interpretasi akan tetapi di kalangan masyrakat intelektual interpretasi yang didapatkan tidak serta merta diterima karena interpretasi seseorang  itu tidak cukup dijadikan dalil ilmiyah.[39](Ihromi,2006) Sedangkan secara sosial di kalangan masyarakat secara umum akan menyakini informasi pertama yang telah sampai kepada mereka sebelum mengadakan perivikasi atas informasi tersebut. Sedangkan informasi kedua yang sampai kepada mereka dalam kasus yang sama tentunya mereka akan melakukan perivikasi terlebih dahulu dengan tidak serta merta meninggalkan informasi yang pertama.
Salah satu pengaruh dari interpretasi yang dilakukan oleh para ahli tafsir adalah membentuk sebuah peradaban dan budaya pada masyarakat yang bersangkutan. Sehingga ketika kita menghubungkan kepada masyarakat islam dimana dalam islam Al-Quran yang hanya berbentuk teks dijadikan sebagai sumber rujukan atau sebagai sentral keilmuan dan sebagai sumber rujukan atas aplikasi keilmuan.[40](Abdul Salam,2008)
Dengan demikian jika seperti itu adanya maka para ahli tafsir dengan dengan latar belakang disiplin ilmu yang berbeda akan yang menghubungkan pemahamannya pada teks Al-Quran sesuai dengan disiplin ilmunya. Menurut Feud, tingkah laku manusia itu dipengaruhi oleh sistem pengalamannya.[41](Hashim,2003) Begitu pula kondisi lingkungan para ahli tafsir yang secara geografis yang berbeda juga sebagai salah satu sebab mengapa penafsiran yang ada dihadapan sangat beragam.[42](Hayes,2006)
Oleh karena itu , proses literatur penafsiran disini harus kita bahas kembali sebagai salah satu metode penelitian atas pemaknaan Lailatul Qadr . sebab dari dari proses literatur ini kita akan  mengetahui bagaimana pemaknaan teks atas lafat Al-Qadr dini dan pengaruhnya terhadap kondisi sosial dan prilaku sosial dari hasil interpretasi ahli tafsir.[43] Dan menyampaikan beberapa cara para ahli tafsir dalam memahami sebuah teks dan bagaimana penulis menggunakan meteodologi yang penulis anggap lebih signifikan digunakan dalam proses penelitian ini.
Penulis disini secara umum mengungkapkan bagaimana beberapa disiplin ilmu yang secara umum mengambil alih masalah pemaknaan terhadap sebuah teks dan pemahaman atasnya. Adapun yang dimaksud adalah para ahli tafsir, para filusuf, dan para Ahli kalam dalam menafsirkan lafat Lailatul Qadr. Karena mereka memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pemikiran islam, baik itu pemikiran klasik atau moderen.[44](Al-Qaradhawi,1995)
Ahli tafsir yang dimaksud disini adalah orang-orang yang menafsirkan teks Al-Quran untuk mengungkapkan makna dengan menggunakan beberapa meteodologi pendekatan. Adapun metedeologi pendekatan  yang digunakan untuk memahami teks berdasarkan hadis atau riwayat(tafsir bil hadis), pemaknaan suatu teks (Al-Quran) dengan menggunakan Al-Quran(tafsir bil Quran).
Tafsir Al-Quran Bil Hadis adalah proses  pengungkapan makna yang masih bersifat universal agar dapat dipahami makna partikularnya dengan menggunakan riwayat dan hadis dari Nabi Saw dan orang-orang yang disucikan. Sebagaimana kita dapatkan dalam beberapa buku tafsir misalnya, Tafsir Ibnu Kastir yang menerapkan pemahamannya dengan menyandarkannya pada hadis-hadis Nabi Saw.[45](Qardhawi,1999)
Sedangkan Tafsir Al-Quran Bil Quran adalah proses pengungkapan makna atas sebuah ayat dengan menggunakan ayat Al-Quran untuk mengetahui makna atas teks Al-Quran sebagaimana kebanyakan para ahli tafsir menggunaka meteodologi ini secara umum.[46]
Selanjutnya ahli tafsir yang mengunakan kaidah-kaidah akal untuk memahami maksud dari sebuah teks. Kaidah ini sering digunakan oleh para filusuf dalam memahami sebuah teks. Konsep akal yang digunakan dan kaidah-kaidah interpretasi yang sangat relevan dengan ayat-ayat yang susah dipahami.
Teologi
Para filosof islam
Disini kita akan membahas kaidah-kaidah ahli tafsir yang menggunakan penafsiran yang menggunakan riwayat dan hadis. Karena disini terdapat banyak permasalahan yang timbul dalam penafsiran dengan menggunakan hadis. Karena butuh ketelitian dan kecermatan dalam memilih hadis untuk kita gunakan untuk memahami teks Al-Quran.
Adapun hal-hal yang selalu bermasalah dalam riwayat dan hadis adalah masalah periwayatan, isi kadungan riwayat dan singkronisai asbabul furudhnya dengan hadis yang akan digunakan untuk pemaknaan atas teks Al-Quran disini.
Banyaknya riwayat yang sampai kepada kita menimbulkan banyak kemungkinan-kemungkinan akan adanya kesalahan dalam pengkhabaran dari perawi, kemungkinan hadis yang diriwayatkan tidak sesuai dengan permasalahan akan tetapi digunakan  pada masalah tersebut sehingga kita masih merasakan kebimbangan atas hadis tersebut.[47]
Kita dapat mengambil sebuah hadis yang secara tingkatannya masuk kepada kategori mutawatir dengan alasan bahwa banyaknya orang yang meriwayatkan akan mengantarkan kita kepada ketenangan (ithmi’nam) meskipun sebenarnya tidak mengantarkan kepada kita kepada keyakinan.[48] Hadis yang mutawatir disini memiliki kekuatan paling tinggi dalam memberikan hujjah atas pemaknaan.
Terkadang kita juga kesulitan dalam melihat bentuk periwatnya yang sama-sama kuat sehingga kita kesulitan untuk menentukan atasnya pada dali-dalil yang saling bertentangan (taârud baina adilla). Salah satu contoh sebagai bukti yang menunjukkan akan bertentangannya suatu riwayat adalah pada masalah Lailatul Qadr. Ketika hal ini menjadi permasalahan yang sangat mendalam dan memiliki riwayat yang sama kuatnya maka dilihatlah bentuk matangnya.
 Akan tetapi, perluh diketahui bahwa dalam mengambil riwayat untuk dijadikan sebagai landasan suatu masalah membutuhklan persyaratan. Menurut Syafi’i untuk mengambil suatu riwayat maka kita harus mengambil riwayat yang bersumber dari perawi yang memiliki sikap terpercaya (Stiqah), adil dan pandai (Dhâbith).  Apabila kita menggunakan ukuran ini sebagai tolak ukur riwayat itu menjadi Shahi maka banyak hadis yang tergolong shahi sebelumnya menjadi tidak shahi.[49](Ismail, 1995)
Menurut Syekh Muhammad Al-Gazali, kritik atas metode penanfsiran dengan mengunakan metode tafsir bil hadis adalah sebagian buku-buku tafsir yang ada dihadapan kita terkadang  memasukkan hadis dhaif  ke dalam beberapa pendapatnya demi memperkuat pernyataanya, sementara dapat kita lihat bahwa dibeberapa kitab tafsir kita dapatkan memasukkan hadis dhaif sementara ahli tafsir lainya mengutif pada tafsir tersebut dengan mengutif hadis daif tersebut.[50] (Al-Gazali,2008)
Meskipun dalam islam terdapat toleransi atas hadis-hadis daif jika sekiranya ada pada tataran amalan-amalan sunnah (Tasamuh Fi Adillati as-Sunan). Akan tetapi kita tidak membahas amalan-amalna sunnah yang ada pada Lailatul Qadr secara khusus. Akan tetapi kita berusaha mengungkap sesuatu yang lebih mendekati kebenaran.
Penulis disini hanya berusaha membandingkan pendapat-pendapat para ahli tafsir yang tentunya tidak terlepas dari riwayat-riwayat. Dengan ini kita harus menghadirkan beberapa pendapat yang berkenaan dengan pembahasan kita ini.
Adapun jalan yang harus kita lakukan adalah memandingkan riwayat yang saling belawanan pada masalah matangnya dan hadis yang terdapat masalah pada perawinya, Sehingga dapat dijadikan sebagai dalil agar lebih dapat dipercaya dan tentunya tidak menutup kemungkinan masih bisa salah. Menurut Ibnu Al-Mubarak(w. 181 H) (seorang ulama pada masa awal), bahwa untuk mencapai sebuah pernyataan autentik mengenai pernyataan autentisitas sebuah hadis, maka kita perlu membandingkan perkataan ulama dengan ulama yang lainnya.[51](Amin, 2009)
Menurut Baqir Sadr tidak mungkin nabi Muhammad Saw mengatakan sesuatu hal yang saling bertentangan atau dalam suatu objek permasalahan terjadi dua kebenaran jika memang seperti itu halnya maka meniscayakan nabi belum sempurna keilmuannya.
Dengan demikian mengantarkan kepada kita suatu konsep pemahaman baru terhadap tek-teks Al-Quran yang terkadang sebagaian ayatnya tidak dijelaskan oleh hadis secara detail. Maka dari itulah kita harus membahas kembali bagaimana konsep pemahaman teks Al-Quran yang digunakan oleh para ahli tafsir klasil(ortodoksi) ahli tafsir moderen (kontemporer.
Sebagaimana telah kita singgung sebelumnya bahwa kita para ahli tafsir tidak serta merta memaparkan apa yang dipahaminya berkenaan dengan sebuah teks Al-Quran sebelum merujuk ke beberapa pendapat ahli tafsir sebelumnya. Dengan demikian interpretasi klasik sangat menunjang pemikiran-pemikiran kontempor yang ada di tangan kita sekarang, sebagaimana pengaruh interpretasi dari Ibnu Abbas atas para ahli tafsir setelahnya.
Dalam pembahasa Lailatul Qadr sebagian besar buku-buku tafsir mencantumkan pendapat Ibnu Abbas pada bagian pertama sebagai sebuah rujukan. Pendapatnya ialah Lailatul Qadr sebagai malam dimana Allah menurunkan Al-Quran secara sekaligus dari Lauh al-Mahfudhz ke Bait al-Izzah dari langit bumi. Kemudian turun kepada pada nabi Muhammad Saw secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun.
Ini adalah penafsiran yang sangat kolot akan tetapi dari sini membuka pemikiran ahli tafsir dalam memahami proses penurunan Al-Quran. Yaitu secara sekaligus dan berangsur-angsur. Sehingga para interpreter kontenporer dapat memberikan interpretasinya secara rasional.


5.    Lailatul Qadar dalam Al-Quran
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ.وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ.لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ.تَنَزَّلُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ.سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ.
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam Lailatul Qadr. Dan tahukah kamu apakah malam Lailatul Qar itu?. Lailatul Qadr lebih baik daripada seribu malam. Pada malam itu, para malaikat dan ruh (malaikat Jibril) turun dengan izin Tuhan mereka untuk menentukan segala urusan.. Malam itu (penuh) dengan kesejahteraan hingga terbit fajar.
a.    Asbabu an-Nuzul
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْر.
Masyhur dalam beberapa kitab, para ahli tafsir mengungkapkan bahwa ayat ini adalah berkenaan  dengan  turunnya al-Quran sebagaimana para ahli tafsir menyebutkan bahwa. Lafad inna anzalnahu adalah diturunkannya Al-Quran pada nabi Muhammad secara keseluruhan dari Baitul Izzah yang terdapat pada langit dunia.[52](Adulrahman,....)[53](Muhammad Muktar,1400H)[54](Yusuf Al-Ma’ruf,...)
Riwayat asbabun nuzul ayat ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Mujahid berkata. Bahwa ada seseorang dari Bani Israil menghidupkan malamnya hingga subuh , kemudia di waktu siang dia berjihad. Oleh karena itu amalannya ini disebut sebagai malam yang lebih mulia dari pada seribu bulan.[55](Adullah,1421 H)
b.    Pengkajian secara teks.
Perlu diketahui bahwa terdapat keunikan dalam Ayat ini, Allah menggunakan bahasa yang sangat puitis dalam mengungkapkan pemaknaan Lailtatul Qadr  penggunaan bahasa simbol sehingga sulit dipahami secara teks maksud dari surah ini.
Untuk mengetahuinya secara lebih terperinci, penulis ingin memaparkan pemaknaan secara teks makna dari kandungan kalimat yang tersusun atas beberapa kata. Sebagaimana telah kita bahas pada sub bab proses literatur bahwa untuk mengetahui makna suatu kalimat tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu makna kata perkata yang telah digunakan pada kalimatnya. Maksudnya adalah kita mencoba memberikan pemaknaan atas kata tersebut dengan menggunakan kamus yang lebih dekat dengan zaman tersebut. Marilah kita melihat susunan kata dari kalimat inna anzalnahu fi lailatul qadr.[56](Sudarmoyo,2009)
Pertama adalah penggunaan kata inna yang dalam bahasa arab diartikan sebagai kata ganti untuk (kami). Kita bisa melihat pemaknaan kata inna ketika diletakkan dalam kalimat. Sebelumnya kita mengetahui bersama bahwa terkadang Allah Swt menggunakan kata inni (Saya) dalam menciptakan sesuatu sebagaimana di dalam surat Al-Baqara[2]:30. “Inni Jailukum Fil ardhi Khalifah” dan pada terkadang juga Allah menggunakan kata inna (kami) dalam melaksanakan suatu perbuatan, sebagaimana di dalam surat Al-Kaustar Allah berfirman. “inna a’taina kalkaustar”, dalam surat Al-Hujr[15]:10. “inna nahnu nazzalna zikra...” menurut Fahru Ar-Razi penggunaan kata ganti inna digunakan dalam firman Allah terkadang mengandung pengagungan terhadap sesuatu.[57](Ar-Razi,604H)
Menurtu Sadiqi kata inna adalah menunjukkan atas pengagungangan atas apa yang diturunkan pada malam Lailatul Qadr karena kata inna pada awal ayat ini  adalah segala bentuk Taarbiyaatu Rabbaniya dalam artian dalam proses pengajaran ini malaikat juga ikut andil dalam menyanpaikan masalah turunnya Al-Quran kepada nabi Muhammad.[58](Sadiqi, 1998)
Menurut Taqalani kata inna pada awal ayat ini adalah menunjukkan atas dhomir (kata ganti) yang merupakan Fail (pelaku) yang menunjukkan atas penegasan dan pengagungan serta pengkhusuan ketika bertemu dengan kata kerja setelah yaitu menurunkan (anzala-yunzilu) yang membutuhkan obejek yaitu Al-Quran, jadi penggunaan kata inna disini merupakan pengagungan atas diturunkannya Al-Quran.[59](Taqalani,1983)
Selanjutnya adalah kata nazala dalam ayat ini. Kata nazala-yanzulu-nuzul. Dalam kamus Lisanul Arab kata ini bermakna turun sedangkan dalam bentuk wazan (perubahan kata) dalam bahasa arab yaitu salah satunya adalah wazan afala-yufilu-ifalan. Yaitu anzala-yunzilu-inzalan dalam kamus Lisanul Arab bermakna menurunkan.[60] Orang arab menggunakan kata kerja ini ketika pemaknaan untuk menurunkan sesuatu secara sekaligus.[61](Malik,2003)
Setelah memahami kata tersebut secara makna dan perubahan bentuk katanya (wazannya), sekarang kita akan mengidentifikasi kata kerja anzala pada kalimat ini. Allah Swt menggunakan kata kerja past tance atau dalam istilah bahasa arabnya disebut sebagai fiil madhi (bentuk kata yang menunjukkan telah).[62]
Selanjutnya kita melihat kata anzala-yunsilu-inzalan dalam pandangan ilmu nahwu. Kata ini adalah tergolong kata kerja yang muta’addi atau kata kerja yang membutuhkan objek. Dalam bahasa indonesia pun kata kerja “menurunkan” adalah kata kerja yang membutuhkan objek. Apakah objek yang diturunkan oleh Allah dengan menggunakan simbol pengagungan ini?.
Selanjutnya adalah mengkaji kata selanjutnya yaitu terdapat dhamir (kata ganti) atau dalam ayat ini disebutkan inna anzalnahu. Apakah yang dimaksud dalam dhamir ini?, tentunya kita memahami bahwa kata kedudukan dhamir ini sebagai objek (mafulbih). Jika demikian maka kita memberikan pemaknaan ayat ini bahwa Allah menurunkan sesuatu secara sekaligu pada malam Al-Qadr sebagaimana telah kita depenisikan sebelumnya.[63](Nashir,1421H)
Menurut Ibnu Kastir Hu (dhamir) ini, yang dimaksud adalah Al-Quran. hal ini berlandaskan pada ayat kedua sampai keenam. dari surat Ad-Dukhan yang artinya sungguh Allah menurunkan kitab (Al-Quran) pada malam yang berkah.
Menurut Fakhru ar-Razi makna dari dhamir ini adalah Al-Quran, kerena hal ini menunjukkan atas pengagungan yang ditujuhkan pada Al-Quran dilihat dari tiga sisi. Yaitu pertama terdapat pengkhususan  dengan apa yang Allah turunkan, kedua adalah terdapat dhamir tanpa kata benda yang nampak sebelumnya, dan ketiga adalah adanya pengutamaan waktu pada saat diturunkan.
Jadi makna dari ayat pertama dalam surat Al-Qadr ini adalah bahwa Allah menurunkan Al-Quran secara sekaligus kepada Nabi Saw pada suatu malam yang disebut sebagai malam Lailatul Qadr. Dari kedua pendapat di atas dan di dalam banyak tafsirpun diungkapkan bahwa yang diturunkan oleh Allah adalah Al-Quran pada Lailatul Qadr (Malam Al-Qadr).
Menurut Husayni Shirazi Al-Quran diturunkan ke hati Rasulullah Saw. Dengan menghubungkan dengan kata kerja yang terkait di dalamnya sebgaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan keikut sertaan para malaikat dalam proses penurunannya.[64](Husayni,2002)
Sedangkan dalam sastra bahasa arab sendiri, penggunaan kalimat dimana pada kalimat itu tidak disebutkan siapa pelakunya atau objeknya itu menunjukkan bahwa yang pelaku dan objeknya itu sangat mulia.
Ayat selanjutnya menyatakan bahwa wa ma adraka ma lailatul qadr. Penulis disini tidak mengungkapkan asbabun nuzul dan menjelaskan pemaknaan kata perkata pada ayat ini karena penulis melihat bahwa ini tidak terlalu urgen dalam pengaruhnya atas pemaknaan Lailatul Qadr. Secara teks menunjukkan bahwa Allah Swt ingin mengabarkan sesuatu yang tidak diketahui manusia sehingga manusia mengetahuinya dalam bentuk pertanyaan yang artinya apakah kalian tau apakah Lailatul Qadr.
Menurut Dr.M Qurais Shihab memandang atas kemuliaan Lailatul Qadr dengan melihat penggunaan kata pada ayat kedua وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ  artinya, “Dan tahukah kamu apakah malam Lailatul Qar itu? (Al-Qadr[97]:2).  Kata وَمَا أَدْرَاكَ terulang di dalam Al-Quran sebanyak tiga belas kali sepuluh diantaranya mempertanyakan tentang kehebatan hari kiamat. Sedangkan tiga dari sisanya itu adalah:
وَما أَدْراكَ مَا الطَّارِقُ
Artinya: Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu? (QS Al-Thariq [86]: 2)
وَما أَدْراكَ مَا الْعَقَبَةُ
Artinya : Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (QS Al-Balad [90]: 12)
وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ  
Artinya: Dan tahukah kamu apakah malam Lailatul Qar itu? (Al-Qadr[97]:2).
     Sesuatu yang  agung yang diturunkan oleh Allah yang dengannya Allah mengkhabarkannya dengan menggunakan kalimat yang sering digunakan pada hari-hari yang luar biasa saja. Jadi malam Lailatul Qadr ini dapat kita simpulkan secara teks ayat ini merupakan suatu malam yang yang di dalamnya terdapat peristiwa yang sangat luar biasa.
     Dalam ayat sebelumnya disebutkan bahwa Lailatu Qadr Khairun Min Alfi Syahr yang artinya malam Lailatul Qadr adalah malam yang lebih mulia dari pada seribu bulan. Secara susunan kata bentuk kalimat dalam bahasa arab ini disebut sebagai bentuk Mubtada Khabar dimana pada kalimat ini tuhan akan menjelaskan Laitul Qadr seagai sebuah malam yang sebutkan sebagai malam yang lebih mulia dari pada seribu bulan.
     Adapun bentuk khabar dari Lailatu Qadr ini harus kita depenisikan terlebih dahulu apa maksud dari kata Khairu Min (lebih baik dari), dan Alfi (seribu). Khairun Min dalam bahasa indonesia dikategorikan sebagai kata yang digunakan untuk perbandingan antara sesuatu dengan sesuatu yang lebih. Sedangkan kata Alfi itu bermakna seribu.
Dalam kata Alfi timbul pertanyaan. Mengapa tuhan menggunakan kata seribu? Dalam kitab Fi Dilalil Quran dijelaskan tentang penggunaan kata seribu yang menunjukkan bahwa seribu itu adalah jumlah terbesar yang dipahami oleh orang-orang arab.  Yang mengantarkan kepada kita untuk memahami maksud dari Lailatul Qadr Khairun Min Alfi Syahr.
Kalau kita melihat makna alfin maka kita pada pemahaman bahwa malam ketika dibandingkan dengan berapa bulan pun akan tidak sebanding. Dari pemahaman ini menunjukkan bahwa hanya terjadi satu kali yaitu pada nabi Muhammad saja saat Al-Quran turun kepadanya.
Menurut Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi, angkah seribu yang dimaksud dalam kalimat Lailatul Qadr Khairun Min Alfi Syahr  adalah bukan jumlah matematis sebagaimana umumnya kita pahami sekarang secara mutlak akan tetapi angka seribu yang dimaksud disni adalah sebuah simbol  yang memberikan pengertian atas jumlah yang takterbatas. Dalam kitab al-Mukhtar Min Tafsiril Quranil Karim dalam memahami kata seribu dalam ayat ini adalah dimaknakan sebagai tingkatan intelektual manusia pada saat Al-Quran diturunkan yang hanya mampu melakukan perhitungan perkalian dengan angkah seribu pada saat itu sebagaimana zaman kita sekarang yang mengkalikan sesuatu dengan jumlah trilliunan.[65](Syarifuddin,2003).
Kalau kita memahami seribu bulan itu sebagaimana matematis mutlak, maka jumlahnya sama dengan delapanpuluh tahun. Orang-orang arab berdasarkan pemahaman mereka pada saat itu mereka hanya mengetahui angka terbesar adalah seribu sebagaimana kita memahami angka terbesar sekarang adalah trilliunan yang merupakan angka terakhir. Orang arab jika ingin mengungkapakan jumlah.[66](El Helwany.2008)
Pada ayat selanjutnya dijelaskan bahwa tanazzalul malâikah wa al-ruh fihâ. Sebelumnya kata nazala-yanzilu teleh kita urai pada perubahan bentuk kata kerjanya menjada anzala-yunzilu. akan tetapi pada ayat ini kita menemukan perubahan kata kerja lainya yang berasal dari wazan tafa’ala-yatafa’ilu atau tanazzala-yatanazalu yang jika diartika keseluruhan, menjadi turun para malaikat-malaikat dan ruh dengan izin Allah. Sedangkan dalam terjemahan departemen agama diartikan, Pada malam itu, para malaikat dan ruh (malaikat Jibril) turun dengan izin Tuhan mereka untuk menentukan segala urusan.
Sedangakan pengertian secara leksikal kata malâikah adalah bentuk jemak dari kata malak yang artinya malaikat-malaikat. Kata malk juga sering diartikan sebagai mengambil dengan kekuatan (merapas).[67](Al-Musayyar,2009)
Dalam kamu Sufi dijelaskan bahwa malaikat adalah Jisim (body) yang lembut. Atau seuatu bentuk materi yang memiliki jasad (body) yang lembut. Yang dimaksud yang lembut disini adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata telanjang.[68]
Menurut Syekh Abdul Qadir Jaziri, malaikat adalah arwah yang nonmateri atau terlepas dari yang namanya materi (Maddah) sehingga dia mengetahui perkara-perkara yang ril terhadap Al-Haq (Allah) Swt tanpa perantara materi dan sebab sebagaimana manusia.[69]
Bukan hanya malaikat yang Allah turunkan akan tetapi Allah juga menurunkan berasama malaikat-malaikatnya ruh sedangkan yang dimaksud ruh disini adalah bukan malaikat.[70](Muhammad,1419H) Kita melihat dalam pemaknaan kata ruh dalam dibeberapa ayat yang lain.
Disisi lain terdapat perbedaan pendapat mengenai pemaknaan kata ruh disini. Menurut Sayid Sarifuddin  Ali, yang dimaksud dengan kata malaikat adalah malaikat Jibril sedangkan kata ruh yang athaf kepada malaikat itu adalah kelompok dari malaikat yang turun bersama Jibril sehingga para malaikat-malaikat ini disebut sebagai ruh yang yang lebih mulia kedudukanya dari pada Jibril.[71](Syarifuddin Ali,1409H)
Dalam Tafsir Ash-Shafî dijelaskan bahwa sesungguhnya Jibril itu lebih mulia dari pada malaikat sementara Ruh disini lebih mulia dari pada Jibril. Sedangkan kita juga tidak bisa berpendapat dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ruh disini adalah Jibril karena dia adalah malaikat yang paling mulia. Kalau seperti ini secara teks kita memahami bahwa Jibril pun termaksud dalam golongan malaikat.[72](Maula Muhsin,1415H)
Kata Salam (سلام) adalah bermakna sebagai ucapan doa agar terhindar dari bencana  baik itu bencana yang secara lahiriyah maupun tidak secara lahiriyah. Maksud dari bencana secara lahiriyah adalah bencana-bencana yang secara langsung menimpah kita. Sedangkan maksud dari bencana bukan secara lahiriyah adalah bencana yang belum terjadi dalam artian bencana yang akan menimpah kita akan tetapi kita belum memiliki sama sekali pengetahuan.
3. Qadr menurut ahli tafsir Sunni dan Syiah secara umum.
a.  Kemuliaan
Sesuatu itu dikatakan mulia karena memiliki sesuatu yang lebih dari pada sesuatu yang lain. Contoh. Ali bin Abi Thalib itu lebih mulia dari pada seluruh sahabat Nabi Saw, karena Ali bin Abi Thalib memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan sahabat-sahabat lainnya.[73](Murad,2007)
Jadi kemuliaan Lailatul Qadr adalah kemuliaan suatu malam karena pada malam itu terdapat sesuatu yang lebih dari pada malam-malam yang lain. Misalnya pada malam itu diturunkan Al-Quran dibandingkan malam-malam yang lain.[74]
Menurut menurut imam Jalalain dalam tafsir Jalalain lailatul qadr (malam al qadr) Secara termiologi adalah malam yang telah dimuliakan oleh Allah Swt pada malam lailatul qadr secara kontekstual pada ayat tersebut yang dipahami kemuliaanya karena pada malam tersebut turun malaikat  dan malikat Jibril yang keberkahannya sampai fajar tiba dengan berdasar pada hal ini tentunya kemuliaan itu bukan karena sesorang yang melakukan ibadah atau amal shaleh hingga  mendaptkan kemuliaan sesuai pemahaman kita sampai sekarang dari surah Al-Qadr ayat ke-3.[75] (Muhammad,1407H)
Maksud dari pemuliaan (عظم)  itu terdapat pada Al-Quran itu sendiri dengan argumentasi bahwa maksud dari kata ganti nya (inna anzalnahu) bahwa dhamir atau kata gantinya itu menunjukkan atas Al-Quran karena tidak disebutkannya secara dhahir dan pemuliaan (pengagungan) atas waktu karena Al-Quran itu diturunkan pada malam itu.[76](Fakhruddin, 604 H)
Ibnu kastir dalam tafsirnya menjelaskan secara lafat penggunaan kata yang menunjukkan pengutamaan atas Lailatul Qadr dengan penggunaan kata inna dalam awal ayat itu menunjukkan pemuliaan atas malam tersebut. Dengan alasan bahwa kalimat anzalnahu terdapat kata ganti (Domir) yang kembalinya kepada Al-Quran dengan inilah digunakan di dalam kata inna sebagai pemuliaan. [77](Muhammad,842 H)
Lailatul Qadr adalah malam yang sangat mulia bagi umat nabi Muhammad yang melakukan ibadah dan amal shaleh kerena pahala dari apa yang mereka kerjakan akan dilipat gandakan seperti dia melakukan ibadah selama serubu tahun atau kurang lebih delapan puluh empat tahun.[78]  
Al-Quran menyebutkan pengertian makna dari masdar dari kata kerja Qadara-Yakdiru  yang artinya mempu sedangkan masdarnya adalah  Al-Qadru yang artinya kemanpuan. Sedangkan dalam pengertian kata Lailatul Qadr dalam tafsri Jalalain adalah malam yang mulia karena di dalam malam tersebut diturunkan  Al-Quran sehingga pada malam itu diartiakan sebagai malam yang mulia dan malam dan Agung.[79]
Akan tetapi dalam tafsir Al-Badawi dijelaskan bahwa maksud dari surah Al-Qadr ayat ketiga tersebut sama sekali tidak tergolong ke dalam depenisi dari kata Lailahtul Qadr tersebut akan tetapi itu merupakan salah satu dari keutamaannya. Depenisi yang diungkapkan pada tafsir ini adalah kehendak seperti kehendak reski-reski yang ditetapkan sebagaimana ketentuan malainkan yang diturunkan pada malam tersebut sehingga terpahami sebagai malam yang  mulia.[80](Shihab)
Malam lailatul Qadr adalah malam yang memiliki keutamaan karena pada malam tersebut Allah Swt menurunkan Al-Quran kepada nabi Muhammad Saw sebagai permulaan turunnya wahyu kepadanya yang berlangsung selama 23 tahun lamanya secara berangsur-angsur.[81] (Muslihuddin, 1419 H)
Kalau kita melihat pendapat yang menyatakan mulianya malam itu karena Al-Quran diturunkan. Artinya secara esensi malam itu bukan karena malam itu sendiri. Sama halnya jika kita mengatakan bahwa bulan Rajab itu memiliki kemuliaan dengan alasan pada bulan itu nabi Muhammad Saw melakukan isra’ dan mi’raj.[82]
Menjadi pertanyaan bagi kita, apakah malam itu memang  mulia karena malam itu sendiri telah dimuliakan sebagaimana malam itu dimuliakan oleh tuhan ataukan karena ada peristiwa besar telah terjadi di dalamnya. Ataukah pemikiran kita harus statnan cukup dengan mengetahuinya berdasarkan karena ada  peristiwa besar di dalamnya dan kita telah merasa tenang.
Dari beberapa tafsir yang dihadirkan sebagai sebuah perbandingan penulis sama sekali tidak mendapatkan pendepenisian kata Lailahtul Qadr secara akurat sesuai dengan syarat-syarat depenisi yang sesuai melainkan hanya mengungkapkan keutamaan-keutamaannya. Tentunya sulit bagi kita untuk menjelaskan depenisi secara terperinci sebagaima depenisi pada awal pembahasan kita. Yang secara umum ahli tafsir mendepenisikan sebagai malam diturunkannya Al-Quran.
Dalam beberapa literatur penafsiran mazhab syiah terkenal sebagai mazhab yang menyamakan antara tingkatan akal dan wahyu, tentunya dapat dilihat bahwa basis penafsiran yang digunakan oleh sebagian mufassir dari mazhab syiah adalah juga menggunakan bil ra’yi (tafsir yang menggunakan pemahaman), riwa’i (tafsir dengan riwayat), dan tafsir bil quran. segaimana umumnya para ahli tafsir yang sebelumnya telah disebutkan.[83](Misrawi,2007)
Dalam tafsir al-Burhan Lailatul Qadr adalah malam yang diturunkan di dalammnya Al-Quran yang telah ditetapkan padanya segala urusan mengenai hukum-hukum dalam artian menyangkut masalah-masalah kehidupan manusia dan makhluk lainnya.[84](Hasyim, 1428H/2007M)
Salah satu pendapat dari kalangan syiah menyatakan bahwa, pendepenisian di atas mengantarkan kita kepada pemahaman baru menurut peulis sendiri. Bahwa dari pendepenisian di atas yang menyatakan, malam Lailatul Qadr itu adalah malam ditentukannya segala urusan dan hukum-hukum dalam urusan manusia pada tahun itu tentunya, akan mengantarkan kita bahwa pada malam itu mulia bukan karena Allah sendiri yang memuliakannya dengan adanya peristiwa-peristiwa besar akan tetapi di dalam malam itu telah terkandung penentuan atas segala ketentuan yang akan terjadi pada manusia secara keseluruhan.[85](Fayd Kashani, 1997)
Hadis selanjutnya dijelaskan bahwa Lailatul Qadr sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa malam itu lebih mulia dari pada seribu bulan sebagaimana dalam literatur yang telah disebutkan alasan kemuliannya.[86]
Dalam Tafsir Anwar-e Derakhsan Husaini Hamdani berpendapat bahwa kalimat inna anzalnahu fi lailatul qadr adalah ayat yang menjelaskan tentang turunnya Al-Quran dengan diikuti dengan ungkapan kata inna yang menunjukkan sebagai pengagungan atas Al-Quran, dimana malaikat Jibril sebagai perantara turunnya wahyu pada Rasulullah Saw.[87](Husayni Hamdani,1984)
       Dari sini, Qurais Shihab berpendapat  bahwa penggunaan kata وَمَا أَدْرَاكَ (apakah kamu presepsikan tentang....?). Di dalam Al-Quran pertanyaan ini hanya digunakan untuk peristiwa-peristiwa yang sangat luar biasa dan akal tidak memiliki peranan besar untuk mengetahui hal tersebut.[88]Dengan demikian secara tekspun dapat diketahui kemuliaan yang terkandung pada peristiwa Lailatul Qadr tersebut.
       Pendapat ini masih belum menunjukkan  akan dalil bahwa malam Lailatul Qadr sebagai malam yang mulia alasannya karena kita sama sekali tidak mendapatkan pemaknaan khusus. Pendapat ini hanya memberikan gambaran secara umum saja. Sebagaimana kita melihat pada salah satu penggunaan kata wa ma adraka  dalam Al-Quran yaitu pada surah Al-Qariah Allah berfirman, wa ma adrka ma al-qarah artinya Tahukah kamu apakah peristiwa yang menggetarkan itu? (Peristiwa itu adalah peristiwa hari kiamat) sama sekali tidak menunjukkan kemuliaah. Jadi pendapat ini tidak biasa dijadikan sebagai dalil untuk mengungkap pemahaman kemuliaan pada malam al-Qadr.
       Karena kita belum bisa menyingkap makasud dari kemuliaan Lailatul Qadr ini, bukan berarti kita langsung mengatakan bahwa malam ini tidak memiliki kemuliaan. Maka dari itu penulis mencoba mengunakan dalil yang disandarkan kepada nas-nas yang sampai kepada kita. Disini penulis mengungkapkan hadis yang berkaitan dengan pembahasan kita ini.
Hadis-hadis tentang kemuliaan Lailatul Qadr.
أبي بن كعب عن النبي (صلى الله عليه وآله وسلّم) من قرأها أعطي من الأجر كمن صام رمضان و أحيا ليلة القدر .
الحسين بن أبي العلاء عن أبي عبد الله (عليه السلام) قال من قرأ إنا أنزلناه في فريضة من الفرائض نادى مناد يا عبد الله قد غفر لك ما مضى فاستأنف العم
Artinya: Abi bin Ka’b meriwayatkan dari Rasulullah Saw. Siapa yang membaca ayat Lailatul Qadr  maka aku akan memberikan pahala sebagaimana pahala puasa ramadhan, dan siapa yang menghidupkan Lailatul Qadr . Hasan bin Abi al-Alâi meriwayatkan dari imam Ja’far as berkata. Barang siapa yang membaca inna an zalnahu dalam suatu kewajiban dari kewajiban-kewajiban maka memanggil yang memanggil wahaui Abdullah sungguh Allah telah mengampunimu  dosa yang telah lalu dan yang akan datang.
سيف بن عميرة عن رجل عن أبي جعفر (عليه السلام) قال من قرأ إنا أنزلناه بجهر كان كشاهر سيفه في سبيل الله و من قرأها سرا كان كالمتشحط بدمه في سبيل الله و من قرأها عشر مرات مرت على نحو ألف ذنب من ذنوبه
Artinya: Saif bin Amirah meriwayatkan yang dibawa oleh seseorang dari imam Ja’far as berkata. barang siapa yang membaca inna anzalnah dengan suara yang keras itu adalah bagaikan orang yang perang, pedangnya di jalan Allah dan barang siapa yang membaca inna anzalnahu dengan suara pelang maka seperti orang yang melumurkan darahnya di jalan Allah. Dan barang siapa yang membaca inna anzalnah sepuluh kali maka seribu dosanya akan tersingkir.
Dalam beberapa riwayat ditemnukan bahwa bukan hanya pada malam Al-Qadr yang ada pada zaman nabi dan zaman sekarang kemuliaanya akan tetapi kemuliaannya juga disebutkan bagi siapa yang membaca surah Al-Qadr ini.

Kalau kita hanya bersandar pada riwayat-riwayat ini untuk membuktikan kemuliaan Lailatul Qadr, bukankah disini Al-Quran sendiri secara terperinci menjelaskan bahwa malam Al-Qadr lebih mulia dari pada seribu bulan. Oleh karena itu langkah yang akan kita ambil adalah mengkaji pemahaman tentang firman Allah Swt tersebut sebagai mana berikut.
b. Pemahaman Lebih Mulia Dari Seribu Bulan (AL-Qadr:3)
Untuk memahami maksud dari ayat ke empat surah Al-Qadr ini, secara teks berusaha memberikan pemahaman tentang kemuliaan Lailatul Qadr ini. Akan tetapi di lain sisi juga terdapat permasalahan-permasalahan yang harus kita buktikan kebenarannya dengan dalil-dalil yang sinergi tentunya.
Di dalam tafsir Al-Ma’stur menurut Abdul Razak bahwa yang dimaksud dari Lailatul Qadr Khairun Min Alfi Syahr adalah bukan Lailatul Qadr akan tetapi yang dimaksud adalah karena turunnya malaikat membawa berkah dari Allah hingga fajar terbit.[89](Suyuti,1424 H/2003 M)
Secara teks kita melihat bahwa Allah menggunakan kalimat tanya wa ma adraka ma lailatul qadr sebenarnya ini menjelaskan kandungan dari Lailatul Qadr ini untuk mendepenisikan keutamaan dari Lailatul Qadr. Sebagian besar ahli tafsir berpendapat bahwa letak kemuliaan Lailatul Qadr ada pada pendepenisian yang Allah berikan secara langsung bahwa Lailatul Qadr itu lebih mulia dari pada seribu bulan. Namun terdapat beberapa masalah apakah Lailatul Qadr itu berulang sampai sekarang ataukah hanya terdapat pada zaman nabi Muhammad Saw aja.
Dalam pendapat lain, menjadi masyhur dikalangan muslim pada umumnya menerima interpretasi atas pendapat yang mengatakan bahwa Lailatul Qadr Khairun Min Alfi Syahr yang artinya Lailatul Qadr itu lebih mulia dari pada seribu bulan, hal ini diperuntukan untuk umat nabi Muhammad Saw.
Untuk memperkuat argumentasi di atas, kita melihat pada pendepenisian sebelumnya mengenai kemuliaan. Bahwa kemuliaan disini adalah karena malam tersebut diturunkan Al-Quran, jadi secara pemahaman itu hanya terjadi pada malam dimana khusus untuk Nabi Saw karena kita tentunya sepakat bahwa setelah wafatnya nabi Muhammad Saw menunjukkan bahwa wahyu (Al-Quran) juga suda tidak turun lagi.
Para orang-orang muslim menyakini bahwa dalam bulan Ramadhan terdapat suatu malam yang sangat mulia. Keyakinan ini berlandaskan pada ayat ke-3 yang artinya Lailatul Qadr itu lebih mulia dari pada seribu bulan. Beberapa diantaranya berpendapat bahwa kemuliaannya itu ada pada orang-orang yang melaksanakan ibadah dan amal shaleh.[90]
Dalam literatur sejarah, kita menemukan bahwa islam telah terpecah menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok Sunni atau sering disebut Ahlu Sunna dan kelompok Syiah yang pada khususnya penulis maksudkan adalah kelompok Ja’fari.[91]
Sebagian dari kalangan sunni membangun argumentasi atas pemaknaan Lailatul Qadr Khairun Min Alfi Syahr ini, mengingat usia umat nabi Muhammad Saw yang begitu sangat relatif singkat maka  tuhan menghadiakan kepada Nabi Saw malam Lailatul Qadr dengan tujuan agar pahala ibadah umat nabi Muhammad Saw dapat sebanding dengan pahala umat nabi-nabi terdahulu.
Salah satu dari pendapat sunni adalah dari Ibnu Kastir dalam tafsirnya dia berpendapat bahwa Lailatul Qadr Khairun Min Alfi Syahr untuk umatnya, pendapat ini bersandarkan hadis berikut.
رباط ليلة في سبيل الله خير من الف ليلة مما سواه من المنازل
Artinya: Ikut serta semalam di jalan Allh itu lebih Mulia dari pada seribu malam selain dari perbuatan lainnya.(Hr. Ahmad)
Akan tetapi dalam mazhab sunni sendiri terdapat sebagian dari mereka yang berpendapat bahwa malam Lailatul Qadr itu bukan untuk umat nabi Muhammad akan tetapi, itu khusus diperuntukkan untuk nabi Muhammad saja. Adapun alasan dari pendapat ini adalah karena Al-Quran hanya turun kepada nabi Muhammad saja.
Menurut Fakhru ar-Razi (salah satu ulama dari Ahlu Sunnah) bahwa keutamaan Lailatul Qadr yang bermakna lebih mulia dari pada seribu bulan itu untuk umat nabi Muhammad Saw, dengan  berlandaskan pada hadis yang  dan tidak bisa digunakan(Daif).[92]( Fakhruddin, 604 H)
 Secara kontekstual tidak semua muslim  melakukan amal shaleh akan tetapi mereka juga melakukan keburukan, masalah kebaikan pun ada yang lebih diutamakan sebagaimana halnya orang yang melakukan shalat secara berjamaah dengan orang yang melakukan shalat sendiri. Semua pekerjaan ini adalah amal shaleh akan tetapi apakah semua amal shaleh itu sama posisinya.[93] Ataukah bagi mereka yang melaksanakan ibadah saja yang kemudian dilipat gandakan oleh Allah Swt sebagaimana pemahaman sebelumnya.
Sebuah hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Anas ra. Rasulullah Saw bersbda,
“Lailatul Qadr itu hanya dikaruniakan kepada umat (nabi Muhammad) bukan untuk umat nabi sebelumnya.
Terdapat banyak riwayat yang menjelaskan sebab hadis ini. Salah satu alasannya adalah persoalan umur umat nabi Muhammad Saw yang pendek sehingga Nabi Saw memikirkan umatnya yang hanya melasanakan ibadah dalam waktu yang sangat sedikit dibandingkan dengan umur umat nabi sebelumnya. Dan diriwayat yang lain juga secara makna memiliki kandungan makna yang sama mengenai umur umat nabi Muhammad yang pendek.[94]
Jika sekiranya dikatakan bahwa Lailatul Qadr itu untuk umat nabi Muhammad maka kita akan mendapatkan kontradiksi pada teks pengungkapannya,nabi Muhammad Saw mengatakan bahwa sebaik-baik amal umatku (Afdhalu min Amali ummatî ), akan tetapi nabi Muhammad Saw tidak mengatakan sebaik-baik perbuatannya (Afdhalu min Amalihi). Kata Afdhla Seolah-olah bemakna menjual sesuatu denganmu tapi dengan menggunakan timbangan yang takarannya tidak tetap atau Nabi Saw berkata serampang.[95]
 Dengan berlandaskan teks Al-Quran, pendapat yang menyatakan Lailatul Qadr untuk umat nabi Muhammad Saw dengan alasan umur-umat Nabi Saw yang pendek itu sangat sulit diterima ketiaka kita melihat surah Al-Mulk(67):2 “Yang menciptakan mati dan hidup supaya Dia mengujimu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”
Nabi tidak perlu menagisi umur umatnya yang pendek karena Allah Swt tidak melihat banyaknya ibadah yang dilakukan oleh sesorang akan tetapi, Allah melihat nilai dari amalan yang dilakukan oleh seseorang.

b Shahih Bukhari bab puasa.
من قام ليلة القدر تيمانا ةاحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Menurut Qurais Sihab, kemuliaan Lailatul Qadr ini diperuntukkan kepada nabi Muhammad dan kepada seluruh umat manusia, sebagaimana pada surah Al-Alaq ayat pertama (ayat iqra’) ini diperuntukkan untuk semua orang.[96](Shihab, 1996)
Akan tetapi menurut ibnu Hajar (pakar hadis), berpendapat bahwa Lailatul Qadr itu tidak akan datang lagi. Alasannya karena kita telah mengetahui bersama bahwa Al-Quran telah diturunkan pada Lailatul Qadr, dengan berlandaskan bahwa Al-Quran itu telah sempurna secara logika Lailatul Qadr itu  tidak akan hadir lagi.[97]
Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Lailat Al-Qadar terjadi pada setiap bulan ramadhan. Bahkan Rasululllah Saw.Menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu,secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh Ramadhan.[98]
Secara sepintas kita meliahat agrmentasi-argumentasi yang diungkapkan oleh ulama-ulama kita dapat dikatakan sama-sama kuat. Akan tetapi yang ingin kita lihat adalah pembahasan  lebih baik dari seribu bulan disini, apakah yang dimaksud adalah peristiwa yang hanya di zaman Rasulullah Saw dengan dalil ayat Lailatul Qadr Khairun Min Alfi Syahr.
Sebelum membahas lebih lanjut kita akan melihat penggunaan kata seribu dalam kamus Lisanul Arab sebagai pendekatan untuk melihat melihat makna dari kata seribu (Alafun) sehingga kita dapat menafsirkan dan menentukan dan menguatkan salah satu dari pendapat ulama di atas.
Dalam kitab Fi Dilalil Quran dijelaskan tentang penggunaan kata seribu yang menunjukkan bahwa seribu itu adalah jumlah terbesar yang dipahami oleh orang-orang arab.  Yang mengantarkan kepada kita untuk memahami maksud dari Lailatul Qadr Khairun Min Alfi Syahr.
Kalau kita melihat makna alfin maka kita pada pemahaman bahwa malam ketika dibandingkan dengan berapa bulan pun akan tidak sebanding. Dari pemahaman ini menunjukkan bahwa hanya terjadi satu kali yaitu pada nabi Muhammad saja saat Al-Quran turun kepadanya.
Allah menggunakan kata seribu karena pada kondisi arab pada saat itu angka seribu sebagai angka tertinggi yang diketahui oleh orang-orang arab, dengan demikian penafsiran ahlih tafsir yang mengatakan bahwa itu diperuntukkan oleh umat nabi Muhammad sangat lemah dan susah diterima dengan akal sehat. Apalagi ditegaskan oleh Fakhru ar-Razi sebelumnya yang mengatakan bahwa pendapat itu bersandar pada hadis yang lemah.
 Dengan berlandaskan pada pemahaman di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa Lailatul Qadr ini adalah malam penentuan yang berasaskan kekuasaan Allah Swt atas sesuatu yang dihendakinya terlepas dia itu sebagai seorang nabi, orang muslim atau non muslim sekalipun.
Dengan demikina pendapat yang masyhur yang menyatakan bahwa malam Lailatul Qadr itu adalah malam penentuan atas segala urusan yang menyangkut kehidupan manusia baik itu rezki, umur dan hal-hal yang berkaitan dengan urusan-urasan ketentuan Allah Swt. Hal ini tentunya mengantarkan kita kepada pemahaman  bahwa bukan hanya orang muslim yang mendapat keutamaan yang terkandung di dalam malam ini akan tetapi non muslim pun mendapatkan kemuliaannya.
Kalau sekiranya kita menggunakan pemaknaan seperti di atas, maka tentunya sebelum turun Al-Quran kepada nabi Muhammad Saw bersamaan dengan malam yang kita kenal dengan Lailatul Qadr  tentunya nabi-nabi sebelumnya berserta umatnya juga memiliki malam Lailatul Qadr atau malam yang serupa dengan malam ini meski namanya berbeda dengan malam al-qadr.
Menanggapi masalah apakah para nabi-nabi sebelumnya memiliki juga malam Al-Qadr sebagai mana kita utarakan sebelumnya. Menurut sebagaian ulama syiah, Lailatul Qadr itu dipeuntukkan kepada para manusia sempurna (kamil) yaitu para nabi-nabi, rasul-rasul dan juga para imam serta wali-wali-Nya.[99](Muthahari,2004)
Adapun pembuktian untuk pendapat bahwa Lailatul Qadr untuk para manusia suci dimana termaksud juga para nabi dan rasul adalah di dalam surah Al-A’raf[7]:142
وَ واعَدْنا مُوسى‏ ثَلاثينَ لَيْلَةً وَ أَتْمَمْناها بِعَشْرٍ فَتَمَّ ميقاتُ رَبِّهِ أَرْبَعينَ لَيْلَةً وَ قالَ مُوسى‏ لِأَخيهِ هارُونَ اخْلُفْني‏ في‏ قَوْمي‏ وَ أَصْلِحْ وَلا تَتَّبِعْ سَبيلَ الْمُفْسِدينَ
Artinya: Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhan-nya empat puluh malam. Dan Musa berkata kepada saudaranya, Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku dan perbaikilah mereka, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.”
Dari sini terbukti bahwa nabi-nabi sebelum nabi Muhammad pun memiliki malam Al-Qadr ini, dari pemahaman ayat di atas Allah menurunkan seluruh keutamaan dan  kitab Taurat kepada nabi Musa selama tiga puluh malam yaitu malam yang telah ditentukan.
Waktu yang ditentukan oleh Allah untuk nabi Musa adalah tiga puluh malam sebagaimana pada ayat di atas. Dari sini Allah menyingkap antara antara apa yang ada di langit dengan apa yang ada di bumi sehingga alam non materi dengan alam materi menyatu pada nabi Musa As. Sehingga kedudukan Lailatul Qadr disini adalah sebagai perantara penyatuan antara sesuatu yang telah ditentukan.
Sehingga dari sini terjadi keharmonisan antara para nabi dan imam atau para manusia suci dengan para malaikat-malaikat yang non materi terjadi komunikasi (penyatuan) sebagaimana yang digambarkan secara global oleh Allah Swt dengan bahasa simbolnya.
“Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Quran pada malam Al-Qadr.

c.  Pemahaman Malaikat dan Ruh diturunkan (AL-Qadr:4)
Allah Swt menyebutkan bahwa
تَنَزَّلُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ
Artinya: Pada malam itu, para malaikat dan ruh (malaikat Jibril) turun dengan izin Tuhan mereka untuk menentukan segala urusan. (AL-Qadr:4)
Sebelumnya kita telah mendepenisikan maksud pendepenisian malaikat secara leksikal. Akan tetapi sebelum pembahasan ini dilanjutkan dengan menghubugannya dengan pembahasan kita, terlebih dahulu kita mengadakan pembuktian malaikat secara ontologis agar kita dapat memahami apakah malaikat itu benar-benar ada ataukah hanya sebagai simbol. Sebagaiman firman Allah.
قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلى‏ رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ
Artinya: Katakanlah, “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu yang merupakan wakil pada kalian kemudian kalian kembali kepada kalian.
Penulis hanya memahami bahwa, Allah yang mematikan segala yang hidup dan malaikat disini hanya sebagai wakil Allah. Dalam artian hanya simbol yang digunakan sesungguhnya Allah yang mencabut nyawa manusia. Maka dari sini dibutuhkan pembuktian keberadaan malaikat.           
Malaikat adalah ciptaan tuhan yang berasal dari cahaya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah bahawa Rasulullah Saw bersabda.
 عن عاىشة قالت، قال رسول الله(ص) خلقت الملاىكة من نور،وخلق الجان من مارج من نار، وخلق أدم مما وصف لكم(رواه مسلم)
Artinya: Dari Aisya, bahwa Rasulullah Saw bersabda. Malaikat itu dijadikan dari cahaya, dan Allah telah menciptakan bangsa Jin dari api sedangkan Allah menciptakan Adam dari apa yang disifatkan kepada kalian. (Hr.Muslim.)[100]
Menurut Syekh Tâhir Al-Jazairi dalam kita al-Jawahir al-Kalamiya, bahwa malaikat adalah dzat-dzat halus yang dicipatakan dari cahaya(nur) dan mereka adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan. Malaikat adalah makhluk yang selalu taat dan tidak pernah mendurhakai Allah Swt dari apa yang diperintahkan oleh Allah Swt.[101]
Menurut Fakru ar-Razi untuk membahas malaikat maka kita harus membahas terlebih dahulu empat permasalahan yaitu sebagai berikut:
Pertaman, kita harus membuktikan keberadaan malaikat, dan mengkaji apakah malaikat itu berupa ruh tanpa jasad, memiliki jasad, atau malaikat itu memiliki ruh dan jasad. Menurut Ar-Razi, jika malaikat itu memiliki jasad maka jasad mereka tentu bersifat lembut dan halus sebagaimana materinya cahaya dan udara.
Kedua adalah malaikat itu suci dan bebas dari kesalahan. Dalam surah An-Nahal Allah berfirman.
يَخافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَ يَفْعَلُونَ ما يُؤْمَرُونَ
Artinya: Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).(Qs.An-Nahal[16]:50)

Menurut Muhammad Sayyid al-Musayyar, malaikat adalah

Kalau sekiranya malaikat bukan sebagai simbol maka kita akan memberikan pemaknaan sebagaimana ontologisnya. Kalau sekiranya hal ini terbukti bahwa secara ontologis bahwa malaikat itu ada maka timbul pertanyaan kemanakah malaikat itu diturunkan. Apakah diturunkan ke bumi kita ini sehingga menyebabkan kesejukan dan orang-orang merasa tentram sebagaiman yang dipahami orang secara umum ataukan hanya di luar bumi saja.[102](Muhammad Jawad,1424H)

Dalam tafsir Adhwau Al-Bayan. Muhammad Al-Amin berpendapat bahwa turunnya malaikat itu ada di dalam malam Al-Qadr sedangakan kata tanazzalul malaikattu wa ar-ruhu fiha adalah hanya terjadi pada satu malam hingga fajar terbit. Di dalamya sunggahtelah cukup dengan apa yang ditentukan tanpa ada pengkhususan atau ada sesuatu yang lain. Misalnya tidak ada pengkhusuan atas penentuan urusan-urusan dalam setiap tahun.[103](Muhammad Muhtar,1400 H/1980)
Menurut Ibnu Jarir berpendapat bahwa makna dari  Tanazzalul Malaikattu Wa Ar-Ruhu Fiha berdasarkan asbabul nuzulnya adalah sesorang dari Bani Israil  menghidupkan malam hingga subuh tiba kemudian, dia berjihad melawan musuh di waktu pagi hingga dia dinamakan sebagai amalan yang lebih mulia dari pada seribu bulan. Maka Allah menurun ayat ini. tanazzalul malaikattu wa ar-ruhu fiha.(diriwayatkan oleh Ibnu Muhammad, Hakim bin Salim dari Al-Mastna bin Shabah meriwayatkan dari Mujahid).[104](Ibnu Kastir,1421H )
Salah satu keutamaan pada malam Lailatul Qadr  ini adalah malaikat diturunkan  sabagaimana keterangan ayat di atas. Dalam banyak ayat  Allah menerangkan, jika terdapat kata para malaikat turun, maka dalam ayat itu menjelaskan bahwa malaikat itu membawa berkah bagi orang-orang yang dikehendaki dan azab bagi orang yang dihendakai juga.
            Ada beberapa keterangan tentang berkah yang bawa oleh para malaikat ketika turun kebumi berdasarkan keterangan dalam Al-Quran antara lain.
1.      Al-Quran mengisahkan dalam kisah nabi Zakariya ketika akan memiliki anak, setelah sepuluh tahun tidak dikaruniai anak, maka Allah menurunkan malaikat untuk menyampaikan kabar gembirah. Allah Swt. Berfiman, Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang Zakaria tengah berdiri melakukan salat di mihrab, (seraya berkata), “Sesungguhnya Allah memberi berita gembira kepadamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi panutan, menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi yang termasuk keturunan orang-orang saleh.”
2.      Malaikat turun kepada Maryam dengan membawa kabar gemira, bahwa maryam akan memiliki seorang anak yaitu nabi Isa. Allah berfirman, (Ingatlah) ketika malaikat berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya Allah memberi berita gembira kepadamu (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) dari-Nya, namanya al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).(Qs. Al-Imran[3]:45)
3.      Malaikat pernah untuk membantu Rasulullah Saw dan para sahabatnya pada saat perang Badar. Allah berfirman, “Sungguh Allah telah menolongmu dalam peperangan Badar, padahal (ketika itu) kamu adalah  orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya. - (Ingatlah) ketika kamu mengatakan kepada mukminin, “Apakah tidak cukup bagimu, Allah membantumu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?- Ya (pada hari ini), jika kamu bersabar dan bertakwa dan mereka (musuh) datang menyerangmu seketika itu juga, niscaya Allah menolongmu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda.(Qs. Al-Imran[3]:123-126).
4.      Malaikat turun kepada nabi Ibrahim untuk memberikan kabar gembira tetang kelahiran seorang anak. Sebagaiman nabi Zakariya yang selama berpuluh-puluh tahun tidak dikaruniai seorang anak. Allah Swt berfirman, “Dan sesungguhnya utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira. Mereka mengucapkan, “Selamat.” Ibrahim menjawab, “Selamatlah.” Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang.”(Qs. Hud [11]:69
Menurut Al-Qurtubi dalam menafirkan ayat di atas dia berpendapat bahwa, mereka (malaikat-malaikat) dari seluruh lapisan langit serta dari Sidratul Muntaha, sedangkan tempat malaikat malaikat Jibril as adalah di tengah-tengah para malaikat-malaikat. Mereka mendoakan manusia yang berdoa agar doanya diterimah.[105](Kisyik,1998)
Menurut Ibnu Abbas yang dimaksud ruh pada ayat ini adalah malaikat Jibril. Ibnu Abbas sendiri berpendapat bahwa, Allah Swt memerintahkan Jibril untuk turun ke bumi bersama malaikat-malaikat penghuni Sidra Al-Muntaha.[106](Al-Darini,2008)
Kalau kita memahami bahwa turunnya malaikat ini hanya khusus kepada nabi Muhammad saja, selain menurunkan malaikat Allah juga menurunkan ruh. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan ruh disini. Menurut sebagian ahli tafsir ruh yang dimaksud disini adalah bukan malaikat akan tetapi ruh yang dimaksud adalah
d. Pemahaman Salam Sejahtera Hingga Subuh (AL-Qadr:5)

      

F.   Terjadinya Sakrarisasi Bulan Ramadhan.
Dengan beberapa penjelasan dari Al-Quran mengenai derajat bulan Ramadhan secara signifikan nilai yang yang terkandung di dalamnya pun akan meningkat. Hal ini telah menjadi masyhur disemua kalanagan umat beragama islam baik itu dikalangan Ahlu Sunna maupun dikalangan Syiah.
Selain dari pada itu, keyakinan ini medapat legitimasi dari bebapa ahli tafsir yang tentunta memiliki andil dalam memahami Al-Quran, dengan demikian akan terjadi pengsakralisasi atas bulan Ramadhan ini karenan telah menjadi suatu keyakinan yang tentunya membawa kepada tindakan pengsakralan inisebagai sebuah nilai dari pengetahuan.

AL-Quran Yang Diturunkan
       Secara etimologi Al-Quran adalah masdar berwazan Gufran dan Rujhan diambil dari akar kata Qara’a yang bermakna membaca, akan tetapi masdar ini berarti seperti isim maf’ul, dengan demikian Quran adalah sesuatu yang dibaca / bacaan. Sebagaimana telah disebutkan oleh Allah dalam Al-Quran ayat ke 17-18 dari surat Qiyamah:”sesungguhnya atas Kami pengumpulan dan bacaannya, maka jika Kami membaca, ikutilah bacaannya”.
       Al-Quran secara terminologi adalah perkataan-perkataan Allah yang disampaikan kepada nabi Muhammad melalui hasil penyingkapan dan penyatuaanya kepada Allah Swt yang di dalamnya terkandung masalah-masalah hukum-hukum kehidupan yang mengatur kehidupan manusia agar selalu tetap pada jalan fitrahnya.
       Al-Quran diturunkan kepada Nabi Saw secara rahasia dan benar-benar terjaga dari penyelewengan-penyelewengan yang bisa saja dilakukan oleh para malaikat selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Dalam surah Al-Waqi’ah Allah menjelaskan bahwa.
 “Sesungguhnya (kitab) itu adalah Al-Qur’an yang sangat mulia, yang terdapat dalam kitab yang terpelihara (Lauh Mahfûzh).dapat menyentuhnya (memahaminya) kecuali hamba-hamba yang disucikanDiturunkan dari Tuhan semesta alam.
       Terdapat beberapa pendapat berenaan dengan turunnya Al-Quran sebagaimana apa yang dipahami oleh para ahli tafsir kita. Salah satu dari mereka berpendapat bahwa Al-Quran itu diturunkan secara sekaligus kepada nabi Muhammad Saw dan sebagian dari mereka berpedapat bahwa Al-Quran itu diturunkan secara berangsur angsur.
       Menurut Imam Ahmad bin Hambal dalam menjelaskan masalah ini, Rasulullah Saw menjelaskan bagamana proses diturunkannya kitab-kitab samawi sebelumnya yang juga diturunkan pada bulan Ramadhan juga sebagaimana turunnya Al-Quran sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya. Setelah Al-Quran diturunkan kepada Nabi Saw barulah menjadi risalah yang disampaikan selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. [107](Abdullah,2009)
       Menurut Allamah Thaba’thabai, bahwa secara lahiriyah Al-Quran diturunkan kepada nabi Muhammad secara bertahap sepanjang masa dakwah Rasulullah (saw), selama kira-kira 23 tahun hingga terhimpun seluruhnya. Dengan alas an ini, sebagian mengira bahwa ayat di atas bertentangan dengan ayat tersebut. Sedangkan secara batin Al-Quran telah diturunkan secara sekaligus atau secara sempurna kepada Nabi Saw.
       Dalam menjawabnya sebagian mengungkapkan bahwa al-Qur`an turun dalam dua kali; pertama turun di bulan Ramadan dalam sekaligus ke langit dunia. Kedua kalinya turun dari langit dunia ke bumi secara bertahap. Jawaban inilah yang disampaikan oleh mufassirin terkemuka berdasarkan riwayat-riwayat yang sebagiannya akan kami bawakan nanti dalam pembahasan riwa`i, insya Allah.



       Ketika kita merujuk kepada interpreter yang paling dekat zamannya dari Nabi Saw bahkan dapat dikatakan bahwa dia sezaman dengan Nabi Saw. Dia adalah Ibnu Abbas, dalam memahami surah Al-Qadr mengenai proses turunnya Al-Quran dia menjelaskan bahwa terdapat dua proses penurunan yaitu penurunan secara sekaligu dan penurunan secara berangsur-angsur.
       Dalam surah Al-Furqan dijelaskan bahwa Al-Quran diturunkan secara sekalgus. Allah Swt berfirman.
وَ قالَ الَّذينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً واحِدَةً كَذلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤادَكَ وَ رَتَّلْناهُ تَرْتيل
Artinya: Orang-orang yang kafir berkata, “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?” Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya, dan (untuk itu) Kami membacakannya (kepadamu) setahap demi setahap.
Menurut sebagian ahli tafsir dalam melihat makna dari





G.  Lailatul Qadr menurut Kajian filsafat
a.    Lailatul Qadr  itu Bahasa Religius
Salah satu pendekatan filsafat yang digunakan oleh penulis adalah bahasa religius yang merupakan ciri khas filsafat dewasa ini, sejak dahulu hingga sekarang secara universal memiliki kesamaan, baik bahasa maupun sifat bahasa itu sendiri secara universal.
 Menurut Bdk. Jenkins bahasa adalah sebuah produk budaya karena berasa dari rasa cipta dan karsa, sehingga sulit sekali untuk dilepaskan dengan konteks sosial. Bahasa jika dipandang dari segi subyektif memiliki pengertian sebagai segala sesuatu yang dikatakan atau diungkapkan baik itu hanya berupa pengungkapan makna atau arti saja.
Bagaimana dengan bahasa religius yang hadir ditengah-tengah kita, menurut Rudolf otto dan fenomenlog agama yang lain, dalam konotasi yang vulgar, bahasa religius sebagaimana halnya Lailatul Qadr itu tidak muncul dari pengalaman yang religius apalagi mengenai pengalaman iman, akan tetapi bahasa tersebut berasal dari situasi konkret sebagai suatu ekspresi perasaan sesuai dengan kondisi masyarakat.[108] (Jacobs Sj,2002)
Telah terbenak dalam fikiran kita, bahwa bahasa religius terbentuk akibat peranan masyarakat, sebagaimana kata Lailatul Qadr tentunya mempunyai arti yang religius, akan tetapi pemakai kata tersebut hanya berkaitan dengan bulan suci ramadhan.[109]
Dari bahasa rerigius ini, menimbulkan teori etik analitik yang berhubungan dengan masalah teori kognitivis dan nonkognitivis. Dalam pendekatan filsafat kebiasaan masyarakat sebagai sebuah disimplin ilmu mengenai etiaka yang menyangkut masalah prilaku sesorang.
Pembagian nonkognitif adalah berkenaan dengan emotivisme, emotivisme adalah moral yang yang pada dasarnya adalah ekspresi penilaian sikap pada sesorang  yang secara emosional juga dinilai baik.
Kalau dihubungkan dengan Lailatul Qadr kita dapat mengelompokkan prilaku masyarakat beragama sebagai suatu prilaku etika moral yang mendapat penilaian secara umum bahwa Lailatul Qadr itu berkah dan mulia “baik”, maka secara serentak akibat hasil pemahaman masyarakat dari hasil interpretasi memberikan penilaian secara emosional bahwa itu betul-betul berkah dan mulia secara emosional.
Menurut menurut Kamaruddin Hidayat, semua agama hadir di tengah-tengah masyarakat dengan mengajukan beberapa tawaran dan berbagai janji. Hal ini bertujuan untuk membangun masyarakat ideal, kehidupan yang lebih baik dan beradap, aman, damai dan sejahterah.[110] (Hidayat,2008)
Setiap agama memiliki doktrin kesucian tempat dan waktu. Salah satu diantara doktrin yang sangat mencolok adalah perintah sembahyang dan berdoa serta berdoa meski dengan keyakinan yang berbeda-beda misalnya salah satu prilaku sebagian masyarakat bugis di Makassar sebelum memasuki bulan suci ramadhan, mereka melakukan ritual dengan membersihkan kuburan dan berziarah.[111](Hidayat, 2008)
Salah satu dari kesucian waktu adalah Lailatul Qadr. Secara emosional dapat kita lihat bersama antusias masyarakat islam dalam menyambut dan melaksanakan ritual pada malam yang sakral ini. Sebagian besar umat islam bagun dari tidurnya yang lelap untuk melaksanakan ibadah dan sebagian yang lain memilih untuk tidak tidur agar waktu yang mulia ini tidak terlewatkan begitu saja.
Dapat kita bandingkan dengan hari-hari besar yang ada pada selain agama nonislam. Secara umum kita juga mendapatkan kasus yang sama mereka juga menyikapi hari-hari besar tersebut dengan ritual-ritual yang menyita waktu tertentu mereka.
Menurut Pippa Norris mengatakan tiap-tiap agama mendepenisikan praktik-praktiknya yang penting dan khas dalam ritual, upacara dan ibadah spirirual, yang sering kali dikaitkan dengan perubahan kehidupan seperti kelahiran, pernikahan dan kematian serta perayaan  hari raya tertentu.[112]
Selanjutnya adalah imperativisme yang pada dasarnya mempengaruhi sikap atas apa yang telah dilakukan seseorang kemudian mendapat penilaian terhadap prilaku tersebut dengan demikian ketika orang yang menilai tersebut mengatakan bahwa itu baik maka diapun akan melakukan perbuatan tersebut.
Sebuah konsekuensi logis bagi sebuah tindakan yang mendapat penilaian baik akan diikuti sebagaimana penilaian tersebut, nabi Muhammad Saw berhasil mempengaruhi manusia yang ada disekitarnya hingga sekarang karena Nabi Saw manpu melakukan suatu perbuatan atau akhlak yang mulia sehingga bagi orang-orang yang beruntung yang telah menyaksikan prilaku moral Nabi Saw wajar jika mereka mengikutinya meski posisinya bukan seorang nabi.
Dengan hal yang seperti ini dengan pengukuhannya sebagai seorang nabi, bahwa nabi Muhammad Saw adalah Nabi, maka segala apa yang dilakukan dan dikatakan oleh Nabi Saw akan diikuti oleh masyarakat. Dari segi perbuatan dapat diterima dan diikuti sementara dari segi ucapan tentunya rasional.
Sebagimana dalam salah satu hadisnya yang dikutip dari kita yang berjudul Al-Iqbal, yang mengutip dari Kanzul Yawaqir karya Abdul Fadhl Muhammad al-Harwi, dikatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Siapa pun yang tidak tidur sepanjang Lailatul Qade dan menghabiskan malam itu dengan ibadah, akan menyebabkan siksaan Allah (yang kemungkinan ditimpakan padanya) ditunda hingga tahun berikutnya.
Dalam hadis yang lain dalam kitab yang sama nabi Muhammad Saw. Berkata bahwa nabi Musa as. pernah bermunajad kepada Allah yang Maha Agung.
“Ya Allah. Aku ingin dekat kepada-Mu” Allah berfirman, Orang yang ingin dekat kepada-Ku adalah orang yang tetap  terjaga sepanjang Lailatul Qadr (dengan beribadah kepada-Ku). “Musa as berkata. “Ya Allah, Aku ingin mendapat rahmat-Mu.” Allah berfirman, “Rahmat-Ku diberikan pada orang yang mengasihi fakir dan miskin sepanjang Lailatul Qadr.[113](Al-Jibouri,2002)
Dari sini dapat dilihat keberhasilan Nabi Muhammad Saw menghipnotis manusia dapat karena akhlak dan ucapannya. Jadi meski nabi Muhammad Saw bukan menjabat sebagai nabi akan tetapi ketiak dia merealisasikan sikap moralnya ini maka manusia akan tetap mengikutinya sebagi suatu moral yang bersifat universal dan dapat diterima oleh agama, ras, dan kelompok tertentu.
Kemungkinan besar bagi masyarakat beragama mengikuti sebuah ritual keberagamaan atas penilaian yang dia lakukan sebagaimana orang-orang kebanyakan dalam memeluk agama dan beragama karena mengikuti sesuatu bukan karena bersumber dari penilaian sebagaimana orang yang beragama islam disebabkan karena kedua orang tuannya juga islam.
Sikap nonkognitif dari segi pembagiannya yaitu imperativisme merupaka bukti adanya proses penilaian antra individu dan individu, dan individu dengan sebuah nilai yang diperhadapkan dengannya sehingga dari segi pembagiannya ketika dikaitkan dengan Lailatul Qadr sebagai bahasa religus ini dapat dikelompokkan jenis orang-orang yang melakukan ibadah karena berdasarkan penilaiannya itu baik atas Lailatul Qadr itu dan orang yang melakukan perbuatan berdasarkan karena mengikuti saja atau dengan alasan karena dialaksanakan orang kebanyakan.
Sebagai mana telah kita ketahui bersama bahwa prilaku seperti ini yang sering kita temukan dalam kehidupan kita sehari-hari pada setiap bulan suci ramadhan semangat beribadahpun akan meningkat dan orang-orang melakukan ibadah sampai rela tidak tidur itu disebabkan karena pengatuh imperativisme. 
Dengan kondisi seperti ini, terlepas dari kontek Al-Quran secara teks ataupun interpretasi di dalamnya akan membuat Lailatul Qadr itu sebagai suatu malam yang sakral dan setiap orang yang telah memberikan legitimasi atas malam itu akan senantiasa mengorbangkan waktunya hingga menapikan waktu istirahannya untuk melakukan ibadah.
Selanjutnya adalah preskriptivisme yang merupakan salah satu dari pembagian etika nonkognitif. Adapun maksud dari preskriptivisme adalah prilaku moral yang pada dasarnya bukan dari penilaian secara emosional dan pengakuan atas penilaian sehingga prilaku tersebut dilakukan akan tetapi berasal dari sebuah dorongan, bimbinban atau karena adanya suatu perintah sehingga prilakut tersebut dilakukan.
Etika nonkognitif ini salah satunya dapat dilaihat pada sebagian masyarakat beragama secara khusus pada sebagian prilaku anak-anak dan orang yang baru mengenal agama.contohnya anak kecil yang diperintahkan untuk melaksanakan shalat atau hal-hal lainnya. tentunya dengan bahasa seperti perintah atau bersifat bimbingan akan menjadi salah satu faktor anak atasi sesoarang mengerjakan sesuatu.
Penggunaan teks dalam konteks wahyu dapat dilihat bahwa kata Lailatul Qadr itu sendiri menggunakan bahasa dengan pendekatan simbol yang sebagai proses komunikasi untuk menyampaikan makna antara pemberi informasi, pembawa informasi dan objek yang diberikan informasi (yang terlibat di dalam proses komunikasi tersebut)[114](Abu Zaid,)
Di mata sebagian filosof, masalah mengekspresikan agama tidaklah sesederhana yang kita bayangkan sebab mengharuskan adanya proses pengalaman dan kognitif secara kompleks. Dalam konteks ini, muncul dua bentuk pendekatan terhadap mengekspresikan agama atau spirit keagamaan. Adapun konsep itu adalah konsep  non diskursip dan diskursip.
A.     Bentuk non diskursif
Secara epistemologis, singkronisasi antara agama dan bahasa terjalin dalam wilayah kesadaran estetik. Sehingga hal ini akan menjadi suatu simbol  yang tentunya sangat berkaitan erat dengan bentuk-bentu simbolik secara kultural dan proses bagaimana simbolik sebagaiman telah dibahas sebelumnya tentang penggunaan simbol pada bulan Ramadhan yang secara kultural membentuk sebuah budaya.
Menurut Ernts Cassirrer bahasa simbol memiliki hubungan dengan agama sebagai sebuah upaya agar dengan bahasa simbol tersebut dapat dipahami dan mengimplementasikan  sebuah pemahaman pada simbol tersebut dengan demikian masyarakat mudah mengingat dan melaksanakannya secara berkesinambungan.
Dari sini kita akan melihat secara filosof bahwa semua itu merupakan bagian yang intrinstik dari bidang agama. Mitos dan sombol yang berdampak pada prilaku dan kebiasaan masyarakat beragama akan tetapi  dianggap sebagai produk agama atau ekspresi estetika karena di dalamnya para masyarakat beragama menganggap bahwa pada perayaan hari –hari besar dengan perayaannya tentunnya dilakukan berdasarkan nilai-nilai estetika, hal ini tentunya berlandasakan pengetahuan yang diyakini oleh sekelompok masyarakat beragama yang tentunya terjadi perbedaan antara kelmok yang satu dengan yang lain.
Dasi sini kita melihat penyebab mengapa terjadi perbedaan dalam kasus-kasus seperti ini. Hal ini disebabkan karena rangsangan sensorik yang diterima oleh masyarakat beragama berdasarkan lingkungannya dan tokoh yang pemikirannya berpengaruh pada kelompok tersebut. Tentunya pemahamnya diambil dari sebuah bahasa atau teks yang terinterpretasikan menjadi sebuah budaya.
Menurut Susanne Langge penciptaan simbol merupakan aktivitas manusia seperti bernyanyi, melukis dan sebagainya secara signifikan membedakan manusia dan binatang. Simbolisasi juga berfungsi mentransportasi pengalaman untuk tujuan interpretasi  dan  komunikasi. Transpormasi simbolik disini adalah  bukan hanya terjadi pada bentuk ungkapan verbal (ungkapan lisan dan tulisan) akan tetapi juga dalm bentuk mitos, ritual musik dan lain-lain.
B.     Bentuk Diskursif
Pemahaman bahasa agama dengan bentuk diskursif ini hanya berkisar pada masalah-masalah yang harus sesuai dengan proposisi-proposisi logis. Sebagaimana kaum positivis-logis menganggap bahwa kebenaran proposisi haya dapat dibentuk dan dinilai berdasarkan kebenaran yang memenuhi strandar konsistensi logis dan atauran ketat matematika.


b.   Asumsi Filosofis
Dalam epistemologi, teory-teory  praktis cenderung menganggap bahwa manusia mengambil sebuah peran aktif dalam menciptakan pengetahuan. Yang merupakan pandangan dunia yang berada diluar orang tersebut. Akan tetapi pembahasn Lailatul Qadr ini secara epistemologi diketahui oleh manusia bukan secara penemuan akan tetapi pengetahuan tentang pelaksanaan ritual ini berasal dari  hubungan interaksi antara kamu muslim sebagai objek yang terliat di dalamnya secara umum dengan pemaahaman yang sampai kepada mereka dalam bentuk pengetahuan yang didapatka dari para ahli tafsir.
B. Lailaul Qadr berdasarkan terori komunikasi
a. Teori Nomotetik
Teori ini sebagai suatu yang melihat hukum secara universal atau umum. Hal ini sangat berkaitan dengan apa yang terjadi di lingkungan masyarakat beragama khususnya kaum muslim dalam melakasanakan suatu ritual keberagmaan. Hal ini merupakan masalah sosial yang terjadi karena interaksi sesama kaum muslim.
Dengan adanya interaksi ini akan meniscayakan adanya konflik di antara  kaum muslim dengan muslim lainnya. suatu keniscayaan ini mengharuskan adanya solusi dan fungsi  nilai sebagai sebuah alternatif untuk memecacahkan  konflik antara sesama kaum muslim. Sebagaiman yang teleh kita bahas sebelumnya dalam proses literatur sebelumnhnya.
Nilai disini adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan oleh individu yang digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya. Tentunya dengan melihat depenisi ini, penulis akan menghubungkan dengan keyakinan sebagai suatu nilai jika dikaitkan dengan masalah Lailatul Qadr, karena hal ini berhubungan dengan beberapa cara atau akhir tindakan berdasarkan tindakan sesorang.
Dengan demikian secara umum penulis menghubugkan antara nilai sebagai keyakinan dengan teori nomotetik. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa teori ini sebagai sesuatu yang melihat secara umum.
Teori ini mengkaji hubungan linear antara sebab dan akibat. Yang dimaksud sebab akibat disini adalah sebab akibat suatu prilaku mengapa sebuah prilaku manusia terkadang diulang dan sebagaian prilaku manusia kadang tidak mau diulang bahkan selalu mencari solusi agar perbuatan itu tidak lagi dilakuan.
Menurut teori nomotetik ini, prilaku yang menyenangkan pasti akan diulang oleh manusia secara sadar. Adanya suatu hubugan variabel yang sangat relevan dengan antara sebab dan akibat yang sangat signifikan dengan karena spirit untuk melakukan sesuatu  menjelaskan hasil dari perbuatannya yang sudah terlepas dari kepercayaan atau keyakinannya.
Secara filosofi menurut menurut Carles Pavitt, keyakinan atas sesuatu yang realisme dengan hal-hal yang nyata dengan karakteristiknya yang benar  dan pengaruh kausalnya  (sebab akibatnya). Dengan demikian kesenangan dapat memicuh suatu tindakan
Pendekatan psikologi
Penelitian ini, melibatkan beberapa populasi, karakteristi situasional dan variabel yang bervariasi menegaskan bahwa masalah Lailatul Qadr  adalah bukan hanya merupakan suatu fenomena kepriadian yang individu akan tetapi terkadang juga sebagai penomena kepribadian kelompok.
Hal ini, tidak menutup kemungkinan menegasikan kebiasaan masyarakat islam klasik atas masyarakat islam moderen sekarang ini atas cara melaksanakan ritulal keberagamaan ini. Dinamika kehidupan yang begitu cepat mengakibatkan segala sesuatu meungkin berubah dangan begitu cepat pula dan mempengeruhi kehidupan orang banyak.
Dengan demikian menjadi resiko yang sangat tinggi atas  masalah keberagamaan dalam hal perayaan ritual keberagamaan (Lailatul Qadr) yang tidak memiliki cara dan pemaknaan secara terperinci mengenai sebuah cara melaksanakan ritual jika dihubungkan dengan masalah kontekstual yang sekarang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Karena masyarakat sediri begitu kompleks menciptakan  sebuah kondisi.
Dalam sebuah masyarakat tertentu misalnya, suatu kelompok beragama yang memahami bahwa Lailatul Qadr itu hanya berada pada malam sepuluh terakhir di bulan ramadhan sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya yang mereka pahami sehingga menyalahkan orang lain yang tidak sepaham dengannya.
Dalam hal ini, siebert mengungkapkan bahwa beberapa reaksi yang ditampilkan oleh individu-induvidu dalam menghadapi sebuah permasalahan. Jika sebagian diantara mereka mengklaim bahwa apa yang mereka pahami itukah yang paling benar maka akan meniscayakan sikap emosional dan kecenderungan untuk melakukan pengklaiman dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi prilaku kekerasan yang dapat menyakiti hati orang lain.
Disisi lain diantra mereka juga sebagai korban dari intrerpretasi ahli tafsir. Mereka melakukan hal sebaliknya, mereka hanya pasrah dan merasa tidak berdaya yang hanya melaksanakan ritualnya sesuai dengan ilmu yang pertama sampai kepada mereka, bahkan mereka hanya berusaha untuk pasrah dan merasa tidak berdaya untuk mengatasi masalah yang sangat membingunkan ini.
Dan diantara mereka, terdapat juga individu atau kelompok yang hanya dapat menyalahkan Tuhannya karena mungkin tuhannya tidak menjelaskan secara terperinci ayat yang Dia inginkan, menyalahkan nabi mereka dan bahkan menyalahkan orang lain tentunya ketika apa yang mereka pahami tidak sesuai dangan pemahamannya.
Selain dari pada itu, terdapat juga individu-individu yang berusaha menghadapi permasalaha mereka melaluai penelitian atau pengumpulan informasi agar bisa keluar dari ketiga bentuk karakter yang telah disebutkan di atas untuk menjadi individu yang memiliki dasar atas apa yang dilakuaknnya.
Dari sudut pandang psikologi Lailatul Qadr ini memilik kecenderugan untuk menarik sebagian besar kamu muslim untuk melakukan ibadah yang lebih dibanding hari-hari lainnya. ketika masuk bulan ramadhan yang sebelum masuk Lailatul Qadr yang jika dipahami berada pada malam sepuluh terakhir bulan ramadhan telah melakuan persiapan dangan membeli pakaian untuk dipakai beribadah dalam bulan ramadhan tersebut.
Berbeda halnya dengan Lailatul Qadr seperti yang telah kita pahami tadi. Orang-orang muslim mempersiapkan staminah untuk melakukan ibadah secara pul dalam malam tersebut.
Berlandaskan dari konteks inilah, penulis berusaha meneliti pengaruh interpretasi atas surah Al-Qadr ini dan mencoba menghubungkannya dengan masalah psikologi masyarakat beragama yang bersangkutan sehingga kita dapat mengetahui pengaru-pengaru dari bahasa tuhan ini.
a.       Lailatul Qadr Sebagai stimulus untuk spirit beragama

b.      Prilaku orang muslim saat ramadhan
a.       Zaman Rasulullah
b.      Zaman Tabi’in

Zaman sekarang
c.       Kaum muslim

B. PENDEKATAN SOSIOLOGI
     Ilmu sosiologi adalah Sosiologi berasal dari bahasa yunani yaitu kata socius dan logos, di mana socius memiliki arti kawan / teman dan logos berarti ilmu. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.
       Menurut ahli sosiologi lain yakni Emile Durkheim, sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial, yakni fakta yang mengandung cara bertindak, berpikir, berperasaan yang berada di luar individu di mana fakta-fakta tersebut memiliki kekuatan untuk mengendalikan individu.
       Objek dari sosiologi adalah masyarakat dalam berhubungan dan juga proses yang dihasilkan dari hubungan tersebut. Tujuan dari ilmu sosiologi adalah untuk meningkatkan kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Pokok bahasan dari ilmu sosiologi adalah seperti kenyataan atau fakta sosial, tindakan sosial, khayalan sosiologis serta pengungkapan realitas sosial.
       Secara sosiologis agama didepenisikan menjadi dua bagian, yang pertama agama sebagai peranan dalam masyarakat, yaitu menyumbangkan kepada masyarakat apa yang disebut sebagai (the matrix of meaning).  Dengan begitu kita dapat mengetahui depenisi agama sebagai sebuah sistem interpretasi terhadap dunia yang mengartikulasi pemahaman diri dan tempat serta tugas masyarakat dalam alam semesta.
       Tentunya dalam masalah Lailatul Qadr jika dipandang secara umum akan masuk ke dalam kategori salah satu ritual agama yang akan membentuk pola prilaku masyarakat dan membutuhkan disiplim ilmu tertentu untuk mengungkap sesuai dengan kajian keilmuannya sehingga kita dapat menemukan akurasi pembahasan tersebut.
       Sosiologi adalah salah satu cabang ilmu yang mengkaji drama kehidupan sosial manusia terutama tentang tindakan-tindakan manusia baik tindakan individual maupun tindakan kelompok, tindakan lazim maupun tindakan yang tidak lazim. Dari berbagai pendapat yang tnetang pendepenisian disiplin ilmu ini, penulis mengutip salah satu dari pakar sosiolog dalam mendepenisikan sosiologi, menurut Charles Ellwood sosiologi adalah ilmu yang menguraikan hubungan manusi dan golongannya, asal, dan kemajuannya, bentuk dan kemajuannya.[115]
       Jika kita hubungkan depenisi tersebut diatas, kita dapat menghubungkannya dengan pareiabel-pariabel fakta sosial bagi sebagian besar masyarakat beragaman dalam menghadapi ritual-ritual keberagamaannya dan dampak sosial yang timbul pada ritual tersebut.
       Berdasarkan pendekatan ini ketika kita melihat dan menghubungkannya dengan Lailatul Qadr maka kita akan mendapatkan varian dengan pembagian masyarakat berdasarkan tinjauan sosiologi yaitu  masyarakat statis dan masyarakat dinamis dalam hal budaya dan pelaksanaan rituak keberagamaan.
       Masyarakat stastis merupakan maysarakat yang mengalami sedikit sekali perubahan dan perperubahannya sangat lambat sedangkan masyarakat dinamis adalah masyarakat yang mengalami perkembangan cepat, oleh karena itu terkadan kita mengklasifikasikan masyarakat statis dan masyarakat dinamis.[116]
       Pada islam khususnya, Lailatul Qadr terdapat ritual yang secara garis besar dalam pelaksanaan ritual tersebut baik itu dilaksanakan oleh individu maupun perayaannya dilaksanakan secara berkelompok sehingga kita dapat mengklasifikasikannya kedalam ciri maysarakat sesuai dengan pengklasifikasian kita di atas. Dengan melihat literatur dari pemahaman yang hadis di masyarakat maka kita melihat posisi interpretasi dari kalangan ahli tafsir yang mampu menjadi salah satu faktor utama dari yang sangat berpengaruh dalam perubahan sosial.
       Hadirnya pemahaman baru mengenai suatu pemahaman, sebagaimana pemahaman dari ahli tafsir klasik yang secara turun temurun dengan kejumutannya akan salalu berada pada posisi seperti itu selamannya. Akan tetapi jika terdapat pemahaman baru atas sebuah teks yang lebih rasional maka secara tidak langsung aka terjadi sebuah perubahan atau revolusi perayaan ritual masyarakat beragama.
       Sebagaimana kita ketahui bersama sebelumnya bahwa interpretasi sebuag teks tidak menutup kemungkinan bahwa bahwa hasil dari penafsirannya itu mutlak benar akan tetapi karena itu merupakan interpretasi yang meniscayakan hasilnya kepada relatif. Apalagi jika kita melihat dalam proses literatur penafsiran yang kebanyakan di antara para ahli tafsir mengutif dari tafsir-tafsir sebelumnya tenpa memperhatikan hadis yang dia kutip. Hal ini membuka peluang atas orang-orang yang ingin mendalami ilmu tafsir dan membuka pemahaman baru yang Nilai dan tingkahlaku ini sangat berhubungan. Dalam kehidupan manusia khususnya kaum muslim.

Nilai dan tingkahlaku ini sangat berhubungan. Dalam kehidupan manusia khususnya kaum muslim dapat merubah pendapat atau membentuk paradikma berfikir masyarakat sehingga dalam perayaan hari-hari besarpun dapat berubah dengan berubahnya paradikma berfikir sesorang.



[1] Ikbal, Muhammad (2003).Kamus Dassar Islam.Jakarta, Inovasi, p. 153
[2] Qs. Al-Qadr (97:3)
[3]Abdul Fattah, Munawwir (2006).Tadisi Orang-Orang NU.PustakaPesantren, p 104
[4] A.Athaillah(2006).Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir Al-Manar. Erlangga, p 84
[5] Van Karskam, Anton (2005).Konflik-Konflik Dalam Ilmu Sosial. Kanisius, P 44
[6] Muthahari, Murthadha (2007).Energi Ibadah. Serambi, P 147
[7] Mulkhan, Abdul Munir (2007).Sufi Pinggiran.Kanisius, p. 50
[8] Moh Shofan, Budhy Munawar (2010).Argumen Islam Untuk Liberalisme. Grasindo, p.  XXXVII
[9] Ulil Abshar, Abdala(2009).Meteodologi Studi Al-Quran. PT.Gramedia Pustaka Utama, p.3
[10]Pateda Mansoer (2001).Semantik Leksikal. Jakarta, PT. RINEKA CIPTA, P. 16
[11] Sadr Baqir (1420H/1999M). Durus Fi Ilmu Al-Usul. Vol. 1, p.
[12] Ismail  Katsir (1421H/2000M). Tafsir Al-Quran Al-Adzîm Tafsir Ibnu Katsir. Maktabah Auladi As-Syekh Li At-Turast, vol. 14. P. 405
[13] Sudarto, Meteodologi Penelitian Filsafat” (cet.  III; Jakarta: RajaGrapindo Persada,2002) , hal. 57
[14] Ibid,. 58
[15] Ibid,.99
[16]. Sebagian besar kata dalam bahasa Arab ketika ingin mengetahui bentuk kata bendanya maka kita harus melihat kepada bentuk kata dasarnya.
[17] Jamaluddin, Abi Fadhl (1426H).Qamus Lisan Al-Arab. Muassasa Al-A’la’Limuthbuât. Vol. 2 p.3642
[18] Ibid.
[20] Terjemahan Departemen Agama Indonesia
[21] Kamus at-tahqiq. Vol.10. P. 274
[22] Ibid. P. 275.
[24] Alif Sampayya, Abah Salma(2007).Keseimbangan Matematika Dalam Al-Quran.Republika, p.408
[25] kamus  lisan al-Arab. Vol,
[26] kamus lisan Al-Arab 5. Hal 80
[27] kamus Al-Mufradat. Vol. I. P. 660
[28] Rakhmat,Jalaluddin(2005).Madrasah Ruhaniyah.Mizan, p.156
[29] Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim(2003).Penawar Hati Yang Sakit.Gema Insani Press, p.81
[30] John Lechte(2001).50 Filusuf Kontemporer Dari Strukturalisme Sampai Postmoderenitas.Kanisius, p.207
[31] Wibowo,Wahyu.(2004).Berani Menulis Artikel.PT Gramedia Pustaka Utama, p.178
[32] Azra,Azyumardi(2005).Malam Seribu Bulan: Renungan-Renungan 30 Hari Ramadhan.Erlangga, p. 159
[33]Malik,Muhammad Rusli(2003).Puasa:Menyelami Arti Kecerdasan Intelektual,Kecerdasan Spiritual, Kecerdasan Emosional  Di Bulan Ramadhan. PustakaZahra , cet. 1, p. 204
[34] Muhammad Sobari,Abdul Mannan(2005).Kesempurnaan Ibadah Ramadhan.Repoblika, p.176
[36] Al-Jarjawi, Ali Ahmad(2006).Indahnya Syariat Islam. GemaInsani, p.221
[37] Jarir Thabari, Muhammad.Tafsit At-Thabari, Jami’ Al-Bayan An Ta’wil Ai Al-Quran.Li At-Thaba’a Wa An-Nasyr Wa Tauzi Wal I’lan. Vol.24. p 443
[38] Nurdin,Ali(2006).Quranic Socity, Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal Dalam Al-Quran.Erlangga, p.56
[39] Ihromi, I.T.O(2006).Pokok-Pokok Antropologi Budaya.YayasanObirIndonesia, p. 74
[40] Abdul Salam Al-Indunisi, Ahmad Nahrawi(2008).Ensiklopedia Imam Syafi’i. Hikmah, p. 83
[41] Hashim,Shahabuddin(2003).Psikologi Pendidikan.PST Profesional, p. 26
[42] Hayes,John H(2006).Pedoman Penafsiran Al-Kitab.PT.BPK Gunung Mulia, p. 29
[43] Ibid.
[44] Al-Qaradhawi,Yusuf(1995).Fatwa-Fatwa Kontemporer. GemaInsani, p. 249
[45] Qardhawi,Yusuf(1999).Berinteraksi Dengan Al-Quran.Gema Insani Press, p.
[47] Sadr,Baqir ().Durus Ilmu Usul.
[48] Ibid.
[49] Ismail, Syuhudi (1995).Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuannya. GemaInsaniPress, P 53
[50] AL-Gazali,Muhammad (2008).Al-Quran Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci Dalam Konteks Masa Kini. Mizan, p49
[51] Amin, Kamaruddin (2009). Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Hikmah, P 72
[52] Abdulrahman, Jamaluddin().Zadu Al-Masir Fi Ilmu At-Tafsir.Al-MaktabahIslami.vol.9, p.181
[53] Muhammad Mukhtar,Muhammad Al-Amin(1400H).Tatimmah Adhwa’u Al-Bayan Fi Idhahul Al-Quran Bil Quraan.At-ThabiatuAl-Tsaniyah. Vol.9, p.380
[54] Yusuf Al-Ma’ruf, Ahmad(1414H).Ad-Daru Al-Mashun Fi Ulumi Al-Kitabi Al-Maknun.Waru Al-Qalam. Vol. 9,p.63
[55] Abdullah, Muhammad Al-Amin (1421H).Mukaddimatu At-Tafsir. Musammatu Nuzul Karim Difani fi Sahati Hadâiq Ruh Wa Raehan. DaruThuquAn-Najah. Vol. 32, p. 180
[56] Sudarmoyo, Agus Haryo(2009).Perjalanan Akbar Ras Adam.Mizania, p.156
[57] Fakhruddin, Muhammad Razi (604 H).Tafsir Fakhru Razi. Darul Fikr, vol 32. P 27     
[58] Sadiqi Tehrani,Muhammad(1998).Al-Balagh Fi Tafsir Al-Quran Bi Al-Quran.The Author,vol.1,p.598
[59] Taqalani,Sayyid Mahmud(11983).Partovi Az Quran.Sherkat Shami Entashar,vol.4, p.192
[61] Malik,Muhammad Rusli(2003).Puasa: Menyelami Arti Kecerdasan Intelektual,Kecerdasan Spiritual, Kecerdasan Emosional Di bulan Ramadhan. Pustaka Zahra, p. 211
[62] Ibid.
[63]Nashir,Makarim Syirazi(1421H).Al-Amsal Fi Kitabi Allah Al-Munzal.Madrasah Al-Imam Ali bin Abi Thalib Alaihi As-Salam, vol.20,p.341
[64] Husayni Shirazi,Sayyid Muhamad.(2002).Tabyin Al-Quran.Beirut:Dar-Al-Ulum, vol.1,p.621
[65] Syarifuddin, Ahmad (2003). Puasa Menuju Sehat Fisik Dan Psikis.Gema Insani p. 27
[66] El Selwany, Ali Wasil(2008).Fastng: A Great Medicine (Manfaar Luar Biasa Puasa: Medis Psikologi dan Spiritual Puasa Wajib Atau sunat).Pustaka Iiman, p. 124
[67] Musayyar,Muhammad Ahmad(2009).Buku Pintar Alam Gaib.Zaman, p.51
[68] Kamus Istilah Sufi, p.548
[69] Ibid.
[70] Muhammad,Ash-Shadiqi At-Therani(1419H).Al-Balâg Fi Tafsir Al-Quran Bil Quran.Al-Muallif,vol.1,p.598
[71] Syarifuddin Ali,Al-Husaini Al-Astar Obodi(1409H).Ta’wil Al-Ayat Adzh-Dhzahiri.Qum:Muassasah An-Nasyiri  Al-Islam,vol.1,p.791
[72] Maula Muhsin,Al-Fîd Al-Kasanî(1415).Tafsir Ash-Shafî.Mansyurat As-Sadr,vol.5,p.353
[73] Murad,Mustafa(2007).Kisah Hidaup Ali bin Abu Thalib.Zaman, p.206
[74] Ibid.
[75] Muhammad Jalaluddin (1407 H).Tafsir Imam Jalalain. Darul Ibnu Kastir. Vol. 2. P. 599
[76] Fakhruddin, Muhammad Razi (604 H).Tafsir Fakhru Razi. Darul Fikr, vol 32. P 27     
[77]Muhammad, Jalaluddin (842 H).Tafsir Jalalain. Darul Ibnu Kastir.vol.2 P. 599
[78] Ibid.
[79] Ibid.
[80] Shahab Hasyah (). Tafsir Al-Baedawî. Beiru (Libanon). DarulShadr. Vol 8. P. 384
[81] Muslihuddin, Muhammad (1419H). Tafsir Al-Qadî Al-Badawi. Maktabah Al-Hakikah. Vol 4. P. 583
[82] Ibid
[83] Misrawi,Zuhairi(2007).Al-Quran Kitab Toleransi.Pustaka Oasis, p.130
[84] Hasyim, Bahrani (1427H/2007M).Al-Burhan Fi Tafsir Al-Quran. Iran:Mathbaah Setore.vol. 8 p.332
[85] Fayd Kashani, Muhsin(1997)..Al-Asfa Fi Tafsir Al-Quran.Islamicc Propagation, p.1462
[86] Ibid.
[87] Husayni Hamdani,Muhammad Husayn(1984).Anwar-e Derakhshan.LuftiBookstore, vol.18,p.221
[89] Suyuti,Jalaluddin(2003)Durur Al-Manstur Fi At-Tafsir Bil Ma’stur. HuququkTabi’iMahfudhah At-Thabiatu Al-Ula vol.15 p.534
[91] Mazhab Ja’fari adalah salah satu gologan dari mazahab Syiah yang menyakini adanya dua belas imam setelah nabi Muhammad Saw.
[92] [92] Fakhruddin, Muhammad Razi (604 H).Tafsir Fakhru Razi. Darul Fikr, vol 32. P 27  
[93] Ibid. p 31
[95] Ibid
[96] Shihab,Qurais (1996).Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’i  Atas Pelbagai Persoalan Umat. Mizan, Cet. 3 p.539
[97] Ibid.
[98] Ibid.
[99] Muthahari, Murthadha(2004).Energi Ibadah, Selami Makna, Raih Kematangan Batin.PT. Serambi Ilmu Semesta, p.147
[100] Hadzami,Muhammad Syafi’i(1431H).Taudhihu Al-Adillah.Quanta,vol 1, p. 43
[101] Ibid.
[102] Muhammad Jawab, Magniyah(1424).Tafsir Al-Kâsyif.Dâr Al-Kitab Al-Islamiyah,vol.7,p593
[103] Muhammad Muhtar,Muhammad Al-Amin (1400H). Adhwau Al-Bayan Fi Idhahi Al-Quran Bil Quran.Thabiatul Tsaniyah. Vol.9 p. 385
[104] Ibnu Kastir, Ismail(1421H).Tafsir An Al-l-Qur’an Al-A’dhim. MuassasQurtuba Li Ath-Thabi p,405
[105] Kisyik,Abdul Hamid (1998).Berkenalan Dengan Malaikat. GemaInsani, p 138
[106] Al-Darini, Abd Al-Aziz(2008).Terapi Menyucikan Hati. Mizania, p 366
[107]Abdullah,Muzayyannah(2009).Apa Itu Al-Quran.PTS Islamika, p.7
[108] Jacobs Sj(2002).Paham Allah.Canisius, p 213
[109] Ibid.
[110] Hidayat,Kamaruddin (2008).Psikologi Beragama, Menjadikan Hidup Lebih Ramah Dan Santun. Hikmah (PT. Mizan Publika), p 64
[111] Hidayat,Kamaruddin(2008).Psikologi Ibadah, Menyibak Arti Menjadi Hamba Dan Mitra Allah Di Bumi. Serambi Ilmu Semesta, p 111
[112] Norris,Pippa(2004).Sekularisasi Ditinjau Kemali Agama Dan Politik Di Dunia Dewasa ini. Pustaka Alvabet, p 26
[113] Al-Jibouri,Yasin(2002).Rahasia Puasa Ramadhan. Pustaka Zahra,p 91

Tidak ada komentar:

Posting Komentar